Selasa, 26 Oktober 2010

Aku Cinta Batik, Aku Cinta Indonesia

Apapun keadaannya, fakta tidak bisa diingkari, batik adalah aset budaya Indonesia. Tanggal 29 Oktober 2009 lalu, UNESCO mencanangkan tanggal tersebut sebagai Hari Batik, sekaligus untuk merilis pengakuan terhadap batik sebagai warisan budaya Indonesia. Namun, ternyata pengakuan itu bersayap, karena diembel-embeli syarat: bilamana Indonesia tidak konsisten melestarikan batik, maka pengakuan itu akan dicabut kembali. Pertanyaan yang patut diajukan: apa hak UNESCO berkomentar begitu? Siapa yang memberinya wewenang untuk menjadi penentu sesuatu aset budaya itu milik siapa? Suatu aset budaya suatu bangsa tidak mungkin dapat dipindahtangankan kepada bangsa lain, sebab ia secara kekal melekat oleh nilai historis dan sosio-kultural-antropologis pada bangsa tersebut. Bisa demikian karena hal itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari ketetapan tatanan penciptaan oleh Tuhan.

Saya tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hal tersebut. Saya serahkan kepada para sosiolog, antropolog, pakar budaya, politisi, dan pengambil kebijakan untuk dikaji lebih lanjut. Hanya saja, sebagaimana dalam semua hal lain, ada juga pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian itu. Kenapa kita tidak melestarikan aset kita sendiri, sampai-sampai bangsa lain berniat merebutnya? Ini bukan cuma berlaku untuk batik. Masih banyak yang lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, seperti wayang, angklung, lagu-lagu daerah, tari-tarian tradisional, literatur-literatur etnik, pakaian-pakaian adat lainnya; belum lagi aset-aset non-kultural (sesuatu yang, tidak seperti aset budaya, memungkinkan untuk beralih kepemilikan) seperti minyak, gas, pertambangan, laut, pulau, tanah, sampai pasir. Apakah kita tidak mencintainya? Mengapa kita lebih menyenangi segala sesuatu yang berbau asing/luar negeri, mulai dari pemakaian istilah, penamaan produk atau perusahaan, pemilihan musik, gaya hidup, mode, sampai gaya bicara & cara berimajinasi? Dan kenapa pula kita tidak menjaga kekayaan alam kita dari perampasan?

Memang, tidak ada salahnya mengadaptasi, mengakulturasi, mengakomodasi, dan mengonsumsi hal-hal asing dari luar, asal itu benar & baik sesuai kaidah-kaidah moral universal. Itulah salah satu manfaat globalisasi, yakni agar umat manusia di seluruh dunia dapat belajar dari satu sama lain demi mencapai taraf optimal kehidupan yang dimaksud semula oleh Sang Pencipta. Dan benar, tidak bisa dipungkiri, sebagai bangsa, kita banyak kelemahan. Banyak segi tertentu, juga dalam budaya kita dan produknya, yang negatif, destruktif, dan tidak benar. Namun, di samping itu, banyak juga hal yang sendirinya sudah jadi milik kita -yang mana padanya jatidiri kita sebagai bangsa bergantung-, yang bernilai konstruktif, edukatif, baik & benar. Jangan sampai itu sampai -sengaja maupun tidak- terpinggirkan, apalagi terlupakan.

Jadi, di mana letak permasalahannya? Seperti sudah saya singgung di atas, kita tidak akan mau pusing-pusing memikirkan -apalagi repot-repot melestarikan- sesuatu yang kita sendiri tidak cintai. Dan, jelas, tidak mungkin kita mencintai sesuatu kalau kita tidak bangga, atau malah malu, terhadapnya. Pertanyaannya: apakah kita tidak bangga (atau malu) terhadap aset kekayaan kita sendiri itu, ataukah justru kita tidak bangga (atau malu) menjadi orang Indonesia? Kalau ya, mengapa? Dan ini membawa kita kepada inti masalah. Semua itu bermula dari hati dan pikiran kita sendiri. Paradigma kita sudah telanjur berkata bahwa kita adalah "bangsa budak", "warga kelas rendahan", "manusia bermental tempe", dan segudang pola-pikir berkonotasi buruk lainnya tentang diri sendiri; akibatnya, citra diri yang rendah ini berpengaruh terhadap seluruh cara pandang dan penilaian kita, bahkan juga sampai cara kita bertindak, etos kerja kita, cara kita memperlakukan orang lain dan diri sendiri, serta cara kita membentuk karakter diri & bangsa; sehingga malah, disadari atau tidak, dari sinilah juga budaya korupsi, feodalisme, kolusi, nepotisme, despotisme, anarkisme, dan kekerasan tumbuh sampai berurat-akar dalam diri kita. Inilah yang harus kita ubah. Tentu, harus dengan tekad yang sangat kuat, mengingat sudah begitu mendarahdagingnya paradigma tersebut. Sayangnya, tekad dan upaya kita sendiri, bagaimanapun kuatnya, tidak memadai. Kita harus bergantung pada Tuhan, mengandalkan kekuatan & kuasa-Nya. Indonesia harus kembali kepada Tuhan yang benar, yaitu Allah yang menyatakan diri-Nya dalam diri manusia yang bernama Yesus dari Nazaret, yang disebut Kristus, Allah Putra yang menjadi manusia. Saya tidak akan membahas hal terakhir ini lebih jauh; itu saya cadangkan untuk tulisan saya yang lain.

Sebagai penutup, saya ingin kembali kepada batik. Buat saya pribadi, terus terang, saya sendiri sudah lama tidak mempunyai/memakai pakaian batik. Bukan dengan alasan tidak suka, atau karena meng-inferior-kan, namun karena alasan praktis. Pertama, seperti halnya dengan banyak orang muda lain, saya tidak memakai batik karena motif-motif yang diproduksi di pasaran kurang cocok untuk orang muda, sehingga kalau saya memaksakan, maka saya akan terlihat sangat tua. Kedua, juga seperti halnya dengan banyak orang muda lain, bagi saya, pakaian batik identik dengan segala yang formil, baik dari segi motif maupun dari segi potongannya. Saya sadar, untuk kedua alasan tersebut, saya sudah tidak dapat bertahan, sebab sekarang ini sudah banyak perancang yang merancang batik dengan motif dan model yang disesuaikan untuk kaum muda serta juga cocok sebagai pakaian kasual. Tetapi itulah yang menambah kuat alasan saya yang ketiga: batik itu mahal, sehingga kurang terjangkau saku kalangan menengah ke bawah. Dan alasan yang keempat, yang paling penting, bahan kain batik itu panas dan tidak menyerap keringat. (Itu pula yang membuat saya tidak habis pikir, kenapa juga batik yang dirancang di Indonesia yang panas -dalam hal ini, wilayah Jawa Tengah & Yogyakarta yang secara iklim sangat panas- dibuat di atas bahan yang juga panas? Bukankah harusnya kita memproduksi sandang yang nyaman untuk keadaan alam tropis kita?) Dan sekaligus ini saran dari saya kepada kita semua pada umumnya, dan khususnya untuk para perancang pakaian, terutama perancang batik, supaya mencari bahan lain yang benar-benar pas untuk kenyamanan di Indonesia tetapi juga cocok untuk ditulisi/dicetaki/dicelupi bahan pewarna batik.

2 komentar:

asaz mengatakan...

makanya mari kita masyaraktkan batik dengan memakai batik pada tiap hari kamis ok ditunggu coment bactnya di link artikenya ini

Disabilitas dan Pandangan Masyarakat Mengenainya mengatakan...

Baca juga artikel saya tentang disabilitas dan pandangan masyarakat:

"Disabilitas dan Pandangan Masyarakat Mengenainya" (http://samueledward.blogdetik.com/disabilitas-dan-pandangan-masyarakat-mengenainya/)