Sabtu, 20 November 2010

Melayat Hidup

Aroma melati dan kamboja terkekeh riang
Sambut pusara pedih menyeka riwayat tak lagi terkendali
Kupu-kupu sayu melongok ke lembaran ribuan mentari
Tagih janji dari diri yang berdiri kukuh dalam gelimpang kebusukan
Urun angin dalam percakapan bisu
Dan kenangan tergeletak malas sesudah terlalai dalam hari-hari membatu

Usungan telah tiba pagi-pagi
Bawa sang pembohong nan riang selama siang
Namun kabut menyergah parah
Menggunturkan ejekan tak terkira
Kilat bergetar-tergentar
Menggonggonglah tanah
Terkungkung sembrononya penglihatan malam

Rekah sudah pusara itu
Setengah terpaksa menelan jasad berbalur kemiskinan
Ketiadaan yang ia cari
Sarat kejahatan yang ia sua
Maka pusara kian berat hati menganga
Sembari mendendangkan elegi nan palsu

Begitu asyik aku menyaksikan arak-arakan absurd perziarahan terakhir itu
Tanpa sadar
Hidupkulah yang dikubur alam dalam-dalam
Jauh tanpa tersauh
Ke arah ketakterbatasan yang dapat dibayangkan saja pun entah

Biarkan saja alam membenamkan mayat hayatku dalam kelam
Aku rela meski tak juga sadar
Tidak pernah lagi aku menyadar
Semenjak kubiarkan nafsu menyelimuti lamat-lamat
Sejak jam-jam tak terhitung dalam selimut keangkuhan
Mulai dari titik tanpa balik di mana akal sudah tersaput banjir dosa merayu
Hingga jalan-jalan berkilau hijau
Dalam taman yang berbuih-buih oleh kebajikan
Perlahan menghilang-mengelam
Terjerembab-terpendam-terendam

Jadi sekali lagi
Biarkan saja kawan bernasehat
Dan biarkan lawan menyesali sangat
Akan berlalunya masa-masaku
Akan hilangnya kekuatanku
Akan bergemanya ketakutanku
Pada titian keputusan yang jadi sunyi

Bila telah kembali semua pelayat itu
Akulah yang akan jadi pelayat terakhir
Yang menaburkan doa penghinaan
Di atas nisan kenanganku

Di sanalah cabulku menjadi pelacur bagi ulat-ulat
Di situlah iriku mencemburui kelezatan maut melahap silsilahku
Di sanalah angkuhku menepuk dada di depan kegelapan
Di situlah mata serakahku meraup banyak-banyak kenistaan kerajaan setan
Di sanalah lidah rakusku menjilati penuh hasrat dingin hati
Di situlah amarahku bermurka-ria terhadap jiwa dan diri
Di sanalah tangan dan kaki malasku berkapar alpa di atas tungku penghakiman

Jangan
Jangan lepaskan semua ceritera
Akan kupugar semua dahaga
Dan mencerca segala nikmat bahagia
Jangan

Pelayatan ini
Kapankah berakhirnya?
Takkan kukembali
Sebelum semua usai
Dalam keseharianku lagi

Tangisan Redup Tersayup

Mengerang hati ini
Mendesah disesah resah
Dambakan bergantinya hari-hari
Dengan lapangnya lega
Dengan alur-alur benak tak tertekan
Dengan kemilau rasa tanpa baluran luka
Dan duka
Serta beban meniada
Terlupakan selamanya
Dari hidup yang tak lagi hampa
Kerontang-melompong tanpa satu menyisa

Aku bosan meniti kekosongan
Aku jengah pada hidup yang kembung oleh kepalsuan
Buang saja segenap adaku ini
Pada makna yang pasti berarti

Namun akankah
Haruskah
Kupupuki terus
Kelumit nir-asa ini?

Berontaklah aku dalam tangisku
Lumpuhkan kelumpuhan nan tiran
Bangkit sambil terseok-seok
Dari kubangan kotoran dan air mata
Dari gulita dan buta

Tuhan-Juruselamat
Bantu aku reguk puas-puas
Getih-nanah-Mu
Salibkan aku
Salibkan munafikku
Salibkan hidup palsuku
Salibkan hati imitasiku
Bunuh aku
Bunuh semua padaku
Pada tiang gantungan-Mu
Tempat Kaucurah hidup sampai cacahan daging-Mu mengurai
Supaya aku hidup lagi
Dengan hidup-Mu semata

Ayahanda Penguasa
Cintai aku
Kumohon
Tuntun aku
Bantun aku
Tolonglah
Kepada pendamaian peluk hangat-Mu
Nan penuh sayang dan mesra
Dan aku pun kembali suci
Siap Kaugarap berkerap-kerap
Tanpa lagi ada noda ganjalan
Di antara kita

Roh Pembimbing
Hentikan aksi jahatku
Lumpuhkan perbuatan nistaku
Bakar hingga mampus
Tindakanku
Kataku
Buah akal dan hasratku
Pada diri-Mu dan para terpilihmu
Pada sesamaku jua

Cengkeram aku
Gagahi aku
Akulah budak-Mu
Ya, Allah
Biarkan tangis ini menyurut
Leraikan dosa ini dari hidup
Redupkan gairahku pada segala yang Kau jijik
Bangkitkan nafsuku
Akan nafas-Mu

Wahai, kekacauan
Tak lagi dan takkan kembali
Engkau memorandakan waktuku dan hidupku
Juga mereka di sekelilingku
Dengan tipumu
Yang gelorakan teriakan dan jeritan pilu
Bahanamu tersayup sudah
Dan akan terbungkam selamanya

Salah Alamat

Anda pernah mengirim surat, uang, barang, atau apapun, tapi ternyata salah alamat? Dan itu mengakibatkan Anda rugi besar, bahkan berada dalam bahaya? Si Polan pernah. Begini ceritanya.

Suatu hari ia berniat mengirimi saudaranya, si Pandi, uang berikut beberapa barang yang cukup mahal. Maksudnya hendak membantu sang saudara yang kesusahan. Cuma, ada satu masalah. Polan tidak tahu di mana Pandi tinggal. Jadi ia menanyakannya pada saudaranya yang lain, si Ono, yang ia pikir tahu di mana Pandi tinggal. Alih-alih memberitahu, Ono malah menawarkan jasa untuk mengantarkan sendiri.

Jadilah akhirnya Polan menyerahkan urusan itu kepada Ono. Tapi, Polan tidak tahu, Ono itu orang jahat. Bukannya diantarkan ke Pandi, barang-barang dan uang itu ia bawa ke komplotannya untuk dihabiskan sendiri. Sedangkan terhadap Polan, Ono merancang tipuan lain. Ia menulis surat, pura-pura dari Pandi, berisi ucapan terimakasih atas kebaikan Polan, dibumbui sanjungan berlebihan memuji kekayaan Polan. Si Polan tentu saja merasa sangat tersanjung. Akibatnya, ia makin rajin mengirimkan uang dan barang. Makin banyak kirimannya, makin bombastis sanjungan “dari Pandi”. Dan kian mabuk Polan akan pujian, kian enteng pula “bantuan”nya mengalir.

Suatu hari, gembong geng Ono memutuskan, Polan harus segera “dibebaskan dari kekayaannya”. Artinya, para penjahat itu berniat menguras habis-habisan uang dan harta Polan dalam satu tindak perampokan. Malangnya, keberanian Polan tidak sebanding dengan kebijaksanaannya. Ia pasti akan melawan para perampok itu. Tapi mustahil ia sendirian berdaya menghadapi para residivis nekad berbadan besar yang jumlahnya puluhan itu.

Anda tahu, kita semua sebenarnya senasib dengan si Polan. Iblis telah sukses menipu orangtua pertama kita, Adam dan Hawa; dan ia terus melancarkan kebohongan yang sama pada kita.

Memangnya, apa sih tipuan Iblis? Iblis menipu kita dengan cara yang nyaris mirip dengan si Ono: menyampaikan alamat yang salah. Alamat apa? Alamat tujuan semua perbuatan kita. Coba tanyakan orang-orang, dan dirimu sendiri juga: beribadah, menjalankan perintah agama, berbuat baik, beramal sosial, melakukan kebiasaan baik; untuk apa atau untuk siapa itu semua? Jawabannya pasti berkisar hanya pada 2 kemungkinan: “untuk Tuhan”, atau “supaya kita sendiri juga mendapat kebaikan” alias “demi diri sendiri”. Jawaban nomor 2 jelas salah, karena itu bukti keegoisan, bukan kebaikan. Tapi kalau jawabannya nomor 1, “demi Tuhan”, pertanyaan selanjutnya adalah: Tuhan yang mana? Nah, di sinilah kita mulai kelihatan tolol seperti si Polan!

Iblis menanamkan dalam pikiran kita pendapat bahwa semua agama
menyembah Tuhan yang sama. Itu tidak benar! Hanya ada satu jalan yang benar untuk sampai kepada diri-Nya. Lagipula, bukankah kita melakukan amal-ibadah supaya kita hidup bahagia di dunia ini, dan, setelah mati, masuk sorga? Jadi, pada akhirnya, meski kita bilang “demi Tuhan”, sebenarnya ujung-ujungnya tetap “untuk diri sendiri”.

Kesimpulannya, semua tujuan kita itu sesat! Sama sekali kita melenceng dari Tuhan. Dan karena Tuhan itu kehidupan, menyeleweng dari-Nya berarti maut.

Lantas, apakah kita sudah tanpa harapan? Tidak! Tuhan begitu mengasihi manusia, tak rela kita binasa dan terus-terusan jadi korban Iblis. Sebenarnya, dosa adalah “salah sasaran” atau “salah alamat”. Kita akan selalu tersesat karena kita ini manusia berdosa. Kita takkan mampu mengubah sendiri hakekat diri kita. Hanya Pencipta kitalah yang bisa. Itulah yang telah dilakukan-Nya dalam diri Allah Putera yang menjadi manusia Yesus Kristus. Yesus Kristus-lah jalan yang benar menuju Allah yang benar. Dalam kematian-Nya di salib, Ia menebus kita dari ke“salah-alamat”an/dosa kita. Status-Nya sebagai manusia benar dikenakan-Nya kepada kita, dan status “salah sasaran” kita Ia kenakan pada diri-Nya sendiri, sehingga Dialah yang menanggung maut akibat dosa kita. Di atas salib juga Ia telah mengalahkan Iblis, maut, dan dosa. Kebangkitan-Nya kembali dari kematianlah buktinya.

Tidak mau lagi hidupmu “salah alamat”? Ingin amal-ibadah Anda sampai ke Sang Penerima yang benar? Tidak sudi lagi jadi korban penipuan, penjarahan dan pembinasaan Iblis? Bertobatlah dari dosa-dosamu, dan terimalah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat pribadimu! Katakanlah dalam doa kepada-Nya, “Tuhan Yesus, Engkaulah satu-satunya jalan yang benar kepada Allah. Ampuni dosa-dosaku dan selamatkanlah aku. Jadilah Tuhanku dan jadikan aku milik-Mu. Ajari aku menaati Firman-Mu dalam sisa hidupku ini, agar hidupku menyenangkan-Mu dan tidak lagi melakukan hal yang sesat, yang tidak tertuju pada diri-Mu. Demi nama-Mu. Amin.”

(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-23, Agustus 2010, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)

Endapan Hati

Betapa ingin kureguk lagi kemenangan itu!

Galau
Tak mau berhenti mengacau
Dengan racau
Di ambang pagi sebelum satu bintang malas berkilau
Bersama kenangan akan ribut burung berkicau

Kekasih tanpa hati lekang sudah menghitamkan jejakku
Namun tetap saja aku berdiang-berdiam di sini
Di tempat di mana dulu ku tak beranjak
Menjemput angan

Mengapa ada kelalaian?
Selain kucinta dan kucipta sendiri
Tiada alasan mampu kuterawang

Sudah lama mengendap ia dalam sanubari ini
Barangkali sudah tak mau lagi digeming

Inilah segala akibat yang kudera pada diriku
Dimasak sampai bonyok
Dalam sejuta pengalaman yang kudirikan
Dalam hidup yang tak mampu membangga
Bahkan untuk bernapas sekalipun
Baunya melambai selamat tinggal tak rela pada keberhasilan

Dalam Langkah-Mu

Kelam daku dulu
Merambah dosa tak jua puas
Nistai-Mu sejadi mauku
Sesamaku adalah sampah dan pijakan nafsu

Engkau pun nyatakan kasih
Juga kuasa

Kelembutan-Mu koyakkan kerasku
Kautikam aku dengan sabda hidup-Mu
Dosaku Kaulumatkan
Semua di atas salib itu
Di atas salib itu
Dalam daging
Dalam nadi-Mu sendiri

Aku telah terjual
Dalam pelukan durjana
Asaku tak berani tengadah
Berkuncup sudah hati
Mati dibuai kenajisan laknatku

Namun amarah-Mu menghanguskan
Belengguku
Dengan tangan nan menggenggam semesta
Kaurenggut aku
Kaudekap aku
Hingga aku megap-megap
Mabuk anugerah-Mu

Milik-Mu semata aku kini
Tak sudi lagi kuberbalik menghamba
Pada terkutuknya hidup lamaku
Namun mengapa kadang hasratku menggairah kembali
Terhadapnya?
Ampuni aku, Tuhanku!
Cengkeram aku
Dan tolong pantang lepaskan!

Ini aku!
Balur aku terus dengan darah suci-Mu
Dengan firman kudus-Mu mandikan aku
Serta Roh-Mu
Biar Ia menguasai penuh seutuh diriku!

Dan kirim aku, ya Junjunganku, Penyelamatku
Dalam langkah-Mu sendiri
Kepada dunia
Supaya mereka kenal Engkau
Allah sebenarnya
Dan nama-Mu mereka takuti
Juga kasih karunia-Mu
Mereka rangkup untuk keselamatan mereka sendiri

(Puisi ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-22, Mei 2010)

Sumur Berlumpur

Tiga anak belasan tahun yang tengah bermain di sebuah tanah lapang menemukan sebuah lubang berukuran cukup besar. Mereka melongok ke dalamnya dibantu sinar dari senter yang dibawa salah satu anak. Dasarnya tidak kelihatan. Hanya terlihat air berwarna kehitaman di bawah sekali, dan lumut di dinding lubang.

“Rupanya ini sumur yang sudah tak terpakai,” kata seorang. Seorang temannya membalas, “Bagaimana kalau kita masuk ke situ? Menurut cerita, dalam sumur seperti ini banyak terdapat harta karun. Kita akan kaya-raya, bisa beli mainan mahal, makanan enak, pokoknya, tidak perlu lagi bersekolah dan bekerja!”

Usul itu berpengaruh pada teman-temannya. Satu per satu masuk. Ternyata sumur itu tidak dalam. Air juga hanya setinggi lutut. Mereka mulai merogoh-rogoh ke bawah, mencari apa yang bisa ditemukan.

Setelah beberapa jam belum menemukan apa-apa, mereka berhenti sejenak. Ada yang aneh! Tahu-tahu air sekarang sudah mencapai pinggang! Dan jarak ke mulut sumur pun bertambah jauh. Mereka juga sadar, yang mereka pijak ternyata lumpur. Dan lumpur itu perlahan terus mengisap mereka lebih dalam. Dengan panik, mereka berusaha memanjat. Namun sia-sia. Lumut dan lumpur membuat dinding sumur sangat licin. Mereka kian jauh terbenam. Semua berteriak-teriak minta tolong.

Tiba-tiba dari atas terdengar seruan, “Tenang! Aku akan menolong kalian!” Tak berapa lama, muncul seseorang dengan membawa beberapa utas tali tambang besar yang ujung satunya kelihatannya diikat di salah satu tempat di luar. Dalam setengah jam, semua anak berhasil dikeluarkan.

Seperti anak-anak itu, kita dengan sengaja menceburkan diri dalam sumur berbahaya yang bernama dosa. Tergoda oleh kenikmatannya, kita tidak memikirkan resikonya. Baru setelah tubuh dan roh kita terkotori lumpurnya, kita sadar telah terjebak. Kita berusaha “membersihkan” diri, namun sia-sia. Untuk keluar darinya pun tidak berdaya. Dan, cepat atau lambat, kita akan tenggelam dan mati dalam dosa-dosa kita.

Tak satu manusia pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari dosa. Tapi harapan bukannya tidak ada. Pertolongan satu-satunya datang dari “atas”, dari Allah sendiri. Anak Allah turun ke dunia menjadi manusia Yesus Kristus untuk mengangkat manusia dari jebakan maut dosa. Dan Yesus bukan hanya mengangkat, melainkan juga membersihkan hati kita dengan melumuri dosa kita pada diri-Nya sendiri. Di atas salib, Ia mencurahkan darah-Nya untuk membersihkan hati nurani kita dan menanggung hukuman Allah yang seharusnya jatuh pada kita. Dan pada akhir zaman nanti, Ia akan datang untuk menjemput umat-Nya, dan memberikan tubuh yang baru, yang suci sama sekali dari dosa.

Apakah Anda menyadari keberdosaan Anda dan berputus-asa karena upaya Anda membersihkan diri melalui agama, ibadah, dan amal ternyata percuma? Terimalah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadimu, dan berdoalah: “Tuhan Yesus, aku orang berdosa. Ampuni aku. Aku tidak mampu membebaskan diri dari dosa-dosaku. Aku menerima-Mu sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Masuklah dan berkuasalah dalam hatiku, dan bersihkanlah terus dengan darah-Mu, agar aku suci seperti Engkau. Demi nama-Mu. Amin.”

(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-22, Mei 2010, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)

Mucikari

Aku adalah mucikari hidupku sendiri
Kugadai keperawanan imanku
Bahkan sang dara kesayangan
Rohku
Kuobral
Hanya demi sejumput kesenangan
Yang berakhir menjadi bangkai
Di onggok kerajaan gelap

Aku adalah mucikari hatiku sendiri
Menjual jatidiri sudah
Dan derap doaku
Serta nafasnya
Telah kujual
Cuma untuk kepuasan tak berarti
Berujung di dunia penuh sesal
Tanpa tercapai segala apa yang disesal

Aku adalah mucikari diriku sendiri
Tak kupungkiri
Betapa nikmat waktu integritasku dulu
Kucampakkan cuma-cuma
Untuk apa?
Untuk memberi makan nafsuku
Yang terus haus bernafsu
Hingga ia teronggok dan tak satu pun melirik
Dalam kumpulan bau busuk bergerombol

Aku adalah mucikari kemucikarianku sendiri
Karena kini kuinjak-injak
Kuludahi semua itu
Sebab itu semua sudah terburai
Di antara perbendaraan masa lalu
Dan sekarang hidup dan hati dan diriku
Sudah dibeli
Oleh pemilik baru
Yang takkan melacurkanku lagi
Yang telah membeliku mahal-mahal
Membayarku
Dengan nyawanya sendiri