Kamis, 31 Januari 2013

Filosofi Batik



Sejak UNESCO mendeklarasikan batik sebagai “warisan budaya dunia”, pamor batik dan nama Indonesia menjadi mendunia. Sekaligus, dengan begitu, posisi batik sebagai milik otentik Indonesia menjadi “aman”. Namun, “keamanan” itu tidak berlaku absolut. Pasalnya, UNESCO memberlakukan syarat: Indonesia harus menjaga kelestarian batik. Bila tidak, maka pengakuan tersebut akan dicabut. Kalau sudah demikian, sudah tidak “aman” lagi posisi kepemilikan kita. Sehingga bangsa-bangsa yang sudah cukup lama kentara “ngiler”-nya pada batik akan kembali mendapat peluang untuk mengklaim batik sebagai miliknya. Bahaya, ‘kan?

Nah, untuk itu, kita wajib hukumnya menggenggam erat-erat batik supaya tidak terlepas dari tangan. Cara yang paling efektif agar genggaman kita terhadap sesuatu tidak terlepas adalah dengan terus menjaga kewaspadaan kita terhadap genggaman kita itu. Begitulah juga yang berlaku terhadap sikap kita terhadap batik. Tapi, sebagai manusia, kita mudah sekali lengah, bukan? Lagipula, kalaupun tidak lengah, kita lekas benar menjadi bosan, betul? Lantas, apa ada cara untuk menjaga kewaspadaan kita dari ancaman kelengahan, sekaligus juga untuk melindungi kita dari serangan rasa bosan bin jenuh? Ada. Yaitu menggenggamnya bukan cuma dengan tangan, tapi juga “dengan hati yang dipenuhi cinta”.

Bukankah semakin kita mencintai seseorang atau sesuatu, semakin gampang pula kita cemburu jikalau ada yang ingin merebut orang atau apapun yang kita cintai tersebut? Kecemburuan yang sehat adalah tanda kewaspadaan dari cinta. Makin besar cinta, makin kuat pula sinyal kewaspadaan yang “dibunyikan”-nya.

Dan juga: bukankah kian besar cinta kita pada seseorang atau sesuatu, kian kreatif pula kita merencanakan dan merancang hal-hal romantis nan indah untuk mewarnai relasi antara kita dengan orang atau hal lain tersebut? Kreativitas ber-romansa adalah mekanisme yang ditelurkan oleh cinta agar kita tidak menjadi bosan. Jadi, dengan bertambah besarnya cinta bertumbuh, bertambah banyak pula ragam mekanisme yang dilahirkannya.

Kalau kita sudah dengan sepenuh hati mencintai batik, kita takkan mungkin kehabisan cara untuk melestarikannya. Yang ada juga kita kehabisan selera untuk mencari-cari alasan. Dan itu sudah amat sangat terbukti.

1. Segan berbatik karena batik itu kuno, konservatif, tidak trendy, tidak “gaul”? Omong-kosong! Para desainer yang 100% tulus mencintai batik sudah banyak sekali membuat motif-motif yang bukan hanya trendy, tapi malah justru menjadi trendsetter.

2. Malas berbatik dengan alasan kenyamanan, karena gerah, begitu? Anda ke mana saja? Berkat para inovator yang cintanya amat besar, kini batik sudah banyak yang terbuat dari bahan-bahan yang nyaman dan adem di badan, seperti kain katun, satin, sutera, bahkan korduroi dan denim.

3. Enggan berbatik karena berpikir bahwa batik itu mahal, hanya untuk kalangan atas, dan cuma pantas dipakai untuk acara-acara tertentu yang resmi alias tidak fleksibel secara sikon? Wah, saya kuatir Anda sepertinya hidup dalam “menara gading”, nih! Sekarang ini, karena variasi yang sudah begitu beragam bukan hanya dari segi bahan saja melainkan juga dari segi zat pewarna dan sebagainya, harga batik pun tidak lagi melulu mahal tapi juga sudah banyak yang terjangkau namun tetap berkualitas tinggi; dan, oleh sebab motifnya sudah macam-macam pula, maka batik pun bukan lagi menjadi dominasi kaum lanjut usia, pejabat, kalangan bangsawan, dan pelbagai kalangan atas sejenisnya saja, tapi sudah menjadi milik semua kalangan: ya remaja, anak “nongkrong”, karyawan biasa, pedagang, petani, dan sebagainya; juga, karena sekolah-sekolah dan instansi-instansi pemerintah serta swasta kini ramai-ramai sudah berkomitmen untuk menggalakkan gerakan cinta batik, dan juga karena, syukurnya, banyak perancang sudah mendesain batik untuk segala sikon, maka berbatik bukan semata untuk menghadiri resepsi atau acara formal nan kaku, namun juga sudah menjadi seragam, pakaian kasual, bahkan juga menjadi pakaian renang dan kostum pantai, lho!

4. Yang terakhir: tidak mau berbatik lantaran susah didapat? Nah, ini sudah tidak bisa diterima sama sekali! Sudah benar-benar tidak masuk akal, mengada-ada! Toko batik dan butik batik sudah “berjibun” di mana-mana, Bu, Pak! Bukan hanya toko dan butik khusus batik saja, toko-toko baju dan butik-butik umum mana di muka bumi Indonesia ini yang tidak menjual pakaian bermotif batik? Tidak cuma itu: (sama sekali tanpa bermaksud merendahkan siapapun) coba saja cari penjual baju di emperan yang tidak menjual baju batik satu pun! Apalagi, kini, di zaman di mana teknologi informasi dan internet sudah nyaris menjadi “kebutuhan primer”, sudah ada penjual batik online, contohnya situs www.berbatik.com. Pesan barang bisa dari rumah atau dari manapun, bayarnya pun bisa dari rumah atau dari manapun, terima barang juga bisa di rumah atau di manapun, terserah Anda. Masih mau beralasan tidak punya waktu untuk berbelanja?

Jadi, kita lihat, alasan untuk tidak berbatik saja sudah semakin langka. Apalagi kalau kita cinta pada batik. Sudah tidak terpikir lagi kita untuk mencari-cari alasan agar tidak berbatik. Yang terjadi justru kita mungkin malah mencari-cari alasan agar bisa pakai batik terus di manapun!

Pertanyaan yang bagus adalah: “Bagaimana agar cinta terhadap batik bisa tertanam dan bertumbuh subur dalam hati kita?”

Saya akan segera jawab: “Peribahasa mengatakan: ‘Tak kenal maka tak sayang’, maka dari itu, kita harus mengenal dan memahami batik secara komprehensif; dan karena tidak mungkin komprehensi kita akan sesuatu hal bisa utuh kalau kita tidak mengenal dan memahami substansi ataupun filosofi dari hal tersebut, maka demikian pula dengan batik. Kita harus tahu apa filosofi yang terkandung di dalam batik. Jika tidak, pemahaman kita akan dangkal. Dan kalau pemahaman kita dangkal, cinta kita pun dijamin tidak akan mendalam.”

Maka, di sini, saya akan memfokuskan pada filosofi batik. Saya menyadari, yang akan saya utarakan di bawah ini masih jauh dari sempurna dan paripurna. Tapi lebih baik sedikit daripada tidak ada sama sekali, bukan? Dan saya pun berharap, Anda semua sudi mengembangkan lagi gagasan saya mengenai filosofi batik berikut ini.

Dan sampailah kita pada topik utama tulisan saya ini.

Filosofi Batik? Apa Itu?

Saya percaya ada banyak filosofi yang bisa digali dari batik. Saya hanya mendapatkan beberapa saja. Untuk memudahkan, saya melakukan klasifikasi. Filosofi-filosofi yang saya peroleh itu saya masukkan ke dalam 2 (dua) golongan. Pertama, filosofi-filosofi yang terkandung dalam cara pembuatan batik; kedua, filosofi-filosofi yang terkandung dalam corak dan motif batik itu sendiri.

A. Filosofi-filosofi dari Cara Pembuatan Batik

Kendati memiliki beberapa perbedaan dalam hal teknis seperti pencantuman corak pada bahan, namun secara garis besar, baik batik tulis maupun batik cetak mempunyai pakem tahap-tahap prosedural yang sama dalam proses produksi, sebab yang namanya “pakem” jelas tidak boleh diganggu-gugat. Ada 3 (tiga) garis besar tahapan: pertama, penulisan atau pencetakan corak pada kain/bahan yang (pasti dan harus) berwarna putih; kedua, pencelupan bahan/kain yang sudah ditulisi atau dicetaki corak itu ke dalam cairan pewarna; dan terakhir, proses pelepasan malam dari bahan/kain, yang sampai sekarang hampir semuanya dikerjakan dengan cara merebus kain/bahan yang sudah bercorak dan berwarna batik tersebut di dalam air mendidih. Nah, masing-masing tahapan ini memiliki filosofi.

Tapi sebelum kita lanjut, kita harus tahu dulu bahwa pakem cara pembuatan batik ini pun mempunyai makna atau filosofi, yaitu sebagai alegori (perlambangan) yang menggambarkan bagaimana Tuhan mengatur kehidupan kita, manusia, dari semenjak kita dilahirkan hingga seterusnya. Sebagaimana bahan/kain yang hanya akan bisa menjadi batik yang begitu indah karena dan hanya karena ia berdiam diri total di tangan pembuatnya belaka, begitu juga kita: hanya akan menjadi manusia yang indah lahir dan batin jika dan hanya jika kita total menyerahkan diri secara sukarela dan sukacita ke dalam tangan Pencipta kita saja.

1. Filosofi dari pencantuman corak pada bahan

Tuhan adalah Sang Penulis batik tulis bercanting atau Sang Desainer batik cetak. Dan kitalah bahan atau kainnya. Sama seperti pencantuman corak adalah proses yang dilakukan paling pertama, penentuan keberadaan kita masing-masing per individu pun adalah hal pertama yang dilakukan Tuhan sebelum membentuk kita dalam rahim ibu kita. Kapan kita mulai terbentuk sebagai hasil dari pembuahan sel sperma ayah kita terhadap sel telur ibu kita, dari ayah dan ibu mana kita dibentuk, kapan dan bagaimana kita keluar dari rahim ibu kita, siapa jodoh kita, di mana tempat kita dan apa porsi untuk kita di dunia ini sehingga kita bisa berkontribusi secara optimal dan maksimal bagi Tuhan, sesama, dan dunia, serta kapan dan dengan cara apa kita harus dijemput pulang oleh-Nya dan kepada-Nya, semua sudah “ditulis/dicetak” jauh sebelum kita ada, bahkan sebelum dunia dijadikan.

2. Filosofi dari pencelupan bahan ke dalam cairan pewarna

Tepat pada saat sebelum Tuhan menyatukan sel sperma ayah mana yang akan menjadi diri kita dengan sel telur ibu mana yang ditentukan untuk membentuk diri kita, Tuhan “mencelupkan” kita ke dalam “bahan pewarna”, yaitu lingkungan kita. Nah, tahapan ini agak berbeda dengan tahapan sebelumnya. Pada tahap pertama tadi, kita sama sekali tidak punya kuasa dan kesempatan untuk memilih. Sementara pada tahap “pencelupan” ini, ada bagian di mana kita masih tetap sama sekali tidak punya kemampuan dan kesempatan untuk memilih, dan ada bagian di mana kita punya. Kita tidak mungkin dapat memilih lingkungan keluarga tempat kita dilahirkan dan juga kebangsaan kita, serta, kemungkinan besar juga, (sebagaimana terjadi pada sebagian besar dari kita) sekolah pertama kita. Tapi kita sangat bisa memilih sekolah kita selanjutnya, tempat kita kuliah, tempat kita bekerja, tempat tinggal kita setelah cukup dewasa, lingkungan pergaulan kita, dan lingkungan-lingkungan lainnya. Namun, kita harus tahu, dalam tahap ini, Tuhan tetap memegang wewenang dan kuasa sepenuhnya. Tidak ada kontradiksi antara “penentuan Tuhan sepenuhnya” dengan “kemampuan kita untuk memilih”. Jadi, jangan pernah (lagi) kita mencoba mendikotomikan keduanya. Saya tidak akan membahas hal ini lebih lanjut walaupun sebenarnya saya ingin sekali. Kalau Anda ingin mengerti hal ini, barangkali di lain kesempatan pada tulisan yang lain, jika diizinkan Tuhan, saya akan membicarakannya panjang-lebar. Kalaupun Tuhan tidak mengizinkan, sementara Anda tetap ingin segera mengerti, saya sarankan Anda berdoa meminta hikmat dari Tuhan dan pelajari benar-benar Kitab Suci dengan pikiran yang bersih dari mindset apapun, karena justru sebetulnya Firman (Kitab Suci)-Nya itulah yang seharusnya membentuk mindset kita.

3. Filosofi dari perebusan batik untuk melepaskan malam

Segala sesuatu di dunia manapun mengalami dinamika. Selalu harus ada kemajuan dan perkembangan dalam dunia, dunia apapun itu. Tiadakan kemajuan, hapuslah perkembangan, maka tidak lagi ada yang namanya “dunia”. Bukan hanya manusia, hewan dan tumbuhan serta bahkan malaikat dan roh-roh jahat pun mengalami dinamika, karena memang dinamikalah ciri mutlak “dunia”, baik dunia fisik maupun dunia metafisik. Bahkan benda-benda tidak hidup sekalipun mengalami dinamika, semata-mata karena mereka menjadi bagian dari dunia. Bahkan (ini mungkin saja akan mengagetkan Anda, dan mungkin saja Anda tidak setuju), Tuhan sendiri pun mengalami dinamika, meskipun pengertian “dinamika” untuk Tuhan yang tidak merupakan bagian dari dunia, yang justru menciptakan dunia fisik maupun dunia roh (metafisik), mahakekal, tidak berubah, serta tidak memiliki awal dan tidak mempunyai akhir itu betul-betul berbeda dengan “dinamika” untuk dunia dan makhluk ciptaan-Nya. Yang mesti juga kita ketahui, dinamika itu bisa positif, bisa pula negatif. Kita biasa menyebut dinamika yang positif itu sebagai “kemajuan”, “perkembangan”, atau istilah-istilah lain yang berkerabat dengan itu. Sementara dinamika yang negatif itu kita kenal sebagai “kemunduran”, “kemerosotan”, atau istilah-istilah lain yang pengertiannya serupa dengan itu. Amat mungkin kita tidak memasukkan “kemunduran” atau “kemerosotan” sebagai dinamika. Padahal sejatinya ya, itu juga dinamika. Yang bukan merupakan dinamika adalah stagnasi absolut. Dan itu hanya terjadi di neraka, karena neraka bukanlah sebuah dunia, dan tidak dapat disebut sebagai “dunia”.

Kita memang tidak bisa memilih untuk tidak mengalami dinamika (tentu saja, lain ceritanya kalau kita memilih untuk masuk neraka kelak), tapi kita sangat sanggup untuk memilih dinamika yang mana yang kita alami, yang positifkah, ataukah yang negatif. Kemajuan dan perkembangankah, ataukah kemunduran dan kemerosotan. Kalau kita ingin mengalami dinamika yang positif, maka kita harus menanggalkan 2 (dua) hal yang merintangi langkah dinamika kita ke arah positif dan menyebabkan kita terperosok ke kutub sebaliknya. Dua hal itu adalah dosa dan beban yang tidak berguna. Saya anggap kita semua mengerti apa itu dosa. Tapi sekarang, apa itu “beban yang tidak berguna”? Itu adalah masa lalu (baik itu masa lalu yang indah maupun yang buruk), jiwa kekanak-kanakkan, rasa bersalah, minder, dan malu yang terus mengobsesi, serta segala macam ketakutan yang tidak sehat, kecemasan, dan depresi.

Dosa dan beban yang tidak perlu itulah “lapisan malam” atau “lapisan lilin” kita. Kita wajib hukumnya melepaskan “malam” atau “lilin” kita itu agar dapat menjadi “batik”. Namun, kita juga harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, karena dari sudut pandang lain, Tuhan-lah yang sepenuhnya berkuasa melepaskan kita dari dosa dan beban yang tidak berguna tersebut. Tapi sekali lagi, jangan kita mendikotomikan dan menganggap kontradiksi kedua kenyataan yang sejatinya berjalan beriringan itu, sebagaimana sudah saya ingatkan di atas.

B. Filosofi-filosofi dari Corak/Motif Batik Itu Sendiri

Kalau makna filosofis global dari proses pembuatan batik adalah soal kedaulatan Tuhan atas hidup dan jalan kehidupan kita, maka dari yang kedua ini, dari corak atau motif batik, makna filosofis yang kita dapat adalah soal kewajiban dan tanggung jawab kita, yaitu tentang apa yang semestinya kita lakukan dalam mengisi hidup ini, sebagai umat manusia pada umumnya, dan sebagai manusia Indonesia pada khususnya.

Saat kita melihat sesuatu, kita berkata, “Ini batik.” Dan ketika kita melihat yang lain, kita berkata, “Itu bukan batik. Itu (misalnya) lurik.” Pertanyaannya, dari mana kita bisa menentukan itu batik atau bukan? Dari coraknya, motifnya. Itu saja semata-mata. Bukan dari faktor lain. Bukan dari model potongannya, bukan dari utilitasnya, bukan dari warna atau permainan nuansa warnanya, bahkan bukan pula dari apakah itu pakaian atau bukan. Sebab, batik tidak mesti hanya ada di pakaian saja (apalagi dieksklusifkan cuma untuk pakaian atas atau pakaian luar saja), akan tetapi bisa pula terdapat pada sepatu, tas, lukisan kanvas, ikat pinggang, vas bunga, kertas penutup dinding, apapun. Muncul pertanyaan berikutnya: bagaimana kita menentukan suatu corak/motif itu adalah batik atau bukan? Nah, barangkali saja banyak di antara kita yang amat sulit menjawabnya. Itu juga dulu yang menjadi pertanyaan besar saya. Dan saat saya mencari tahu dari berbagai sumber, saya malah jadi semakin bingung. Karena, ibaratnya, dari sepuluh sumber yang saya dengar atau baca, ada sebelas keterangan berbeda yang saya terima. Jadi, yang mana yang benar-benar benar? Ternyata, saya dapati, semuanya benar! Semuanya tergantung dari perspektif masing-masing. Karena itu, saya putuskan untuk mengerahkan segenap energi pikiran saya yang bodoh ini untuk mensintesa jawaban versi saya sendiri, berdasarkan sudut pandang saya sendiri. Maka, saya mohon dimaafkan kalau ternyata penjelasan saya tentang corak/motif unik dari batik ini berbeda dengan sudut pandang Anda, terutama jika Anda adalah pakar atau pengamat batik.

Ini konklusi saya: suatu corak dapat dinamakan “batik” jika corak itu mempunyai keempat unsur ini:
1. garis lurus yang berlanjut menjadi garis melingkar seperti spiral labirin,
2. percabangan,
3. repetisi (pengulangan), dan
4. keterpolaan (keteraturan).
Keempat unsur tersebut mutlak harus ada dalam corak yang bersangkutan. Ketiadaan salah satu saja berimplikasi ketidaklayakan disebut sebagai “batik”. Saya akan merinci unsur-unsur itu lebih jauh bersamaan dengan pemaparan akan filosofi dari masing-masingnya di bawah ini.

1. Filosofi dari garis lurus yang berlanjut menjadi garis melingkar seperti spiral labirin


Pada setiap corak batik dari semua variasi ragam berdasarkan kedaerahan di seluruh Indonesia, ornamen garis lurus yang berlanjut menjadi melingkar seperti spiral labirin pasti ada, meski ornamen tersebut tidak harus mendominasi keseluruhan corak. Tapi, biarpun sedikit, ornamen ini harus ada. Inilah ciri unik mutlak pertama dari batik. Rasio panjang garis lurus : garis melingkar spiral labirin sangat bervariasi antara corak satu dengan yang lain; demikian pula dengan garis melingkar, tidak mesti harus sampai membentuk labirin yang jauh ke dalam, tapi sekalipun begitu, tetap ada bagian melingkarnya.

Ornamen garis lurus berlanjut melingkar ini melambangkan fleksibilitas/kelenturan. Kelenturan adalah bentuk implementasi utama dari adaptasi. Tak mungkin kita beradaptasi tanpa mempunyai sikap yang fleksibel terhadap perubahan maupun perbedaan. Dan mustahil kemajuan dan perkembangan bisa terwujud tanpa adanya daya adaptasi. Semakin besar daya adaptasi yang kita punya, akan semakin cepat pula kita menikmati kemajuan dan perkembangan. Dan ada satu hal yang patut kita perhatikan: sesuai dengan penggambarannya pada ornamen garis lurus yang berlanjut menjadi melingkar pada corak batik, adaptasi yang benar pasti tidak akan menghilangkan jatidiri otentik, sebagaimana terlihat dari persambungan yang tidak putus dari garis lurus ke garis yang melingkar.

Sebagai pemilik dan “orangtua kandung” yang sah dari batik, kita, bangsa Indonesia, harus konsekuen. Kita dikaruniai ilham akan suatu nilai luhur, yaitu suatu kemaslahatan bagi seluruh umat dalam bangsa ini yang berdasarkan kemakmuran, yang hanya dapat dicapai dengan cara mengejar kemajuan dan perkembangan: kemajuan dan perkembangan yang cuma bisa terwujud dengan memiliki daya adaptasi ampuh, daya adaptasi yang benar, yang bukannya memudarkan apalagi menghilangkan jatidiri ke-Indonesia-an kita tapi sebaliknya, justru harusnya memperkokoh dan mempernyata identitas itu. Kemudian, nilai itu, sadar maupun tidak, kita resapkan jauh ke dalam sanubari dan alam bawah sadar kita karena saking inginnya kita mencapainya. Akibatnya, dalam berkreasipun, bangsa kita mengejawantahkan nilai luhur tersebut. Dan yang pengejawantahan yang terbesar adalah dalam batik. Tapi, setelah itu, apa? Berhenti hanya sampai melukiskannya dalam batik? Tidak boleh begitu! Batik harusnya menjadi pelecut kita untuk kian mencintai dan menjaga jatidiri kita sebagai bangsa. Batik seyogyanya menjadi pengingat kita akan pentingnya fleksibilitas dalam hidup, untuk lentur terhadap perbedaan di sekitar kita dan perubahan yang terjadi pada zaman kita.

Tapi, apa realitanya sekarang? Kita harusnya malu sebagai bangsa pemilik dan yang melahirkan batik! Terhadap orang yang berbeda agama, suku, ras, budaya, pandangan politik, dan sebagainya, kita keji. Terhadap perubahan zaman, kita tergagap-gagap, kita histeris, kita melemparkan diri ke salah satu di antara dua ekstrem yang keliru: kalau tidak menolak mentah-mentah perubahan tanpa mempelajarinya sama sekali, ya menelannya bulat-bulat dengan cara yang sama: tanpa mencernanya dulu sama sekali. Jadinya? Ya begini! Bangsa kita terancam terdisintegrasi, sudah lupa dan hampir tidak mengenali lagi jatidiri sendiri, mengalami kemerosotan di segala bidang, yaitu fisik, mental, moral, sosial, dan spiritual!

2. Filosofi dari percabangan

Kemudian, pada gambar-gambar dan ornamen-ornamen batik, saya dapati juga percabangan. Percabangan ini bukan hanya terdapat pada garis lurus yang berlanjut menjadi lengkungan spiral saja, tapi juga terdapat pada bentuk-bentuk dan gambar-gambar ornamen lainnya.

Ini menyimbolkan harapan yang tak pernah putus, asa yang tiada berakhir, karena selalu ada jalan bagi segala sesuatu. Hidup yang tidak mengenal “putus asa” dan “menyerah” dalam kamusnya. Sebab, kalau kita bersedia meluangkan cukup waktu untuk menganalisa hidup ini, kita akan mendapati bahwa mustahil ada masalah yang tidak bersolusi, tidak mungkin ada teka-teki tanpa pemecahan, tidak masuk akal bila ada perangkap yang tidak ada jalan keluarnya. Dalam segala hal! Tuhan selalu bersedia membuka jalan bagi orang-orang yang mengasihi Dia dan meminta pertolongan dari-Nya. Tiada sesuatupun yang mustahil bagi Tuhan. Soal menyediakan jalan keluar adalah hal yang luar biasa sepele untuk-Nya. Hanya saja, kita pun punya tanggung jawab penuh untuk “mencari” dan “menggali” jalan itu. Tuhan akan menyediakan jalan hanya kalau kita mencari dan menggalinya. Saat kita mencari dan menggali jalan keluar, tepat pada saat yang sama, Tuhan menyediakannya. Tidak pernah lebih cepat, tidak pernah lebih lambat. Barang se-nano-detikpun!

Melihat kondisi bangsa kita sekarang ini, godaan untuk berpesimis sangatlah besar bagi kita. Terasa bukan main berat bagi kita untuk mengembangkan mental yang optimis, bukan? Bukankah hidup ini seperti mempermainkan kita dengan kejamnya? Terlihat jelas betapa kejahatan semakin merajalela, ‘kan? Ketidakadilan makin jenuh memenuhi udara kita, kesulitan demi kesulitan kian hari kian mengencangkan lilitannya pada kita, betul? “Menyerah” dan “putus asa” begitu ringan untuk menjadi kata terakhir keputusan kita, iya ‘kan? Tapi, lihat! Di dekat “belokan garis yang tepat hendak menjadi lengkungan" itu, ada “garis cabang” yang kecil! Nyaris tak kentara! Tapi tetap saja: itu alternatif! Jalan keluar! Solusi! Tidak nampak oleh mata jasmani dan mata pikiran kita, barangkali, tapi coba gunakan mata iman, mata pengharapan kita.... Ya, meski sangat samar, tak diragukan lagi: itulah jalan yang harus kita tempuh! Itulah jalan menuju hari-hari kita selanjutnya! Itulah jalan di mana di atasnya kita bisa membangun lagi cita-cita kita yang mulia, walaupun harus mulai dari 0 (nol) lagi, bahkan mungkin dari minus! Di situlah kita punya kemungkinan-kemungkinan baru! Di situlah Indonesia dapat membangun lagi, dan terus membangun, dan terus... hingga menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan makmur!

3. Filosofi dari repetisi (pengulangan)

Pada batik, tidak ada gambar yang hanya satu, tunggal. Tidak pernah begitu! Gambarlah corak di posisi mana saja (gambar apa saja: wayang, orang, bunga, binatang, apa saja!) pada sebuah media (kain, tas, atau media apapun), dan jadikan itu gambar satu-satunya pada media itu. Maka, gugurlah corak yang Anda bikin itu dari kategori “batik”. Corak itu sudah tidak lagi menjadi batik! Karena, dalam batik, satu gambar atau ornamen selalu berulang, bukan 2 (dua), bukan 3 (tiga), tapi bisa belasan bahkan puluhan! Malah, ada rancangan yang membuat pola berulang itu tidak hanya terdiri atas satu baris jajar saja, tapi bisa 2 (dua) jajar bahkan lebih! Dan, yang lebih menarik serta yang menjadi ciri otentik dari batik, pengulangan itu berjarak berdekatan. Gambar A hanya berjarak tidak lebih dari 2 cm dari kembarannya, dan pada jarak yang sama dari kembaran itu, ada kembaran yang ketiga, demikian seterusnya.

Pengulangan! Itulah pola yang didengungkan dan dipaparkan “berulang-ulang” oleh batik pada kita untuk mengingatkan: segala sesuatu yang dilakukan berulang-ulang, dilatih terus-menerus, akan menghasilkan kesempurnaan demi kesempurnaan, kemuliaan demi kemuliaan. Tidak ada yang instan dalam kesuksesan! Bisa saja seseorang, karena saking berbakatnya, melakukan sesuatu hal dengan amat sangat baik hanya dengan satu kali coba. Tapi yang pasti, kalau ia tidak terus melatihnya, tidak terus melakukan repetisi, ia dan hasil yang diproduksinya pasti akan mengalami kemerosotan, cepat atau lambat! Ingat wacana “dinamika” di atas?

Hidup ini tidak menjodohkan “dinamika positif” dengan “kemalasan”. Ia menjodohkan “kemalasan” dengan “dinamika negatif”. Pengulangan adalah manifestasi dari ketekunan (perseverasi) dan tekad (determinasi). Dalam menghadapi hidup yang berat setengah mati ini, agar bisa mengalami perkembangan dan kemajuan, kita harus tekun dan bertekad kuat. “Perseverasi dan dedikasi”-lah jodoh “dinamika positif”... dan mereka tidak mengenal poligami! Jadi, kalau kita malas (ingat! “Malas” sama sekali tidak sama/identik dengan “santai”! Kita bisa saja “serius” dalam kemalasan, tapi kita juga bisa “santai” dalam keringan-tanganan!), jangan heran kalau kemorosotan dan keterpurukanlah yang terjadi pada kita. Dalam segala hal! Ini bukan cuma soal studi dan pekerjaan, tapi juga dalam hal keimanan dan kerohanian, dalam hal cinta dan asmara, dalam hal relasi (dengan Tuhan, dengan pasangan hidup, dengan anggota keluarga lain, dengan anggota masyarakat lain, dengan makhluk lain, dengan lingkungan, dan sebagainya), dan dalam hal-hal lainnya. Tidak ada yang tidak lolos dari kebutuhan akan usaha dan perjuangan. Jika kita mencintai seseorang, kalau kita tidak terus-menerus melatih cinta kita dengan penuh pengorbanan, maka niscaya cinta itu akan memudar dan menghilang. Kalau kita tidak terus-menerus mengulang perbuatan iman kita, maka iman kita kepada Tuhan pasti lama-lama akan menciut dan mati. Pengulangan menghasilkan kebiasaan, dan kebiasaan melahirkan karakter. Biasakanlah berbuat jahat, maka karakter kita akan jahat. Usahakanlah terus untuk berbuat benar dan baik, maka karakter kita akan mulia! Nah, kalau kita melihat kenyataan bangsa kita akhir-akhir ini, kira-kira, sudahkah kita memiliki karakter yang mulia?

4. Filosofi dari keterpolaan (keteraturan)

Semua ornamen dan gambar dalam batik (dengan percabangan-percabangannya), baik itu garis lurus yang berlanjut menjadi lengkungan spiral maupun gambar lain, tidak pernah tersusun secara acak-acakan. Tidak pernah ada terjadi di mana gambar yang satu miring ke kiri sementara kembarannya miring ke kanan. Semuanya serba tertata dan teratur. Sekarang begini: gambarlah garis lurus yang berlanjut menjadi labirin, dan gambarlah kembarannya sampai memenuhi seluruh media, tapi letakkan semuanya itu secara acak tanpa pola yang jelas. Maka orang-orang yang melihat akan mengomentari: “Itu batik apaan?!”

Demikianlah juga dengan hidup kita. Lakukanlah perbuatan benar, beribadahlah, dan perbuatlah semua itu dengan jiwa yang fleksibel dan adaptatif terhadap perbedaan dan perubahan orang lain dan lingkungan, teruslah lakukan itu semua dengan ketekunan dan tekad yang diliputi semangat pantang menyerah, tapi perbuatlah itu tanpa juntrungan yang jelas. Maka, lama-kelamaan kita pasti akan kehilangan fleksibilitas dan jiwa adaptatif, segera merasa jemu dan bosan akibat ausnya tekad dan ketekunan kita, serta sangat tergoda untuk menuliskan kata “menyerah” di “papan penunjuk jalan” kita. Dan, ada kemungkinan orang akan menganggap kita gila... dan bukannya tidak mungkin kita sendiri juga lama-lama bakal gila benaran! Karena, untuk merekatkan semua itu pada diri kita, kita memerlukan sistematika. Kita butuh metoda. Harus ada perencanaan dan manajemen yang cermat. Singkatnya, kita perlu kedisiplinan. Kedisiplinanlah yang me-maintain jiwa kita biar tetap fleksibel dan adaptif, tetap semangat, serta juga tetap memiliki ketekunan dan tekad.

Sedihnya, kedisiplinan sepertinya menjadi barang langka bagi bangsa kita....

Renungan Penutup

Barangkali ada yang menilai saya berkhotbah atau menggurui. Tidak apa-apa. Saya memang sedang mengkhotbahi dan menggurui diri saya sendiri. Karena saya memang amat memerlukannya. Saya menyadari, bukan tanpa maksud Tuhan menganugerahi bangsa kita ini dengan batik. Itu karena Tuhan sangat sayang pada Indonesia. Betapa tidak? Baru-baru ini, saya baru ngeh, ratusan tahun yang lalu, Tuhan mengilhamkan kemampuan menciptakan batik hanya pada beberapa suku bangsa yang tinggal pada wilayah tertentu saja. Suku-suku bangsa tersebut kelak bersatu menjadi sebuah bangsa besar yang disebut bangsa Indonesia, yang tinggal di wilayah yang kelak bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada suku bangsa lain di luar suku-suku tersebut di dunia ini yang memiliki inisiatif ataupun terpikir untuk menciptakan batik. Itu adalah sebuah mujizat!

Saya juga menyadari, maksud Tuhan mengaruniakan kemampuan tersebut adalah semata-mata supaya bangsa itu selalu mengingat Tuhan, dan untuk membuktikan rasa cinta dan ibadah kepada-Nya dengan cara hidup bertanggung jawab, sebagaimana yang difilsafatkan oleh teknik pembuatan dan corak batik.

Dan saya malu. Saya adalah elemen dari bangsa tersebut. Dan saya masih jauh dari ibadah yang benar kepada-Nya, sebab masih saja saya kurang mampu beradaptasi serta menerima perbedaan dan perubahan, cepat kehilangan fokus, masih tidak berdisiplin, malas, serta tidak memiliki tekad dan ketekunan yang memadai.

Tapi selama hidup masih dikandung badan, saya tidak akan berhenti berusaha untuk menumbuhkan cinta dan bakti saya kepada Tuhan dengan cara tidak berhenti berusaha mewujudkannya dalam bentuk menjalani hidup yang bertanggungjawab. Dan saya mau memulai semuanya itu dengan belajar dari batik dan belajar mencintainya juga. Saya tidak akan menyerah barang sesaatpun...!