Rabu, 15 Oktober 2014

PLN: Pemasok “Udara dan Air” bagi Teknologi Indonesia

Makhluk hidup, termasuk kita, manusia, memerlukan unsur-unsur esensial, yang mutlak mesti ada, untuk mempertahankan dan menjamin eksistensinya, hidupnya, serta kontinuitas pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur esensial tersebut adalah udara dan air. Nah, teknologi pun mirip makhluk hidup, butuh unsur esensial agar bisa tetap berlangsung, terus berkembang, dan semakin maju. Dan yang menjadi "udara dan air" untuk teknologi adalah listrik.

Sementara itu, teknologi itu sendiri adalah unsur esensial bagi peradaban manusia. Teknologilah satu-satunya indikator kondisi peradaban suatu komunitas populasi. Jika kemajuan teknologi di suatu bangsa mencapai taraf yang luar biasa, maka sangat tinggi peradaban bangsa tersebut, demikian pula berlaku sebaliknya. Dan, kian pesat akselerasi dari kemajuan teknologi tersebut, kian cepat pula peningkatan mutu peradaban masyarakatnya, dan begitu juga sebaliknya.

Memang, suplai yang memadai dari air dan juga oksigen di udara tidaklah serta-merta menjamin bahwa manusia akan lancar-lancar saja kehidupannya, khususnya proses tumbuh-kembangnya. Banyak faktor yang mampu menghambat dan merintangi pertumbuhan dan perkembangan diri kita, sekalipun di sekitar kita udara dan air sangat berlimpah. Akan tetapi, mustahil diri kita bisa bertumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal apabila kita mengalami kekurangan air dan oksigen, terlebih lagi kalau sampai tidak mendapatkannya. Sama halnya dengan teknologi dan listrik. Tidak selalu daerah yang pasokan listriknya cukup, atau bahkan berlebih, pasti maju teknologinya. Namun, kalau daerah yang seperti itu saja belum tentu maju, apalagi yang kesulitan listrik atau aliran pasokan listriknya sering berkendala! Tentulah teknologi masyarakat yang tinggal di daerah bersangkutan tidak maju-maju.

Kasus tersebut kita alami di Indonesia. Banyak hal yang membuat kita tak kunjung juga menjadi negara dan bangsa yang maju. Salah satu penghambat terbesarnya, ya itu, teknologi kita yang tertinggal cukup jauh dari bangsa-bangsa maju. Dan hampir mustahil mengharapkan teknologi kita bisa maju, apalagi dengan kecepatan dan akselerasi perkembangan yang tinggi, apabila suplai listrik di negeri ini masih tersendat-sendat, tidak pasti kelancarannya, lantaran masih sangat sering byar-pet, malah di beberapa daerah listriknya tidak 24 jam menyalanya! Bahkan, beberapa daerah lain justru belum terjangkau listrik sama sekali!

Memang, Perusahaan Listrik Negara (PLN) sendiri, pemasok tunggal listrik di tanah air, masih mengalami banyak kendala teknis dan non-teknis terkait optimalisasi penyuplaian listrik di seluruh wilayah Indonesia hingga ke pelosok dan pedalaman. Tapi, di pihak lain, adalah hak yang tidak dapat ditawar dan dijamin konstitusi dari seluruh warganegara untuk mendapat pelayanan listrik secara baik dan memuaskan dari negara. Tuntutan rakyat untuk bisa menikmati listrik tanpa terputus dengan harga murah itu wajar. Terlebih karena rakyat merasakan juga ketidakadilan: cepat terkena sanksi denda, dan bahkan sampai penalti berupa pemutusan aliran, bilamana terlambat membayar tagihan listrik (bagi para pelanggan yang masih menggunakan sistem pembayaran listrik model lama, yakni dengan membayar tagihan saban bulan). Mana tarif listrik naik terus tiap tahun. Tapi, manakala listrik sering mati, tidak satupun kompensasi yang diterima. Pada saat bersamaan, sudah semaksimal bagaimanapun upaya yang dilakukan PLN, listrik yang disediakannya, berikut pelayanan terhadap konsumennya, masih tetap jauh dari memadai. Sehingga, kesannya, PLN tidak menjalankan kewajibannya terhadap rakyat dengan baik. Sebab, PLN pun serba terbatas sumber dayanya. Tidak bisa sendirian melakukan semuanya. Dukungan dari berbagai pihak, terutama sekali pemerintah, betul-betul dibutuhkan PLN.

Sementara menunggu bantuan, juga kesadaran dan niat baik pemerintah untuk memajukan listrik di negeri ini, apakah tidak ada lagi yang dapat dilakukan PLN untuk menunaikan kewajibannya agar, setidaknya, "penderitaan" rakyat bisa sedikit berkurang? Tentu, seharusnya masih ada.

Nah, melalui tulisan di blog ini, izinkan saya memberi sedikit sumbang pemikiran solutif bagi problematika tersebut.

Pertama, PLN secara proaktif menyediakan dan memasangkan pesawat Uninterrupted Power Supply (UPS) untuk semua pelanggan. UPS tersebut statusnya harus tetap merupakan properti PLN, milik PLN, sebagaimana halnya transformator (trafo) meteran, jadi harus dipasang secara paten dan kemudian disegel pula, tidak boleh dibuka (apalagi sampai dilepaskan) oleh siapapun selain petugas PLN yang beridentitas jelas dan membawa surat tugas resmi. Apabila penyediaan alat UPS itu tidak bisa sekaligus untuk seluruh pelanggan, paling sedikit, diterapkan skala prioritas: jadi, para pelanggan yang paling sering mengalami mati listrik, apalagi dalam waktu lama, adalah yang menjadi prioritas paling utama, dan daerah yang rakyatnya paling parah mengalami hal semacam itu harus didahulukan sebagai sasaran pendistribusian UPS. Tapi, tetap harus diingat, sejatinya UPS tersebut diperuntukkan bagi seluruh pelanggan PLN tanpa terkecuali. Hal ini akan sangat menolong mengurangi kerugian yang diderita masyarakat akibat seringnya aliran listrik padam secara tiba-tiba. Terlebih padam dalam waktu lama. Kita tahu, hampir semua alat elektronik akan lekas rusak bila terputus secara tiba-tiba dari aliran listrik tanpa prosedur yang semestinya untuk mematikan alat. Terutama yang cukup vital bagi bisnis dan keluarga, mahal pula, seperti lemari es, komputer, dan televisi LCD/LED. Bukan itu saja. Kerugian material dalam bentuk lain pun tak sedikit dialami para pelanggan yang mengalami "musibah" seperti itu. Belum lagi kerugian moral dan emosional. Misalnya, seperti yang sedang saya lakukan, yaitu menulis blog ini. Saat saya sudah menulis panjang-panjang tapi belum sempat men-save-nya ke hard disc komputer, data yang sudah capek-capek saya ketik ini akan lenyap begitu saja bilamana listrik tahu-tahu mati! Dengan adanya UPS selaku alat penyimpan cadangan energi listrik terbatas, kita bisa punya cukup waktu setidaknya untuk mematikan alat-alat elektronik kita melalui prosedur yang semestinya, serta untuk menyimpan data yang sedang kita input. Jadi, setiap kali aliran listrik dari PLN mendadak mati, UPS itu akan mengeluarkan bunyi peringatan yang cukup keras untuk mengingatkan pelanggan agar segera mematikan alat-alat yang sedang digunakan. Dengan demikian, akan sangat besar kerugian yang bisa dicegah, bukan? Tapi, harus diingat, UPS tersebut haruslah dibagikan gratis. Kalau tidak, manfaat dari UPS tersebut bukannya terasa, tapi malah terkesan sebagai akal-akalan PLN dan pemerintah saja untuk cari duit dan cari untung lebih besar lagi!

Meskipun kerugian material dan emosional bisa banyak dikurangi dengan adanya UPS, tetap saja hak rakyat masih terlanggar dengan masih terjadinya pemadaman listrik secara sepihak, lebih-lebih kalau terjadi tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan sosialisasi masif sebelumnya. Sebab, bagaimanapun, sebagaimana sudah kita lihat di atas, hak rakyat adalah untuk mendapatkan layanan penyediaan listrik yang tanpa terputus sama sekali, aman, dan harganya terjangkau, serta untuk mendapat pelayanan-pelayanan lain dari PLN di luar soal keterjaminan aliran listrik. Maka, usul saya yang kedua adalah supaya PLN secara gencar dan intensif melakukan blusukan, turun ke semua kampung atau RW (Rukun Warga) di seluruh tanah air. Untuk apa? Dalam rangka: pertama, mencari tahu sumber daya apa yang dimiliki dan tersimpan sebagai potensi di kampung atau RW bersangkutan, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik; kedua, sesudah mendapati sumber daya yang dicari, melibatkan masyarakat untuk ikut berperan (sembari juga mendidik masyarakat agar kelak, cepat atau lambat, bisa secara swadaya) menyediakan sarana dan infrastruktur pengubah energi dari sumber daya tersebut menjadi energi listrik dengan keluaran watt yang tidak usah besar, cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat kampung atau RW tersebut saja. Umpamanya, di suatu kampung di desa tertentu, sepanjang hari angin kencang bertiup, andai saja di situ dibangun kincir-kincir angin, sangat mungkin bisa dihasilkan energi listrik yang mencukupi bagi seluruh kampung. Sementara, di tempat lain di Nusantara, ada sebuah RW di suatu kota, di mana penduduknya cukup banyak dan padat, sehingga sampah yang dihasilkan pun lumayan besar tiap harinya, dan sebenarnya sampah-sampah itu bisa diolah untuk menghasilkan energi listrik; apalagi kalau masyarakat diedukasi dan diberdayakan untuk membentuk bank sampah, lalu membuat alat pemilah dan pengolah sampah, serta kemudian juga membuat alat untuk menghasilkan energi listrik dari sampah-sampah yang telah dipilih dan diolah itu; maka, niscaya, pasokan listrik di RW itu akan terjamin lancar terus. Lagipula, merata di seluruh tanah air kita, sinar matahari bersinar sepanjang tahun, dan bilamana di seluruh kampung dan RW tersedia panel pembangkit listrik tenaga surya, betapa terhindarnya kita dari "dosa" membiarkan sumber daya melimpah terbuang mubazir! Silakan PLN dan pemerintah mengkalkulasi, mana yang membutuhkan biaya lebih besar: menjalankan metode yang saya sarankan barusan ataukah membangun pembangkit-pembangkit listrik berskala raksasa yang baru. Kalaupun metode yang saya usulkan itu lebih besar ongkosnya, namun tingkat kesulitan dan kerumitannya jauh lebih rendah sehingga dapat lebih cepat direalisasikan. Dan rakyat pun tidak usah menunggu-nunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan listrik yang terus menyala tanpa ancaman padam sewaktu-waktu, tidak perlu menderita lebih lama lagi akibat semakin banyaknya alat elektronik yang jadi korban, kian banyaknya emosi terkuras, dan makin banyaknya pekerjaan yang terbengkalai gara-gara listrik yang tidak bisa diandalkan. Anak-anak yang masih bersekolah di daerah yang (tadinya) krisis listrik pun bisa belajar pada malam hari karena sudah tersedia penerangan di rumah mereka. Tapi, keuntungan yang tak dapat dihitung namun sangat bermakna adalah bangkitnya pengetahuan masyarakat akan manfaat dan segala seluk-beluk listrik, termasuk bahayanya apabila terdapat penyalahgunaan dan penggunaan yang tidak tepat. Juga, bangkitnya rasa memiliki di hati rakyat terhadap aset negara yang vital semacam pembangkit listrik, sehingga pasti tumbuh pula rasa tanggung jawab seluruh pihak untuk menjaga dan memeliharanya.

Akan tetapi, pembangkit-pembangkit listrik penghasil daya ribuan mega-watt pun tetap diperlukan dan masih harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan industri besar. Ini memang sudah merupakan proyek reguler PLN. Nah, ide saya yang ketiga berhubungan dengan hal ini. Kalau selama ini kendala yang dihadapi pemerintah dan PLN adalah soal keterbatasan sumber daya finansial, selain mengandalkan investor, dalam negeri maupun (terutama) asing, mengapa tidak dirancang saja sistem franchise (waralaba) untuk menggalang banyak sekali pihak sebagai rekanan penyelenggara pembangkit listrik? Tinggal dibuat saja regulasinya agar menguntungkan semua pihak, baik negara (dalam hal ini, PLN) sebagai franchiser maupun pihak swasta selaku franchisee, serta merangsang supaya yang menjadi franchisee sebanyak mungkin adalah swasta dari kalangan anak negeri kita sendiri dan membatasi jumlah kalangan asing yang memegang hak waralaba itu. Kalau bisa, dan memang sudah semestinya, seratus persen yang menjadi franchisee ialah orang Indonesia. Bukan saya anti-asing dan menganjurkan semangat anti-asing. Namun, listrik adalah sesuatu yang esensial dan menyentuh hajat hidup orang banyak. Dan, sesuai konstitusi kita, UUD '45 pasal 33, cabang-cabang produksi semacam itu harusnya memang dikuasai negara, sehingga satu-satunya pihak yang layak diserahi pembagian tanggung jawab mengelolanya adalah rakyat dan warganegara Indonesia sendiri. Jadi, pembangkit-pembangkit listrik yang dibangun itu tetap memakai nama PLN, jadi listrik yang dihasilkannya pun tetap dianggap sebagai produk PLN. PLN pun bertanggung jawab atas standardisasi mutu sarana, infrastruktur, produksi, distribusi, produk, dan layanan kepada pelanggan. Juga bertanggung jawab atas penyediaan tenaga ahli dan auditor. Sedangkan tanggung jawab pihak pemegang hak waralaba (franchisee) adalah menyetorkan dana untuk membeli hak waralaba selama jangka waktu tertentu serta untuk pengadaan sarana, infrastruktur, dan peralatan, menyiapkan lahan yang akan ditempati pembangkit, serta merekrut dan menggaji tenaga pekerja lapangan. Adapun hak franchisee adalah untuk mencari klien yang hendak dipasangkan listrik dari pembangkit mereka, serta untuk menerima seluruh uang pembayaran biaya pemasangan dan uang penjualan pulsa listrik. Akan tetapi, tarif listrik di seluruh Indonesia tetap wajib dipatok, dan hanya pemerintah (PLN) yang punya hak untuk menetapkannya. Franchisee sama sekali tidak boleh mengutak-atik dan bermain di ranah ini. Maka, dengan sistem waralaba ini, kebutuhan dan kepuasan segala lapisan masyarakat akan listrik dapat segera terpenuhi seoptimal mungkin, aset negara yang menguasai hajat hidup publik tetap aman di tangan rakyat kita sendiri, pemerintah (PLN) pun menjadi sangat diringankan dari beban finansial, dan lapangan kerja serta peluang usaha pun bakal lebih banyak terbuka.

Kalau semua itu dapat direalisasikan dan berjalan bagus, insyaallah PLN akan sangat berjasa menjadikan kemajuan jauh lebih mungkin untuk dicapai oleh Indonesia, karena "udara dan air" bagi teknologi sudah disediakan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini secara adekuat.