Sabtu, 17 September 2011

Sang Jago di Bulan Puasa





Ini kejadian lucu lainnya yang terjadi saat aku dan beberapa rekan ko-ass yang sedang bertugas di Bagian Psikiatri, serta juga beberapa residen Psikiatri, tengah menginap di bangsal perawatan Penyakit Jiwa Rumah Sakit Hassan Sadikin (RSHS), Bandung, pada minggu terakhir bulan Ramadan, yang bertepatan pada pertengahan Desember 2011, untuk mengamati seorang pasien yang kami juluki “Osama bin Laden”, yang berperilaku aneh saat bulan puasa, seperti yang kuceritakan pada tulisanku sebelum ini, Gaya Puasa Terbalik “Osama bin Laden”.

Selepas jam tugas kami, jam 2 siang, sementara menunggu “Osama” bangun tidur, aku bersama beberapa teman berjalan-jalan mengelilingi RSHS. Yah, sekadar ngabuburit.

Pada sekitar jam setengah empat, ketika kami berada dekat gedung Instalasi Gawat Darurat (IGD), tiba-tiba kami dikejutkan suara orang berteriak-teriak dari arah gedung. Beberapa jenak berikutnya, seorang bapak yang sudah cukup lanjut usia berlari keluar seraya berseru-seru dari pintu kaca IGD, disusul seorang ibu yang juga sudah cukup berusia lanjut dan beberapa orang lainnya, yang juga tak kalah ributnya. Para satpam dan staf RSHS terlihat menyusul mereka.

Karena penasaran, kami menyusul mereka. Kami tanya pada salah seorang satpam apa yang terjadi. Sembari berlari, dia mengaku kalau dia dan yang lainnya sendiri belum paham benar, cuma samar-samar saja mereka mendengar sang bapak menyebut-nyebut soal ayam jago dan memanggil-manggil “Jalu”. Barangkali, “Jalu” itu nama si ayam jago.

Tahu-tahu kami melihat bapak sepuh itu menyelinap di antara mobil-mobil di pelataran parkir. Beberapa detik kemudian, barulah kami semua melihat seekor ayam jago, bertengger seperti linglung di rerumputan di balik pagar. Beruntung, sang bapak dapat menangkapnya sebelum si “Jalu” terbang keluar pagar.

Si ibu dan beberapa orang yang mengikutinya, yang agaknya adalah isteri dan keluarga si bapak, berceloteh dengan suara tinggi, seperti mengomel-ngomel karena si bapak sudah membuat keributan. Bapak itu tampak tidak terlalu mempedulikannya. Ia sibuk mengelus-elus ayam jantannya, sambil menggumam-gumam tak jelas, seolah sedang membujuk dan menenangkan sang jago.

Kami mendekatinya. Kepada para staf dan satpam yang menanyakannya, dia akhirnya menjelaskan dalam bahasa Sunda kalau tadi dia sedang menjenguk cucunya yang baru saja dibawa ke IGD karena mengalami panas tinggi. Dan dia membawa juga si “Jalu” itu. Anehnya, dia berhasil membawa masuk ayam itu tanpa terlihat para satpam, karena jika terlihat, tentu saja dia pasti sudah dilarang masuk, atau diperbolehkan masuk tapi ayamnya disuruh ditinggal di luar. Tapi yang terjadi adalah sampai si ayam terlepas dari gendongan si bapak saat ia baru masuk beberapa langkah saja pun para satpam dan staf tetap tidak melihat sang bapak membawa ayam!

Aku dan teman-temanku nyengir-nyengir lebar mendengarnya. Para satpam dan staf juga terlihat merasa geli, walau bercampur kesal juga karena sudah kecolongan. Mereka memberi teguran sambil bertanya kepada bapak itu, kenapa ia ke rumah sakit sambil bawa-bawa ayam segala. “Lamun badé buka puasa mah,” lanjut mereka, “ulah nyandak hayam sagala atuh, Pak! Anu dicandak teh sangu sareng dengeunna, sayur, kitu! Manyak hayam hirup?! Badé dipeuncit di dieu langsung, kitu?” (“Kalau mau buka puasa sih, jangan bawa-bawa ayam segala dong, Pak! Yang dibawa itu nasi dengan sayur atau lauk, begitu! Masak, ayam hidup?! Memangnya mau dipotong di sini langsung?”)

Spontan si bapak mendongar sembari mendelik. “Moal!” tukasnya membantah. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku. Sepertinya itu pur dan gabah. Lanjutnya lagi, “Si Jalu ieu karunya ari ditinggal sorangan di imah! Saha nu méré manéhna dahar teh lamun urang ka dieu, ngan di imah euweuh jelema teh?!” (“Tidak! Si Jalu ini kasihan kalau ditinggal sendirian di rumah! Siapa yang kasih dia makan kalau saya ke sini, orang di rumah nggak ada siapa-siapa kok?!”)

Kemudian dia beralih berbicara dengan suara membujuk kepada sang ayam kesayangan sembari menyorongkan tangan berisi pur dan gabah tapi tanpa memberinya kepada si ayam untuk dimakan, “Engké nya, Jalu. Tunggu adan magrib heula nya, baru manéh beunang buka puasa. Ntong dicokot ayeuna ieu mah!” (“Nanti ya, Jalu. Tunggu adzan magrib dulu ya, baru kamu boleh buka puasa. Jangan diambil sekarang ini sih [maksudnya pur dan gabah itu]!”)

Kami semua melongo. Ternyata si bapak bawa ayam jagonya untuk diajak buka puasa bersama toh?!

Jumat, 16 September 2011

Gaya Puasa Terbalik “Osama bin Laden”




 
Jam tujuh kurang sepuluh pagi, sewaktu aku tiba di bangsal perawatan pasien Psikiatri Rumah Sakit Hassan Sadikin (RSHS), Bandung, aku, beberapa rekan ko-ass, dan para perawat dikejutkan oleh kedatangan tiga orang polisi yang didampingi dua orang perawat pria. Mereka membawa masuk seorang lelaki berumur kira-kira dua puluh tahunan. Penampilannya benar-benar lusuh dan kotor. Rambutnya panjang dan gimbal. Muka dan sekujur badannya penuh debu bercampur lumpur, membuat kulit gelapnya semakin tampak kusam. Dia merunduk terus, tidak bersuara bahkan tidak berespon sama sekali kala diajak bicara.

Dalam waktu singkat, suasana pagi di bangsal itu yang biasanya masih sepi kali itu mendadak ramai. Pasien-pasien lain mulai berkerumun, ingin melihat orang baru yang nampak aneh itu.

Menurut para polisi, orang itu ditemukan warga Ciroyom sedang tertidur di tengah pasar pada waktu orang-orang tengah sibuk berbelanja makanan untuk sahur. Polisi langsung dihubungi. Saat dibangunkan dan tidak menanggapi sedikit pun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya, polisi segera menelepon RSHS untuk menjemput orang yang disinyalir menderita gangguan jiwa tersebut.

Mengingat saat itu hari Senin, hari visite bagi para pasien, hampir semua konsulen (dokter spesialis senior) Bagian Kedokteran Jiwa datang. Jadinya, sejak awal sekali mereka sudah dapat langsung memeriksa sang pasien baru, karena biasanya, bila konsulen belum atau tidak datang, pasien baru diperiksa terlebih dahulu oleh para dokter residen (dokter yang sedang mengambil spesialisasi), dibantu para ko-ass seperti aku.

Tapi bahkan para konsulen yang paling ahli pun tidak sanggup membuat laki-laki itu berespon ataupun bicara. Mereka menyerahkan pasien tersebut kepada para residen, ko-ass, dan perawat untuk mengobservasi terus keadaannya, sembari memberi terapi yang mereka instruksikan.

Seperti biasa, pasien yang identitasnya belum diketahui diberi identifikasi “Mr.X”, atau “Ms.X” bila perempuan. Namun, kami, para ko-ass dan perawat, memberi julukan tambahan khusus untuk pasien misterius yang satu ini, yaitu “Osama bin Laden”, karena saat itu adalah akhir November 2011, sehingga tragedi menara kembar WTC New York tanggal 11 September sebelumnya masih hangat, dan nama Osama bin Laden sedang menjadi topik pembicaraan paling hangat di seluruh dunia.

Bagiku yang sedang menempuh pendidikan koasistensi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang sehari-harinya bertugas di RSHS, minggu keduaku di bagian Psikiatri itu menjadi pengalaman yang berkesan sekaligus berharga. Sesuai prosedur dan instruksi, aku dan teman-teman ko-ass lain selama beberapa hari terus memantau “Osama bin Laden”, mencoba berinteraksi dan membangun komunikasi dengannnya, sambil membantu para perawat memberinya makan dan obat.

Usaha kami tidak sia-sia.

Pada akhir pekan itu, ia untuk pertama kalinya memberi respon saat aku dan teman-teman mengajaknya mengobrol. Meski hanya satu-dua detik, dia sudah mau mendongak dan memandang ke arah kami. Dan sekalipun terlihat seperti seringai yang agak menakutkan, kami tahu dia bermaksud tersenyum.

Senin berikutnya, tepat satu minggu kehadirannya, “Osama” mulai buka suara. Memang, hanya satu kata-satu kata saja tiap kali. Tapi, dia sudah bicara saja sudah merupakan tanda-tanda yang menggembirakan. Berarti, terapi dan perawatan yang selama ini kami berikan mulai membuahkan hasil. Lebih jauh lagi, dia pun sudah dapat mengikuti instruksi yang diberikan, seperti kalau disuruh ambil obat dari loket yang dijaga seorang perawat atau untuk mengambil jatah makanannya sendiri. Itu tandanya dia mengerti bahasa, dan asosiasinya sudah membaik.

Perkembangannya makin lama makin bagus. Beberapa hari kemudian, walaupun tetap masih satu-dua patah kata saja ucapannya, tapi dia sudah mampu bercakap-cakap.

Dan ada satu hal yang bagi semua orang sangat lucu.

Rupanya, “Osama” sudah mulai “terhubung” dengan realita, sehingga dia tahu kalau saat itu sedang bulan puasa. Rupanya pula, dia juga seorang Islam. Kata-kata pendek dan patah-patahnya cukup kami mengerti, mengisyaratkan bahwa dia ingin ikut berpuasa. Nah, yang lucu itu gaya puasanya! Kejadiannya sendiri tidak kusaksikan langsung. Aku, juga teman-teman ko-ass, para konsulen, residen, dan beberapa perawat hanya mendengar ceritanya dari perawat-perawat yang bertugas jaga malam dan juga dari para pasien lainnya.

Waktu yang lainnya berbuka puasa, dia ikut makan. Tapi malamnya, “Osama” tidak tidur sama sekali. Disuruh tidur pun dia tidak bergeming. Salah seorang perawat mengamatinya terus. Sepanjang malam hingga pagi, “Osama” tidak merokok. Padahal, semenjak sudah bisa diajak berinteraksi, selama tidak tidur, dia merokok seperti kereta api, hampir tak berhenti mengepul, sebab selalu dia langsung minta rokok lagi dari ko-ass atau dari perawat saat rokok di tangannya habis.

Ketika dini hari, saat yang lainnya makan sahur, dia pun ikut makan. Setelah itu, dia sholat. Para perawat jaga menyangkanya sholat subuh. Tapi mereka heran, lama sekali si “Osama” sholat. Dan sehabis sholat, tahu-tahu dia minta rokok! Dia juga minta minum. Satu jam kemudian, dia minta makan. Dan kira-kira dua-tiga jam berikutnya lagi, kala kami, para ko-ass, residen, dan perawat baru beberapa menit datang berdinas, dia tidur. Sepanjang hari itu dia tidur, sehingga kami tidak lagi bisa lama-lama mengobrol dengannya seperti sebelumnya. Dari perawat jaga juga kami baru tahu, dia baru bangun setengah atau satu jam sebelum saat bedug magrib.

Setelah dia melakukan itu beberapa hari, jelas, itu membuat kami penasaran! Jadi, kami putuskan untuk menyempatkan diri menginap selama beberapa malam di bangsal agar bisa mengamatinya sekaligus menanyakan padanya mengapa ia berperilaku seperti itu.

Barulah saat itu kami tahu. Ternyata, sehabis magrib, saat yang lain tidak berpuasa, dia malah puasa; dan sebaliknya, saat subuh, ketika yang lainnya berpuasa sehabis sahur, dia malah tidak berpuasa!

Kami berusaha menjelaskan padanya bahwa kelakuannya itu terbalik. Tapi dia bersikukuh. Kami tanyakan alasannya melakukan hal itu. Tapi dia tidak menjawab. Beberapa kali kami tanyakan, dia tetap tidak menjawab. Entah karena dia sendiri tidak punya alasan, ataukah dia belum mampu merumuskan penjelasan untuk alasannya, ataukah ada hal yang lain, kami tidak tahu.

Sampai hari terakhir masa pendidikanku di Bagian Psikiatri, yang bersamaan waktunya dengan malam takbiran, aku dan semua orang tetap tidak tahu. “Osama” tetap tidak bungkam tentang keanehannya itu. Dan dia juga tetap tidak mau mengubah perilakunya betapapun gigihnya kami berusaha menyadarkannya.

Hanya tawa geli saja yang dapat kami lakukan setiap kali melihatnya.

Dan cuma tawa geli saja yang dapat kulakukan tiap kali aku mengingatnya!

Ramadan Versi Toleransi Kos-kosan





Tiap Ramadan, umat Islam berpuasa, dan keseharian mereka diisi dengan segala macam persiapan dan pelengkap pelaksanaan puasa, seperti untuk sahur dan berbuka. Di lain pihak, umat non-Islam serta juga pihak-pihak lain, seperti pengusaha rumah makan, tempat-tempat hiburan malam, dan penjual rokok, dituntut oleh kewajiban tak tertulis untuk menghormati mereka yang berpuasa, misalnya dengan tidak makan secara terbuka, menutup etalase dan jendela tempat makan, lemari minuman, dan rak rokok dengan tirai, bahkan sampai menutup tempat usaha.

Namun, yang pernah kualami justru berbeda versi!

Beberapa tahun lalu, selagi kuliah di Universitas Padjadjaran, aku pernah menyewa sebuah kamar di suatu rumah kos yang terletak di bilangan Terusan Buah Batu, Bandung. Cukup lama aku kos di situ. Tapi kejadian yang akan kuceritakan ini secara khusus terjadi pada bulan-bulan puasa dalam kurun 1997 hingga 2002.

Pada dasarnya, kendati tidak beragama Islam, aku senang urun diri dengan teman-teman Islam-ku saat mereka berpuasa. Ketika bulan puasa pertama selama aku kos di rumah itu tiba, sejak malam sebelum hari pertama puasa aku sudah antusias mengingatkan kawan-kawan kos yang Islam untuk pergi tarawih. Dini harinya, aku juga yang lebih dulu bangun dan membangunkan mereka untuk sahur. Tak hanya itu. Aku pun malah tidak kurang sibuknya membantu mereka menyiapkan hidangan sahur, juga pergi subuh-subuh bersama beberapa rekan pria ke kios dekat rumah untuk membeli kopi dan rokok. Begitu pula saat magrib hampir tiba. Kembali aku juga bersemangat ikut serta memikirkan dan pergi membeli tajil dan makanan pembuka puasa.

Setelah beberapa hari, teman-teman kosku yang lain yang juga beragama non-Islam mulai ikut terpengaruh juga. Mereka pun ikut-ikutan bersemangat seperti aku, bangun tengah malam untuk ikut sahur, kemudian sorenya ikut pula berbuka.

Itu terjadi tiap-tiap hari selama sebulan puasa penuh! (Tentu saja, dipotong beberapa hari terakhir bulan puasa, mengingat sudah banyak dari kami yang mudik lebaran.)

Ramadan tahun berikutnya, berhubung formasi di tempat kos kami tidak banyak berubah, penghuninya hampir seluruhnya masih orang-orang yang itu-itu juga, hal itu berulang. Pun tahun berikutnya.

Alhasil, perbuatan kami, anak-anak kos yang non-Islam, dalam membantu dan memotivasi rekan-rekan Islam kami agar dapat berpuasa dengan khusyuk dan lancar itu pun menjadi tradisi di rumah kos tersebut, sehingga, di tahun-tahun berikutnya, saat penghuni kos sudah sebagian besar berganti orang pun, budaya tersebut tetap berjalan!

Tapi ada satu hal lagi yang membuatnya menjadi menarik. Anak-anak kos yang Islam pun merespon!

Sebagaimana lazimnya, selama bulan puasa banyak tempat makan yang tutup, istimewanya pada minggu pertama. Tidak bisa dipungkiri, kami yang tidak berpuasa merasa kesulitan juga manakala saat siang hari sepulang kuliah atau pada jam istirahat kantor kami kelaparan namun susah mencari makanan. Untungnya, anak-anak kos yang berstatus sebagai ibu rumah tangga atau yang punya usaha sendiri, sehingga hampir tiap siang stand by di rumah, memberikan solusi dengan menawarkan jasa untuk memasak bagi kami. Atau, berhubung mereka punya waktu luang banyak, selagi kami di kampus atau di kantor, mereka mencarikan tempat-tempat makan yang tetap buka untuk membelikan kami nasi, sayur, dan lauk untuk kami makan siang.

Dan perbuatan itu menjadi tradisi tahunan pula di kos kami!

Budaya itu jelas sangat mengeratkan hubungan batin di antara kami semua. Bilamana kami sedang kumpul-kumpul di hari-hari di luar bulan Ramadan, kami suka tertawa-tawa mengenang saat-saat itu. Sebab, memang kocak juga: yang non-Islam justru yang lebih sering bangun lebih pagi lalu membangunkan mereka yang berpuasa untuk sahur, juga yang justru lebih antusias menyiapkan hidangan sahur serta membeli tajil dan makanan buka puasa; tapi di sisi berbeda, yang Islam-lah yang justru “sangat cerewet” mengingatkan anak-anak yang tidak beragama Islam agar tidak lupa makan siang, minum obat, atau hal-hal seperti itu, dan juga yang justru lebih getol cari makanan di siang hari!