Rabu, 30 November 2011

Beberapa Hal tentang HIV-AIDS, Terutama yang Berkaitan dengan Remaja

Domisili Penulis: Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.

Saya beberapa kali menghadapi kasus HIV-AIDS. Terutama sejak menempuh studi kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, di R.S. Hassan Sadikin. Karena saya terikat Kode Etik dan Sumpah Profesi Kedokteran, di sini saya tidak akan menyebutkan satupun nama, waktu, peristiwa, dan apapun berkenaan dengan orang-orang pengidap HIV-AIDS yang saya temui, pula tentang keluarga, orang-orang terdekat, lingkungan, serta profesi mereka, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, yang saya paparkan adalah temuan-temuan saya selama berinteraksi dengan HIV-AIDS dan para penderitanya, juga beberapa hal yang saya simpulkan setelah melakukan berbagai pemikiran dan analisa.

Hal-hal yang saya dapatkan di lapangan adalah sebagai berikut:

1. Masih sangat banyak sekali orang yang belum memahami secara menyeluruh apa itu HIV-AIDS. Bahkan termasuk para penderitanya sendiri dan orang-orang terdekatnya. Kekurang-pahaman ini besar sekali pengaruhnya terhadap tingkat penyebaran penyakit berbahaya ini, sekaligus amat berperan dalam hal timbulnya stigma masyarakat terhadap orang-orang dengan HIV-AIDS (ODHA).

2. Temuan kedua ini membuat saya terkejut serta juga geram, terpukul, dan sedih. Di antara orang-orang yang sudah mengenal betul segalanya tentang HIV-AIDS, terutama mereka yang berada di kalangan medis dan dunia kesehatan, seperti dokter, perawat, mahasiswa kedokteran, personel staf rumah sakit dan farmasi, saya temukan kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka ternyata tetap memberikan stigma terhadap ODHA!

3. Yang lebih memprihatinkan, sebagian dari mereka juga memiliki gaya hidup dan perilaku yang beresiko tinggi terkena HIV-AIDS! Pengetahuan yang mereka kuasai secara mumpuni rupanya tidak menghentikan mereka dari aktivitas seksual di luar nikah dengan pasangan lebih dari satu dan dari penggunaan narkoba dengan jarum suntik.

4. Golongan usia remaja, yaitu mereka yang berusia belasan tahun, adalah golongan yang paling rentan terhadap HIV-AIDS. Pertama, mereka paling rentan terkena penyakit itu sendiri. Kondisi kejiwaan yang sedang labil-labilnya akibat gelora yang memang sedang puncak-puncaknya dari proses pencarian dan pengukuhan jatidiri, ditambah pengaruh kuat lingkungan pergaulan, menempatkan diri mereka tepat di bibir jurang gaya hidup dan perilaku beresiko HIV-AIDS.
Kedua, mereka juga paling rentan mengalami keterpurukan dan kehancuran pribadi dan psikologis jika mereka terkena, apalagi kalau kerap berhadapan dengan stigma masyarakat. ODHA dari golongan dewasa lebih mampu menanggung beban karena keadaan kejiwaan yang memang relatif lebih stabil dan sudah terbentuk mantap. Sedangkan ODHA dari golongan anak-anak belum paham betul apa yang sebenarnya tengah menggerogoti dirinya. Proses waktu juga membuat mereka makin lama makin adaptif terhadap kenyataan. Lagipula, bisa dikatakan amat sangat kecil kemungkinan masyarakat menjatuhkan stigma terhadap ODHA yang anak-anak, karena mereka pun hampir pasti berpikir bahwa bukanlah kesalahan anak-anak itu sendiri kalau sampai terkena HIV-AIDS. Berbeda dengan anak remaja. Masyarakat yang telanjur tidak senang melihat banyaknya remaja yang melakukan tindak-tanduk yang terkesan anti-sosial akan dengan mudahnya langsung menyimpulkan, tanpa mau repot-repot mencari tahu kejadian yang sebenarnya, bahwa remaja bisa sampai terkena HIV-AIDS pasti karena melakukan seks bebas dan/atau mengonsumsi narkoba.

Fakta-fakta tersebut saya pelajari, merenungkannya, lalu menarik beberapa kesimpulan, di antaranya adalah saran alternatif kemungkinan solusi untuk sejumlah masalah yang berhubungan dengan HIV-AIDS. Ini hasilnya:

1. Stigma terhadap ODHA sebenarnya berangkat dari sesuatu yang pada dasarnya sehat dan wajar, yaitu mekanisme pertahanan diri menghadapi ancaman. Sayangnya, mekanisme ini acapkali berkembang liar tak terkendali. Kewaspadaan berkembang menjadi ketakutan yang terlalu (paranoid). Pandangan kita tidak lagi terfokus pada ancaman yang riil, tapi sudah merambah pada obyek-obyek yang sebetulnya bukan ancaman namun, karena pandangan kita sudah mengabur, kita lihat sebagai ancaman juga.
Karena itu, perlu sekali kita mengendalikan diri dalam menangani mekanisme mental kita untuk mempertahankan diri, dan juga sangat perlu untuk kita menata mekanisme pertahanan kita sendiri agar tetap berjalan pada relnya dan tidak meluap dari wadahnya. Bahkan sesungguhnya, kita bisa memanfaatkannya menjadi pendorong kita untuk mengambil tindakan-tindakan yang benar.
Dalam poin-poin selanjutnya, kita akan melihat hal ini secara lebih jelas.

2. Walaupun bukan satu-satunya penentu, ketidak-tahuan dan kekurang-pahaman tetap merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan penyebaran HIV-AIDS dan dalam melahirkan stigma. Maka, penyebaran informasi tentang HIV-AIDS yang lengkap dan komprehensif harus terus-menerus dilakukan, dan harus dilakukan seluas dan seintensif mungkin. Ada baiknya juga kita menerapkan prinsip efek domino. Maksudnya, selain memberi informasi, kita juga seyogyanya melatih beberapa dari orang-orang yang sudah menerima informasi menyeluruh mengenai HIV-AIDS untuk menjadi penyuluh juga, paling tidak, dalam lingkungan mereka sendiri. Dan orang-orang inipun perlu kita ingatkan agar juga melatih orang-orang yang sudah mereka informasikan untuk dapat menjadi penyuluh juga. Begitu seterusnya.
Namun, sebagaimana yang sudah saya saksikan, bahwa memiliki pengetahuan yang menyeluruh tidak serta-merta menjadikan orang terhindar dari penyakit fatal itu dan juga tidak otomatis mencegah mereka mengenakan cap negatif pada ODHA, ternyata ada faktor lain lagi dalam penyebaran HIV-AIDS dan lahirnya stigma.

3. Terpikirkah oleh Anda, kita selama ini sesungguhnya tengah memerangi lawan yang salah dan berperang di medan yang keliru? Lawan kita yang sebenarnya adalah virus HIV berikut penyakit AIDS itu sendiri dan faktor-faktor pendukung penyebarannya. Faktor-faktor pendukung penyebaran HIV-AIDS adalah perilaku hubungan seks dengan pasangan lebih dari satu dan penggunaan narkoba jenis suntikan. Sehubungan dengan itu, kita sebenarnya berperang di wilayah fisik dan non-fisik, dan wilayah non-fisiknya itu adalah gaya hidup dan kebiasaan-kebiasaan berperilaku tidak sehat.
Barangkali hampir semua kita memang memerangi lawan yang benar di wilayah yang juga benar. Tapi seringkali pada saat yang bersamaan, kita juga kebablasan menghantam obyek-obyek yang seharusnya tidak kita perangi. Masyarakat memang memerangi HIV-AIDS, tapi pada saat yang sama juga nyaris selalu menjadikan orang-orang yang terkena HIV-AIDS itu sebagai lawan pula. Sebaliknya, selain jelas berperang melawan virus dan penyakit yang menggerogotinya, para ODHA pun memandang orang-orang yang bukan ODHA sebagai musuh.
Medan perang kita juga kerap bergeser, menjadi menyempit tapi sekaligus meluas pada saat yang sama. Dikatakan menyempit sebab kita hanya berperang di ranah fisik saja, melupakan ranah non-fisik yang seharusnya kita rambah juga. Tapi dalam waktu bersamaan, dapat dibilang meluas juga karena wilayah fisik yang kita masuki menjadi lebih luas ruang lingkupnya. Mestinya, ketika kita berperang di medan perang fisik, yang kita boleh masuki hanyalah area yang ditempati penyakit dan aspek-aspek medisnya saja. Tapi alih-alih demikian, kita masuki juga area yang merupakan tempat manusia dan kemanusiaannya!
Kekeliruan ini sudah mencapai taraf yang memprihatinkan. Kita harus segera bertindak untuk meluruskannya kembali. Semua orang harus menyadari hal ini. Semua orang, tanpa terkecuali! Jadi, itu termasuk pemerintah dan para pemangku otoritas kebijakan lain seperti DPR, LSM-LSM dan badan-badan sosial yang menangani HIV-AIDS, serta lembaga-lembaga dan tenaga-tenaga medis dan juga para praktisi kesehatan.
Sebab kalau tidak, keadaan bukannya membaik, tapi malah akan menjadi tambah memburuk, dan memburuknya itu akan jadi makin cepat. HIV-AIDS tambah merajalela seperti tak terhentikan, sementara stigma terhadap ODHA tambah kejam seperti tak lagi mengenal belas kasihan! Bukannya menghentikan, ODHA malah akan semakin “giat” dalam aktivitas tidak sehatnya. Sementara itu, orang-orang non-ODHA terus mengutuki ODHA, memvonis mereka sebagai pendosa besar, bahkan memandang dan memperlakukan mereka seolah-olah bukan manusia; tapi pada saat yang sama, orang-orang itu juga melakukan “dosa-dosa” yang sama, bahkan lebih “gila” daripada ODHA sendiri! Dan orang-orang yang bukan ODHA juga menjadi kian tidak manusiawi karena tindakan mereka menjadi semakin kontradiktif: mereka tahu benar-benar bagaimana HIV-AIDS itu tapi mereka hidup seakan-akan seperti tidak tahu apapun sama sekali tentang HIV-AIDS, yang tercermin dari gaya hidup mereka yang “bebas”!
ODHA maupun non-ODHA wajib cepat menyadari bahwa kita semua sejatinya ada di pihak yang sama dan sedang menghadapi ancaman dari musuh yang sama. Jikalau ODHA dipandang sebagai korban, maka orang-orang yang bukan ODHA pun adalah korban: ODHA korban aktual, non-ODHA korban potensial, sebab tak seorangpun kebal HIV-AIDS. Kita semua sama, jadi sudah selayaknya untuk senantiasa “bersama-sama”!

4. Kita sudah lihat, stigma merupakan bentuk penyerangan yang salah kaprah karena yang diserang adalah orang, ODHA, obyek yang harusnya tidak boleh diserang sebab bukan merupakan musuh. Sebelumnya, kita juga sudah melihat, stigma sebenarnya berakar dari kewaspadaan yang sehat dan berdasar. Artinya, stigma itu sendiri adalah akibat. Ia adalah buah dari pergeseran paradigma.
Jadi, stigma pun bukan musuh yang sebenarnya! Tapi betapa seringnya kita berniat dan berusaha memerangi stigma dengan tujuan untuk meredam dan, kalau mungkin, meniadakannya. Tapi betapa nyata juga kita lihat bahwa upaya itu sama sekali tidak berhasil. Banyak orang berpikir, dengan meniadakan stigma, ODHA akan dapat diperlakukan sebagaimana semestinya. Orang juga berharap, dengan menghilangkan stigma, HIV-AIDS akan menurun penyebarannya sebagai hasil dari semakin terbukanya diri ODHA sehingga dapat dengan leluasa berbagi pengalaman dengan orang-orang lain yang tidak mengidap HIV-AIDS supaya mereka tidak ikut terkena. Tapi dalam prakteknya, pemikiran dan harapan itu semakin jauh untuk menjadi kenyataan! Mengapa? Karena yang kita lakukan sebenarnya keliru sama sekali! Stigma hanyalah buah, bukan akarnya.
Kita harus memerangi akarnya. Tadi sudah kita lihat, medan peperangan kita juga mencakup wilayah non-fisik. Wilayah itu adalah alam pemikiran. Alam pemikiran inilah yang melahirkan gaya hidup. Alam pemikiran atau paradigma yang keliru menghasilkan gaya hidup yang rusak, yang kemudian menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang merusak seperti pola seks berganti-ganti pasangan dan mengonsumsi narkoba. Paradigma atau pola pikir yang salah mengakibatkan manajemen mekanisme pertahanan mental menjadi salah juga, yang kemudian menghasilkan kekhawatiran yang berlebihan dan respon yang tidak rasional.

5. Sebagaimana kita sudah maklum, kelompok usia remaja adalah kelompok yang paling rentan dalam hal HIV-AIDS, baik rentan terhadap kemungkinan menjadi ODHA maupun rentan terhadap kehancuran mental dan pribadi ketika akhirnya benar-benar terjangkiti HIV-AIDS. Yang harus diperhatikan, tidak selalu disintegrasi mental dan pribadi mereka itu berwujud penarikan diri, mengurung dan menutup diri, meratapi dan menyesali dengan penuh kesedihan, dan hal-hal serupa. Tak jarang disintegrasi itu termanifestasi justru dalam bentuk agresi!
Agresi itupun tidak selalu berupa penyerangan frontal langsung terhadap lingkungan dan masyarakat. Agresi itu bisa juga dilampiaskan dalam bentuk perlawanan lain, dan yang paling sering adalah dalam bentuk kesengajaan mengumbar perilaku seks bebas dan mengonsumsi narkoba secara “jor-joran”. Mereka berpikir, “Sudah kepalang kotor, najis, dan rusak ini diriku, ya sudah, puas-puasin saja sekalian!” Dan perilaku seks bebas dan penggunaan narkoba merekapun jadi semakin tak terkendali lagi! Akibatnya, melihat hal tersebut, kemuakan masyarakat menjadi-jadi, stigmapun semakin kokoh terpatri!
Untuk itu, mereka perlu ditopang oleh orang-orang (tidak bisa cuma satu orang saja) yang bertugas untuk mencegah agar keretakan pribadi dan mental mereka tidak menjadi semakin parah, menahan pribadi dan mental itu agar tetap “berdiri di tempatnya” sementara menjalani proses pemulihan, menjaga agar jiwa yang terdisintegrasi itu tidak mencari penyaluran ke arah agresi ataupun ke arah tindakan terminasi (mengakhiri semuanya dengan cara pintas, yaitu bunuh diri), dan membimbing jiwa tersebut kembali ke jalan yang benar, yaitu memberi pemahaman kepada remaja ODHA akan “peperangan” yang benar, apa musuh yang sebenarnya dan di mana mereka harus berperang, sebab pemahaman yang lurus itu harus dimiliki semua orang tanpa terkecuali demi kepentingan dan kebaikan orang yang bersangkutan sendiri serta supaya masyarakat juga bisa memperoleh kebaikan darinya.
Pertolongan itu tidak hanya berlaku untuk remaja, tapi juga untuk ODHA dari golongan usia dewasa dan golongan lain. Hanya memang, ODHA dari kalangan remaja perlu mendapat porsi ekstra dan perhatian yang khas mereka, mengingat betapa “rapuh”-nya mereka yang sedang dalam proses menjadi “manusia” itu, dan pula mengingat betapa mereka itu aset yang tak terhingga nilainya sebagai cikal-bakal pemimpin bangsa. Karena itu, bilamana kita semua sebagai bangsa mampu menangani remaja yang merupakan ODHA sehingga bisa pulih dari keadaan disintegrasi pribadi dan mentalnya, lalu bisa berkarya dan berfungsi optimal sebagai manusia, bayangkan bagaimana dengan kaum remaja yang bukan ODHA, yang mana mereka semua juga ada di bawah bimbingan kita! Tidakkah itu sungguh menyenangkan?!
Itulah impian saya. Makanya, sudah sejak lama saya memegang teguh paradigma yang benar supaya saya bisa “berperang” secara benar. Saya tetap berperang hingga saat ini. Dan saya berusaha menjadi penopang sekuat-kuatnya bagi sebanyak-banyaknya ODHA yang saya jumpai, terutama para generasi muda remaja.
Tidakkah Anda ingin menjadikannya impian Anda juga? Marilah kita sama-sama berjuang!

Rabu, 23 November 2011

Jangan Bersedih tapi Jangan Pula Berjumawa, Indonesiaku! Bangkitlah!


Permainan sudah usai,
Karpet kembali digulung,
Alat-alat dikemas lagi
Untuk dipakai nanti,
Sebab hajatan telah rampung,
Pertandingan yang dihelat
Bagi olahraga dan prestasi
Bangsa-bangsa di Asia Tenggara
Ditutup sudah,
Semua telah beres;
Dan kitapun kembali merebut singgasana:
Singgasana jawara!
Kita lebih cepat!
Kita lebih kuat!
Kita lebih tinggi!
Indonesia kembali ke tahta Sea Games!

Walau semua kehormatan ini
Tidak disertai kemilau sayap Garuda-mu
Nan terpuruk-terluka
Disergap Macan Malaya,
Jangan berkecil hati, Indonesia!
Jangan bersedih!
Masih ada hari depan untukmu
Dan Garuda-mu:
Hari depan yang sarat tantangan
Tapi sekaligus juga impian!
Hari depan yang kaya kemungkinan
Tapi sekaligus juga rintangan!
Hari depan yang penuh badai berawan
Tapi sekaligus juga harapan!
Jangan mundur!
Jangan berlelah dalam putus asa!
Bangkitlah, Indonesia-ku!
Engkau belum mati!
Engkau belum binasa!

Kendati mahkota bertengger di kepalamu,
Tapi terjaminkah itu terus ada
Tetap abadi di sana?
Jangan lengah oleh sombong,
Wahai bangsaku!
Jangan biarkan dirimu tergoda,
Terayu-terbuai
Oleh gemerlap prestasimu!
Kau harus waspada,
Mawas diri berjaga
Demi mempertahankan mahkota itu
Dan lebih menjaminnya
Tetap jaya di dahimu.
Rendahkan hati kita semua,
Tundukkan diri kita semua
Di bawah kuasa Tuhan Sang Pencipta!
Maka akan ditinggikan-Nya nama kita,
Dibangkitkan-Nya kita dari lumpur,
Lebih dari sekarang ini,
Agar selalu menjadi teladan
Dalam ajang olahraga
Asia Tenggara ini.

Krisis menenggelamkan semua aspek kita,
Kita terpuruk nyaris dalam segala hal!
Tapi kemenangan ini mengandung janji
Dan harapan
Bahwa Tuhan tetap bersama kita
Asal kita selalu taat dan percaya
Hanya kepada-Nya;
Bukan kepada kekuatan kita,
Bukan kepada kepercayaan diri kita,
Bukan kepada kekayaan alam kita,
Bukan kepada sahabat dan mitra kita,
Bukan kepada segalanya
Yang dapat menjadi berhala kita!
Niscaya
Ia akan menegakkan kita lagi,
Meluruskan segala yang bengkok,
Menguatkan kembali yang patah,
Yaitu kebenaran dan keadilan,
Di negeri ini.
Dan gelar juara ini
Bisa saja adalah jaminan
Buat kita.
Karena itu, Indonesia,
Bersukacitalah!
Kerahkan kekuatan hatimu!
Berdamailah dengan dirimu!
Kuatkanlah tekad
Untuk selalu bersama dan bersatu
Di bawah panji-panji
Merah-putih
Yang diusung Sang Garuda Pancasila!