Minggu, 31 Maret 2013

Mewujudkan dan Mengembangkan Kewirausahaan bersama Jejualan.com

Sering orang bermimpi memiliki usaha sendiri, menjadi pengusaha yang sukses. Tapi mereka juga sering bingung bagaimana mengawalinya. Memang ada benarnya pepatah yang mengatakan: "memulai dan mengambil langkah pertama adalah tahap yang paling berat". Ada juga yang sulit memulai karena terkendala modal. Dan yang lebih parah lagi, ada yang tidak kunjung mulai juga dengan alasan tidak tahu mau usaha apa, apakah jenisnya jasa, industri, atau niaga; atau bergerak di bidang apa, apakah barang elektronik, pakaian jadi, ataukah yang lainnya.

Terus terang saja, banyak sekali orang yang menunda dan terus menunda, dan, sebagai akibatnya, akhirnya tidak pernah mempunyai usaha apapun sama sekali. Ini sangat disayangkan. Padahal, kalau saja orang-orang tersebut mau memberanikan diri untuk mencoba, kemungkinan besar mereka akan menemukan bahwa mereka memang bertalenta besar menjadi pengusaha, dan sudah pasti, karena itu, jadi sukses. Juga amat disayangkan kalau bakat terpendam semacam itu tetap terpendam, bahkan akhirnya terbuang percuma, sebab dunia entrepreneurship/kewirausahaan Indonesia masih membutuhkan banyak sekali tenaga untuk memajukannya.

Mengapa tidak mencoba memulai usaha dengan membuka toko online melalui Jejualan.com saja?

Ya! Sekarang teknologi informasi dan komunikasi sudah berkembang luar biasa pesat. Kini sudah zaman serba digital, internet sudah makin menjadi kebutuhan. Buka toko untuk berdagang sekarang sudah mulai tidak terkena pemeo "lokasi, lokasi, dan lokasi" lagi. Karena, kita tidak perlu repot-repot memiliki toko dengan display berikut segala tetek-bengeknya secara fisik. Cukup buka toko secara virtual saja di dunia maya. Sudah. Tidak banyak urusan. Menghemat banyak sekali waktu, tenaga, dan biaya, bukan?

Tapi, kenapa harus melalui Jejualan.com? Apa itu Jejualan.com?

Jejualan.com adalah jasa penyedia layanan website toko online. Ini berbeda dengan situs/website toko-toko online yang lain yang kita kenal. Toko-toko online lain hanya menyediakan jasa untuk menitipkan barang yang akan kita jual. Barangnya memang barang kita, tapi tokonya bukan toko kita sendiri, 'kan? Nah, berbeda dengan yang diselenggarakan Jejualan.com! Dengan Jejualan.com, kita sendirilah yang bakal mempunyai toko online di mana kita bisa memajang dan menjual barang-barang kita sendiri pula. Toko online yang dibuka itu adalah toko kita sendiri! Hebat, bukan?!

Kemudian, di Jejualan.com, tidak ada lagi dalih bagi alasan-alasan yang menghalangi niat kita menjadi pengusaha dan memulai usaha. Takut modal besar, tidak berlaku di Jejualan.com. Hanya dengan mengeluarkan uang Rp60ribu per bulan saja (minimal mengambil 6 bulan), kita sudah mendapatkan Paket Gold Jejualan.com. Dengan Paket Gold ini, kita dapat memasang barang kita di toko online kita sendiri itu sampai maksimal 500 item/produk. Produk/item apa yang ingin kita pasang dan apa saja isi/konten situs toko kita, bisa kita ubah atau update kapanpun kita mau melalui Control Management System (CMS). Kita juga bisa menggunakan nama domain sendiri. Kalau mau pakai nama domain yang disediakan Jejualan.com juga boleh, karena Jejualan.com memang sudah menyediakannya untuk kita. Semuanya gratis! Kita tidak perlu pusing-pusing berurusan dengan dan membayar lagi pada hosting. Mau domain .com, .net, atau .org, bisa. Plus, kita juga mendapatkan ratusan fitur e-commerce termutakhir dari Jejualan.com. Fitur-fitur e-commerce Jejualan.com itu yang terlengkap di Indonesia! Jadi, tampilan toko online kita itu bisa kita buat semenarik dan seatraktif mungkin agar dapat menjaring konsumen dengan cepat. Seperti contoh tampilan berdasarkan beberapa theme (tema) di bawah ini (semua gambar bersumber dari http://jejualan.com/demo).
Theme 'Langit Biru' Jejualan.com
Theme 'Safir' Jejualan.com
Theme 'Alhambra' Jejualan.com
Kalau kita mau upgrade paket menjadi Paket Platinum, bisa. Dengan biaya Rp200ribu per bulan (minimal mengambil 3 bulan), kita mendapatkan semua fasilitas yang ada pada Paket Gold, beserta tambahan keistimewaan, yaitu barang yang kita pajang atau jual di toko online kita tersebut menjadi tak terbatas! Setelah masa berlaku paket kita habis, kita bisa upgrade atau downgrade ke paket yang berbeda sewaktu memperpanjang. Fleksibel, bukan? Apalagi, kita bisa mencoba dulu sebelumnya, karena Jejualan.com menyediakan free trial selama 15 hari! Bakal diberikan diskon 10% pula dari Jejualan.com bila kita langsung berlangganan/mengambil paket selama 1 tahun! Tidak rugi dan tidak besar modal sama sekali, 'kan?!

Tapi, bagaimana toko online kita itu bisa dilihat orang? Lalu, bagaimana jika ada transaksi?

Nah, teknologi SEO Jejualan.com akan membuat toko online kita itu tampil di halaman pertama pada situs mesin pencari Google tiap kali ada orang yang search. Jadi, sudah pasti terlihat semua orang di seluruh dunia, dong! Di samping itu, Jejualan.com akan membantu mempromosikan toko kita, serta juga menyediakan berbagai marketing tools buat kita, seperti pengiriman newsletter gratis, kode kupon diskon, dan kampanye promo. Tambahan juga, Jejualan.com menyediakan jasa konsultasi dengan para pakar e-commerce, sehingga kita bisa menelurkan strategi pemasaran yang jitu, sebab mereka akan menganalisa segala hal yang ada di toko kita dan kemudian memberi saran-saran dan masukan-masukan berharga.

Saat ada transaksi, kita tidak perlu kuatir. Transaksi yang terjadi akan dilaporkan kepada kita secara otomatis melalui SMS ke ponsel kita. Pembeli/pelanggan kita juga akan menerima SMS otomatis tersebut di ponselnya. Perkara ongkos kirim juga demikian. Kita tidak perlu repot menghitung-hitung, sebab data ongkos kirim via PT Pos Indonesia dan JNE sudah disediakan Jejualan.com dan dicantumkan di website toko online kita. Pula, kita juga tidak perlu memikirkan cara pembayaran pembeli kita. Jejualan.com sudah merancang supaya toko kita bisa menerima pembayaran melalui transfer bank, PayPal, dan kartu kredit.

Bilamana ada masalah, customer support (CS) Jejualan.com selalu siap membantu, dapat dihubungi 24 jam non-stop.

Nah, bagaimana? Bukankah semua keberatan dan keraguan kita untuk memulai suatu bisnis kini terjawab sudah? Langkah awal menuju kesuksesan itu beratnya hanyalah dalam pikiran kita saja. Terlebih, Jejualan.com sudah banyak sekali membantu memuluskan jalan-jalan awal yang pertama-tama mau kita rintis.

Maka, mari sukses berwirausaha dan bantu majukan dunia entrepreneurship Indonesia bersama Jejualan.com! Klik saja http://jejualan.com, lalu daftar dan ikuti prosedur-prosedurnya. Mudah, sederhana, dan cepat!

Kartunet Kampanye Aksesibilitas tanpa Batas

"Kartunet Kampanye Aksesibilitas tanpa Batas". Misi Kartunet yang bekerja sama dengan ASEAN Blogger Community dan didukung operator selular, XL Axiata, ini sungguh mulia, betul nggak? Semua orang memang punya hak yang sama. Termasuk untuk akses ke mana-mana.

"Semua orang" ya semua orang. Tua kek, muda kek, lelaki kek, perempuan kek, orang dewasa kek, anak-anak kek. Termasuk orang dengan disabilitas juga dong, ya kan! Mereka tuh manusia lho! Sama dengan orang-orang yang komplet-plet alat-alat tubuhnya, fungsi anggota badannya, juga mentalnya. Bukannya lantaran mereka punya kelengkapan tubuh dan fungsi yang beda dari kita, terus mereka jadi "setengah orang", apalagi sampai jadi "bukan manusia". Ih, jauh-jauhin deh paradigma kayak gitu! Memang kita mau diperlakukan beda? Nggak 'kan?! Nah, mereka juga. Makanya, kita kudu punya pola pikir yang memandang mereka sama saja dengan orang-orang lain.

Terus, "akses ke mana-mana". "Ke mana-mana" ya ke mana-mana. Maksudnya, masuk ke ruang publik manapun, ke tempat umum mana saja. Terutama yang memang jadi hak semua orang. Jalan raya, pedestrian (trotoar, istilah umumnya mah!), zebra cross, jembatan penyeberangan. Sarana angkutan umum, kayak bus, kereta-api, pesawat terbang, dan kapal laut. Terus juga prasarana angkutan, seperti halte, terminal, stasiun kereta, bandara, dan pelabuhan. Juga pasar (baik tradisional atau juga swalayan), rumah sakit, puskesmas, dan yang lain-lain. Pokoknya, semua fasilitas umum.

Yang namanya "akses", bukan cuma "boleh" masuk, pakai, numpang, atau naik doang. Nggak, nggak sebatas itu melulu pengertiannya! "Akses" itu mencakup juga "hak" yang lebih luas. Ya hak untuk dapatkan pelayanan semaksimal dan seoptimal mungkin, hak untuk nikmati semua kegunaan atau manfaat yang memang dimaksudkan dari alat atau tempat yang disediakan, tanpa "disunat" alias "terkorupsi" sedikit pun, alias hak buat mendapatkan optimalnya semua fasilitas, juga hak atas keamanan dan kenyamanan menyeluruh selama lagi pakai alat-alat atau tempat-tempat itu.

Wah, banyak maunya tuh! Barangkali, banyak orang pikir begitu. Oh, kagak lah! 'Kan semua yang disediakan itu namanya saja "fasilitas umum". Jadi, ya sudah hak semua orang buat "memiliki" semua fasilitas itu. Dan memang semua orang punya hak penuh untuk menggunakan semuanya. Malah, bukan cuma orang-orang yang jadi warganegara atau warga kota tempat fasilitas itu ada saja. Orang-orang yang bukan warganegara atau warga kota pun punya hak yang sama lho! Kalau nggak, namanya jadi bukan "fasilitas umum" dong, tapi mesti diganti jadi "fasilitas khusus warga"! Aneh 'kan?! Nah, terus, berhubung yang disediakan dan yang punya hak "pakai bin menikmati" fasilitas itu adalah orang, manusia, ya jelas lah, harus konsekuen! Manusia atau orang itu punya hak. Dan hak yang paling tinggi itu namanya hak asasi. Nggak ada siapapun atau apapun yang punya hak untuk mengurangi sedikitpun hak dan hak asasi orang lain! Kecuali Tuhan, pastinya! So, semua fasilitas itu kudu dijaga, biar semuanya berfungsi optimal, plus juga bermartabat. 'Kan yang pakainya itu manusia, dan manusia itu punya martabat. Jadi, barang-barang dan pelayanan yang kita terima juga harus bermartabat, supaya klop, iya 'kan? Kita semua mau ‘kan diperlakukan layak kayak begitu? Soalnya, kita semua, manusia siapapun, memang berhak atas keoptimalan fungsi, kinerja, sampai keindahan-kenyamanan seluruh fasilitas dan layanan publik. Kita semua ya kita semua. Sekali lagi, tanpa kecuali lho!

Sayang tapinya ya, kenyataan beda "bumi dari langit" dengan idealitas. Di kota Bandung nih, tempat aku tinggal, wah, jalan-jalannya mirip di bulan: banyak lobang, Kawan! Aku juga sering ke Jakarta, karena orangtuaku tinggal di sana. Apalagi, Sob! Yah, pasti kalian semua sudah pada tahu lah, gimana Jakarta itu. Belum lagi, di kedua kota itu, di trotoarnya banyak lobang yang di bawahnya itu got. Sebagian besar got atau saluran air itu cukup dalam. Mungkin lebih dari 1 meter. Lagian, yah, kalian tahu dong, mana ada yang namanya got itu airnya bersih! Penuh sampah dan (maaf ya!) kotoran manusia dan binatang iya! Nah, lobang-lobang itu nggak dikasih tutup. Bayangkan, apa nggak bahaya tuh?! Di Jakarta sih aku belum pernah mengalami celaka karena lobang-lobang itu. Tapi di Bandung sini, pernah tuh, waktu pertama kali datang, aku jatuh gara-gara lobang. Bukan di trotoar sih, tapi di jalan. Tapi lobang itu memang posisinya pas menempel di trotoar. Jadi, kalau pejalan kaki tidak melihatnya, apalagi kalau tertutup genangan air, bisa-bisa kayak aku, kena celaka! Untungnya (nah, inilah hebatnya orang Indonesia! Semua masih punya sisi "untung", hehe...!), itu bukan lobang yang di bawahnya got, tapi "cuma" jalanan bocel alias sompal. Tapi, tetap saja, "kawah"-"kawah" mini kayak gitu sangat mencelakakan. Aku bersyukur, waktu itu aku cuma jatuh ringan, jadi cuma kena lecet-lecet sedikit doang di tangan dan lutut. Waktu itu kejadiannya malam. Memang pas musim hujan juga, jadi lobang itu tertutup genangan. Tapi, nah ini satu masalah lagi, jalan itu gelap sekali, Sob! Nggak ada lampu jalan! Orang pejalan kaki paling-paling cuma terbantu sama lampu-lampu dari rumah-rumah dan gedung-gedung di sekitar. Itu juga 'kan samar, karena jauh dan nggak seberapa besar dayanya. Yah, Bandung itu memang jarang banget ada lampu jalan.

Nah, kurangnya lampu jalan kayak gitu juga mengurangi keoptimalan fungsi fasilitas umum, iya 'kan? Apalagi, keamanan dan kenyamanan jadi terancam karenanya. Terus juga, sampah-sampah. Banyak 'kan berceceran di trotoar, jalanan, angkutan umum, tempat-tempat umum, yang bikin kita jadi merasa tidak nyaman. Pandangan mata terganggu, nafas dan penciuman terganggu, kulit rasanya risih, selera makan apalagi. Apalagi, kalau ada sampah kulit pisang atau kantong plastik licin. Wah, itu juga bahkan bisa bikin celaka kalau terinjak, iya nggak?! Belum lagi dengan berjibunnya tukang-tukang jualan di sepanjang trotoar, bahkan yang sampai memakan bahu jalan, dan malah ada pasar yang sampai meluas ke tengah jalan juga! Aduh, aduh!! Kita merasa hak kita dilanggar ya, Teman?!

Wah, banyak deh kalau mau disebutkan satu persatu! Perlintasan rel kereta-api yang nggak ditutup palang dan nggak ada sinyal peringatan, kondisi kendaraan umum yang sudah nggak layak, sambungan pada lantai jembatan penyeberangan yang lepas-lepas sehingga bikin "doyot". Dan yang lain-lain lagi. Nggak enak ya? Tapi, barangkali kita lama-lama jadi kebal juga. Perbaikan yang nggak kunjung terwujud bikin kita jadi membentuk "kapalan" pada hati. Lama-lama itu semua kita anggap lumrah. Dan itu betul-betul disayangkan. Karena kita nggak peduli lagi jadinya. Apatis. Akhirnya, sudah kayak nggak ada lagi orang yang punya inisiatif buat memperbaiki. Atau, paling nggak, bersuara lah! Bersuara untuk mengingatkan, bersuara untuk menyadarkan. Ya mengingatkan diri kita sendiri kalau keadaan-keadaan itu sebetulnya salah, nggak benar, nggak baik. Ya menyadarkan diri kita sendiri terus kalau kita mestinya nggak jadi betah dengan semua itu, selalu gerah dan risih, supaya kita jadi ikut mikir, gimana solusinya.

Aku jadi kebayang, kalau aku dengan anggota dan fungsi tubuh relatif lengkap saja sudah nggak merasa aman dan nyaman, apalagi saudara-saudara kita yang menyandang disabilitas ya? Kalau aku yang bisa melihat saja sudah terancam bahaya dan malah sudah juga kena celaka, gimana dengan mereka yang punya disabilitas netra ya?

Yah, aku sih nggak mau sampai terjadi apa-apa sama anggota dan fungsi tubuhku. Ya, siapa juga yang mau kehilangan semua yang berharga itu. Setuju? Tapi, aku coba tempatkan diriku di posisi kaum disabilitas. Alangkah nggak tenangnya aku tiap kali mau keluar rumah! Di sana-sini aku terancam terperosok lobang kalau aku punya disabilitas penglihatan. Jalan di trotoar hampir pasti tabrak sana tabrak sini. Karena nyaris sudah nggak ada tempat lagi di trotoar, aku terpaksa jadi jalan di jalan raya. Biarpun di pinggiran, karena nggak mungkin juga 'kan aku mau jalan ke tengah jalan, tapi tetap saja berbahaya. Apalagi, bukannya nggak mungkin aku lama-lama melenceng, menjauh dari pinggir, terus makin lama makin ke tengah. Itu baru jalan biasa. Kalau mau nyeberang? Lebih susah lagi! Nggak tahu di mana zebra cross. Di mana jembatan penyeberangan, juga bingung carinya. Kalaupun tahu letaknya, nah, tetap saja, "gimana nyeberangnya?!" Wong kendaraan-kendaraan pada ngebut gitu! Yang mau bantu sekarang sudah jarang. Lagian, aku nggak boleh bergantung pada bantuan. Tapi, ya itu tadi, gimana cara mengaksesnya? Mau pakai jembatan penyeberangan, takutnya nanti sama kayak di jalan, kejeblos lobang, berhubung banyak lantai jembatan yang rusak dan menganga. Belum kalau masuk terminal atau bandara atau stasiun atau pelabuhan. Bingung cari loket. Lebih-lebih cari letak kereta-api atau kapal laut atau gerbang menuju pesawat yang kumaksud. Kalau tanya-tanya orang, pasti makan banyak waktu juga.

Lalu, kalau aku mengalami disabilitas pendengaran, gimana juga? Kalau aku lagi jalan kaki di pinggir jalan, berhubung nggak bisa di trotoar karena habis terpakai lapak-lapak jualan, aku nggak bisa dengar bunyi klakson dari kendaraan di belakang. Siapa tahu, kendaraan itu ngebut. Karena aku nggak dengar, aku jadinya nggak menghindar. Padahal, si pengendara pikir, aku bakal langsung menghindar begitu dia bunyikan klakson, jadi dia tetap saja tancap gas lurus. Waduh!!! Nggak mau bayangin lebih jauh deh!! Dan kalau aku misalnya mau naik kereta-api atau pesawat atau kapal laut, bisa-bisa nyaris selalu aku bakal ketinggalan. Masalahnya, kalau mereka mau berangkat, pasti ada pengumumannya lewat corong pengeras suara 'kan. Tapi gimana aku bisa tahu, wong aku nggak bisa dengar?!

Kemudian, gimana juga seandainya aku punya disabilitas daksa? Kalau tungkai-kakiku nggak berfungsi, gimana aku naik jembatan penyeberangan? Apalagi kalau aku pakai kursi roda. Pakai zebra cross? Bahaya! Susah sekali di zaman sekarang ini cari orang yang mau sabar menunggu orang dengan disabilitas daksa menyeberang. Jangankan itu, terhadap orang yang bisa berjalan normal saja kalau menyeberang nyaris tidak ada yang mau menggubris, tetap saja larikan kendaraan dengan kencang, tidak mau tunggu sampai si penyeberang tiba di seberang. Belum lagi kalau naik kendaraan umum. Gimana caranya aku masuk angkot? Gimana aku bisa naik ke atas bus atau kereta atau kapal laut? Gimana aku menaiki tangga pesawat? Apalagi kalau aku pakai kursi roda?! Pintu-pintu kendaraan, apalagi angkot, bus, dan kereta-api, bisa dipastikan nggak akan muat dilewati kursi roda.

Tapi, kita kudu adil juga, Sob! Ada juga sih fasilitas umum yang agak mendingan. Di satu-dua lampu merah, baik di Bandung maupun Jakarta, aku pernah mendapati rambu dan lampu pengatur lalu-lintas yang memberi isyarat supaya pengendara mengutamakan para penyeberang jalan yang menyandang disabilitas, meski, yah, sedihnya, kita tahu sendiri 'kan, sedikit banget yang menaati. Yang mungkin agak mencolok itu toilet-toilet yang ada di tempat-tempat dan fasilitas-fasilitas umum. Mal-mal, rumah-rumah sakit, hotel-hotel, dan pesawat sudah banyak melengkapi toiletnya dengan yang bisa diakses penyandang disabilitas dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya, terutama disabilitas daksa dan lansia. Bus Trans-Jakarta juga mengisyaratkan supaya kaum penyandang disabilitas, lansia, dan wanita hamil diprioritaskan buat mendapatkan tempat duduk, biarpun, sekali lagi, mirisnya, masih sedikit sekali dipatuhi.

Tapi nggak apa-apa! Itu sudah modal yang bagus. Kita mesti mati-matian berusaha menjaga supaya yang sudah sangat sedikit itu jangan sampai hilang. Malah, kita kudu berjuang buat meningkatkan lagi. Terus dan terus lagi. Biar jumlahnya bertambah, jenis-jenisnya juga semakin beragam, dan kualitasnya juga makin membaik. Dan yang paling penting, bagaimana supaya pelanggaran, penyalahgunaan, dan penyia-nyiaan terhadap semua kebaikan itu bisa makin sedikit sampai jadi hilang sama sekali.

Aku membayangkan, di Indonesia ini, bahkan di seluruh dunia, jalan-jalan raya semuanya mulus, nggak ada lobang-lobang, malahan yang kasar-kasar dan rigi-rigi sedikit juga nggak ada. Juga semua trotoar begitu. Mulus plus bebas pedagang dan lapak dagangan, karena semua pedagang jualan di lokasinya yang khusus, nggak liar dan bertebaran sembarangan. Nggak ada sampah di manapun, apalagi yang sampai membahayakan pejalan kaki kayak kulit pisang dan plastik licin. Drainase-drainase berjalan bagus sekali, jadi nggak ada lagi genangan air pas musim hujan, apalagi banjir. Nggak ada lobang-lobang bekas galian menganga, semuanya ditutupi rapat-rapat. Lampu-lampu jalan bercahaya terang banyak berjejer di pinggir jalan-jalan, semuanya berfungsi baik, jadi di waktu malam, jalan-jalan terang, nggak berbahaya buat dilewati.

Aku juga bayangkan, semua perlintasan rel kereta punya palang pembatas, sinyalnya berbunyi kencang, ada petugas di semua tempat itu, dan semua peralatan berfungsi sebagaimana mestinya. Jembatan penyeberangan mulus lantainya, nggak ada lobang dan celah sedikitpun, bahkan dilengkapi sama semacam eskalator buat naik-turun. Di semua lampu merah dan zebra cross, ada lampu pengatur penyeberangan, yang kasih waktu cukup lama buat penyeberang jalan menyeberang tanpa kudu buru-buru; semua pengendara juga patuh, nggak ada yang nyerobot waktu orang lagi menyeberang; malah kalau perlu, ada semacam palang yang bisa otomatis naik dari bawah jalanan waktu lampu lagi menyala hijau untuk penyeberang, terus turun otomatis juga kembali ke balik aspal pas lampu penyeberang menyala merah, supaya nggak ada pengendara bandel yang ngeloyor terus waktu penyeberang lagi dikasih waktu buat menyeberang. Dan di tempat-tempat penyeberangan itu, bahkan juga di jembatan penyeberangan, ada pengeras suara yang memberi tanda berupa suara bicara orang atau bunyi sinyal tertentu, yang menandakan dengan jelas di mana tepatnya tempat penyeberangan itu, juga memberitahu kapan orang boleh menyeberang, kapan penyeberang harus menunggu, dan berapa detik lagi kesempatan orang buat menyeberang.

Terus, aku bayangkan lagi, di stasiun-stasiun kereta-api, terminal-terminal bus, pelabuhan-pelabuhan, dan bandara-bandara ada banyak papan digital, yang menyala terang dengan tulisan besar-besar yang memberitahu kalau ada bus, kereta, kapal, atau pesawat yang mau berangkat, berapa menit lagi berangkatnya, dan di mana naiknya. Selain itu, berbarengan dengan munculnya tulisan itu, ada juga suara lewat pengeras suara di dekat papan digital itu, yang kata-katanya pas sama dengan tulisan yang ada di papan digital. Tangga menuju pesawat dan kapal laut juga dilengkapi semacam eskalator, atau juga elevator (lift), dan pintu-pintu pesawat dan kapal dibuat dua kali lebih lebar supaya kursi roda bisa masuk.

Wah!! Aku baru membayangkan beberapa saja. Barangkali ada di antara kalian yang bisa tambahkan? Coba, kalau yang aku bayangkan itu saja bisa benar-benar jadi kenyataan! Betapa jauh lebih aman dan nyamannya kita! Terutama saudara-saudara kita yang menyandang disabilitas! Penyandang disabilitas netra bisa tahu di mana tempat penyeberangan dan bisa menyeberang dengan aman. Juga bisa naik kendaraan apapun tanpa takut. Penyandang disabilitas rungu nggak bakalan terlambat atau ketinggalan kendaraan. Penyandang disabilitas daksa dan kaum lansia juga bisa mengakses jembatan penyeberangan dan tangga kapal/pesawat dengan gampang, juga bisa menyeberang dengan tenang. Pokoknya, banyak membantu deh! Apalagi, dengan tambahan-tambahan dari ide kalian!

Semua itu bukan idealisme kosong lho! Bukan utopia juga. Semua itu membumi kok! Nggak mustahil. Yang penting, kitanya ada niat dan kemauan apa kagak. Kita semuanya, tanpa kecuali, mau ikut berperan dan berpartisipasi mewujudkan itu apa nggak. Toh, itu semua 'kan buat kita-kita juga, juga buat semua orangtua, saudara, sanak-famili, teman, orang terdekat, pacar, suami, isteri, dan siapapun juga yang kita kasihi, yang mungkin punya disabilitas. Caranya? Yang terutama, kita kudu ikut jaga dan rawat baik-baik fasilitas umum. Peduli lah, tapi jangan terlalu sedikit juga pedulinya. Apalagi sampai ikut-ikutan merusak, wah, kita wajib mengharamkan itu! Kalau kita lihat ada yang mulai rusak, mulai nggak optimal fungsi dan tampilannya, kita laporkan ke dinas terkait. Tapi kalau kita sendiri bisa tangani, kita punya kemampuan, kenapa nggak langsung saja kita yang perbaiki, iya 'kan? Terus juga, kita mesti peduli sama sesama. Terutama pada kaum dengan disabilitas dan lansia. Bantu mereka menyeberang kek, bantu kasih tahu kek kalau kita tahu ada penyandang disabilitas rungu yang lagi menunggu pesawat dan ternyata pesawatnya sudah mau berangkat. Ya, yang semacam itulah. Kemudian, kalau kita berjualan, kita kudu cari tempat yang memang dimaksudkan buat jualan. Jangan deh kepikiran buat jualan di trotoar, karena selain itu melanggar peraturan, melanggar hak orang lain, keselamatan kita sendiri juga jadi terancam lho, iya 'kan? Dan kalau kita punya wewenang, kita jadi pejabat, bikin deh semua fasilitas yang keren, yang bukan cuma berfungsi normal saja, tapi juga bermartabat, semaksimal mungkin kasih kemudahan dan kenyamanan buat orang banyak. 'Kan kita juga yang nikmati, betul? Bukan pakai uang kita sendiri ini toh? Jadi, kenapa keberatan? Juga buat bikin anggaran perbaikan, itu kudu tuh. Kita, yang punya jabatan dan kekuasaan, wajib punya planning bukan cuma buat bikin atau beli sesuatu fasilitas, tapi juga buat pemeliharaannya. Juga harus rajin banget ngecek ke lapangan, bagaimana kondisi fasilitas, soalnya kita mesti pastikan semua itu tetap optimal fungsi dan estetikanya.

Pokoknya, kesimpulannya, kita semua harus ikut ambil peran dan bagian. Sekali lagi, ini 'kan buat kita sendiri dan para kekasih kita, juga buat sesama kita, manusia, iya 'kan? Dengan menulis kayak gini, ikut Kartunet kampanye aksesibilitas tanpa batas bersama ASEAN Blogger Community dan XL Axiata lewat tulisan kayak gini, berarti kita juga sudah ikut ambil satu peran. Kalau bisa sih, lebih lagi sumbangsih kita. Supaya semua orang, tanpa satupun terkecuali, penyandang disabilitas atau bukan, bisa menikmati "menjadi manusia", istilah kerennya, lewat kondisi aksesibilitas tanpa batas itu. Amin!!!

Aku mau. Kamu??

Sabtu, 02 Maret 2013

Adaptasi terhadap Perubahan untuk Perubahan


Kita, manusia, memiliki kemampuan menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Termasuk terhadap perubahan iklim.

Proses adaptasi kita terhadap perubahan iklim bervariasi dari segi kurun waktu dan tahapan, tergantung dari banyak faktor, seperti budaya dan pola pikir masyarakat tempat kita tinggal. Ada masyarakat yang dapat beradaptasi dalam waktu singkat, hanya memerlukan satu-dua tahun saja, tapi ada yang membutuhkan waktu sampai satu dasawarsa atau lebih. Ada populasi yang cuma melakukan beberapa kali uji coba saja sudah bisa menemukan pola hidup yang cocok dengan iklim yang sudah berubah, namun di tempat lain, populasinya mungkin harus melewati puluhan tahapan coba-coba sebelum akhirnya dapat beradaptasi sempurna.

Proses adaptasi itu sendiri pun berbeda-beda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain. Masing-masing disesuaikan selain dengan budaya dan pola pikir ekslusif masyarakatnya sendiri, juga dengan kondisi alam dan iklim di wilayah tempat masyarakat itu tinggal, serta, yang tak kalah penting, juga dengan corak, nuansa, dan dinamika perubahan iklim di tiap-tiap wilayah, yang pastinya juga berlainan. Orang-orang yang tinggal di daerah tropis tentu akan beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan cara yang berbeda dengan orang yang tinggal di daerah subtropis. Dan walaupun sama-sama tinggal di wilayah beriklim tropis, orang Indonesia kemungkinan besar akan memiliki gaya adaptasi yang lain dengan orang Brasil, misalnya.

Tapi, mengapa iklim bisa berubah? Iklim tidak mungkin berubah dengan sendirinya. Yang paling bertanggungjawab atas perubahan iklim adalah kita sendiri, manusia. Perilaku kitalah yang paling dominan mengakibatkan iklim berubah, baik itu perilaku kita secara langsung terhadap alam maupun perilaku kita dalam aspek lain yang secara tidak langsung mempengaruhi keadaan alam.

Hanya dalam kurun waktu kurang-lebih satu abad, yaitu sejak akhir abad ke-19, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang akselerasinya puluhan kali lebih besar ketimbang ribuan tahun peradaban manusia sebelumnya sejak manusia ada. Ini tentu patut disyukuri. Namun, masalahnya, sekaligus menariknya, eskalasi perkembangan iptek berbanding lurus pula dengan tingkat kerusakan alam dan lingkungan. Juga hanya dalam kurun waktu yang sama, terjadi perubahan ekosistem, biosfer, litosfer, dan hidrosfer dengan tingkat percepatan yang setara dengan perkembangan iptek. Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia muka bumi berubah se-ekstrem satu abad lebih belakangan ini. Dan perubahan itulah yang tentunya mengakibatkan iklim ikut berubah.

Jika perilaku kita adalah faktor yang paling menentukan bagi perubahan iklim, dan dari sekian banyak cara kita dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, tentu tidak sedikit yang menggunakan iptek, maka patut dipikirkan, apakah perilaku kita dalam hal beradaptasi itu pun bisa menimbulkan dampak pula terhadap alam? Dengan kata lain, apakah prosedur-prosedur perilaku dalam cara kita beradaptasi itu akan pula menstimulus iklim untuk berubah kembali pada suatu saat?

Terhadap pertanyaan ini, kita harus berani menjawab: ya!

Coba kita lihat contoh sederhana berikut:
Sewaktu udara semakin bertambah panas dan sinar matahari seolah terasa lebih menyengat, kita jadi makin banyak menggunakan pendingin ruangan (AC, air conditioner), entah itu di rumah, atau di mobil, atau di mana saja. Dan kita semua sudah tahu bahwa AC menggunakan freon, dan bahwa freon (CFC, chloro-fluoro-chloride) adalah “biang keladi” menipisnya lapisan ozon atmosfer, dan bahwa penipisan lapisan ozon itu mengakibatkan “efek rumah kaca”, dan bahwa “efek rumah kaca” itu menyebabkan pemanasan global, dan bahwa.... Kita sudah tahu bagaimana “ending”-nya. Ujung-ujungnya: perubahan iklim.

Itu baru satu contoh. Masih banyak lagi contoh yang bisa digali kalau kita mau sedikit meluangkan waktu untuk merenungkan hal ini.

Lalu bagaimana? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Tentu saja kita harus mengupayakan kebalikannya, yakni melakukan cara-cara beradaptasi yang tidak akan menimbulkan perubahan iklim selanjutnya. Tapi barangkali ada yang lebih baik lagi. Bagaimana kalau kita beradaptasi dengan cara yang justru menghasilkan perubahan iklim yang lebih kondusif, yang lebih baik, atau paling tidak, kembali pada iklim yang “normal”, maksudnya, iklim yang seperti sediakala sebelum berubah akibat kerusakan alam dan lingkungan?

Bayangkan ini:
- Menghadapi cuaca yang kian lama kian gerah, kita menemukan sebuah alat dengan bahan-bahan berikut segala kelengkapannya yang dapat meringankan ketidaknyamanan kita namun sekaligus juga, secara pelan tapi pasti, mempengaruhi kondisi lapisan ozon atmosfer sehingga terus memulih.
- Menanggulangi badai hebat yang semakin merajalela di berbagai belahan bumi yang disebabkan makin tidak menentunya putaran angin akibat bertambah besarnya kesenjangan perbedaan tekanan udara di bawah atmosfer, kita akhirnya mampu menemukan cara adaptasi yang selain dapat melindungi kita dari kerusakan badai tapi sekaligus juga bisa memicu sebuah reaksi antar-unsur di udara yang memperkecil kesenjangan perbedaan tekanan.

Bukankah kita terangsang untuk membayangkan contoh-contoh “indah” lain lagi?

Apakah itu mungkin? Bisa saja! Harus, malahan! Kenapa? Sebab, perubahan iklim yang sudah terjadi sekarang ini, selain bersifat destruktif, juga bertendesi degradatif. Artinya, cenderung semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Jikalau kita mendiamkan, atau bersikap pasif saja, atau bahkan yang lebih buruk: terus melakukan cara-cara adaptasi yang lebih mendorong kerusakan terjadi lebih cepat, maka saya tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita di kemudian hari.

Keharusan nan darurat ini berlaku bagi semua kelompok masyarakat manusia di seluruh dunia, tanpa terkecuali, tidak peduli apapun dan bagaimanapun gaya adaptasinya. Tidak bisa cuma satu-dua kelompok masyarakat saja yang mengupayakan perubahan iklim ke arah yang lebih baik itu. Pula, di tiap kelompok masyarakat, harus semua anggota dari seluruh elemen dan lapisan terlibat. Ya pemerintah, ya rakyat. Ya pengusaha, ya buruh. Ya kaum intelektual, ya kaum rohaniwan. Semuanya.

Untuk itu, adalah sangat baik jika ada satu organisasi atau lembaga yang berfungsi menyatukan visi dari semua kelompok masyarakat di dunia demi merealisasikan misi idealistis melahirkan perubahan iklim yang baik. Contohnya Oxfam. Oxfam adalah konfederasi internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Dengan cakupan yang sudah luas, Oxfam cukup mumpuni sebagai lembaga yang demikian.

Tapi yang juga amat penting dan perlu kita camkan, perubahan yang sedemikan mendesak itu haruslah dimulai dari diri kita sendiri mulai dari sekarang juga. Tidak benar jika kita bisa menyuruh-nyuruh orang lain, terutama pemerintah, namun diri kita sendiri tidak melakukan apa-apa untuk mulai memikirkan cara-cara yang efektif bagi terwujudnya perubahan iklim tersebut. Dan sampai kapan lagi kita mau menunda-nunda idealisme ini?