Senin, 22 April 2013

Rendang Padang, dari Randang Padang RESTU MANDE ke Seluruh Dunia

Rendang Padang. Makanan tradisional asal Sumatera Barat dan telah menjadi makanan khas dan otentik Indonesia ini kini mulai dikenal masyarakat internasional sejak dinobatkan menjadi makanan terlezat nomor satu di dunia pada tahun 2011 lalu. Adalah tugas dan tanggung jawab kita semua, bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Minang khususnya, untuk terus menggadang rendang sehingga semakin populer di kalangan semua bangsa. Segala cara dalam berbagai aspek dapat dilakukan. Contohnya, seperti yang dilakukan rumah makan Randang Padang RESTU MANDE.

Saya penasaran ketika pertama kali tahu restoran RESTU MANDE ini, istimewanya sewaktu membaca visinya yang luhur untuk memasyarakatkan rendang Padang ke seluruh dunia. Dan pas tahu kalau rumah makan ini berpusat di kota tempat domisili saya sendiri, Bandung, saya jadi lebih antusias. Selain menyimak keterangan yang dipublikasikan di situs resmi dan fanpage-nya, tentu saja saya juga datangi rumah makan ini untuk melihat langsung. Dan mencoba sendiri rendangnya, tentu saja, sebab kebetulan memang saya ini penggemar kuliner dan penyuka masakan Padang. Terutama rendang Padang. Kalau saya beli makanan Padang, sebagian besar yang saya pesan adalah rendang.

Tempatnya tidak terkesan mahal. Jadi, orang yang ingin berhemat pun tidak akan enggan dan merasa ciut nyali untuk masuk, membeli, dan makan di situ. Tapi bukan berarti juga terlihat murahan. Tetap saja rumah makan yang berlokasi di Jalan Brigjen Katamso 64, Bandung, tersebut tampak berkelas. Saya yakin, kalangan elit yang biasanya amat memperhatikan detil pun akan merasa aman dan tetap merasa dihargai.

Untuk makan siang yang sedikit agak terlambat saat itu, jelas saya pesan menu favorit saya: paket nasi rendang. Dan saya terkesan bahkan sebelum makanan itu masuk ke mulut saya. Karena, begitu saya potong dengan sendok, dagingnya begitu mudahnya dibelah. Terus terang, saya tidak tahu lagi sudah berapa kali makan rendang Padang yang saya dapatkan dari entah berapa rumah makan Padang seumur hidup saya, tapi belum pernah saya dapati yang seempuk, sebegitu bersahabat dengan gigi, dan sedemikian gampang ditelan seperti di RESTU MANDE itu. Citarasanya juga sangat tidak memungkinkan untuk disebut sebagai biasa-biasa saja. Otentik sekali! Lezat pula, pastinya. Saya termasuk mahal dalam memberi pujian. Jika tidak benar-benar mengesankan, saya takkan puas. Dan penilaian saya ini bukannya tanpa dukungan. Foto di dinding restoran itu yang memperlihatkan kunjungan orang-orang ternama dalam dunia kuliner Indonesia semacam Bondan Winarno mengafirmasikan pendapat saya.
Paket nasi rendang Padang
Paket nasi rendang Padang RESTU MANDE (Foto: koleksi pribadi)

Saya ingin menggarisbawahi keotentikan rasa ini. Bagi saya, itulah unsur yang paling penting dalam sebuah menu makanan tradisional. Lezat itu bisa saja relatif dan subjektif sekali sifatnya. Tapi tidak dengan otentisitas citarasa. Ada rendang yang memang enak namun tidak otentik. Saya pernah merasakan rendang yang rasanya lebih mendekati steak ketimbang rendang Padang. Pada kesempatan lain lagi, rendang yang saya makan terasa seperti empal atau gepuk, unsur dan sentuhan yang menjadikannya layak diberi label rendang Padang nyaris tak kentara. Tapi yang saya temukan di RESTU MANDE itu adalah rendang Padang dengan rasa yang Padang banget. Tingkat kepedasannya juga moderat, sehingga berterima bagi orang yang tidak suka atau tidak tahan pedas, namun tetap menggigit untuk lidah yang kebal pedas. Bagus sekali! Kalau kata Pak Bondan, “Maknyus! Top markotop!”

Harganya pun betul-betul terjangkau. Satu potong daging rendang hanya Rp9.500 saja! Ditambah nasi plus sayur daun singkong dan nangka seharga empat ribu rupiah, paket nasi rendang Padang itu jadinya cuma Rp13.500. Itu harga yang bisa dibilang sama saja dengan paket nasi rendang Padang di rumah makan Padang biasa, alias rumah makan Padang berskala kecil yang harga makanannya paling murah. Padahal, dari segi rasa, rendang Padang RESTU MANDE selevel (kalau tidak mau dikatakan lebih berkualitas, sebutan yang sebenarnya amat pantas) dengan restoran Minangkabau kelas atas nan megah dan mewah.
Struk Restu Mande
Rendang Padang RESTU MANDE, berkualitas tinggi tapi relatif murah (Foto: koleksi pribadi)

Di restoran Randang Padang RESTU MANDE tersebut juga saya dapati sampel paket rendang kemasan. Ada 2 jenis rasa yang saya lihat: rendang Padang kemasan yang orisinal dan yang pedas/lebih berbumbu (spicy hot). Masing-masing berharga Rp64.000 dan Rp67.000, dengan berat yang sama, 3 ons per kemasan. Jadi, suatu saat, jika ingin membawakan kerabat oleh-oleh rendang Padang untuk dibawa ke luar kota atau ke luar negeri, saya tinggal memesan dari RESTU MANDE ini saja, mengingat keawetannya yang relatif cukup lama, bisa sampai beberapa bulan bahkan setahun.
Rendang kemasan RESTU MANDE
Rendang kemasan RESTU MANDE

Ada baiknya apa yang diupayakan RESTU MANDE itu kita teladani juga dalam rangka memasyarakatkan rendang Padang ke seluruh dunia. Pertama, memberikan kesan elegan yang membumi, sehingga orang mengerti bahwa rendang Padang itu dapat masuk untuk segala kalangan dan golongan, baik orang kaya maupun orang sederhana, kaum ningrat pula rakyat jelata. Kedua, sangat memperhatikan dan mempertahankan kualitas rasa dan higiene maupun otentisitas citarasa, karena para pecinta kuliner di manapun di dunia, apalagi dari kalangan pekerja kuliner profesional, amat menjunjung tinggi hal-hal tersebut. Ketiga, bukan cuma dari segi tampilan saja, dalam soal rasa dan harga pun rendang Padang harus akseptabel bagi semua orang dari apapun latar belakang suku, bangsa, agama, dan lain-lainnya; maksudnya, tidak mahal-mahal, serta juga tidak mengandung rasa yang pedas atau gurih atau apapun secara ekstrem. Dan keempat, membuat rendang Padang dalam kemasan-kemasan dengan kadar mobilitas dan kepraktisan tinggi; jadi, tidak merepotkan untuk dibawa dalam rangka promosi ataupun untuk penjualan tetap ke luar negeri, pula porsinya cukup untuk dimakan beramai-ramai namun tidak berpotensi menyisa dalam waktu lama.

Di pihak lain, terpikirkan oleh saya, ada aspek lain dari rendang Padang yang membuatnya dapat diterima oleh semua orang di seluruh dunia. Aspek itu adalah filosofi yang terkandung dalam rendang Padang.

Menurut Wikipedia berbahasa Indonesia, rendang Padang memiliki makna budaya yang bersumber dari keempat elemen utamanya. Makna budaya ini terkait erat dengan kehidupan masyarakat Minang. Daging sapi, yang merupakan elemen utama dari rendang, melambangkan kaum pemuka adat sebagai pemimpin serta pilar penopang entitas, kebudayaan, dan kehidupan kemasyarakatan orang Minang. Kelapa (sebagai santan) adalah simbol dari kaum cerdik-pandai atau cendekiawan, para pemikir yang tugasnya memberi rasa dan ilham untuk para pemuka adat agar dapat memimpin masyarakat dengan lebih bijaksana lagi, sebagaimana kelapa (santan) yang meresap ke dalam daging. Cabai, pemberi rasa pedas, mengibaratkan para ulama dan pemuka agama, yang menjaga kepemimpinan para pemangku kewenangan tetap lurus secara moral dengan petuah-petuahnya yang kritis dan tajam. Terakhir, bumbu-bumbu pemasak lainnya (bawang merah, serai, garam, dan sebagainya) menggambarkan semua lapisan masyarakat, mengawal dengan pemantauan ketat agar kepemimpinan para pemuka adat tetap berpihak pada rakyat, serta terus menyokong para pemimpin dengan berbagai dukungan supaya teguh, langgeng, dan terhindar dari pembusukan, seperti halnya bumbu-bumbu dalam rendang Padang yang berfungsi sebagai pengawet alami karena mengandung zat-zat antimikroba.

Namun, sama sekali tanpa bermaksud menafikan makna budaya di atas, saya sendiri punya penafsiran juga. Menurut saya, rendang Padang mengandung filosofi yang berlaku untuk siapapun di belahan dunia manapun dalam zaman apapun.

Kehidupan kita ibarat daging sapi. Demi menjadikannya bergizi dan nikmat serta bermutu, kita harus mengolahnya. Dalam proses pengolahan itu, kita membutuhkan bahan-bahan dan bumbu-bumbu berupa ilmu, pengetahuan, pendidikan, pengalaman, dan seterusnya. Semakin banyak semakin baik. Namun, semua itu harus pas takaran dan metodenya. Artinya, timing atau momentum harus benar-benar diperhatikan. Demikian pula prosedur. Ada waktu untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, ada pula masanya untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajari. Keliru satu saja prosedur atau gagal dalam memanfaatkan satu momen saja akan merusak seluruh masakan. Tidak satupun bahan dan bumbu yang tidak bermakna. Semuanya bermanfaat. Maka, apapun yang kita alami pastilah ada hikmahnya. Ada kalanya kita mengalami masa-masa di mana kita memiliki gurihnya santan kelapa; tapi pada kesempatan berbeda, kita juga harus merasakan kecut manakala asem kandis dimasukkan ke dalam hidup kita. Di satu titik, garam yang dibubuhi menyebabkan kelenjar neurotransmiter kita memompakan hormon endorfin yang menghasilkan keluarnya segala rasa dan energi positif serta juga potensi yang ada dalam diri kita. Tapi di waktu lain, pahitnya rempah-rempah mesti kita rasakan, yang menimbulkan kesedihan, kepedihan, bahkan penderitaan dan kesengsaraan di hati dan tubuh kita. Dalam suatu kesempatan, gula yang dimasukkan akan memberi kita indahnya rasa manis; namun pada saat tertentu, cabai dan rempah-rempah pedas lainnya wajib kita terima juga. Terlebih lagi, semua itu harus melalui pemanasan di atas api. Dalam waktu lama pula! Akan tetapi, justru itulah yang membuat segala rasa dan pengalaman di atas, baik yang positif maupun yang negatif, memadu untuk memproduksi sebuah hasil yang luar biasa nikmat dan bermutu tinggi, sebuah kemuliaan yang tiada taranya, entah itu berupa kesuksesan, atau berupa kebahagiaan, atau bisa juga berupa kesejahteraan, atau apapun juga bentuk kemuliaan itu! Namun, meski demikian, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan. Rendang Padang kehidupan kita itu memerlukan proses yang panjang yang harus dijalani dengan penuh komitmen, ketelatenan, dan ketekunan. Tidak bisa ditinggal. Tidak diizinkan sedikitpun kelengahan dan keleha-lehaan. Kita harus terus-menerus menunggui, mengaduk, dan menjalani seluruh proses secara kontinu dan konsisten tanpa boleh terputus.

Itulah sebabnya mengapa rendang Padang sangat bisa diterima oleh semua bangsa di dunia. Saya percaya, ada hubungan yang erat dan niscaya antara karakter manusia, per individu maupun kelompok, dengan makanan yang dimakannya. Yang mana yang menjadi penyebab pertama memang belum bisa saya simpulkan, tapi yang pasti, keduanya pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Karakter manusia menentukan pilihan menu makanannya. Tapi suatu jenis makanan yang dikonsumsi dalam jumlah dan rentang waktu tertentu juga dapat mempengaruhi perubahan atau pembentukan watak dan karakter orang tersebut. Oleh sebab itu, siapapun yang sebelumnya tidak pernah mengenal rendang Padang, begitu diperkenalkan dengan makanan tradisional Indonesia yang satu ini, dapat dipastikan akan menyukainya. Karena, secara naluriah, disadari maupun tidak, filosofi yang sarat terkandung dalam citarasa rendang Padang akan terkoneksi dengan karakter dan sifat bawaan manusia yang menginginkan kemajuan dan kemaslahatan dalam segala hal, karakter dan sifat yang juga mengandung kesadaran bahwa untuk meraih semua itu harus melalui proses yang panjang, berliku, dan dinamis. Sebab, pada dasarnya juga manusia menyadari, makin sulit dan berat prosesnya, kian mulia pula hasilnya. Tidak ada kemuliaan sedikitpun dari kondisi yang serba instan dan mudah. Bahkan makanan cepat saji dan mi instan sekalipun tidak luput, harus melalui proses juga jika mau terasa enak dan bernilai gizi tinggi, karena jika tidak, maka makanan-makanan itu takkan terasa enak dan hanya akan menjadi makanan sampah yang menimbulkan penyakit.

Jumat, 05 April 2013

Menjadi Konsumen yang Cerdas dan Terlindungi

Kita banyak membeli barang dan membayar jasa. Jika kita hitung, dalam sehari saja, rata-rata kita bisa lebih dari 1 kali melakukan transaksi pembelian dan pemakaian jasa. Bayangkan, kalau kita kalikan dengan jumlah hari selama kita hidup sampai saat ini, jelas sudah banyak sekali, bukan? Dan, seiring dengan itu, tentu sudah hampir tak terhitung pula uang, waktu, dan tenaga yang juga telah kita keluarkan.

Tapi, barangkali banyak di antara kita yang merasa dirugikan dalam sebagian besar transaksi tersebut. Kualitas produk yang tidak sesuai ekspektasi, layanan purna-jual yang buruk, dan masih banyak hal lain lagi; semua itu membuat kita geram dan merasa tertipu.

Kita pasti masih ingat nasehat yang sangat terkenal dari Bang Napi: "Ingat! Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena adanya kesempatan. Waspadalah!! Waspadalah!!!" Benar, segala hal yang menyebabkan atau berpotensi mengakibatkan konsumen rugi adalah kejahatan. Namun, hampir selalu kejadian itu bisa sampai terjadi karena kita sendiri, sebagai konsumen, lalai. Kurang cermat meneliti produk atau layanan yang hendak kita beli, kurang cerdas dalam memilih dan memilah barang serta layanan yang akan kita ambil. Dengan demikian, kita sudah membuka kesempatan bagi "para serigala" yang siap "menerkam" kita kapanpun kita lengah.

Memang, itu "hampir selalu", artinya tidak selalu juga kita dirugikan atau terperdaya akibat kelalaian kita sendiri. Sebab, memang, bisa saja terjadi, kita sudah sebegitu teliti, sudah melakukan perhitungan dengan amat baik, tapi tetap merugi. Akan tetapi, tetap saja, seringnya bukan itu yang terjadi. Karena, kembali, hampir selalu kita rugi akibat kesalahan kita sendiri. Berarti, kita sendiri sebenarnya punya andil paling besar atas kerugian yang menimpa diri kita.

Tapi, jika kita memandangnya dari sudut pandang lain, yaitu dari perspektif yang optimistis, hal itu justru adalah kabar baik. Sebab, itu berarti kita sendiri jugalah yang punya andil paling besar untuk mencegah terjadinya kerugian pada diri kita. Dengan kata lain, kita sangat punya daya dan kuasa untuk mencegahnya. Kita sangat mampu untuk itu.

Bagaimana caranya? Nah, berikut ini adalah langkah-langkah paling dasar, tapi justru yang paling menentukan, untuk menjaga agar diri kita sebagai konsumen tidak dirugikan, alias untuk "menjadi konsumen cerdas".

1. Apa sih yang benar-benar saya butuhkan?
Seringkali, kita tidak mengambil waktu untuk memilah-milah antara apa yang kita butuhkan dengan apa yang kita inginkan. Sayangnya, justru inilah yang paling banyak menyebabkan kita "kejeblos".
Nah, untuk itulah, kita harus mulai dari sini. Kita harus mulai punya kemauan untuk mengenali apa saja yang sungguh-sungguh merupakan kebutuhan kita dan apa saja yang cuma sekadar keinginan kita.
Di sini diperlukan kejujuran dan kelapangan hati dalam membuat klasifikasi, serta kedisiplinan dalam mengaplikasikannya. Sebagai tambahan, sangat penting untuk digarisbawahi: kejujuran, kelapangan hati, dan kedisiplinan ini terus berlaku dalam semua langkah selanjutnya.
Sebaiknya kita melakukan pencatatan. Kecuali kalau kita punya memori atau daya ingat yang amat sangat long-lasting. Kita catat apa-apa yang kita butuhkan secara berurutan sesuai skala prioritas, mulai dari yang sangat mendesak sekali di urutan teratas, hingga yang kurang atau tidak terlalu mendesak di urutan paling bawah.

2. Berapa ya uang jatah belanja saya?
Belum, kita belum mulai belanja. Ini masih di rumah. Sesudah kita bereskan daftar kebutuhan, sekarang giliran membuat anggaran. Ini bukan anggaran belanja, melainkan anggaran keuangan kita secara keseluruhan. Dan, sekali lagi, sebaiknya tercatat. Kecuali, selain punya memori yang sangat permanen, kita juga punya kemampuan yang luar biasa sekali dalam hal berhitung dan membuat skema secara bayangan saja dalam imajinasi tanpa melihat riilnya, seperti Gary Kasparov.
Nah, begitu anggaran itu jadi, kita jadi bisa melihat, berapa uang yang kita punya seluruhnya (benar-benar secara aktual kita punya sekarang, baik di dompet maupun di rekening bank; bukan yang nanti bakalan kita punya), berapa yang kita pisahkan untuk membayar tagihan-tagihan wajib, berapa yang kita sisihkan untuk membelanjakan kebutuhan yang tadi sudah kita catat, berapa yang kita cadangkan untuk keperluan darurat yang mendadak dan tak terduga, berapa yang kita khususkan untuk pengeluaran "spesial" (misalnya: untuk amal dan sumbangan, atau untuk membantu orangtua, atau untuk berekreasi, berlibur, berwisata, serta makan-makan dan hiburan sesekali), dan berapa yang kita simpan untuk ditabungkan.

3. Barang anu kira-kira harganya sekian, bayar anu kira-kira sekian....
Masih tetap di rumah. Tinggal satu lagi. Makin matang persiapan, makin diperkecil peluang terjadinya kerugian. Setelah kita memastikan berapa uang yang kita jatahkan untuk belanja, barulah kita membuat anggaran belanja. Tercatat juga, seyogyanya.
Barangkali, "rincian pengeluaran belanja" lebih tepat ketimbang "anggaran belanja". Copy-paste tulisan dari catatan prioritas kebutuhan (yang tadi kita buat dalam langkah 1) ke kertas baru, lalu di tiap poin urutan kebutuhan, kita tuliskan prediksi harga atau biayanya. Tentu saja, prediksi itu mengikuti asumsi maksimal; maksudnya, yang kita cantumkan di samping nama (atau jenis) barang (atau jasa) itu adalah harga atau ongkos tertinggi yang bersedia kita bayarkan untuknya. Contohnya, kita tuliskan: "Bahan-bahan dan bumbu-bumbu masakan untuk makan per hari: Rp20.000", berarti biaya untuk belanja bahan makanan per hari kita tetapkan maksimal sebesar dua puluh ribu rupiah, tidak boleh lebih.
Ada baiknya juga kalau pada item yang kita butuhkan itu kita tuliskan pula detilnya, misalnya merek dan jenisnya. Bila itu yang kita tulis, maka "asumsi maksimal" itu adalah harga paling mahal dari barang tersebut yang kita prediksikan kemungkinannya. Umpamanya, kita tuliskan: "Lemari pakaian kayu merek 'A' berukuran a x b cm: Rp2.000.000", itu artinya kita memperkirakan bahwa lemari bermerek 'A' tersebut “separah-parahnya” berharga dua juta rupiah, yang berarti pula, secara normal sebetulnya harga pasarannya biasanya dan seharusnya di bawah itu; jadi, kalau seandainyapun memang terjadi sesuatu yang menyebabkan harga lemari itu melonjak, jika harganya jadi dua juta rupiah, kita tetap beli; tapi sekiranya lebih mahal daripada itu, kita harus tunda dulu pembeliannya, kita pikirkan dan rencanakan ulang terlebih dahulu.

4. Belanja, ayo kita belanja...!
Nah, sekarang barulah kita pergi belanja! Jangan lupa, rincian pengeluaran belanja harus kita bawa. Karena catatan rincian itu merangkap daftar belanjaan kita juga. Tentunya, kita tidak mesti membeli semua yang kita catat itu dalam sekali jalan. Oleh sebab itu, ada baiknya kita menyisihkan sedikit waktu lagi saja di rumah, paling lama juga 10 menit, guna membuat satu daftar lagi, yaitu daftar belanja. Maksudnya, daftar belanja untuk hari ini, apa yang mau kita beli hari ini saja, di tempat tertentu saja. Daftar terakhir inilah yang kita bawa.
Bawalah uang secukupnya, hanya sejumlah yang dibutuhkan untuk belanja saat ini sesuai daftar belanja, beberapa rupiah untuk ongkos atau uang bensin, dan ditambah sedikit saja untuk marjin, bukan untuk belanja tambahan, melainkan untuk jaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi dalam perjalanan yang membutuhkan tambahan ongkos.
Tapi itu kalau kita memilih memakai uang tunai. Bagaimana kalau dengan berbagai alasan, kita lebih memilih untuk memakai kartu kredit atau kartu debet? Nah, itu memang situasional sekali. Adalah hak asasi semua orang untuk memakai cara pembayaran apapun sesuai yang disukainya. Namun, sebagai konsumen yang cerdas, adalah lebih bijak jikalau kita lebih mengutamakan kartu debet. Mengapa? Karena akan lebih terasa pengeluarannya, hampir sama dengan saat kita menggunakan uang tunai. Kartu kredit sebaiknya hanya digunakan pada waktu kita memerlukan pembayaran yang jumlahnya relatif besar, mengingat faktor keamanan dan kepraktisan. Hanya saja, pada kesempatan yang sama, kita membutuhkan kontrol yang kuat. Sekiranya kita cukup kuat mengontrol diri, tidak mudah terpikat mata kita untuk membelanjakan hal-hal yang tidak perlu, bolehlah kita menggunakan kartu kredit saat kita melakukan transaksi seorang diri. Tapi jika tidak, sebagai bukti bahwa kita cukup tahu diri dan berusaha menjadi konsumen cerdas, sebaiknya kita membawa paling sedikit satu orang untuk menemani kita belanja. Maksudnya, sebagai pengawas dan pengingat kita, yang menjaga agar kita tidak terjebak nafsu berbelanja. Bisa itu suami/isteri, atau kakak, atau orangtua, atau sahabat, atau siapa saja yang kita tahu baik dan semata-mata hanya menginginkan kebaikan bagi kita.
Dan ini berlaku juga manakala kita melakukan pembelian secara online, di mana kartu kredit juga dapat digunakan sebagai salah satu cara pembayaran selain transfer bank dan PayPal, sebagaimana nanti akan kita lihat di bawah.

5. Pilah-pilih aaah...!!
Sampailah kita ke tempat yang dituju. Pada titik inilah "perjuangan" mencapai titik paling panas, paling nyata, sekaligus paling menentukan. Namun, sebetulnya sederhana saja. Yang perlu kita lakukan hanyalah memilah dan memilih secara betul-betul cermat dan teliti.
Proses pemilahan dan pemilihan produk ini juga terdiri dari beberapa langkah. Langkah-langkah ini tidak perlu dilakukan secara berurutan. Yang penting, seluruhnya dijalankan. Kalau kita sudah menentukan merek, model, tipe, dan spesifikasi lain dari produk yang kita inginkan, tugas kita jadi jauh lebih ringan, sebab alternatif yang harus kita pilah-pilih pasti jauh lebih sedikit. Tapi kalaupun tidak, kita tidak perlu panik dan risau. Meskipun memang lebih banyak alternatif yang harus kita amati, setidaknya kita punya patokan, yaitu barang itu harganya harus berada dalam range asumsi maksimal yang sudah kita tentukan dalam rincian belanja.

a). Pilihlah yang kemasannya rapat dan utuh. Terutama untuk produk bahan pangan. Kalau bisa, semulus mungkin. Tidak terlihat kusam dan tidak menyebabkan jari kita terasa risih pada waktu kita usap akibat debu yang menempel. Kelihatannya sepele, padahal kemasan ini banyak "berbicara" kepada kita. Dari kesan yang diberikan kemasan, kita dapat mengira-ngira, barang tersebut dirawat baik-baik oleh penjual atau pengelola toko atau tidak, juga apakah itu stok lama atau baru. Sebab, kalau untuk membersihkan barang dagangannya saja penjual atau pengelola toko sudah tidak telaten, jangan-jangan cara perlakuan lainnya juga tidak baik, seperti tidak hati-hati menaruh, main banting-banting saja. Andai benar begitu, gawat juga! Apalagi untuk barang elektronik dan barang-barang pecah-belah.

b). Pilihlah barang yang ada labelnya, dan label tersebut berbahasa Indonesia. Hal ini untuk menghindari barang black market (BM), yang tidak jelas rimbanya.

c). Pilihlah produk yang pada labelnya (yang sebaiknya berbahasa Indonesia, sebagaimana disebutkan barusan) tercantum secara rinci dan jelas identitas produsen dan distributornya, lebih baik lagi kalau ada alamat dan nomor kontak layanan konsumennya. Jika tidak, kalau terjadi sesuatu yang merugikan, kita akan kesulitan meminta pertanggungjawaban. Karena, produsen dan distributor yang tidak merinci identitas perusahaannya, apalagi jikalau sama sekali bahkan tidak menuliskan nama mereka sekalipun pada label, patut dipertanyakan kredibilitas dan keterpercayaannya.

d). Pilihlah produk yang labelnya (sekali lagi: sebaiknya berbahasa Indonesia), minimal, menjelaskan juga keadaan (kondisi) dan kegunaan barang, tanggal kadaluwarsa, serta informasi K3L (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan). Informasi yang berkaitan dengan K3L yang terdapat pada label barang adalah simbol bahaya, pernyataan kehati-hatian, dan/atau peringatan yang jelas.

d). Pilihlah produk yang masa kadaluwarsanya paling lama. Terutama untuk produk-produk yang digunakan pada tubuh dan/atau dikonsumsi ke dalam tubuh, seperti bahan pangan dan obat-obatan. Sering didapati, dua produk dengan merek dan jenis yang sama, ternyata berbeda tanggal kadaluwarsanya. Umpamanya, mi instan merek 'B' rasa ayam bawang yang sedang kita pegang ternyata berbeda tanggal kadaluwarsa dengan yang di sebelahnya, sesama mi instan merek 'B' rasa ayam bawang. Semakin akhir tanggal kadaluwarsanya, sudah pasti semakin baru produknya.

e). Pilihlah barang yang menyertakan buku petunjuk pemakaian manual dan kartu garansi. Ini berlaku untuk barang-barang elektronik, alat-alat listrik, barang-barang yang menggunakan mesin, dan produk-produk lain yang memang semestinya menyertakan manual dan kartu garansi. Dengan begitu, kita terhindar dari kerugian akibat kekeliruan pemasangan dan/atau pemakaian yang salah, serta lebih terjamin dan terlindungi apabila kebetulan mendapatkan produk gagal.

f). Pilihlah item yang sudah terstandar dan tersertifikasi. Paling tidak, ada 3 standardisasi dan sertifikasi yang kita kenal pada produk-produk yang beredar di Indonesia. Standar SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk semua produk, serta Sertifikasi Halal MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan sertifikasi dari BPOM-RI (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia) untuk produk-produk pangan, suplemen, kosmetika, dan obat-obatan. Biasanya, itu dibuktikan dengan adanya logo dan nomor registrasi dari lembaga-lembaga tersebut. Ini penting untuk membuktikan bahwa produk tersebut terawasi peredarannya oleh pemerintah.
(Sumber: http://hkn2013.com/materi/materi-foto/)
g). Prioritaskan dengan sangat untuk membeli produk buatan Indonesia, terutama yang kandungan lokalnya paling besar, kalau bisa 100%. Produk dalam negeri tidak kalah kualitasnya dengan buatan luar negeri. Sesungguhnya, hal itu sudah lama sekali terjadi. Malahan, kenyataannya, sudah begitu banyak hasil karya anak negeri yang mutunya justru lebih bagus daripada produk ekspatriat. Bahkan beberapa di antaranya jauh sekali di atas dan mengungguli banyak produk dari negara lain, dan malah menjadi nomor satu di dunia, sehingga bahkan orang-orang dari seluruh dunia saja justru mencari dan lebih menyukai produk yang dihasilkan orang-orang Indonesia itu! Makanya, andaikata sampai sekarang kita masih juga berpikir bahwa produk asing lebih bagus dibandingkan produk lokal, wah, betapa semestinya kita malu setengah mati karena ketahuan bodohnya, berwawasan amat sempit, dan sangat ketinggalan info! Lagian, tindakan ini merupakan salah satu bukti paling konkret dan faktual dari patriotisme dan rasa cinta tanah air yang kita miliki. Dan, pastinya, dengan berbuat demikian, kita ikut berperan serta memajukan perekonomian bangsa kita.

h). Utamakan sekali barang-barang yang paling ramah lingkungan. Perbuatan ini merupakan wujud tanggung jawab kita sebagai bagian dari dunia ini dalam rangka melestarikan alam. Umpamanya, memilih barang elektronik yang tidak menggunakan CFC (chlor-fluoro-carbon = freon) dan tidak membeli pakaian yang dibuat dari bulu atau kulit hewan langka. Untuk itu, penting untuk kita senantiasa meng-update pengetahuan kita, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan kiat-kiat menjaga dan memulihkan keasrian alam, serta tentang bahan-bahan yang ramah lingkungan.

i). Untuk produk-produk yang dikonsumsi tubuh kita, pilihlah yang paling sehat dan alamiah. Saat membeli makanan/minuman jadi, makanan/minuman olahan, bahan pangan lainnya, obat-obatan, suplemen, dan kosmetika, yang kita ambil itu semestinya bebas bahan pengawet dan bahan kimia lainnya. Seorganik mungkinlah. Pula, harusnya sesuai pola diet yang dibutuhkan diri masing-masing. Tiap orang memerlukan pola diet yang berbeda-beda, tergantung pada banyak sekali variabel dan faktor. Komposisi gizi optimal bagi bayi berbeda dengan untuk remaja, dan berbeda lagi dengan yang untuk lansia. Pola nutrisi untuk atlet tidak sama dengan yang diperuntukkan bagi pekerja kantoran, lain lagi dengan yang untuk penderita diabetes melitus, dan berbeda juga dengan yang untuk penderita asam urat, dan seterusnya. Jadi, perhatikan komposisi gizi yang tertulis pada kemasan, jika barang yang kita beli ada dalam kemasan. Pilihlah yang paling cocok untuk kebutuhan tubuh kita sendiri. Karena itu, sekali lagi, kita seyogyanya terus mengembangkan pengetahuan dan wawasan kita, istimewanya mengenai nutrisi yang sehat berikut aneka-ragam pola-polanya untuk masing-masing kebutuhan.
(Sumber: http://hkn2013.com/materi/materi-foto/)
j). "Kenakan kacamata kuda" saat berbelanja. "Berjalanlah lurus" ke arah tempat yang memajang hanya barang yang hendak kita beli saja, jangan mencobai diri dengan melihat-lihat toko, outlet, atau rak display barang lain yang tidak ada atau kurang kaitannya dengan catatan yang kita bawa. "Tutuplah telinga" manakala para sales-person "melontarkan godaan dan tawaran maut". Apalagi terhadap tawaran-tawaran melalui SMS-SMS gelap yang tidak jelas juntrungannya dan amat sangat kurang dapat dipercaya. Tampiklah tawaran mereka, para sales-person itu, secara santun dan ramah, namun juga dengan setegas dan segamblang mungkin. Katakan saja "Tidak, terimakasih", atau "Terimakasih, tapi saya cuma kepingin beli yang itu", atau yang sejenisnya. Hindari kalimat menggantung atau bersayap, semacam "Mungkin lain kali", atau "Nanti saya lihat/pikir-pikir dulu", atau yang seperti itu. Karena banyak dari mereka biasanya akan membalas: "Kalau begitu, Pak/Bu/Mas/Mbak/Kak, bisa saya minta nomor telepon Anda?". Kalau sudah begitu, kemungkinan besar godaan akan datang via pesan singkat ponsel pada saat yang tidak disangka-sangka di manapun kita sedang berada.

k). Latihlah keberanian dan kepandaian menawar harga, juga perhatikan pelayanan pihak penjual. Jika tempat kita membeli barang atau jasa memungkinkan untuk kita menawar, itu akan lebih menguntungkan karena memberi kesempatan kita untuk berhemat, dan kita pun seharusnya tidak perlu malu dan takut untuk menawar. Kebanyakan kita sungkan dan malu menawar karena kuatir sikap pihak penjual akan menjadi tidak enak, dan bahkan marah. Jika itu terjadi, dan selain itu, terdapat juga cacat lain dalam segi pelayanan yang diberikan, sebaiknya pikirkan kembali niat untuk membeli barang atau jasa di situ. Kalau bisa, urungkan. Cari di tempat lainnya. Sebab, kalau sebelum kita beli saja, si penjual atau penyedia jasa sudah tidak suka melayani, apalagi kalau kita nanti mengajukan keluhan seandainya ada ketidakpuasan yang kita alami?

l). Jika kebutuhan kita belum mendesak benar, seyogyanya lakukan perbandingan silang dengan penjual dari barang atau penyedia dari jasa yang sama di tempat lain. Sangat sering kita temukan, di tempat lain untuk produk yang sama, harganya lebih murah, atau pelayanannya lebih sempurna, atau kondisi barang dan kemasannya lebih baik, atau pilihan-pilihannya lebih beragam, atau alasan lainnya yang lebih menguntungkan.

m). Khusus jika kita membeli barang secara online, lipat-gandakan kewaspadaan kita, lakukan hanya untuk produk yang benar-benar kita butuhkan secara amat sangat mendesak tapi yang sama sekali tidak tersedia di toko atau di manapun juga selain dipasok oleh sang penjual online. Kalau memang itu yang terjadi, yaitu kita betul-betul sudah butuh sekali dan produk itu juga cuma bisa didapatkan dari orang yang menjual secara online tersebut, ajukan permintaan pada sang penjual agar pembayarannya dapat dilakukan pada saat barang sudah diterima dan dicek terlebih dahulu. Jika tidak, sekiranya si pemasok memaksa untuk membayar di muka via transfer bank, jangan langsung dituruti. Pikirkan lagi beberapa kali, betapapun kita sudah mengenal baik si penjual secara pribadi, bahkan kalaupun dia adalah saudara kandung kita sendiri. Sebaiknya kita meminta saran dan masukan dari orang-orang yang berkompeten dalam hal perdagangan, utamanya dalam hal transaksi online. Bagaimanapun, uang tidak mengenal keluarga, saudara, teman, sahabat, dan hubungan darah-daging. Dan bagaimanapun pula, hampir tidak ada barang di dunia ini yang tidak ada alternatifnya. Kalau terjadi jalan buntu, kita harus berani memutuskan untuk mengambil langkah paling aman. Batalkan rencana pembelian secara online itu, carilah segala informasi tentang alternatif lain dari produk yang kita butuhkan, yang jauh lebih banyak tersedia di pasaran. Apalagi kalau sebenarnya tidak terlalu mendesak benar kebutuhan kita akan barang itu, lalu barang yang sejenis bisa kita dapatkan di pasar dunia nyata: sudah, buang jauh-jauh keinginan kita untuk membelinya dari pasar dunia maya!

6. Mari pulang, marilah pulang...!
Beres! Kita sudah di rumah lagi. Selesai? Tidak ada lagi yang harus kita kerjakan? Tidak! Bagian pasca-belanja ini tak kalah penting. Tidak sulit, tidak rumit. Kita cuma perlu memperlakukan barang yang kita beli "dengan hormat dan penuh rasa sayang". Dengan begitu, kinerja barang tersebut akan tetap optimal dan barang itu sendiri akan awet. Semakin langgeng keoptimalan kinerja dan kelangsungan hidup barang tersebut, semakin jarang keharusan kita untuk berbelanja barang baru. Dengan begitu, kian hemat kita jadinya.
Selain itu, aspek lain dari rasa hormat dan sayang kita adalah bilamana barang tersebut rusak, kita sebaiknya lebih mengutamakan mereparasi atau memperbaikinya ketimbang membuangnya dan kemudian membeli yang baru. Kecuali kalau perbedaan biayanya sangat kecil antara menyervis yang lama dengan membeli barang baru.

Masih ingat dengan "musibah" yang sempat sedikit disinggung di atas? Di mana kita sudah teliti, cermat, berhati-hati, berupaya sebijak mungkin sebagai konsumen, mengikuti setiap langkah di atas dengan saksama, akan tetapi tetap mengalami kerugian? Yah, kalau demikian, barulah kita berhak penuh untuk menyebutnya sebagai "musibah". Dan kita pantas mengambil segala tindakan untuk menuntut hak kita.

Bagaimana caranya? Salah satunya yang paling tepat adalah dengan menghubungi pihak berwenang yang urusannya memang adalah untuk melindungi konsumen. Dalam hal ini, pemerintah. Yaitu Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). Tepatnya, melalui Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan (Ditjen-SPK Kemendag). Info lengkap mengenai segala hal terkait Ditjen-SPK Kemendag ini dapat diakses melalui situs resmi http://ditjenspk.kemendag.go.id/. Di situ kita juga bisa mengajukan pengaduan sehubungan kerugian yang kita alami sebagai konsumen.

Tapi, sekali lagi perlu ditekankan, kita sendiri juga harus cerdas sebagai konsumen dan bertanggung jawab atas setiap tindakan transaksi yang kita lakukan serta juga atas produk dan jasa yang kita beli. Kalau kita sendiri teledor, ceroboh, tidak berlaku sebagaimana seharusnya seorang konsumen yang bijak, kemudian kita mengalami kerugian akibat tertipu dan sebagainya, maka alangkah kurang layaknya kita menuntut ganti rugi dan hak kita. Karena, jika kita seperti itu, itu sama saja artinya kita telah menjerumuskan diri sendiri.

Marilah kita terus belajar dan mendisiplin diri untuk menjadi konsumen yang cerdas. Dengan demikian, kita sudah cukup terlindungi, karena kita sendiri yang melindungi diri kita dari ancaman kerugian. Ditambah pula, keuntungannya tak kalah besar. Banyak uang, waktu, emosi, dan tenaga yang dapat dihemat. Kita juga semakin belajar bertanggung jawab atas kemajuan dunia ekonomi, industri, dan jasa tanah air. Juga jadi tambah peduli pada lingkungan dan kesehatan diri kita sendiri.