Sabtu, 18 September 2010

Depok: Asing Namun Tak Asing

LombaBlogDepok, 17 Juli - 17 September 2010






kunjungi : lomba blog depok

 
Aku lahir dan dibesarkan di Jakarta. Namun, sejak kuliah hingga kini, aku tinggal di Bandung. Nama kota Depok tak asing bagiku. Sewaktu masih duduk di bangku SD, salah seorang guru di sekolahku mempunyai rumah di Depok. Kata teman-temanku, guru itu tinggal di daerah "Depok Satu". Sampai sekarang, aku masih tidak tahu, itu nama kompleks perumahan ataukah nama salah satu perkampungan, atau nama daerah lain seperti desa atau apa pun, di Depok, dan apakah benar ada perumahan atau perkampungan atau desa atau daerah dengan nama tersebut.
 
Dulu, bila jalan-jalan ke Bogor atau Puncak atau Sukabumi atau Cianjur atau Bandung dari Jakarta, pastilah aku memintasi wilayah Depok, karena memang kota ini terletak di jalur yang menghubungkan ibukota dengan kota-kota tersebut (dulu belum ada tol Cikampek, apalagi Cipularang; lagipula jalur Cikampek-Purwakarta untuk menuju Bandung belum bagus, dan orang-orang Jakarta tidak suka jalur itu, kata orang-orang yang membawaku).
 
Dari pelajaran geografi, pun dari koran, radio, televisi, majalah, maupun media-media massa lainnya, aku banyak mendengar soal Depok. Aku tahu, ketika aku masih bersekolah, Depok itu masih berstatus kota administratif. Aku juga tahu ketika Depok naik status menjadi kotamadya (atau "kota", kalau sekarang, meski aku tak terlalu mengerti apa beda keduanya, dan kenapa juga harus diganti-ganti segala istilahnya).
 
Meski begitu, tidak pernah satu kali pun aku berkunjung ke Depok! Singgah pun tidak! Apalagi untuk bermalam atau malah tinggal di sana. Dalam trip-trip wisata semasa aku masih lebih muda itu (karena aku sekarang pun masih muda!), seingatku, tak pernah keluarga dan rombonganku mampir dulu barang sekali saja di kota belimbing ini. Entah mengapa.
 
Dan sekarang, apa yang harus kutulis tentang Depok? Apa yang unik dari Depok bagiku? Ini: kota tersebut sangat tidak asing sekaligus sangat asing untukku! Satu-satunya kota di negeri ini yang begitu! Dan kalian tahu apa yang lebih lucu lagi? Aku bahkan tidak pernah melihat figur dan fitur kota ini! Ya! Aku juga tidak mengerti, mengapa setiap kali aku memintasi Depok, aku tak pernah menaruh sedikit saja perhatian untuk melihat-lihat di sepanjang perjalanan. Kalau Cibinong, aku ada memperhatikan. Begitu pula Mega Mendung, Ciawi, Cisarua, Ciloto, dan daerah-daerah lain yang berada di sepanjang jalan yang kulalui. Tapi, Depok? Wah, harus kuakui, aku bersalah sekali mengabaikan kota yang satu ini!
 
Jadi bertanya-tanya aku, mungkinkah sesuatu itu bisa demikian bagi kita, sangat asing sekaligus sangat akrab? Apakah hanya perasaanku saja, yang mengaku-ngaku akrab dengan Depok, padahal rasa itu sebenarnya menipu? Tapi, jika memang begitu adanya, mengapa rasa itu bisa ada?
 
Sebenarnya, sampai sekarang pun aku masih bingung. Tapi ada sesuatu yang bisa kudapatkan dari keanehan pengalaman perasaanku terhadap Depok ini. Tidakkah kita semua pernah begitu? Maksudku, kita, anak-anak bangsa ini, saling berbeda dalam religi, suku, etnis, budaya, bahkan kebiasaan. Tapi, kenapa hingga kini kita masih menyatu? Mengapa juga kita berani-berani mengklaim diri sebagai negara kesatuan, padahal jelas-jelas, banyak sekali orang dari Jakarta sepertiku, misalnya, yang belum pernah pergi ke Kalimantan, umpamanya? Bahkan banyak sekali juga orang yang seumur hidupnya tidak pernah keluar dari kotanya sendiri! Tidakkah menurut kalian itu lucu, terasing dari lingkungan, namun sekaligus menjadi bagian dari lingkungan itu juga?
 
Tentu, kita seyogyanya tidak mengucilkan diri dari hubungan dengan orang-orang dan lingkungan-lingkungan lain. Semestinyalah kita perkaya wawasan kita seluas mungkin. Namun, yang hendak kuimplikasikan adalah bahwa keakraban itu tidak mesti melulu diabsahkan oleh "ke-pernah-hadiran" atau kontak atau keaktualan secara fisik. Terlebih dalam zaman globalisasi dan informasi sekarang ini! Nah, itulah poinnya! Keakraban! Kepedulian! Demi kemanusiaan dan kemaslahatan bersama, entah kita pernah hadir atau tidak, entah kita pernah menyentuh atau tidak, dan entah kita pernah teraktual atau tidak, kita harus, wajib, membangun keakraban dengan dunia, tanah air, bangsa, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dan kita wajib pula membina kepedulian dengan semua itu. Terutama, kepada sesama manusia.
 
Itulah peran besar Depok bagiku. Salut, Depok! Terimakasih untuk pelajaran ini, yang kudapat darimu!

Depok Peduli, Depok Berbagi, Depok Selalu di Hati, Depok Berbenah Diri Demi menjadi Pelopor Kerukunan Antar-umat Beragama

LombaBlogDepok, 17 Juli - 17 September 2010




kunjungi : lomba blog depok

Beberapa hari ini, aku merasa gusar bercampur sedih dan gundah. Bagaimana tidak. Pertikaian menyangkut agama terjadi lagi di Indonesia. Kali ini terjadi di Depok. Sejak beberapa hari menjelang Idul Fitri tahun 2010 ini, kasus pembangunan gedung gereja HKBP di Cinere mencuat. Dan keadaan terus memanas. Keberatan-keberatan akan keberadaan tempat ibadah itu terus berkembang. Disinyalir, FPI berada di balik semua aksi protes yang berkembang menjadi ancaman penutupan paksa itu. Bahkan warga setempat mengancam akan melakukan penghentian paksa pembangunan itu pada 15 September kemarin. Belum lagi kasus penusukan pendeta HKBP di Bekasi pada hari Minggu pagi, 12 September, yang seolah memercikkan bensin ke tengah api kebakaran.

Sebagai pemeluk agama Kristen, aku jelas marah! Tapi aku cepat-cepat menjernihkan pikiranku. Emosi tidak boleh membuatku buta akan perspektif. Bagaimanapun, bukankah kasus-kasus yang menyangkut keagamaan semacam ini terjadi juga akibat akal yang dibutakan oleh fanatisme dan emosi yang yang dibesar-besarkan? Apa jadinya jika semua pihak melakukan hal itu: sang tertindas bereaksi/membalas dengan cara yang sama irasionil dan gelap matanya dengan para penindas mereka?

Tapi, aku berpikir, mengapa ini terus-terusan terjadi? Mengapa orang-orang sering bertikai soal perbedaan agama? Apakah bangsa ini tidak akan semakin terpuruk, kalau energi mereka yang menganggur bukannya didayagunakan untuk mencari solusi segala problema bangsa ini yang kian hari kian rumit, tapi malah disalahgunakan untuk saling menghancurkan? Bukankah itu sama saja dengan bunuh diri? Karena, bukankah yang mereka serang itu sesama anak bangsa juga? Tidakkah mereka sadar, itu semua tidak lain daripada menggerogoti ekor sampai badan sendiri? Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri semua ini? Siapa yang harus melakukan? Siapa yang harus memulai? Siapa yang "mau" memulai? Apakah diriku sendiri lebih baik daripada mereka yang melakukan penyerangan terhadap umat beragama yang berbeda dari mereka itu? Jika memang aku lebih bersih, apa yang sudah kulakukan sebagai sumbangsih bagi kerukunan dan toleransi antar-umat beragama di negeri ini? Tapi jika aku sama bejadnya, bukankah aku sendiri juga harus dikoreksi? Bukankah diriku sendiri --paradigmaku, rasa hormatku pada orang yang berbeda dari diriku-- yang lebih dulu harus kuberesi?

Aku ikut bersimpati dengan Depok. Misi ulangtahunnya pada tahun ini: Depok Peduli, Depok Berbagi, Depok Selalu di Hati, seolah diejek habis-habisan oleh perilaku "tidak peduli, tidak mau berbagi, dan tidak sudi memakai hati" oknum-oknum masyarakatnya sendiri. Saya bukan warga Depok, tapi saya merasakan, jika saja saya warganya, apalagi aku berada di pihak yang tertindas, aku tidak tahu akan melakukan apa. Menangiskah, berteriak-teriak dan berkoar-koar mengingatkan misi kota ini kepada semua orang di sanakah, atau apa?

Sepertinya, sudah bukan waktunya lagi warga masyarakat biasa membebankan semua permasalahan ke pundak para pemimpin. Apalagi bila permasalahan itu warga masyarakat biasa itu sendiri yang buat. Kelihatan sekali jahat dan malasnya kita, bilamana kita melakukan hal itu: mengacaukan segala sesuatu, setelah itu menyuruh dengan sewenang-wenang pihak lain yang membereskan. Jelas, banyak sekali permasalahan yang disebabkan oleh kesalahan pemerintah. Tapi, biarpun demikian, bukankah kita-kita juga yang menanggung akibatnya? Kalau begitu, kenapa kita tidak mau urun berpikir mencari solusinya? Begitu pula dalam kasus ini. Sudah kentara sekali tidak efektifnya sikap main lempar kesalahan semacam itu. Mau tunggu berapa tahun lagi sampai kita mau sadar? Mau tunggu berapa generasi anak-cucu kita lagi yang menderita akibat kekusutan yang akan terus makin kusut karena kemalasan kita membereskannya?

Melalui tulisan ini, izinkan aku, sebagai sesama warganegara Indonesia, membantu pemerintah kota dan masyarakat Depok untuk membersihkan noda yang mengotori cita-cita ulangtahun kota itu serta juga sekaligus membereskan sebagian permasalahan bangsa ini.

Seperti kukatakan di atas, tidak ada gunanya lagi warga biasa melemparkan semua sampah ke muka pemerintah. Karena itu, saya mengusulkan kepada para warga Depok, bagaimana agar aib ini justru mereka manfaatkan untuk kebaikan. Kotoran hewan memang kotor, mencemarkan, dan bau, tapi juga bisa digunakan sebagai pupuk kandang. Sampah memang dapat mengganggu kesehatan, namun juga bisa diolah menjadi kompos. Begitu pula kejadian memalukan itu.

Pertama, warga seharusnya pertama-tama menyadari bahwa hal itu adalah salah. Ini bukan hanya bagi masyarakat Depok, tapi juga bagi semua orang Indonesia. Di mana pun, kapan pun, dan terhadap siapa pun, aksi kekerasan, pemaksaan, dan penyerangan itu tidak benar. Tindakan agresif adalah penyerangan terhadap umat manusia. Dan karena umat manusia itu adalah ciptaan Tuhan yang Beliau jadikan menurut teladan dan rupa-Nya sendiri, maka penyerangan terhadap umat manusia berarti penyerangan terhadap Tuhan sendiri! Alangkah mengerikannya! Maka itu, saya mengimbau kita semua untuk menyadari hal itu dulu.

Kedua, warga dan pemerintah kota Depok, khususnya, dan kita, pada umumnya, hendaklah mengubah pikiran kita sendiri. Kita tidak bertanggungjawab mengubah pikiran orang lain. Kita tidak pantas dan tidak berhak untuk itu. Perubahan pola-pikir/cara pandang/paradigma diri kita masing-masing itulah langkah awal yang seharusnya dan tepat. Dalam agama, perubahan paradigma itu disebut "pertobatan". Bertobat bukan cuma minta-minta ampun pada Tuhan atas kesalahan kita. Bertobat juga adalah menyetujui bahwa kita salah, dan bahwa kita sudah berubah pikiran dengan membenci hal yang salah tersebut, dan bahwa kita bertekad dan berupaya memerangi kesalahan itu dalam diri kita sendiri. Kedua hal itu adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

Selanjutnya, sesudah kita semua "bertobat", kita bisa mulai mengadakan dialog satu sama lain. Warga dari satu agama dengan warga lain dari agama yang sama, warga itu dengan warga lain dari agama yang berbeda, dan antara warga dengan para pemimpin. Dialog tanpa kesadaran dari diri sendiri terlebih dahulu hanyalah "lip service" yang cuma menambah-nambah rekening dosa kita, karena hal itu adalah kemunafikan belaka. Namun dialog yang didasari atas pertobatan pribadi niscaya, insya Allah, akan menghasilkan sesuatu yang benar dan baik, lagi langgeng.
Nah, dalam dialog itu, hendaknya diuraikan segala pendapat yang ada, dihormati semua pandangan yang dikemukakan. Umat Islam mengemukakan apa yang menjadi dasar pemikiran mereka, lalu umat Kristen juga melakukan yang sama. Saling mendengarkan dengan pikiran dan hati terbuka itu hanya dapat dilakukan jika masing-masing pihak sudah lebih dulu menanamkan dalam jiwanya paradigma bahwa semua manusia itu sama martabat dan derajatnya di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan. Tidak lagi berpikir: "umat beragamakulah yang dicintai Tuhan, umat beragamamu tidak". Jangan salah! Kita masing-masing harus menanamkan dalam hati bahwa agama kita sendirilah yang benar! Tapi pada saat yang sama, kita juga harus menanamkan dalam hati bahwa semua orang, tidak peduli salah atau pun benar agama yang dianutnya, tetaplah berharga di mata Tuhan, karena itu tadi, manusia adalah gambaran citra-Nya sendiri! Itulah dasar dari dialog, terutama dialog antar-umat beragama.

Kemudian, kita kembali lagi ke diri kita masing-masing. Kita perdalam agama dan keyakinan yang kita anut sendiri. Orang yang bertindak fanatik adalah orang yang justru tidak mengerti apa-apa soal agamanya sendiri. Begini, jiwa yang sehat bertindak seperti ini: pikiran mengontrol emosi/perasaan, emosi/perasaan memberi umpan-balik berupa rangsangan kepada pikiran, lalu pikiran dan emosi yang sudah serasi itu akan membentuk perilaku dan kehendak/kemauan/hasrat. Hal itu tidak boleh dibalik. Jika emosi yang memegang kendali, misalnya, orang akan bertindak tanpa rasio yang berjalan dengan baik. Tindakannya gila. Dan karena pikiranlah yang harus dirangsang oleh emosi, dan bukan sebaliknya, maka pikiran yang dikuasai emosi itu takkan mampu merangsang tirani sang emosi untuk menjadi lurus dan dingin. Sehingga, perilaku yang ditimbulkan menjadi semakin gila. Inilah fanatisme. Agama yang baik adalah pertama-tama agama untuk intelektual, setelah itu, setelah ajarannya mengelotok dalam pikiran, barulah ia dapat dan pantas dihayati oleh perasaan. Dan, idealnya, pikiran dan hati yang sudah dipenuhi alam keagamaan itu akan membentuk tindakan-tindakan yang lurus sesuai ajaran agama. Itulah mengapa tadi kukatakan bahwa orang fanatik sebenarnya adalah orang yang tidak mengerti agamanya sendiri sama sekali! Dan, pasti, orang fanatik takkan mungkin mengerti dan mau mengerti agama orang lain.

Barulah sesudah itu, kita bisa menata kehidupan diri dan bermasyarakat yang baru, yang penuh nilai-nilai luhur kemanusiaan, sarat kebenaran, kepahlawanan, kedamaian, toleransi, kerja sama, saling menghargai, kerukunan, kerja keras, dan lain sebagainya, seperti yang dicita-citakan kota Depok.

Ini memang memalukan dan menyakitkan untuk Depok. Tapi inilah juga kesempatan emas bagi Depok untuk memelopori pembenahan yang benar-benar holistik, terpadu, dan radikal! Inilah kesempatan yang baik sekali untuk Depok memimpin dalam menjadi komunitas yang meneladankan apa-apa yang dicita-citakannya sendiri kepada seluruh Indonesia.

Aku, selaku sesama penduduk Jawa Barat, mendoakan dan terus mendukung Depok dalam melakukan hal tersebut.

Sukses, Depok! Sukses bagi para warga dan pendudukmu! Sukses bagi pemerintah kota, aparat
kepolisian, militer, dan keamanan --singkatnya: para pemimpin-- mu! Tuhan memberkati kalian semua!