Sabtu, 31 Desember 2011

Seandainya Saya Anggota DPD RI

Inilah yang akan saya lakukan jika saya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).

1. Memperjelas Jatidiri DPD bagi Diri Sendiri.
Selama ini, bisa dibilang DPD mengalami krisis identitas. Bukan cuma rakyat biasa, tapi konon para petinggi negara, bahkan para anggota DPD sendiri pun, masih merasa gamang dan merasa kurang jelas akan tugas, fungsi, tanggung jawab, wewenang, peran, dan tempatnya dalam kepemimpinan nasional.
Selama ini, sesuai namanya, DPD dianggap sebagai wakil dari rakyat di daerah. Tapi tugasnya seperti tumpang-tindih dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan DPD benar-benar "tertindih" oleh DPR secara pamor dan kekuasaan.
Karena itu, yang pertama-tama akan saya lakukan adalah mengonsolidasi semua teman anggota DPD dalam waktu sesingkat mungkin (tidak boleh lebih daripada satu bulan), mengemukakan masalah ini ke hadapan mereka. Kemudian menginisiasi DPD untuk melakukan pembicaraan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, dan Pemerintah, serta juga Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai wacana ini, barangkali juga merancang regulasi yang mengatur tugas, tanggung jawab, peran, dan wewenang DPD secara jauh lebih spesifik, jernih, gamblang, dan implementatif.

2. Menjelaskan Segala Hal tentang DPD kepada Rakyat.
Sebagai konstituen yang telah memilih langsung orang-orang yang mewakili daerah mereka untuk duduk di kursi DPD, rakyat memiliki semua hak untuk tahu segala sesuatu mengenai DPD. Sesungguhnya, untuk dan hanya untuk rakyat Indonesia ―khususnya yang tinggal di daerah yang diwakili masing-masing anggota DPD― sajalah lembaga dan anggota DPD bekerja dan mendedikasikan diri. Bukan untuk yang lain!
Jadi, tindakan saya yang berikutnya adalah berada bersama rakyat, terutama rakyat dari daerah yang mengutus saya menjadi wakil, lebih lama ketimbang berada di kantor DPD di Ibukota. Momen itu akan saya optimalkan untuk membuat rakyat mengerti bahwa wakil mereka ini punya kekuasaan yang cukup besar untuk memperjuangkan aspirasi mereka akan keadilan, kesejahteraan, dan kebaikan yang tinggi dan menyeluruh. Mereka juga harus paham, tugas dan tanggung jawab DPD pada umumnya, dan saya khususnya, untuk mewujudkan itu semua tidaklah main-main.

3. Bekerja dengan Lurus.
Oleh sebab itulah, saya akan terus melatih diri agar memiliki integritas yang makin lama makin tinggi. Saya ingin tetap berjalan di “jalan lurus”, yaitu jalan kebenaran, jalan integritas moral dan karakter.
Kesempatan lebih banyak berada bersama rakyat itu pastinya juga mesti saya manfaatkan sebesar-besarnya untuk memperjelas pandangan saya sendiri akan kondisi dan situasi faktual dan aktual mereka. Saya adalah bagian tak terpisahkan dari mereka. Saya sendiri juga rakyat. Maka, apa yang menjadi kerinduan rakyat, itu juga yang saya rindukan. Apa yang diderita rakyat, itu juga yang saya derita.

4. Menjadi Garam dan Terang di Lingkungan DPD dan Lembaga Lainnya.
Tapi semua itu takkan berguna, semuanya akan sia-sia, kalau saya kerjakan sendiri. Untuk itu, saya akan tularkan semangat membangun moral dan karakter yang mulia kepada rekan-rekan anggota DPD, kemudian juga kepada para kolega di Pemerintahan, DPR, MA, Komisi Yudisial (KY), MK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan MPR. Ibarat garam yang mencegah kebusukan dan terang yang menyingkirkan kegelapan, demikian pula mental korup, etos kerja buruk, jiwa tanpa kedisiplinan, mental egoistis-egosentris, serta roh feodalistis akan kian tersingkir dari diri bangsa Indonesia! Dan itu pertama-tama harus dimulai dari pemimpinnya!

Jumat, 16 Desember 2011

Dell Inspiron N4110 Menunjang Bisnis Kakak-kakakku

Sumber: www.chip.co.id
Seminggu kemudian (setelah ceritaku dalam Dell Inspiron N4110 Menunjang Profesionalitas Kakak Iparku sebelum ini), setelah aku pulang ke rumahku sendiri, kakakku yang satu lagi, kakak laki-laki, menelepon. Dia bilang, besoknya, dia dan kakak perempuanku itu mau presentasi di tempat seorang calon nasabah untuk prospek. Mereka berdua memang agen asuransi dan saling berpartner. Kakakku itu tanya, apa aku bisa bantu cari ide, bagaimana gaya presentasi supaya menarik, apa saja yang harus dipakai supaya mereka berdua dapat lebih dipercaya, dan yang lain-lain. Pokoknya, cara apapun agar polis bisa terjual, yang penting halal. Langsung aku teringat peristiwa di rumah besar klien Kak Tom seminggu sebelumnya. “Pinjam Dell N4110-nya Kak Tom saja,” usulku. “Pasang cover-cover berwarnanya. Siapa tahu, si calon nasabah kepincut, hehe....”
Dia ragu. Kutanya jam berapa presentasinya. Dia bilang jam 10 pagi. Aku mengingat-ingat. Pada jam segitu jadwalku lowong. Kubilang, “Bagaimana kalau aku ikut? Nanti bilang saja, aku ini kalian bawa buat bantu pasang Power Point?”
Dia setuju. Besoknya, sesuai waktu yang ditentukan, kami tiba di tempat sang calon nasabah. Ternyata diadakan di kantornya. Kedua kakakku memperkenalkanku sebagai adik mereka yang sengaja mereka ajak untuk bantu menangani multimedia supaya mereka berdua bisa berfokus pada presentasi. Si Ibu calon nasabah tidak keberatan sama sekali. Langsung aku menjalankan rencanaku. Sebelumnya, tanpa sepengetahuan kedua kakakku, aku sudah pasang cover bernuansa merah keunguan dan menyiapkan cover-cover lain yang kakak iparku punya di tas laptop. Jadi, kukeluarkan laptop dengan gerakan demonstratif. Umpan awalku rupanya termakan. Sang calon nasabah langsung memandang laptop yang kuletakkan di meja seraya tersenyum simpul. Kakak perempuanku yang pertama presentasi. Kusesuaikan tampilan di layar proyektor dengan penuturan Kakak. Yang menjadi kejutan bagi kedua kakakku itu adalah background Power Point yang kuubah. Aku sengaja bergerak cepat. Sebelum layout kutampilkan, kupasang gambar yang digambar Gio sebagai background-nya, dan gambar itu kusesuaikan dengan cover yang terpasang. Ketika kakakku sedang menjelaskan, dengan gerakan yang kuusahakan setidak-kentara mungkin, aku buru-buru mengganti cover lain. Background untuk layout berikutnya juga kuganti dengan gambar Gio yang sama dengan cover yang baru kupasang. Terus begitu, sampai kakakku yang laki-laki gantian tampil, bahkan sampai seluruh presentasi selesai. Begitu kata terakhir presentasi keluar, Ibu calon nasabah itu langsung berseru sembari tersenyum lebar, “Wah! Bagus sekali, Pak Rudi, Bu Rosi! Presentasinya keren! Boleh, boleh! Saya tandatangan polisnya sekarang saja langsung. Mana, Pak?”
Kedua kakakku terbengong-bengong. Waktu mereka melihat padaku, aku nyengir-nyengir saja. Setelah si Ibu resmi menjadi nasabah dengan menandatangani lembar polis, kami bersalaman dengannya dan langsung keluar. Di selasar sampai di lift, kedua kakakku bergantian menanyaiku. “Kamu sudah planning ya? Kamu cepat banget ganti-ganti cover-nya? Sudah kamu siapin, memangnya?”
Kujelaskan semuanya. Mereka tertawa. Kakak perempuanku berujar, “Ini rekor lho! Belum pernah ada nasabah kita yang baru satu kali presentasi langsung deal. Ini yang pertama! Yang dia ambil itu UP yang paling besar lagi! Thank you, Sam!” (UP = Uang Pertanggungan)
Aku hanya terkekeh. “Makan-makan dong kita! ‘Kan komisinya juga gede tuh! Hehehe!”
Mereka terbahak-bahak.
Wuih! Kembali Dell Inspiron N4110 berjasa! Yang terakhir ini memberi sukses besar buat kedua kakakku dan membuat anggaran mereka jadi bertambah cukup besar. Dan aku juga jadinya ikut menikmati, hahaha!

Dell Inspiron N4110 Menunjang Profesionalitas Kakak Iparku

Sumber: www.chip.co.id

Besok paginya (setelah kejadian yang kuceritakan dalam Dell Inspiron N4110 Menunjang Kreativitas Keponakanku sebelum ini), jam 6.45 kakak iparku sudah pergi. Menurut kakakku, ada klien yang harus buru-buru ditangani urusannya karena siangnya hendak berangkat ke luar negeri. Sebagai konsultan pajak freelance, jam kerja kakak iparku memang tidak menentu, tergantung klien. Kira-kira setengah jam kemudian, ketika aku baru selesai mandi, kulihat ada kehebohan. Kakakku tergesa-gesa mondar-mandir sembari menginstruksikan ini-itu pada kedua pembantunya. Sejenak aku bingung, Gio belum bangun, kakak-kakaknya sudah pada ke sekolah, dan belum waktunya juga buat kakakku sendiri berangkat ke pekerjaannya, tapi kenapa rusuh seperti itu? Ketika melihatku, dia berseru, “Sam, cepat pakaian! Ikut aku!”
“Ke mana?”
“Ngantar laptop Kak Tom ke tempat kliennya nih! Barusan dia telepon, salah bawa laptop dia! Mestinya yang dia bawa yang Dell itu. Data-data kliennya ada di situ semua. Kalau dia sendiri yang pulang ngambil, sudah nggak mungkin. Sudah, cepat siap-siap sana! Temanin aku! Malas kalau sendirian, soalnya.”
Buru-buru aku masuk kamar dan bersalin. Tidak sampai sepuluh kemudian, kami sudah di mobil. Biar cepat, kakakku yang menyetir, karena dia yang tahu alamatnya dan jalan tercepat ke sana. Untung lalu-lintas belum macet. Kakakku juga ngebut. Jadi 15 menit kemudian kami sudah tiba. Sebelum kami turun, kakakku mengecek kembali apa sudah benar laptop yang dibawa. Pembantu rumah besar itu ternyata sudah menunggu, dia langsung membukakan pagar. Kakak dan aku bergegas masuk. Waktu sedang menyusuri selasar menuju ruang kantor sang klien, Kakak mengeluarkan laptop dari tas. Supaya cepat, katanya. Di depan pintu kantor, kembali sudah menunggu seorang asisten, yang langsung melongok ke dalam memberitahu bosnya, lalu membentangkan pintu lebih lebar, memberi kami jalan.
Begitu kaki kami melangkahi ambang pintu, seperti dikomandoi, aku dan kakakku refleks melihat kembali laptop di tangan kakakku itu. Dan kami spontan saling pandang. Muka kami berdua mendadak pucat.... Saking paniknya, Kakak lupa melepas lid cover art-deco biru yang semalam dipasang Gio dan tidak menyadarinya, dan aku juga sama, tidak ngeh sama sekali, jadi tidak memperingatkan!
Terlambat buat melepas. Dari antara beberapa orang yang ada di situ (semuanya berwajah tegang, bikin tidak enak hati!), wanita di seberang meja langsung menyambut. “Selamat pagi, Bu!” sapa wanita yang agaknya nyonya rumah itu. “Sorry nih diganggu. Sudah mendesak sekali sih, jam 9 saya dan Bapak sudah harus jalan ke bandara.”
“Nggak apa-apa, Bu,” kakakku menjawab, tetap kelihatan rikuh walaupun berusaha tenang. Di sofa, suaminya melotot, terutama ke arah laptopnya.
Tiba-tiba seorang bapak setengah baya berkata sambil tertawa ringan, “Wah, Pak Tom! Laptopnya gaul! Hahaha!” Tawa menggelegar.
Setelah menyerahkan laptop, Kakak dan aku segera pamitan, tak kuat malu. Dalam perjalanan pulangpun kami tidak bicara, masih panas muka rasanya. Baru kami masuk ruang tamu, HP kakakku berbunyi. Suaminya telepon. Aku masuk kamar untuk ganti pakaian. Waktu keluar, kakakku sudah selesai. Dia tertawa-tawa. Katanya, “Kata Kak Tom, dia tadi kaget dan kesal sekali lihat kita bawa laptopnya tapi cover-nya belum dilepas. Padahal dia lagi stres-stresnya, ngerasa bersalah dan nggak enak banget, kliennya lagi buru-buru, eh, dia pakai acara salah bawa laptop. Suami-isteri Bos dan staf-stafnya pada bete. Itu klien memang yang paling rese juga sih. Tapi waktu lihat laptop itu, mereka langsung pada ceria. Malah, katanya, sempat lima menit mereka ngebahas itu laptop Dell, nanya-nanya Kak Tom di mana belinya, berapa harganya. Habis itu, jadi lancar deh semuanya. ‘Kan itu laptop memang cepat jalannya. Padahal si Kak Tom juga sudah sempat ketar-ketir lagi waktu ngejelasin rincian, soalnya dia lihat indikator baterai laptop itu sudah tinggal satu strip. Untung baterai N4110 itu kuat juga lho. Sampai selesai juga masih belum ada tanda-tanda low-batt.” Kakakku kembali terkekeh.
Wah! Dell yang trendy ternyata juga bisa bikin suasana di antara kakak iparku dan klien-kliennya jadi cair! Presentasinya juga dibuat lancar karena kecepatan prosesor yang tinggi! Baterainya tahan banget lagi!

Dell Inspiron N4110 Menunjang Kreativitas Keponakanku yang Berkebutuhan Khusus

Sumber: www.chip.co.id
Beberapa bulan yang lalu, aku menginap di rumah kakakku. Waktu aku datang, keponakan laki-lakiku yang berumur 5 tahun sedang bermain-main dengan gambar-gambar. Anak itu berkebutuhan khusus, tapi kecerdasannya menonjol sekali. Kukira dia sedang mencoba menggambar dan mewarnai dengan mencontoh lembar-lembar gambar yang dipegangnya. Tapi kemudian aku kaget, lembar-lembar itu diangkatnya, lalu dipasangnya pada cover laptop papanya. Saking kagetnya, kutegur dia setengah berteriak, “Gio, kok gambarnya mau ditempel di situ? Sini, gambar lagi!”
Tapi dia seolah tidak menggubris. Dua detik berikutnya, aku lebih kaget lagi. Gambar bermotif batik dengan background merah marun itu melekat dan pas benar di cover laptop itu. Dia menengok padaku sambil nyengir. Senang dan bangga betul dia. Karena penasaran, kudekati dia dan laptop itu. Laptop itu diangkatnya sekuat tenaga dan diunjukkan padaku. Sejenak aku sampai lupa menegurnya supaya jangan angkat laptop itu supaya tidak terbanting. Waktu itu kakakku lewat. “Laptop baru nih?” tanyaku. “Iya, baru sebulan.”
Kulihat, mereknya Dell. Kemudian suami kakakku keluar dari kamar mandi. Kutanyakan juga padanya, “Ini laptop yang lid cover-nya bisa diganti-ganti ya, Kak?”
“Iya, Inspiron N4110. Bagus ‘kan?”
“Keren!” tanggapku kagum. Dia terkekeh. “Si Gio senang banget tuh! Bisa berjam-jam dia gonta-ganti itu cover,” katanya. Kakakku menyambung, “Wah, anteng dia mah kalau sudah pegang itu laptop. Itu di kamar masih ada lagi cover-cover lain. Keren-keren semua tuh! Terus-terusan si Gio bolak-balik ganti warna-warna yang lain.”
“Nggak takut rusak nih dibolak-balik pergi-datang sama Gio?” tanyaku kuatir.
“Nggak lah!” jawab kakak iparku. “Si Gio sudah kuat kok. Malah sejak beli laptop itu gerakannya kelihatan jauh lebih halus lho, nggak kasar, biasanya ‘kan anak umur segitu gerasa-gerusu, mentok sana-sini.”
“Terus juga waktu dibawa ke dokter,” kakakku menyambung, “waktu aku cerita si Gio senang ganti-ganti cover laptop, dokter bilang ‘Bagus tuh, Bu! Itu bisa bantu perkembangan kemampuan komunikasinya.’ Gitu katanya.”
“Tapi memang betul sih. Tadi ‘kan kamu lihat, dia sudah bisa kasih tunjuk ke kamu ‘kan. Sebelumnya ‘kan nggak gitu, kamu ‘kan tahu,” sambung suaminya lagi.
“Iya ya.”
“Terus juga,” kata kakakku lagi, “yang hebat, dia bisa niru gambar-gambar cover itu di laptop.”
“Maksudnya?”
“Nih!” kakak iparku menjawab sambil membuka file di laptop itu. “Lihat! Ini digambar sama Gio. Ini juga. Dan ini juga.”
Aku ternganga, tidak percaya pandanganku sendiri... Biarpun sedikit agak kasar, gambar-gambar itu betul-betul mirip bentuk, ukuran, arah garis, warna, dan gradasi warnanya dengan cover-cover yang ditirunya! “Hah?! Itu Gio yang gambar??”
Kakak dan kakak iparku tertawa. “Hebat ‘kan?” kata kakak iparku dengan bangga. “Kita juga kaget banget. Si Gio ternyata buka sendiri Corel Draw, ngutak-ngutik, terus jadi gambar-gambar itu!”
“Wow!!” aku terkagum-kagum. Luar biasa! Tak kusangka Dell N4110 bisa juga merangsang keluar kejeniusan keponakanku itu!

Rabu, 30 November 2011

Beberapa Hal tentang HIV-AIDS, Terutama yang Berkaitan dengan Remaja

Domisili Penulis: Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.

Saya beberapa kali menghadapi kasus HIV-AIDS. Terutama sejak menempuh studi kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, di R.S. Hassan Sadikin. Karena saya terikat Kode Etik dan Sumpah Profesi Kedokteran, di sini saya tidak akan menyebutkan satupun nama, waktu, peristiwa, dan apapun berkenaan dengan orang-orang pengidap HIV-AIDS yang saya temui, pula tentang keluarga, orang-orang terdekat, lingkungan, serta profesi mereka, dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, yang saya paparkan adalah temuan-temuan saya selama berinteraksi dengan HIV-AIDS dan para penderitanya, juga beberapa hal yang saya simpulkan setelah melakukan berbagai pemikiran dan analisa.

Hal-hal yang saya dapatkan di lapangan adalah sebagai berikut:

1. Masih sangat banyak sekali orang yang belum memahami secara menyeluruh apa itu HIV-AIDS. Bahkan termasuk para penderitanya sendiri dan orang-orang terdekatnya. Kekurang-pahaman ini besar sekali pengaruhnya terhadap tingkat penyebaran penyakit berbahaya ini, sekaligus amat berperan dalam hal timbulnya stigma masyarakat terhadap orang-orang dengan HIV-AIDS (ODHA).

2. Temuan kedua ini membuat saya terkejut serta juga geram, terpukul, dan sedih. Di antara orang-orang yang sudah mengenal betul segalanya tentang HIV-AIDS, terutama mereka yang berada di kalangan medis dan dunia kesehatan, seperti dokter, perawat, mahasiswa kedokteran, personel staf rumah sakit dan farmasi, saya temukan kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka ternyata tetap memberikan stigma terhadap ODHA!

3. Yang lebih memprihatinkan, sebagian dari mereka juga memiliki gaya hidup dan perilaku yang beresiko tinggi terkena HIV-AIDS! Pengetahuan yang mereka kuasai secara mumpuni rupanya tidak menghentikan mereka dari aktivitas seksual di luar nikah dengan pasangan lebih dari satu dan dari penggunaan narkoba dengan jarum suntik.

4. Golongan usia remaja, yaitu mereka yang berusia belasan tahun, adalah golongan yang paling rentan terhadap HIV-AIDS. Pertama, mereka paling rentan terkena penyakit itu sendiri. Kondisi kejiwaan yang sedang labil-labilnya akibat gelora yang memang sedang puncak-puncaknya dari proses pencarian dan pengukuhan jatidiri, ditambah pengaruh kuat lingkungan pergaulan, menempatkan diri mereka tepat di bibir jurang gaya hidup dan perilaku beresiko HIV-AIDS.
Kedua, mereka juga paling rentan mengalami keterpurukan dan kehancuran pribadi dan psikologis jika mereka terkena, apalagi kalau kerap berhadapan dengan stigma masyarakat. ODHA dari golongan dewasa lebih mampu menanggung beban karena keadaan kejiwaan yang memang relatif lebih stabil dan sudah terbentuk mantap. Sedangkan ODHA dari golongan anak-anak belum paham betul apa yang sebenarnya tengah menggerogoti dirinya. Proses waktu juga membuat mereka makin lama makin adaptif terhadap kenyataan. Lagipula, bisa dikatakan amat sangat kecil kemungkinan masyarakat menjatuhkan stigma terhadap ODHA yang anak-anak, karena mereka pun hampir pasti berpikir bahwa bukanlah kesalahan anak-anak itu sendiri kalau sampai terkena HIV-AIDS. Berbeda dengan anak remaja. Masyarakat yang telanjur tidak senang melihat banyaknya remaja yang melakukan tindak-tanduk yang terkesan anti-sosial akan dengan mudahnya langsung menyimpulkan, tanpa mau repot-repot mencari tahu kejadian yang sebenarnya, bahwa remaja bisa sampai terkena HIV-AIDS pasti karena melakukan seks bebas dan/atau mengonsumsi narkoba.

Fakta-fakta tersebut saya pelajari, merenungkannya, lalu menarik beberapa kesimpulan, di antaranya adalah saran alternatif kemungkinan solusi untuk sejumlah masalah yang berhubungan dengan HIV-AIDS. Ini hasilnya:

1. Stigma terhadap ODHA sebenarnya berangkat dari sesuatu yang pada dasarnya sehat dan wajar, yaitu mekanisme pertahanan diri menghadapi ancaman. Sayangnya, mekanisme ini acapkali berkembang liar tak terkendali. Kewaspadaan berkembang menjadi ketakutan yang terlalu (paranoid). Pandangan kita tidak lagi terfokus pada ancaman yang riil, tapi sudah merambah pada obyek-obyek yang sebetulnya bukan ancaman namun, karena pandangan kita sudah mengabur, kita lihat sebagai ancaman juga.
Karena itu, perlu sekali kita mengendalikan diri dalam menangani mekanisme mental kita untuk mempertahankan diri, dan juga sangat perlu untuk kita menata mekanisme pertahanan kita sendiri agar tetap berjalan pada relnya dan tidak meluap dari wadahnya. Bahkan sesungguhnya, kita bisa memanfaatkannya menjadi pendorong kita untuk mengambil tindakan-tindakan yang benar.
Dalam poin-poin selanjutnya, kita akan melihat hal ini secara lebih jelas.

2. Walaupun bukan satu-satunya penentu, ketidak-tahuan dan kekurang-pahaman tetap merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan penyebaran HIV-AIDS dan dalam melahirkan stigma. Maka, penyebaran informasi tentang HIV-AIDS yang lengkap dan komprehensif harus terus-menerus dilakukan, dan harus dilakukan seluas dan seintensif mungkin. Ada baiknya juga kita menerapkan prinsip efek domino. Maksudnya, selain memberi informasi, kita juga seyogyanya melatih beberapa dari orang-orang yang sudah menerima informasi menyeluruh mengenai HIV-AIDS untuk menjadi penyuluh juga, paling tidak, dalam lingkungan mereka sendiri. Dan orang-orang inipun perlu kita ingatkan agar juga melatih orang-orang yang sudah mereka informasikan untuk dapat menjadi penyuluh juga. Begitu seterusnya.
Namun, sebagaimana yang sudah saya saksikan, bahwa memiliki pengetahuan yang menyeluruh tidak serta-merta menjadikan orang terhindar dari penyakit fatal itu dan juga tidak otomatis mencegah mereka mengenakan cap negatif pada ODHA, ternyata ada faktor lain lagi dalam penyebaran HIV-AIDS dan lahirnya stigma.

3. Terpikirkah oleh Anda, kita selama ini sesungguhnya tengah memerangi lawan yang salah dan berperang di medan yang keliru? Lawan kita yang sebenarnya adalah virus HIV berikut penyakit AIDS itu sendiri dan faktor-faktor pendukung penyebarannya. Faktor-faktor pendukung penyebaran HIV-AIDS adalah perilaku hubungan seks dengan pasangan lebih dari satu dan penggunaan narkoba jenis suntikan. Sehubungan dengan itu, kita sebenarnya berperang di wilayah fisik dan non-fisik, dan wilayah non-fisiknya itu adalah gaya hidup dan kebiasaan-kebiasaan berperilaku tidak sehat.
Barangkali hampir semua kita memang memerangi lawan yang benar di wilayah yang juga benar. Tapi seringkali pada saat yang bersamaan, kita juga kebablasan menghantam obyek-obyek yang seharusnya tidak kita perangi. Masyarakat memang memerangi HIV-AIDS, tapi pada saat yang sama juga nyaris selalu menjadikan orang-orang yang terkena HIV-AIDS itu sebagai lawan pula. Sebaliknya, selain jelas berperang melawan virus dan penyakit yang menggerogotinya, para ODHA pun memandang orang-orang yang bukan ODHA sebagai musuh.
Medan perang kita juga kerap bergeser, menjadi menyempit tapi sekaligus meluas pada saat yang sama. Dikatakan menyempit sebab kita hanya berperang di ranah fisik saja, melupakan ranah non-fisik yang seharusnya kita rambah juga. Tapi dalam waktu bersamaan, dapat dibilang meluas juga karena wilayah fisik yang kita masuki menjadi lebih luas ruang lingkupnya. Mestinya, ketika kita berperang di medan perang fisik, yang kita boleh masuki hanyalah area yang ditempati penyakit dan aspek-aspek medisnya saja. Tapi alih-alih demikian, kita masuki juga area yang merupakan tempat manusia dan kemanusiaannya!
Kekeliruan ini sudah mencapai taraf yang memprihatinkan. Kita harus segera bertindak untuk meluruskannya kembali. Semua orang harus menyadari hal ini. Semua orang, tanpa terkecuali! Jadi, itu termasuk pemerintah dan para pemangku otoritas kebijakan lain seperti DPR, LSM-LSM dan badan-badan sosial yang menangani HIV-AIDS, serta lembaga-lembaga dan tenaga-tenaga medis dan juga para praktisi kesehatan.
Sebab kalau tidak, keadaan bukannya membaik, tapi malah akan menjadi tambah memburuk, dan memburuknya itu akan jadi makin cepat. HIV-AIDS tambah merajalela seperti tak terhentikan, sementara stigma terhadap ODHA tambah kejam seperti tak lagi mengenal belas kasihan! Bukannya menghentikan, ODHA malah akan semakin “giat” dalam aktivitas tidak sehatnya. Sementara itu, orang-orang non-ODHA terus mengutuki ODHA, memvonis mereka sebagai pendosa besar, bahkan memandang dan memperlakukan mereka seolah-olah bukan manusia; tapi pada saat yang sama, orang-orang itu juga melakukan “dosa-dosa” yang sama, bahkan lebih “gila” daripada ODHA sendiri! Dan orang-orang yang bukan ODHA juga menjadi kian tidak manusiawi karena tindakan mereka menjadi semakin kontradiktif: mereka tahu benar-benar bagaimana HIV-AIDS itu tapi mereka hidup seakan-akan seperti tidak tahu apapun sama sekali tentang HIV-AIDS, yang tercermin dari gaya hidup mereka yang “bebas”!
ODHA maupun non-ODHA wajib cepat menyadari bahwa kita semua sejatinya ada di pihak yang sama dan sedang menghadapi ancaman dari musuh yang sama. Jikalau ODHA dipandang sebagai korban, maka orang-orang yang bukan ODHA pun adalah korban: ODHA korban aktual, non-ODHA korban potensial, sebab tak seorangpun kebal HIV-AIDS. Kita semua sama, jadi sudah selayaknya untuk senantiasa “bersama-sama”!

4. Kita sudah lihat, stigma merupakan bentuk penyerangan yang salah kaprah karena yang diserang adalah orang, ODHA, obyek yang harusnya tidak boleh diserang sebab bukan merupakan musuh. Sebelumnya, kita juga sudah melihat, stigma sebenarnya berakar dari kewaspadaan yang sehat dan berdasar. Artinya, stigma itu sendiri adalah akibat. Ia adalah buah dari pergeseran paradigma.
Jadi, stigma pun bukan musuh yang sebenarnya! Tapi betapa seringnya kita berniat dan berusaha memerangi stigma dengan tujuan untuk meredam dan, kalau mungkin, meniadakannya. Tapi betapa nyata juga kita lihat bahwa upaya itu sama sekali tidak berhasil. Banyak orang berpikir, dengan meniadakan stigma, ODHA akan dapat diperlakukan sebagaimana semestinya. Orang juga berharap, dengan menghilangkan stigma, HIV-AIDS akan menurun penyebarannya sebagai hasil dari semakin terbukanya diri ODHA sehingga dapat dengan leluasa berbagi pengalaman dengan orang-orang lain yang tidak mengidap HIV-AIDS supaya mereka tidak ikut terkena. Tapi dalam prakteknya, pemikiran dan harapan itu semakin jauh untuk menjadi kenyataan! Mengapa? Karena yang kita lakukan sebenarnya keliru sama sekali! Stigma hanyalah buah, bukan akarnya.
Kita harus memerangi akarnya. Tadi sudah kita lihat, medan peperangan kita juga mencakup wilayah non-fisik. Wilayah itu adalah alam pemikiran. Alam pemikiran inilah yang melahirkan gaya hidup. Alam pemikiran atau paradigma yang keliru menghasilkan gaya hidup yang rusak, yang kemudian menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang merusak seperti pola seks berganti-ganti pasangan dan mengonsumsi narkoba. Paradigma atau pola pikir yang salah mengakibatkan manajemen mekanisme pertahanan mental menjadi salah juga, yang kemudian menghasilkan kekhawatiran yang berlebihan dan respon yang tidak rasional.

5. Sebagaimana kita sudah maklum, kelompok usia remaja adalah kelompok yang paling rentan dalam hal HIV-AIDS, baik rentan terhadap kemungkinan menjadi ODHA maupun rentan terhadap kehancuran mental dan pribadi ketika akhirnya benar-benar terjangkiti HIV-AIDS. Yang harus diperhatikan, tidak selalu disintegrasi mental dan pribadi mereka itu berwujud penarikan diri, mengurung dan menutup diri, meratapi dan menyesali dengan penuh kesedihan, dan hal-hal serupa. Tak jarang disintegrasi itu termanifestasi justru dalam bentuk agresi!
Agresi itupun tidak selalu berupa penyerangan frontal langsung terhadap lingkungan dan masyarakat. Agresi itu bisa juga dilampiaskan dalam bentuk perlawanan lain, dan yang paling sering adalah dalam bentuk kesengajaan mengumbar perilaku seks bebas dan mengonsumsi narkoba secara “jor-joran”. Mereka berpikir, “Sudah kepalang kotor, najis, dan rusak ini diriku, ya sudah, puas-puasin saja sekalian!” Dan perilaku seks bebas dan penggunaan narkoba merekapun jadi semakin tak terkendali lagi! Akibatnya, melihat hal tersebut, kemuakan masyarakat menjadi-jadi, stigmapun semakin kokoh terpatri!
Untuk itu, mereka perlu ditopang oleh orang-orang (tidak bisa cuma satu orang saja) yang bertugas untuk mencegah agar keretakan pribadi dan mental mereka tidak menjadi semakin parah, menahan pribadi dan mental itu agar tetap “berdiri di tempatnya” sementara menjalani proses pemulihan, menjaga agar jiwa yang terdisintegrasi itu tidak mencari penyaluran ke arah agresi ataupun ke arah tindakan terminasi (mengakhiri semuanya dengan cara pintas, yaitu bunuh diri), dan membimbing jiwa tersebut kembali ke jalan yang benar, yaitu memberi pemahaman kepada remaja ODHA akan “peperangan” yang benar, apa musuh yang sebenarnya dan di mana mereka harus berperang, sebab pemahaman yang lurus itu harus dimiliki semua orang tanpa terkecuali demi kepentingan dan kebaikan orang yang bersangkutan sendiri serta supaya masyarakat juga bisa memperoleh kebaikan darinya.
Pertolongan itu tidak hanya berlaku untuk remaja, tapi juga untuk ODHA dari golongan usia dewasa dan golongan lain. Hanya memang, ODHA dari kalangan remaja perlu mendapat porsi ekstra dan perhatian yang khas mereka, mengingat betapa “rapuh”-nya mereka yang sedang dalam proses menjadi “manusia” itu, dan pula mengingat betapa mereka itu aset yang tak terhingga nilainya sebagai cikal-bakal pemimpin bangsa. Karena itu, bilamana kita semua sebagai bangsa mampu menangani remaja yang merupakan ODHA sehingga bisa pulih dari keadaan disintegrasi pribadi dan mentalnya, lalu bisa berkarya dan berfungsi optimal sebagai manusia, bayangkan bagaimana dengan kaum remaja yang bukan ODHA, yang mana mereka semua juga ada di bawah bimbingan kita! Tidakkah itu sungguh menyenangkan?!
Itulah impian saya. Makanya, sudah sejak lama saya memegang teguh paradigma yang benar supaya saya bisa “berperang” secara benar. Saya tetap berperang hingga saat ini. Dan saya berusaha menjadi penopang sekuat-kuatnya bagi sebanyak-banyaknya ODHA yang saya jumpai, terutama para generasi muda remaja.
Tidakkah Anda ingin menjadikannya impian Anda juga? Marilah kita sama-sama berjuang!

Rabu, 23 November 2011

Jangan Bersedih tapi Jangan Pula Berjumawa, Indonesiaku! Bangkitlah!


Permainan sudah usai,
Karpet kembali digulung,
Alat-alat dikemas lagi
Untuk dipakai nanti,
Sebab hajatan telah rampung,
Pertandingan yang dihelat
Bagi olahraga dan prestasi
Bangsa-bangsa di Asia Tenggara
Ditutup sudah,
Semua telah beres;
Dan kitapun kembali merebut singgasana:
Singgasana jawara!
Kita lebih cepat!
Kita lebih kuat!
Kita lebih tinggi!
Indonesia kembali ke tahta Sea Games!

Walau semua kehormatan ini
Tidak disertai kemilau sayap Garuda-mu
Nan terpuruk-terluka
Disergap Macan Malaya,
Jangan berkecil hati, Indonesia!
Jangan bersedih!
Masih ada hari depan untukmu
Dan Garuda-mu:
Hari depan yang sarat tantangan
Tapi sekaligus juga impian!
Hari depan yang kaya kemungkinan
Tapi sekaligus juga rintangan!
Hari depan yang penuh badai berawan
Tapi sekaligus juga harapan!
Jangan mundur!
Jangan berlelah dalam putus asa!
Bangkitlah, Indonesia-ku!
Engkau belum mati!
Engkau belum binasa!

Kendati mahkota bertengger di kepalamu,
Tapi terjaminkah itu terus ada
Tetap abadi di sana?
Jangan lengah oleh sombong,
Wahai bangsaku!
Jangan biarkan dirimu tergoda,
Terayu-terbuai
Oleh gemerlap prestasimu!
Kau harus waspada,
Mawas diri berjaga
Demi mempertahankan mahkota itu
Dan lebih menjaminnya
Tetap jaya di dahimu.
Rendahkan hati kita semua,
Tundukkan diri kita semua
Di bawah kuasa Tuhan Sang Pencipta!
Maka akan ditinggikan-Nya nama kita,
Dibangkitkan-Nya kita dari lumpur,
Lebih dari sekarang ini,
Agar selalu menjadi teladan
Dalam ajang olahraga
Asia Tenggara ini.

Krisis menenggelamkan semua aspek kita,
Kita terpuruk nyaris dalam segala hal!
Tapi kemenangan ini mengandung janji
Dan harapan
Bahwa Tuhan tetap bersama kita
Asal kita selalu taat dan percaya
Hanya kepada-Nya;
Bukan kepada kekuatan kita,
Bukan kepada kepercayaan diri kita,
Bukan kepada kekayaan alam kita,
Bukan kepada sahabat dan mitra kita,
Bukan kepada segalanya
Yang dapat menjadi berhala kita!
Niscaya
Ia akan menegakkan kita lagi,
Meluruskan segala yang bengkok,
Menguatkan kembali yang patah,
Yaitu kebenaran dan keadilan,
Di negeri ini.
Dan gelar juara ini
Bisa saja adalah jaminan
Buat kita.
Karena itu, Indonesia,
Bersukacitalah!
Kerahkan kekuatan hatimu!
Berdamailah dengan dirimu!
Kuatkanlah tekad
Untuk selalu bersama dan bersatu
Di bawah panji-panji
Merah-putih
Yang diusung Sang Garuda Pancasila!

Senin, 31 Oktober 2011

Menghargai Nilai yang Lebih Lestari


Sesuatu tidak harus dinilai dari penampilan luarnya, asesorisnya, atau harga jualnya. Bahkan tidak juga dari berfungsi-tidaknya dan berguna-tidaknya. Sesuatu bisa juga dinilai dari sejarahnya, riwayatnya, cerita di baliknya, dan orang-orang yang berperan di belakangnya. Malahan, nilai yang diukur berdasarkan hal-hal yang saya sebut terakhir itu jauh lebih long-lasting, lebih langgeng, lebih lestari sifatnya ketimbang jika diukur berdasarkan hal-hal yang pertama disebutkan.

Apalagi dalam menilai manusia. Manusia punya nilai intrinsik, nilai hakiki dan asasi, nilai yang bukan hanya lestari namun juga kekal, yaitu nilainya sebagai makhluk tertinggi: sebagai manusia itu sendiri.

Kita harus menghormati sesama kita karena hal itu. Saya belajar dan terus berusaha melakukannya. Itu adalah sesuatu yang besar. Karena itu, untuk dapat semakin sempurna menghargai sesama manusia, saya belajar dari hal-hal kecil, dengan cara menghargai nilai barang yang saya miliki, seremeh apapun itu, berdasarkan tolok-ukur tadi: sejarahnya, riwayatnya, cerita di baliknya, dan orang-orang yang berperan di belakang keberadaan benda itu.

Salah satu pelajaran paling penting tentang nilai itu saya dapatkan dari handphone saya. Tepatnya, sekarang ini: mantan handphone saya.

Itu adalah handphone dari merek yang paling terkenal dan paling banyak digunakan di Indonesia. Handphone itu bukanlah dari jenis smartphone. Tidak bisa dipakai buat akses internet. Jadi jelas tidak bisa buat buka email, Facebook, ataupun Twitter. Pasti saja begitu, sebab handphone tersebut saya dapatkan sebelum teknologi 3G lahir. Jadi praktis hanya bisa digunakan untuk telepon dan SMS saja.

Kendati begitu, waktu saya pertama memilikinya, handphone itu termasuk tipe yang paling canggih pada masa itu. Handphone itu merupakan tipe kedua yang dikeluarkan merek bersangkutan yang menggunakan antena internal, dan merupakan handphone pertama di Indonesia yang menggunakan baterai lithium, menggantikan baterai berbahan nikel sebelumnya.

Handphone itu tadinya milik kakak perempuan saya. Ia membelinya kira-kira di bulan Maret 2001. Waktu saya lulus sarjana kedokteran dan baru masuk ko-asistensi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, pada September 2001, ibu saya mau menghadiahkan saya sebuah handphone, mengingat handphone cukup penting juga untuk dimiliki seorang ko-asisten (ko-ass) untuk menghubungi dokter-dokter residen atau konsulen bilamana ada keadaan darurat pada pasien. Mulanya, pada awal Januari 2002 Ibu mengajak saya ke ITC Roxy Mas, Jakarta, dengan diantar kakak perempuan saya itu dan keluarganya, berhubung kakak ipar sayalah yang paham betul seluk-beluk Roxy Mas. Tapi, selagi berkeliling-keliling, hasil percakapan kami membuahkan pemikiran, mengapa tidak Ibu beli saja handphone Kakak itu untuk saya, lalu suami Kakak yang beli handphone baru itu untuk kakak saya sebagai gantinya. Kami semua memandang ide tersebut cukup baik. Akhirnya, Kakak melepas handphone itu dengan harga, atas persetujuan suaminya, tujuh ratus ribu rupiah. Kalau kita beli baru, handphone tipe punya kakak saya itu harganya satu juta tiga ratus ribu rupiah. Dulu juga, waktu dia beli, harganya masih satu setengah juta. Pada tahun itu, handphone memang masih tergolong barang yang agak mewah, jadi harganya lebih mahal ketimbang sekarang.

Deal! Handphone itupun pindah ke tangan saya. Kakak saya dibelikan handphone baru. Dan Ibu membelikan kartu SIM untuk saya. Sesuai anjuran beliau, saya memilih nomor perdana XL (waktu itu masih bernama proXL), karena beliau tertarik pada iklan proXL di TV yang ketika itu dibintangi Tantowi Yahya.

Saya tidak menyesal memiliki handphone tersebut. Kinerjanya tidak mengecewakan. Daya tahannya luar biasa, karena meskipun berkali-kali jatuh dan terbanting dengan tak sengaja, tetap saja casing-nya tidak bocel, LCD-nya tidak pecah, dan fungsi-fungsi lainnya pun tidak ada yang terganggu.

Bertahun-tahun handphone itu dan XL-nya setia mengabdi demi kelancaran komunikasi saya. Di tengah perjalanan kebersamaan itu, strip pada casing yang mengelilingi layar LCD-nya terkelupas. Rupa-rupanya, lemnya lama-kelamaan aus akibat sering terkena keringat saya dan gesekan-gesekan dengan kain saku celana. Untuk mengatasinya, agar tidak kelihatan jelek karena memble-memble begitu, dan supaya tidak terkelupas lebih besar lagi, saya bantu rekatkan dengan selotip. Tapi ternyata lem aus itu merembet ke beberapa titik juga. Jadinya, ya, saya pasang selotip-selotip lagi, sampai-sampai akhirnya tiga selotip menempel di sisi kiri, kanan, dan atas strip itu. Cukup merusak keindahan sih. Tapi mau bagaimana lagi? Kerjanya masih oke banget kok!

Namun fungsi si handphone itu pun harus mengalami cobaan berat. Pertama, setelah dipakai tiga tahun, karena sudah mencapai limit optimalnya, baterai orisinalnya pun melemah, jadi sering drop sehingga harus sering di-charge, bahkan untuk dipakai telepon pun harus sambil di-charge, kalau tidak, baru bicara tiga-empat detik sudah mati. Jadinya, saya beli baterai baru. Dan karena baterai orisinal itu mahal, yang saya anggap mubazir membelinya karena harganya beda tipis dengan handphone baru, maka saya beli saja yang non-orisinal. Tapi ya namanya juga bukan orisinal, baru setahun sudah nge-drop juga. Jadi saya beli lagi baterai baru, kembali bukan yang orisinal, dan kesusahan yang sama pun berulang. Malah lebih parah, belum setahun sudah nge-drop! Begitulah: beli baterai baru, nge-drop, beli lagi, nge-drop lagi, terus dan terus begitu berkali-kali!

Cobaan kedua terjadi karena keteledoran bodoh saya sendiri. Pada malam hari pas Tahun Baru 2007, saat menginap di rumah kakak perempuan saya itu, sepulang dari Puncak bersama keluarganya dan keluarga kakak saya yang satu lagi, karena saat itu hujan besar dan kami semua, termasuk saya, basah kuyup waktu turun dari mobil untuk masuk rumah, sesampai di rumah, saya langsung mandi, dan usai mandi, saya langsung masukkan celana panjang saya yang basah ke ember rendaman cucian yang airnya penuh, tanpa ingat sedikitpun kalau handphone saya masih ada di sakunya. Setelah sekitar semenit, barulah saya sadar! Saya langsung mengeluarkan handphone itu. Basah total pastinya! Lampunya menyala tapi tidak ada tampilan apa-apa. Gawat! Saya cepat-cepat lepas baterainya, lalu saya tempatkan di bawah AC di kamar supaya cepat kering. Salahnya, saya tidak mengeringkannya dengan hair dryer. Belakangan, saat saya konsultasi dengan tukang servis, dia pun menyesalkan, karena memang seharusnya, katanya, kalau handphone terendam air, pengeringan mesti segera dilakukan dan harus dengan hair dryer supaya kering sempurna. Lebih salah lagi, setelah semalaman di bawah AC, saat saya coba nyalakan dan ternyata bisa, saya langsung mengisinya dengan charger keponakan saya, yang ternyata voltage-nya lebih besar. Karuan saja, dalam beberapa hari, baterai sang handphone jadi bunting sembilan bulan! Tapi bukan itu saja akibatnya. Yang lebih fatal lagi, akibat tidak kering sempurna dan dihubungkan ke charger yang tidak cocok, sebulan kemudian software pengisian di charger connector menjadi error, menurut si tukang servis. Hasilnya, handphone saya tidak bisa di-charge secara biasa. Jadinya, saya harus beli desktop charger. Dan juga satu baterai cadangan, biar saat baterai yang satu sedang di-charge, handphone masih tetap bisa dipakai.

Tapi biarpun sudah parah merepotkannya, dan, dengan begitu, fungsinya juga otomatis pasti ikut jadi sangat terganggu, handphone itu tetap saya gunakan. Sama sekali tidak mau saya buang. Saya menghargai tinggi Ibu dan cintanya, yang rela keluar uang cukup besar supaya anak terkasihnya bisa punya handphone, padahal saat itu beliau sendiri belum punya handphone. Saya menghargai kenangan-kenangan yang menghiasi story perjalanan sang handphone dalam membantu studi saya semasa masih ko-ass, dalam membantu harmonisnya hubungan saya dengan pacar, juga termasuk dalam membantu saya tetap bisa berkomunikasi dengan Ibu dan keluarga di Jakarta sementara saya jauh dari mereka karena tinggal di Bandung, karena bisa telepon-teleponan dan SMS-an kapan saja.

Dan saya terus mempertahankan handphone itu karena nilainya tersebut.

Hingga 8 April 2011 lalu. Tepat di hari ulangtahun saya.

Saat itu saya sedang di rumah ibu saya di Tangerang. Selepas magrib, sehabis beres-beres di rumah, ketika mengeluarkannya dari saku, handphone itu saya dapati error. Saya coba matikan kemudian nyalakan kembali, tetap error. Saya titipkan ke kakak saya untuk dibawa ke temannya yang mampu membetulkan handphone yang sudah rusak parah. Seminggu kemudian, Kakak menelepon. Dia bilang, si teman mendapati PCB handphone saya sudah melengkung, sehingga sudah tidak mungkin dibetulkan lagi.

Dengan kata lain, kalau handphone saya itu manusia, gelar “almarhum” akan tercantum di depan namanya, dan saya akan memasang iklan kematiannya di koran.

Tapi, biarpun ia sudah “tiada”, sang handphone tetap hidup dalam ingatan saya.

Karena dia sangat bernilai buat saya.

Senin, 17 Oktober 2011

Belum Cocok


Bila mendengar kata 'polisi', biasanya yang terbayang dalam benak kita adalah sosok pria/wanita bertopi, berseragam coklat, bertampang sangar, bersuara galak, dan cenderung gampang disogok di jalan. Tak heran, citra buruk melekat pada diri polisi, khususnya polisi lalu lintas.

Namun, saya pernah bertemu seorang polisi lalu lintas yang beda dari yang lain. Selera humor, kearifan, dan kebaikan hatinya memberikan kesan bagi saya bahwa tidak semua polisi buruk. Ini terjadi pada suatu pagi di bulan Juni 1996, ketika saya baru duduk di tahun pertama Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Waktu itu, saya sedang membawa mobil pacar saya. Dia sedang dirawat di R.S. St. Borromeus. Mobil itu ia titipkan untuk ditaruh di rumah kos saya.

Sepulang menjenguknya di rumah sakit, mobil saya bawa pulang ke kos saya di bilangan Pasteur. Sesampai di perempatan Cipaganti dan Eyckman, lampu merah menyala. Saya berada di belakang dua mobil lain pada lajur kiri, hendak membelok ke Eyckman.

Ketika itu, tiba-tiba saya teringat pada lembar tugas kelompok yang sudah selesai saya kerjakan dan ingin saya serahkan pada teman yang sore itu akan mengambilnya di kos saya untuk diketik. Tadi pagi saya mengerjakannya di kamar inap pacar sambil menungguinya. Masalahnya, saya lupa apakah lembar itu sudah saya masukkan ke tas atau belum!

Waktu itu, handphone masih merupakan barang mewah yang teramat mahal dan terbilang langka, hanya orang-orang kaya yang mempunyainya. Jadi, karena saya dan pacar saya saat itu belum mumpuni untuk memiliki handphone, saya tidak bisa menghubunginya, baik telepon langsung maupun S.M.S., untuk menanyakan apakah lembar itu tertinggal di kamarnya atau tidak. Maka, mulailah saya sibuk membuka tas dan mencarinya. Jadinya tidak sadar bahwa lampu telah berganti hijau. Untung waktu itu jalanan kota Bandung masih sangat lengang dan lancar, tidak seperti sekarang. Di tengah kesibukan itu, tahu-tahu saya mendengar kaca sebelah kiri diketuk. Saya menengok. "Selamat siang, Dik!" seorang polisi berwajah ramah menyapa dengan sopan. Saat itu saya sadar, mobil-mobil di depan sudah tidak ada! Sementara lampu kembali merah.

Menyadari kesilapan saya, dengan gugup saya buka kaca lalu berusaha menjelaskan pada Pak Polisi itu duduk permasalahannya. Mendengar itu, dengan mata berkilat jenaka si polisi berkata, "Oh, saya kira Adik merasa warnanya belum ada yang cocok." (Maksudnya warna lampu lalu lintas). Dia terbahak. Saya pun ikut tertawa getir dan miring karena malu. Lampu kembali hijau. Beliau menyilakan saya jalan terus. Saya pun mengucapkan terima kasih dengan lega sambil berlalu.

Becak dan Bulan


Indonesia kaya sekali akan keragaman ras, suku, dan etnis. Masing-masing memiliki budaya dan adatnya sendiri-sendiri, yang pada gilirannya, membentuk sifat, tabiat, kebiasaan, dan gaya hidup yang unik dalam diri orang-orangnya. Kadang, harus diakui, semua itu dapat menimbulkan friksi di antara orang-orang dari ras, suku, dan etnis yang berbeda. Tapi tak jarang juga ada kelucuan dalam gaya suatu suku, yang justru berpotensi mengakrabkan.

Hal inilah yang terkandung dalam cerita teman saya, Mas Broto. Setiap akhir tahun, dia mendapat jatah cuti dari kantornya selama 2 - 3 minggu, yang selalu dimanfaatkannya untuk pulang kampung merayakan Natal. Dia berasal dari Malang, Jawa Timur. Namun, tiap kali dia selalu menyempatkan diri ke Surabaya karena ada beberapa kakaknya yang tinggal di kota itu. Nah, kejadian yang diceritakannya ini terjadi di Surabaya pada awal Januari 2008. Cerita ini sama sekali bukan dimaksud untuk menghina etnis yang disebutkan. Justru sebaliknya, mengagumkan sekali akal seorang pelakunya! Sangat kocak pula!

Di suatu sore menjelang malam, kira-kira hampir jam 6, Mas Broto sedang berjalan kaki menuju warnet untuk mengecek email dan lihat-lihat berita menarik dari internet. Beberapa meter dari warnet, ia melihat seorang ibu tengah tawar-menawar dengan seorang penarik becak. Dari logatnya, ia tahu kalau tukang becak itu adalah orang Madura. Dalam hal gaya bicara, orang-orang di Jawa Timur, terutama yang berasal dari etnis Madura, lebih celetak-celetuk dan ceplas-ceplos, berbeda dengan orang-orang di Jawa Tengah dan Yogya yang lebih lembut. Begitu juga yang terjadi kala itu antara si ibu dengan si tukang becak.

Waktu menirukan percakapan itu, Mas Broto memakai kata-kata yang persis sama dengan yang dipakai kedua orang itu, yaitu dalam bahasa Jawa. Tapi karena saya tidak mengerti bahasa Jawa, ia kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dan yang saya ulangi di bawah ini adalah versi Indonesia-nya itu.

“Mas, Tunjungan Plaza ya,” kata si ibu.
“Hayo, Bu.”
“Seribu ‘kan?” (Seribu rupiah, tentunya)
“Wah, nggak bisa, Bu!” ujar si penarik becak.
Ibu itu terheran-heran. “Lho? Jadi berapa?”
“Lima ribu.”
“Alah!! Mahal amat?!” cetus keberatan si ibu sembari mengerutkan alis. “Yo wis, dua ribu!”
“Nggak kurang, Bu!” sang tukang becak bertahan. Makin keluar logat Madura-nya.
Si ibu tak mau kalah ngotot, “Lha, wong dekat gitu kok! Dari sini juga kelihatan tuh! Dua ribu aja!”
Sang tukang becak membalas cepat dan mantap. “Bulan juga kelihatan!” tukasnya seraya menunjuk bulan yang waktu itu memang sudah muncul. “Tapi mana dapet dua ribu?”

Mas Broto terbahak-bahak menyaksikannya. Dan kembali terbahak-bahak waktu menceritakannya. Aku pun ikut ngakak setengah mati.
“Dasar orang Madura!” katanya sambil terus tertawa.
“Jawabannya itu lho! Ngasal! Tapi bener! Hahaha!!” timpalku dengan rasa geli.
Mas Broto menambahkan, “Si ibu nggak bisa jawab apa-apa, langsung pergi, kalah ngomong! Hahaha!!”

Sabtu, 17 September 2011

Sang Jago di Bulan Puasa





Ini kejadian lucu lainnya yang terjadi saat aku dan beberapa rekan ko-ass yang sedang bertugas di Bagian Psikiatri, serta juga beberapa residen Psikiatri, tengah menginap di bangsal perawatan Penyakit Jiwa Rumah Sakit Hassan Sadikin (RSHS), Bandung, pada minggu terakhir bulan Ramadan, yang bertepatan pada pertengahan Desember 2011, untuk mengamati seorang pasien yang kami juluki “Osama bin Laden”, yang berperilaku aneh saat bulan puasa, seperti yang kuceritakan pada tulisanku sebelum ini, Gaya Puasa Terbalik “Osama bin Laden”.

Selepas jam tugas kami, jam 2 siang, sementara menunggu “Osama” bangun tidur, aku bersama beberapa teman berjalan-jalan mengelilingi RSHS. Yah, sekadar ngabuburit.

Pada sekitar jam setengah empat, ketika kami berada dekat gedung Instalasi Gawat Darurat (IGD), tiba-tiba kami dikejutkan suara orang berteriak-teriak dari arah gedung. Beberapa jenak berikutnya, seorang bapak yang sudah cukup lanjut usia berlari keluar seraya berseru-seru dari pintu kaca IGD, disusul seorang ibu yang juga sudah cukup berusia lanjut dan beberapa orang lainnya, yang juga tak kalah ributnya. Para satpam dan staf RSHS terlihat menyusul mereka.

Karena penasaran, kami menyusul mereka. Kami tanya pada salah seorang satpam apa yang terjadi. Sembari berlari, dia mengaku kalau dia dan yang lainnya sendiri belum paham benar, cuma samar-samar saja mereka mendengar sang bapak menyebut-nyebut soal ayam jago dan memanggil-manggil “Jalu”. Barangkali, “Jalu” itu nama si ayam jago.

Tahu-tahu kami melihat bapak sepuh itu menyelinap di antara mobil-mobil di pelataran parkir. Beberapa detik kemudian, barulah kami semua melihat seekor ayam jago, bertengger seperti linglung di rerumputan di balik pagar. Beruntung, sang bapak dapat menangkapnya sebelum si “Jalu” terbang keluar pagar.

Si ibu dan beberapa orang yang mengikutinya, yang agaknya adalah isteri dan keluarga si bapak, berceloteh dengan suara tinggi, seperti mengomel-ngomel karena si bapak sudah membuat keributan. Bapak itu tampak tidak terlalu mempedulikannya. Ia sibuk mengelus-elus ayam jantannya, sambil menggumam-gumam tak jelas, seolah sedang membujuk dan menenangkan sang jago.

Kami mendekatinya. Kepada para staf dan satpam yang menanyakannya, dia akhirnya menjelaskan dalam bahasa Sunda kalau tadi dia sedang menjenguk cucunya yang baru saja dibawa ke IGD karena mengalami panas tinggi. Dan dia membawa juga si “Jalu” itu. Anehnya, dia berhasil membawa masuk ayam itu tanpa terlihat para satpam, karena jika terlihat, tentu saja dia pasti sudah dilarang masuk, atau diperbolehkan masuk tapi ayamnya disuruh ditinggal di luar. Tapi yang terjadi adalah sampai si ayam terlepas dari gendongan si bapak saat ia baru masuk beberapa langkah saja pun para satpam dan staf tetap tidak melihat sang bapak membawa ayam!

Aku dan teman-temanku nyengir-nyengir lebar mendengarnya. Para satpam dan staf juga terlihat merasa geli, walau bercampur kesal juga karena sudah kecolongan. Mereka memberi teguran sambil bertanya kepada bapak itu, kenapa ia ke rumah sakit sambil bawa-bawa ayam segala. “Lamun badé buka puasa mah,” lanjut mereka, “ulah nyandak hayam sagala atuh, Pak! Anu dicandak teh sangu sareng dengeunna, sayur, kitu! Manyak hayam hirup?! Badé dipeuncit di dieu langsung, kitu?” (“Kalau mau buka puasa sih, jangan bawa-bawa ayam segala dong, Pak! Yang dibawa itu nasi dengan sayur atau lauk, begitu! Masak, ayam hidup?! Memangnya mau dipotong di sini langsung?”)

Spontan si bapak mendongar sembari mendelik. “Moal!” tukasnya membantah. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku. Sepertinya itu pur dan gabah. Lanjutnya lagi, “Si Jalu ieu karunya ari ditinggal sorangan di imah! Saha nu méré manéhna dahar teh lamun urang ka dieu, ngan di imah euweuh jelema teh?!” (“Tidak! Si Jalu ini kasihan kalau ditinggal sendirian di rumah! Siapa yang kasih dia makan kalau saya ke sini, orang di rumah nggak ada siapa-siapa kok?!”)

Kemudian dia beralih berbicara dengan suara membujuk kepada sang ayam kesayangan sembari menyorongkan tangan berisi pur dan gabah tapi tanpa memberinya kepada si ayam untuk dimakan, “Engké nya, Jalu. Tunggu adan magrib heula nya, baru manéh beunang buka puasa. Ntong dicokot ayeuna ieu mah!” (“Nanti ya, Jalu. Tunggu adzan magrib dulu ya, baru kamu boleh buka puasa. Jangan diambil sekarang ini sih [maksudnya pur dan gabah itu]!”)

Kami semua melongo. Ternyata si bapak bawa ayam jagonya untuk diajak buka puasa bersama toh?!

Jumat, 16 September 2011

Gaya Puasa Terbalik “Osama bin Laden”




 
Jam tujuh kurang sepuluh pagi, sewaktu aku tiba di bangsal perawatan pasien Psikiatri Rumah Sakit Hassan Sadikin (RSHS), Bandung, aku, beberapa rekan ko-ass, dan para perawat dikejutkan oleh kedatangan tiga orang polisi yang didampingi dua orang perawat pria. Mereka membawa masuk seorang lelaki berumur kira-kira dua puluh tahunan. Penampilannya benar-benar lusuh dan kotor. Rambutnya panjang dan gimbal. Muka dan sekujur badannya penuh debu bercampur lumpur, membuat kulit gelapnya semakin tampak kusam. Dia merunduk terus, tidak bersuara bahkan tidak berespon sama sekali kala diajak bicara.

Dalam waktu singkat, suasana pagi di bangsal itu yang biasanya masih sepi kali itu mendadak ramai. Pasien-pasien lain mulai berkerumun, ingin melihat orang baru yang nampak aneh itu.

Menurut para polisi, orang itu ditemukan warga Ciroyom sedang tertidur di tengah pasar pada waktu orang-orang tengah sibuk berbelanja makanan untuk sahur. Polisi langsung dihubungi. Saat dibangunkan dan tidak menanggapi sedikit pun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya, polisi segera menelepon RSHS untuk menjemput orang yang disinyalir menderita gangguan jiwa tersebut.

Mengingat saat itu hari Senin, hari visite bagi para pasien, hampir semua konsulen (dokter spesialis senior) Bagian Kedokteran Jiwa datang. Jadinya, sejak awal sekali mereka sudah dapat langsung memeriksa sang pasien baru, karena biasanya, bila konsulen belum atau tidak datang, pasien baru diperiksa terlebih dahulu oleh para dokter residen (dokter yang sedang mengambil spesialisasi), dibantu para ko-ass seperti aku.

Tapi bahkan para konsulen yang paling ahli pun tidak sanggup membuat laki-laki itu berespon ataupun bicara. Mereka menyerahkan pasien tersebut kepada para residen, ko-ass, dan perawat untuk mengobservasi terus keadaannya, sembari memberi terapi yang mereka instruksikan.

Seperti biasa, pasien yang identitasnya belum diketahui diberi identifikasi “Mr.X”, atau “Ms.X” bila perempuan. Namun, kami, para ko-ass dan perawat, memberi julukan tambahan khusus untuk pasien misterius yang satu ini, yaitu “Osama bin Laden”, karena saat itu adalah akhir November 2011, sehingga tragedi menara kembar WTC New York tanggal 11 September sebelumnya masih hangat, dan nama Osama bin Laden sedang menjadi topik pembicaraan paling hangat di seluruh dunia.

Bagiku yang sedang menempuh pendidikan koasistensi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang sehari-harinya bertugas di RSHS, minggu keduaku di bagian Psikiatri itu menjadi pengalaman yang berkesan sekaligus berharga. Sesuai prosedur dan instruksi, aku dan teman-teman ko-ass lain selama beberapa hari terus memantau “Osama bin Laden”, mencoba berinteraksi dan membangun komunikasi dengannnya, sambil membantu para perawat memberinya makan dan obat.

Usaha kami tidak sia-sia.

Pada akhir pekan itu, ia untuk pertama kalinya memberi respon saat aku dan teman-teman mengajaknya mengobrol. Meski hanya satu-dua detik, dia sudah mau mendongak dan memandang ke arah kami. Dan sekalipun terlihat seperti seringai yang agak menakutkan, kami tahu dia bermaksud tersenyum.

Senin berikutnya, tepat satu minggu kehadirannya, “Osama” mulai buka suara. Memang, hanya satu kata-satu kata saja tiap kali. Tapi, dia sudah bicara saja sudah merupakan tanda-tanda yang menggembirakan. Berarti, terapi dan perawatan yang selama ini kami berikan mulai membuahkan hasil. Lebih jauh lagi, dia pun sudah dapat mengikuti instruksi yang diberikan, seperti kalau disuruh ambil obat dari loket yang dijaga seorang perawat atau untuk mengambil jatah makanannya sendiri. Itu tandanya dia mengerti bahasa, dan asosiasinya sudah membaik.

Perkembangannya makin lama makin bagus. Beberapa hari kemudian, walaupun tetap masih satu-dua patah kata saja ucapannya, tapi dia sudah mampu bercakap-cakap.

Dan ada satu hal yang bagi semua orang sangat lucu.

Rupanya, “Osama” sudah mulai “terhubung” dengan realita, sehingga dia tahu kalau saat itu sedang bulan puasa. Rupanya pula, dia juga seorang Islam. Kata-kata pendek dan patah-patahnya cukup kami mengerti, mengisyaratkan bahwa dia ingin ikut berpuasa. Nah, yang lucu itu gaya puasanya! Kejadiannya sendiri tidak kusaksikan langsung. Aku, juga teman-teman ko-ass, para konsulen, residen, dan beberapa perawat hanya mendengar ceritanya dari perawat-perawat yang bertugas jaga malam dan juga dari para pasien lainnya.

Waktu yang lainnya berbuka puasa, dia ikut makan. Tapi malamnya, “Osama” tidak tidur sama sekali. Disuruh tidur pun dia tidak bergeming. Salah seorang perawat mengamatinya terus. Sepanjang malam hingga pagi, “Osama” tidak merokok. Padahal, semenjak sudah bisa diajak berinteraksi, selama tidak tidur, dia merokok seperti kereta api, hampir tak berhenti mengepul, sebab selalu dia langsung minta rokok lagi dari ko-ass atau dari perawat saat rokok di tangannya habis.

Ketika dini hari, saat yang lainnya makan sahur, dia pun ikut makan. Setelah itu, dia sholat. Para perawat jaga menyangkanya sholat subuh. Tapi mereka heran, lama sekali si “Osama” sholat. Dan sehabis sholat, tahu-tahu dia minta rokok! Dia juga minta minum. Satu jam kemudian, dia minta makan. Dan kira-kira dua-tiga jam berikutnya lagi, kala kami, para ko-ass, residen, dan perawat baru beberapa menit datang berdinas, dia tidur. Sepanjang hari itu dia tidur, sehingga kami tidak lagi bisa lama-lama mengobrol dengannya seperti sebelumnya. Dari perawat jaga juga kami baru tahu, dia baru bangun setengah atau satu jam sebelum saat bedug magrib.

Setelah dia melakukan itu beberapa hari, jelas, itu membuat kami penasaran! Jadi, kami putuskan untuk menyempatkan diri menginap selama beberapa malam di bangsal agar bisa mengamatinya sekaligus menanyakan padanya mengapa ia berperilaku seperti itu.

Barulah saat itu kami tahu. Ternyata, sehabis magrib, saat yang lain tidak berpuasa, dia malah puasa; dan sebaliknya, saat subuh, ketika yang lainnya berpuasa sehabis sahur, dia malah tidak berpuasa!

Kami berusaha menjelaskan padanya bahwa kelakuannya itu terbalik. Tapi dia bersikukuh. Kami tanyakan alasannya melakukan hal itu. Tapi dia tidak menjawab. Beberapa kali kami tanyakan, dia tetap tidak menjawab. Entah karena dia sendiri tidak punya alasan, ataukah dia belum mampu merumuskan penjelasan untuk alasannya, ataukah ada hal yang lain, kami tidak tahu.

Sampai hari terakhir masa pendidikanku di Bagian Psikiatri, yang bersamaan waktunya dengan malam takbiran, aku dan semua orang tetap tidak tahu. “Osama” tetap tidak bungkam tentang keanehannya itu. Dan dia juga tetap tidak mau mengubah perilakunya betapapun gigihnya kami berusaha menyadarkannya.

Hanya tawa geli saja yang dapat kami lakukan setiap kali melihatnya.

Dan cuma tawa geli saja yang dapat kulakukan tiap kali aku mengingatnya!