Senin, 17 Oktober 2011

Becak dan Bulan


Indonesia kaya sekali akan keragaman ras, suku, dan etnis. Masing-masing memiliki budaya dan adatnya sendiri-sendiri, yang pada gilirannya, membentuk sifat, tabiat, kebiasaan, dan gaya hidup yang unik dalam diri orang-orangnya. Kadang, harus diakui, semua itu dapat menimbulkan friksi di antara orang-orang dari ras, suku, dan etnis yang berbeda. Tapi tak jarang juga ada kelucuan dalam gaya suatu suku, yang justru berpotensi mengakrabkan.

Hal inilah yang terkandung dalam cerita teman saya, Mas Broto. Setiap akhir tahun, dia mendapat jatah cuti dari kantornya selama 2 - 3 minggu, yang selalu dimanfaatkannya untuk pulang kampung merayakan Natal. Dia berasal dari Malang, Jawa Timur. Namun, tiap kali dia selalu menyempatkan diri ke Surabaya karena ada beberapa kakaknya yang tinggal di kota itu. Nah, kejadian yang diceritakannya ini terjadi di Surabaya pada awal Januari 2008. Cerita ini sama sekali bukan dimaksud untuk menghina etnis yang disebutkan. Justru sebaliknya, mengagumkan sekali akal seorang pelakunya! Sangat kocak pula!

Di suatu sore menjelang malam, kira-kira hampir jam 6, Mas Broto sedang berjalan kaki menuju warnet untuk mengecek email dan lihat-lihat berita menarik dari internet. Beberapa meter dari warnet, ia melihat seorang ibu tengah tawar-menawar dengan seorang penarik becak. Dari logatnya, ia tahu kalau tukang becak itu adalah orang Madura. Dalam hal gaya bicara, orang-orang di Jawa Timur, terutama yang berasal dari etnis Madura, lebih celetak-celetuk dan ceplas-ceplos, berbeda dengan orang-orang di Jawa Tengah dan Yogya yang lebih lembut. Begitu juga yang terjadi kala itu antara si ibu dengan si tukang becak.

Waktu menirukan percakapan itu, Mas Broto memakai kata-kata yang persis sama dengan yang dipakai kedua orang itu, yaitu dalam bahasa Jawa. Tapi karena saya tidak mengerti bahasa Jawa, ia kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dan yang saya ulangi di bawah ini adalah versi Indonesia-nya itu.

“Mas, Tunjungan Plaza ya,” kata si ibu.
“Hayo, Bu.”
“Seribu ‘kan?” (Seribu rupiah, tentunya)
“Wah, nggak bisa, Bu!” ujar si penarik becak.
Ibu itu terheran-heran. “Lho? Jadi berapa?”
“Lima ribu.”
“Alah!! Mahal amat?!” cetus keberatan si ibu sembari mengerutkan alis. “Yo wis, dua ribu!”
“Nggak kurang, Bu!” sang tukang becak bertahan. Makin keluar logat Madura-nya.
Si ibu tak mau kalah ngotot, “Lha, wong dekat gitu kok! Dari sini juga kelihatan tuh! Dua ribu aja!”
Sang tukang becak membalas cepat dan mantap. “Bulan juga kelihatan!” tukasnya seraya menunjuk bulan yang waktu itu memang sudah muncul. “Tapi mana dapet dua ribu?”

Mas Broto terbahak-bahak menyaksikannya. Dan kembali terbahak-bahak waktu menceritakannya. Aku pun ikut ngakak setengah mati.
“Dasar orang Madura!” katanya sambil terus tertawa.
“Jawabannya itu lho! Ngasal! Tapi bener! Hahaha!!” timpalku dengan rasa geli.
Mas Broto menambahkan, “Si ibu nggak bisa jawab apa-apa, langsung pergi, kalah ngomong! Hahaha!!”

Tidak ada komentar: