Senin, 30 Juli 2012

Motor Matic Injeksi Irit Harga Murah - Yamaha Mio J



Add Logo Yamaha Writing Competition
(Presented and Powered by www.yamaha-motor.co.id)

Kata orang, memilih kendaraan pribadi itu hampir mirip dengan memilih jodoh. Kalau kurang bijaksana menimbang, terlalu terburu-buru memutuskan, lalu salah pilih, penderitaan panjang menanti. Tapi jika terlalu banyak pertimbangan dan terlalu lama mengambil keputusan, kesempatan pun segera lewat dan menghilang.

Begitu pula dalam memilih sepeda motor. Kita sering pusing dan kebingungan. Di satu sisi, begitu banyak tipe-tipe motor dari banyak produsen. Semuanya menarik, semuanya menawarkan pelbagai keunggulan. Di sisi lain, ada banyak aspek yang harus kita pikirkan. Ya uang, ya keawetan, ya performa. Dan masih banyak lagi.

Tapi, sebetulnya, kalau kita mau tenang sejenak, kita akan lebih bisa berpikir jernih. Setelah itu, kita bakal melihat bahwa sebetulnya kita tidak perlu pusing dulu dengan berbagai penawaran dan jargon pemikat. Satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah menentukan kriteria untuk motor yang kita idamkan. Oke, kita sudah menentukan kriteria. Namun, masalahnya, seringkali kriteria kita itu terlalu panjang. Kita sendiri sering terkaget-kaget, syarat-syarat yang kita bikin sendiri itu ternyata banyak juga! Sudah begitu, antara satu syarat dengan syarat lain sepertinya tidak berhubungan, lagi! ... syarat no.4: “Bisa dipakai paling banter 10 tahun, kalau bisa, lebih!”... syarat no. 5: “Bensinnya minimal 1 : 25!”...

Tenang! Lebih sabar lagi! Pasti kita bakal jadi lebih jeli dan teliti. Maka, kita akan bisa melihat, sebetulnya kriteria yang kita inginkan dalam mencari motor yang mau dibeli itu bisa dikelompokkan hanya dalam 5 kategori besar: pertama, desain dan bodi; kedua, teknologi; ketiga, kinerja dan performa; keempat, daya tahan dan kehandalan; serta kelima, nilai ekonomis.

1. Desain dan bodi
Pepatahnya: “Kesan pertama begitu menggoda.” Ya, kita selalu menilai apapun pertama-tama dari penampilan luar. Termasuk motor.

2. Teknologi
Kendaraan bermotor, termasuk sepeda motor, adalah komoditas berteknologi. Dan karena teknologi senantiasa berkembang, maka teknologi yang dikenakan sebuah produk motor pun seyogyanya mengikuti akselerasi perkembangan iptek dan kemajuan zaman.

3. Kinerja dan performa
Kita pasti menginginkan motor yang tidak bisa diajak kompromi ‘kan? Kita kepingin motor kita itu mampu bermanufer sesuai kebutuhan dan selera kita. Kita pasti juga mendambakan motor yang kuat dan bandel, bisa diajak menjelajah berbagai jenis medan.

4. Daya tahan dan kehandalan
Apa gunanya motor canggih tapi cuma tahan satu-dua tahun saja, sudah begitu mandeg? Apa gunanya pula motor yang pertama-tamanya saja menyenangkan dipakai, tapi setelah beberapa kali pakai, sudah tidak bisa dipercaya lagi? Kenapa juga mesti beli motor yang serba wah penampilan dan teknologinya, juga asyik diajak ke mana-mana, tapi tidak ramah lingkungan?

5. Nilai ekonomis
Nah, inilah pemuncak persyaratan kita! Jelas, kata terakhir diputuskan oleh kapasitas dompet kita, betul tidak? Yang relatif murah bin terjangkau, yang irit bahan bakar, itu ‘kan pertimbangan pamungkas kita dalam membeli apa-apa, termasuk motor?

Dan ada kabar yang menggembirakan: semua kategori kriteria tersebut terpenuhi oleh Yamaha Mio J!

1. Desain dan bodi Yamaha Mio J
Tampilan Yamaha Mio J bukan hanya keren, tapi juga akomodatif. Ada 2 tipe Mio J: Mio J Family dan Mio J Teen. Mio J Family secara penampilan disesuaikan untuk kalangan yang jauh lebih umum, teristimewa untuk keluarga. Ada 5 pilihan warnanya: putih, hitam, biru, hijau, dan merah.
Add Image Yamaha Writing Competition
Yamaha Mio J Family

Sedangkan Mio J Teen, sesuai namanya, diperuntukkan bagi kalangan remaja dan usia muda, karena penampilannya trendi dan bergaya. Warna bodinya unik, memiliki kombinasi warna 3-tone. Ada 5 macam kombinasi: hitam - putih - merah, hitam - hijau - abu-abu muda, putih - biru - abu-abu muda, putih - hitam - abu-abu muda, dan putih - merah - abu-abu muda.
Add Image Yamaha Writing Competition
Yamaha Mio J Teen

Karena itu, Mio J cocok untuk semua kalangan tanpa memandang gender dan usia. Bahkan perempuan dan anak-anak pun pasti merasa nyaman memakai Mio J, sebab jok Mio J itu rendah. Selain itu, kalau kita habis belanja, atau kebetulan bawa tas, jas hujan, atau pernak-pernik yang lumayan banyak, kita tidak perlu kuatir, taruh saja di bagasinya, sebab bagasi Mio J itu luas, bervolume 8 liter.

2. Teknologi Yamaha Mio J
Wah, kalau ngomong kecanggihan teknologi, tidak ada yang bisa mengalahkan Yamaha! Termasuk Mio J-nya. Teknologi injeksi (teknologi yang lazim digunakan pada motor balap) adalah teknologi tercanggih dalam dunia otomotif, dan Yamaha memproduksi teknologi tersebut secara khas, dinamakan YMJET-FI (Yamaha Mixture JET - Fuel Injection), sebuah teknologi yang kehebatannya memberi banyak sekali manfaat, seperti yang akan kita lihat nanti. Selain itu, YMJET-FI juga dipadukan dengan teknologi ECU (Electric Control Unit), suatu unit pengontrol yang bekerja secara elektronis untuk memastikan agar kebutuhan semua bagian mesin dapat tersuplai secara cepat dan akurat. Juga ada teknologi DiAsil Cylinder, yakni bahan teknologi di mana bahan silinder tidak sepenuhnya besi tetapi juga mengandung silikon sehingga lebih fleksibel saat terjadi kompresi atau tekanan tinggi, karena ada satu teknologi lagi, yaitu Forged Piston, yang mampu menghasilkan kompresi tinggi untuk menghasilkan tenaga yang sangat besar pada mesin.

3. Kinerja dan performa Yamaha Mio J
Nah, semua yang sudah disebutkan di atas itu, YMJET-FI, ECU, DiAsil Cylinder, dan Forged Piston, mengakibatkan kinerja mesin motor Yamaha Mio J menjadi efisien dan efektif. Siapa yang tidak tahu tarikan mesin motor Yamaha? Ditambah dengan segala kecanggihan teknologi itu, tarikan yang sudah kencang itu dibuat menjadi kian berhasil guna dan berdaya guna. YMJET-FI, suatu sistem injeksi, memastikan setiap bagian dari mesin berfungsi optimal, tidak ada yang kelebihan beban, juga tidak ada yang menganggur, sehingga beban kerja menjadi “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”! Itulah yang menambah alasan kenapa Yamaha Mio J ini sangat optimal performanya!

4. Daya tahan dan kehandalan Yamaha Mio J
Tapi selain menyebabkan kinerja dan performa Yamaha Mio J menjadi tinggi, teknologi YMJET-FI ini juga menyebabkan mesin menjadi awet karena menjadi efisien dan efektif. Juga tidak ada pemborosan bahan bakar, sebab bensin yang disemprotkan ke mesin itu memang hanya yang sesuai kebutuhan saja. Tapi selain itu, jangan takut semuanya akan cepat trondol akibat terlalu kencang, sebab seperti yang kita lihat tadi, bahan untuk silinder yang fleksibel karena berteknologi DiAsil Cylinder menyebabkan silinder mesin tetap awet meski digenjot pada kompresi/tekanan yang sangat kuat sekalipun. Dan, yang lebih mengagumkan, di samping menyebabkan bahan bakar menjadi irit, efisiensi dan efektivitas ini juga menghasilkan gas buang yang jauh lebih sedikit, sehingga ramah lingkungan! Ini dia tambahan bukti bahwa Yamaha Mio J handal: dapat dipercaya sebagai penjaga kelestarian alam!

5. Nilai Ekonomis Yamaha Mio J
Sudah pasti, pemakaian bahan bakar irit, kantong kita juga tidak gampang terkuras ‘kan? Apalagi mengingat harga Mio J yang berkisar antara Rp11.990.000 s/d Rp12.930.000 on the road untuk di Jakarta. Daya tahannya yang awet juga jelas akan menambah nilai jualnya menjadi di atas motor bekas lainnya. Biaya perawatan menjadi diperingan pula, apalagi karena sifat mesin Mio J yang injeksi, tidak ada karburator, jadi tidak perlu biaya servis membersihkan karburator. Akinya juga aki kering, jadi tidak usah sebentar-sebentar dicek.

Bagaimana? Sudah lihat ‘kan bagaimana unggulnya Yamaha Mio J? Tidak perlu kuatir! Motor matic itu tidak selamanya boros bahan bakar dan biaya perawatan, dan tidak selalu juga mahal harganya. Tapi hanya Mio J lho motor matic yang irit dan murah! Makanya, Yamaha berani pasang tagline “Semakin Cepat, Semakin Irit... It’s Magic!” untuk Mio J ini. Ya! Magic! Jadi, tak perlu lagi bingung-bingung cari motor! Pilih saja Mio J!

(Semua gambar diambil dari www.yamaha-motor.co.id)

Tentang Menjadi Pendidik



Pekerjaan dan profesi sebagai pendidik tidak asing bagi saya. Hingga wafatnya, papa saya seorang guru; hampir tiga perempat hidupnya dihabiskan dengan menjadi guru SR (sekarang SD) dan SMA, menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, memberi pelatihan bahasa Inggris di beberapa instansi pemerintah maupun swasta, juga memberi les privat untuk beberapa bidang studi, terutama bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Kakak perempuan saya, kakak sulung, selulus dari IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta atau UNJ), pernah selama 20 tahun menjadi guru SD, SMP, dan SMEA (sekarang SMK Ekonomi), juga sebagai guru les privat untuk anak-anak SD, SMP, dan SMEA, bahkan pernah pula ikut mendirikan sebuah tempat bimbingan belajar. Dan saya sendiri sempat hampir tiga tahun menjadi guru SD dan memberi les privat untuk para siswa SD dan SMP.

Selama bercengkerama dengan dunia profesi pendidik, saya mendapati dan merenungkan banyak hal. Beberapa hal saya dapati tidak benar, salah kaprah, tidak pada tempatnya. Sebagian lagi memang sudah tepat, tapi sangat rentan di-salah-interpretasi-kan. Kemudian, saya menyusun sebuah pemikiran kesimpulan akan bagaimana sosok pendidik itu seharusnya.

Karena itu, di bawah ini secara garis besar saya akan tuliskan apa yang saya peroleh dan yang saya konklusikan tersebut.

Meluruskan beberapa kekeliruan pandangan mengenai pendidik

1. Menjadi pendidik untuk kepentingan pribadi

Pekerjaan menjadi seorang edukator memang sungguh-sungguh adalah pekerjaan yang agung dan mulia. Itu niscaya, sebab memang di tangan pendidiklah masa depan bangsa bergantung. Disposisi itu tidak perlu diragukan lagi. Tapi mestinya, dari situ kita berpikir, “Unsur intrinsik apa di dalam profesi pendidik yang membuatnya mulia?” Itu adalah pertanyaan yang bagus. Dan jawabannya adalah: menjadi pendidik itu mulia karena padanya melekat erat sifat altruistik. Sifat berdedikasi untuk kepentingan dan kebaikan orang lain semata. Sifat ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan sebagai pendidik, sehingga konsekuensinya, menggolongkan pekerjaan edukator ini sebagai pekerjaan altruistik, sama dengan pekerjaan sebagai rohaniawan, dokter, tentara, dan polisi. Altruisme berkontradiksi dengan egoisme dan egosentrisme. Oleh sebab itu, melakukan pekerjaan dan menyandang profesi yang altruistik berarti sama sekali tidak memberi ruang dan tempat untuk kepentingan diri sendiri. Ini mungkin terdengar ekstrem, tapi memang begitu kenyataannya. Sekali seorang pendidik berkompromi dengan agenda pribadinya dalam melakukan pekerjaannya, maka saat itu hilanglah kemuliaan dari profesi yang disandangnya. Ia telah mengkhianati profesinya sendiri, telah menodainya.

Lantas, apakah seorang pendidik tak punya hak untuk memperhatikan hidupnya sendiri dan keluarganya? Apakah dia tidak berhak memikirkan nasib dan memperjuangkan nafkah bagi penghidupannya dan keluarganya? Tentu saja ia berhak! Sepenuhnya! Dan bukankah “seorang pekerja layak menerima upahnya”? Tentu saja! Jadi, apa yang salah? Yang salah adalah kalau individu tersebut memasukkan “perjuangan nasib dan pencarian nafkahnya” itu ke dalam profesinya, sewaktu ia mencampuradukkan entitas jabatannya dengan entitasnya yang lain, entah itu sebagai diri pribadi, atau sebagai suami, atau sebagai ayah, atau sebagai yang lainnya.

Banyak alasan dan motivasi orang yang mendorongnya untuk ingin menjadi pendidik. Ada yang menjadi pendidik untuk mencari uang sekadar untuk bertahan hidup. Ada yang untuk mencari uang dalam jumlah yang relatif besar, atau dengan kata lain, ingin menjadi kaya. Ada yang untuk menaikkan derajat, supaya dianggap terpandang. Macam-macam. Dan semua alasan dan motivasi itu mengandung nada dan bau yang sama: “ego”. Itu yang salah! Harusnya, karena pekerjaannya altruistik, berjiwa altruisme, ya alasan dan motivasinya juga wajib altruistik. Contoh: “untuk memajukan generasi muda di kampung atau di kota saya”, “ingin mencerdaskan suku yang masih terbelakang”, atau “supaya pola pikir, moral, dan karakter bangsa ini tidak terus-menerus bobrok”.

2. Memandang jabatan terlalu tinggi, mencari sendiri penghormatan

Efek dari egoisme-egosentrisme yang dibiarkan bertumbuh adalah sikap memandang pekerjaan dan profesi kita secara terlampau tinggi, serta ambisi mencari hormat bagi diri sendiri dari semua orang. Sekali lagi, benar sekali jabatan pendidik itu mulia. Dan itulah intinya. “Jabatan/pekerjaan/profesi”-nya yang mulia secara mutlak. Sedangkan “pribadi sang penyandang jabatan/pekerjaan/profesi” itu sendiri mempunyai nilai kehormatan dan kemuliaannya sendiri, terpisah, dan sifatnya berbeda, sebab bergantung pada karakter dan integritas orang itu sendiri. Tidak sepantasnya kehormatan dan kemuliaan jabatan dan pekerjaan pendidik disatukan dan disamakan dengan kehormatan diri pribadi sang pendidik.

Itu yang pertama. Yang kedua, kalaupun memang pemuliaan pekerjaan sebagai pendidik itu tetap mau digabungkan juga dengan penghormatan terhadap pribadi si pendidik sendiri, maka yang punya hak dan layak melakukan itu adalah orang luar, orang-orang yang bukan pendidik. Merekalah yang sah dan wajib secara logika dan moral untuk melakukan penghormatan, baik terhadap diri sang pendidik maupun terhadap profesinya. Bukan para pendidik itu sendiri. Para pendidik secara logika dan moral hanya pantas menilai tinggi jabatan dan pekerjaannya tok, terlepas sama sekali dari diri pribadinya.

Lalu, bagaimana, apakah pendidik tidak boleh menuntut kelayakan hidup? Apakah dengan begitu, pendidik tidak boleh lagi mempunyai naluri sebagai manusia untuk dihargai sepantasnya? Tidak begitu juga. Tentu saja boleh! Manusia siapapun juga punya hak yang sama untuk memperoleh penghormatan selayaknya. Kita semua berhak menuntut bilamana hak asasi kita, termasuk hak untuk memperoleh penghidupan yang layak, ada yang coba pasung. Tapi ya itu, cukup sampai di taraf itu, di taraf sebagai “manusia”. Tidak perlulah diembel-embeli: “...karena kami adalah ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’!...”, atau: “...karena kami sudah berjasa mencerdaskan anak bangsa!...”, atau juga: “...karena pekerjaan kami ini mulia!...”. Itu hanya mencerminkan jiwa egoisme si pendidik sendiri yang masih besar. Yang mestinya membela para pendidik dengan embel-embel seperti tadi adalah orang-orang yang bukan pendidik. Mereka bukan cuma pantas, tapi juga sebetulnya memiliki kewajiban moral untuk membela sesama mereka yang berprofesi sebagai pendidik dengan cara seperti itu. Merekalah yang wajib mengingatkan pihak yang berwenang apabila kemuliaan jabatan dan pekerjaan para pendidik diabaikan.

3. Menyamaratakan derajat kehormatan pribadi di antara semua pendidik

Dalam semua jenis pekerjaan, perbedaan dan ekses pada segala aspek di kalangan para pelakunya pasti ada. Demikian pula dalam pekerjaan sebagai pendidik. Ada pendidik yang bernasib baik karena bekerja di institusi pendidikan yang berkekuatan finansial besar sehingga kesejahteraannya amat terjamin berkat gaji yang berlipat-lipat kali UMR, tapi ada juga pendidik yang tidak “seberuntung” itu karena bekerja di daerah terpencil, mengajar anak-anak suku terasing di pedalaman, yang hidup dengan mengandalkan usaha lain seperti bercocok-tanam. Ada pendidik yang akhlaknya sedemikian luhur sampai-sampai dijadikan tokoh yang dituakan oleh masyarakat di sekitarnya, namun ada pula pendidik yang kebejadan moralnya bisa membuat setan-setan malu.

Saya tadi sudah mengatakan bahwa kehormatan profesi pendidik berbeda daripada kehormatan pribadi sang pendidik itu sendiri. Karena itu, yang saya maksudkan dalam poin ini adalah, tiap-tiap orang dihormati menurut cara ia hidup detik demi detik. Begitu pula pendidik. Jangan karena jabatan pendidik itu mulia dan terhormat, lantas kita memukul rata, menganggap semua pendidik itu mulia, atau, paling tidak, seharusnya mulia. Tidak mesti begitu. Mulia-tidak mulianya seorang pendidik memang mempengaruhi citra terhormat profesi pendidik di mata orang, akan tetapi mulia-tidak mulianya si pendidik tidak bergantung pada kehormatan profesinya tersebut. Semua bergantung pada kualitas dan integritas diri sang pendidik itu sendiri saja. Dan karena kualitas dan integritas tiap individu berbeda-beda, maka kehormatan pribadi pendidik pun berbeda satu sama lain. Apakah pendidik yang hidup enak di kota dengan penghasilan besar dan tunjangan pensiun yang terjamin bisa disamakan kadar kemuliaan pengabdian dan pengorbanannya dengan pendidik yang tinggal di pulau kecil yang gersang bersama suku yang belum dikenal dunia? Apakah pendidik yang menjadi legenda di kalangan anak-anak lantaran perbuatan baiknya yang sarat sama terhormatnya dengan pendidik yang memperkosa anak didiknya?

4. Memandang parsial segala hal dari pekerjaan dan jabatan sebagai pendidik

Ada 2 hal dari pekerjaan dan jabatan sebagai pendidik yang paling sering dipandang parsial.

Pertama, profesi pendidik dipandang hanya sebagai pembentuk intelektual peserta didik saja. Padahal, pekerjaan mendidik itu adalah pekerjaan membentuk manusia secara keseluruhan, holistik, baik fisik, mental, intelektual, emosional, moral, sosial, karakter, maupun spiritual. Semua pendidik bertanggung jawab untuk itu. Tidak ada alasan. Seorang guru Olahraga, misalnya, tak pantas berdalih bahwa dia tidak bertanggung-jawab atas permasalahan sosial seorang anak didiknya yang suka berkelahi. Seorang guru Fisika tidak seharusnya melalaikan perhatian akan kebugaran dan kesehatan anak didiknya yang sering sakit-sakitan. Yang seperti itu seharusnya tidak boleh terjadi. Jabatan sebagai pendidik jauh lebih luas cakupannya ketimbang subyek atau bidang studi atau mata pelajaran yang menjadi lingkup ajar sang pendidik. Sayang, masih banyak pendidik yang mengabaikan hal ini. Bahkan sering sangat parah. Masih bagus kalau si pendidik masih sadar untuk membentuk intelektual anak didik, karena yang parahnya, beberapa pendidik malah hanya berperan sebagai penyampai informasi saja. Soal peserta didik memahami subyek yang diterangkan secara komprehensif atau tidak, dia sama sekali tidak peduli. Kalau begitu, jadi wartawan saja, jangan jadi guru!

Kedua, pekerjaan sebagai pendidik dipandang sama saja jam kerjanya dengan pekerjaan lain. Itu salah. Sebagaimana di atas sudah saya sebutkan, pekerjaan sebagai pendidik itu termasuk pekerjaan altruistik. Salah satu ciri khas pekerjaan yang altruistik adalah waktu kerjanya yang tidak ada batasan. Ulama, dokter, tentara, dan polisi, meskipun jam kerja mereka di tempat dinas resmi mereka sudah selesai, sepulang ke rumah, mereka tetap ulama, dokter, tentara, dan polisi. Saat sedang berekreasi dengan keluarganya, jika ada orang yang sakit dan darurat, seorang dokter tetap dituntut keharusan oleh jabatannya untuk menolong. Ketika lagi asyik-asyiknya bersantai di rumah, kalau ada anggota jemaatnya meninggal, seorang ulama tetap diwajibkan oleh profesinya untuk mendoakan dan menghibur keluarga almarhum/almarhumah. Biarpun sedang enak tidur di tengah malam, jikalau negara diserang musuh, seorang tentara amat sangat diharamkan untuk menolak angkat senjata. Tidak ada berhentinya jam kerja bagi para pekerja altruistik. Begitu pula pendidik. Pendidik harus selalu dapat “digugu” dan “ditiru”. Ia kapanpun harus senantiasa siap menjawab pertanyaan apapun dari siapapun yang haus akan pengetahuan. Ia juga harus selalu siap mengoreksi setiap kesalahan, membenahi ketidakberesan, dan mencambuk kealpaan manusiawi yang dilakukan oleh siapa saja di manapun.

Kontemplasi-refleksi dan penutup

Melihat hal-hal tersebut di atas, saya menyadari, menjadi pendidik itu amat sangat tidak mudah. Ya jelaslah! Kemuliaan dan kehormatan yang menyertai pekerjaan dan profesi sebagai pendidik itu luar biasa besarnya, jadi sudah pasti tanggung jawab pengembannya pun bukan main beratnya. Karena itu, sudah menjadi keniscayaan, seorang pendidik itu haruslah takut akan Tuhan, berkarakter dan bermoral luhur, memiliki integritas diri yang sangat tinggi, rendah hati, mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri, tidak mementingkan diri sendiri, serta yang tak kalah pentingnya adalah tidak memiliki kata “menyerah” dalam kamusnya, memang sedari awal sudah mempunyai niat yang tak tergoyahkan untuk menjadi pendidik, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, dan seluruh kualitas kebaikan manusia. Semua orang sudah sering mendengar semua itu, jadi saya tidak akan menguraikannya. Hanya sebagai pengingat saja, betapa kompletnya seorang manusia harus mempersiapkan dirinya jika ingin menjadi pendidik yang layak, yang memang seharusnya, sebagaimana tuntutan profesinya. Maklum saja, pendidik adalah pembentuk manusia. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apapun yang dilakoni sang pendidik, itulah yang akan dilakoni anak-anak didiknya dengan skala yang jauh lebih besar. Apabila seorang pendidik begitu bersinar bagai lilin di tengah kegelapan ruangan tanpa listrik, betapa hebatnya cahaya dari para muridnya, yang bagaikan kumpulan obor yang menerangi seluruh isi kampung! Namun, jika sang pendidik berbau busuk sampai ke sumsum-sumsumnya, alangkah menjijikkan dan berbisanya darah dan uap nafas para anak didiknya, sampai-sampai meracuni seluruh negeri!

Terakhir, saya meminta maaf jikalau tulisan saya ini terlalu keras, ekstrem, dan lancang. Bukan karena saya tidak menghormati profesi dan pekerjaan pendidik. Kebalikannya malah. Saya menulis ini justru karena di mata saya, jabatan dan pekerjaan menjadi pendidik itu sangat luar biasa terhormat dan mulianya. Karena itu, saya sampai mati tidak rela kalau jabatan ini disandang dan pekerjaan ini dilakukan oleh tangan-tangan dan insan-insan yang tidak siap, yang tidak berkompeten, yang rusak dan bobrok, yang ber-tuhan-kan perut dan kelamin, yang cinta uang-harta dan gila hormatnya membuat Iblis minder, serta yang pendek akal dan mati nurani!

Jumat, 20 Juli 2012

Mendisiplin Diri Berhemat Energi Demi Lingkungan dengan Bantuan Teknologi Digital

(Tulisan yang diinspirasikan Komunitas Ngawur, Pusat Teknologi, dan Blogger Nusantara)
Alam sudah semakin rusak oleh ulah kita sendiri. Alih-alih sadar, kita malah tambah gila, perilaku kita kian memperparah kerusakan alam dan lingkungan. Gaya hidup kita serba mencerminkan pemborosan energi dan sumber daya. Kita pakai air tanpa perhitungan, membuang-buangnya secara sia-sia, mengakibatkan sumber air bersih menjadi menipis secara makin cepat. Kalau di tempat kita sudah mengalami kekeringan, baru kita merasakan penderitaan. Dan sedihnya, banyak dari kita tidak kunjung sadar-sadar juga, sebab ketika pindah ke tempat tinggal lain, mereka kembali mengulangi pola hidup boros air mereka. Sebaliknya, kalau alam sudah mengamuk dan membalas, kala air berbalik menyerang kita, membawa banjir dan bah, yang sejatinya adalah akibat perbuatan kita sendiri, kita juga yang menderita. Tapi lagi-lagi, kita tidak sadar-sadar juga, masih juga tidak menghargai air. Bahkan celakanya, saat kita mengalami musibah yang berkaitan dengan air, kita malah menyalahkan Tuhan. Benar-benar kurang ajar kita ini!

Itu baru satu hal, baru masalah air saja. Belum berhubungan dengan sumber-sumber daya lainnya. Rasa-rasanya, tidak ada satu pun sumber daya dan energi yang tidak kita hambur-hamburkan. BBM, listrik, gas, kantong plastik, kertas, dan lain sebagainya, sampai uang, tenaga, dan waktu juga.

Ini tidak boleh kita teruskan! Apa kita mau anak-cucu dan keturunan kita selanjutnya bukan hanya menderita karena perbuatan kita hari ini tapi juga meneruskan pola perilaku merusak kita, yang pada gilirannya, mengakibatkan kerusakan alam dan lingkungan yang lebih bukan kepalang lagi? Kalau kita tidak mau itu terjadi, kita harus berubah. Mulai dari hal yang paling sederhana.... Dan mulai dari sekarang!

Tapi bagaimana kita memulainya...?

Bukankah zaman sekarang adalah zaman di mana manusia mencapai kemajuan teknologi yang paling menakjubkan sepanjang sejarah? Nyaris sulit sekali mencari satu segi dari kehidupan dan dunia kita yang tidak tersentuh kemajuan teknologi. So, kenapa teknologi itu (yang merupakan budak kita, pembantu kita) tidak kita berdayakan semaksimal mungkin buat membantu kita melatih kedisiplinan diri dalam berhemat demi lingkungan?

Salah satu teknologi yang paling mengemuka, paling memasyarakat, dan juga yang paling fleksibel adalah teknologi digital. Teknologi digital memungkinkan keakuratan yang jauh lebih kuat. Teknologi digital juga mendeskripsikan kondisi dengan lebih mendetil, sehingga kita dapat menginterpretasi data secara lebih komprehensif. Dan yang paling istimewa, teknologi digital itu amat simpel, sehingga anak balita dan lansia pun mudah mengerti dan mampu menggunakannya.

Penggunaan teknologi digital dalam wacana pelestarian lingkungan sebenarnya sudah marak. Di pusat-pusat kota besar, pada jalan-jalan protokolnya, kita suka melihat billboard digital kadar kandungan gas dan bahan kimia lainnya di udara, seperti CO2, CO, dan Nitrogen. Lalu, untuk menganalisa air tanah agar kita tahu aman atau tidak untuk dikonsumsi, alatnya juga digital. Dan masih banyak lagi. Nah, 2 contoh alat impian saya untuk melatih kita berdisiplin dalam berhemat ini pun digital.

Tunggu! kata Anda mungkin, ...“alat impian”? Ya. Yah, sebetulnya, tidak sepenuhnya impian sih. Malah, alat yang saya bayangkan itu sebenarnya alat digital yang sudah lumrah dipakai dan kita lihat. Yang menjadi “impian” itu adalah tempat pengaplikasiannya. Cara kerja kedua alat impian saya itu sebenarnya sama. Lingkup aplikasinya pun sama, yaitu untuk pemakaian domestik, artinya: untuk pemakaian pribadi atau untuk kalangan sendiri. Yang berbeda adalah tempat dan obyek pengukurannya: yang satu di rumah, untuk mengukur keluarnya air yang kita gunakan; yang satu lagi di kendaraan bermotor, untuk mengukur bahan bakar yang terpakai.

Alat itu adalah alat yang persis sama dengan meteran di pom-pom bensin. Metode kerjanya pun sama, mengukur aliran cairan. Hanya saja, alat impian saya ini ketelitiannya harus lebih dalam. Alat ini harus dapat mengukur sampai ukuran mililiter (ml/cc), kalau perlu, lebih kecil lagi, 0,01 ml/cc misalnya.

Pertama, di rumah. Alat ini dipasang di setiap keran air pada bagian pangkalnya, tepat di bagian pipa sebelum keni/soket sambungan antara pipa dengan keran. Alat ini akan memperlihatkan berapa banyak air yang mengalir keluar saat kita menyalakan keran. Alat ini juga dilengkapi dengan panel-panel kontrol mikro. Panel-panel mikro itu gunanya untuk menyalakan parameter-parameter tertentu. Misalnya, ada parameter alarm, di mana kita bisa menyetelnya pada volume tertentu; jadi, jika umpamanya kita hendak memakai air tidak lebih daripada 100 liter, kita bisa menyetel alarm untuk volume 80 atau 90 liter, agar kita bisa segera menutup keran sebelum pengeluaran air mencapai 100 liter. Atau, ada parameter penghenti otomatis, yang cara kerjanya mirip dengan parameter alarm, cuma bedanya, parameter ini langsung menghentikan aliran air sesuai volume yang kita set. Atau barangkali, bisa juga ada parameter konversi, yang bisa mengonversi jumlah volume air keluar dengan jumlah rupiah yang harus dibayar (untuk pemakai PDAM; tapi orang-orang yang bukan pemakai jasa PDAM pun tak ada salahnya memanfaatkan parameter ini). Dan panel-panel untuk parameter-parameter lain, yang semuanya bisa ditambahkan sesuai kebutuhan berdasarkan inovasi terbaru. Dengan semua ini, harapannya, kita akan mulai menyadari bahwa setiap tetes air itu berharga, dan kita akhirnya terdorong untuk menghemat pemakaiannya.

Kedua, di kendaraan bermotor. Tidak banyak yang akan saya lukiskan karena prinsipnya sama persis dengan alat yang dipasang di keran-keran air di rumah tersebut di atas, sebab, pada dasarnya, seperti sudah saya sebutkan, kedua alat ini sama. Yang perlu saya tambahkan mungkin adalah bahwa jika kendaraan berbahan bakar listrik (yang saat ini sedang ramai dibicarakan) nanti jadi juga dipasarkan dan sudah banyak digunakan, alat impian saya ini (kalau mau dipasang pada kendaraan listrik juga) harus dimodifikasi, jadi akan mirip metodenya dengan meteran listrik (cuma, mungkin bedanya, kalau meteran listrik yang kita kenal masih analog, alat impian saya itu digital).

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan, alat impian saya ini hanyalah contoh. Seyogyanya, alat serupa juga dapat diterapkan untuk berbagai bidang di segala tempat. Tapi lebih dari itu, saya juga ingin mengingatkan, teknologi apapun, termasuk teknologi digital, sekali lagi, adalah alat bantu kita, pembantu kita; tanpa diri kita sendiri insaf, berbalik dari pola hidup kita yang merusak untuk kemudian memeluk pola hidup yang konstruktif, teknologi digital secanggih apapun takkan memberi kebaikan dan perbaikan apa-apa bagi dunia, terutama bagi bangsa dan negeri kita.

Minggu, 15 Juli 2012

Memulai Gaya Hidup Anti-boros dengan Diskon.com

Waktu kecil, saya diperkenalkan dengan banyak pepatah bijak. Salah satu yang paling saya ingat itu adalah “Hemat pangkal kaya, boros pangkal miskin”. Pepatah itu benar sekali.

Ada banyak sekali pemborosan, sebab memang ada banyak sekali sumber daya. Seperti kita semua tahu, ada pemborosan uang, pemborosan waktu, pemborosan tenaga, pemborosan sumber daya energi, pemborosan pikiran, pemborosan emosi, dan pemborosan-pemborosan lainnya. Tapi menurut saya, ada satu pemborosan yang lebih jahat ketimbang tiap-tiap pemborosan yang kita kenal. Coba tebak, apa itu! Nah, saya kasih tahu saja. Itu adalah “pemborosan prosedur” atau “pemborosan birokrasi”! Rasakan saja saat kita mengurus KTP, SIM, paspor, akte kelahiran, sertifikat tanah/rumah, IMB, NPWP, izin usaha, dan seterusnya! Sayangnya, bukan pada saat-saat itu saja kita menemukannya. Hampir di setiap segi di tanah air kita tercinta ini, kita mudah sekali menemukan pemborosan jenis ini. Mengapa saya bilang pemborosan ini lebih jahat? Karena ia merupakan biang dari banyak pemborosan jenis lain! Pemborosan prosedur/birokrasi akan melahirkan pemborosan uang, waktu, tenaga, pikiran, emosi, dan banyak pemborosan lainnya lagi. Betul tidak? Pokoknya, segala sesuatu yang berbelit-belit, rumit, dan bertele-tele pasti menyita banyak sekali sumber daya kita secara sia-sia, setuju?

Sungguh disayangkan, itu juga terjadi dalam dunia online, termasuk bisnis online, termasuk juga belanja online! Ironis! Internet seyogyanya membantu hidup kita menjadi lebih sederhana. Jadi, berbisnis, berbelanja, dan bertransaksi apapun dengan bertulang-punggungkan jaringan internet juga harusnya membuat kita merasa lebih nyaman, ‘kan? Tapi kenyataannya tidak demikian! Banyak situs-situs belanja dan bisnis online yang justru bikin pusing tujuh keliling saking ribetnya! Pertama-tama kita diharuskan mendaftar (sign-up/log-up), di situ kita disuguhkan dengan kolom-kolom yang banyak, semuanya harus diisi, dan pada bagian akhir terdapat kolom untuk memasukkan kode CAPTCHA, yang sering sangat sulit dibaca; kalau kita kelupaan mengisi satu kolom saja atau salah memasukkan kode CAPTCHA sedangkan kita telanjur sudah pencet tombol “Daftar”, di browser kita akan tampil lagi halaman pendaftaran yang sama...dengan kolom-kolom yang kembali kosong dan harus kita isi kembali! Jika akhirnya kita berhasil juga (setelah entah berapa kali mengulang-ulang terus), kita diperintahkan untuk membuka email kita yang tadi kita daftarkan, maksudnya untuk meng-klik link URL yang dikirimkan webmaster situs yang bersangkutan untuk mengonfirmasi pendaftaran; setelah kita klik, yang muncul hanyalah halaman berisi ucapan yang kira-kira isinya: “terimakasih telah mendaftar”,...dan untuk mulai bisa menggunakan situs belanja itu, kita diharuskan log-in/sign-in dari halaman utama! Oke, kita log-in, sesudah itu? Apa kita langsung bisa menggunakan situs belanja tersebut? Ternyata tidak, Saudara-saudara! Kita kembali diharuskan melengkapi dulu profil diri kita di halaman yang lagi-lagi sangat banyak kolom-kolomnya, yang semuanya (lagi-lagi) juga wajib diisi...dan pada banyak situs belanja, lagi-lagi ada CAPTCHA!

Ya ampun! Belum juga belanja, sudah repot begitu!

Tapi itu tidak terjadi pada situs belanja online Diskon.com!

Dari namanya, ekspektasi kita langsung terarah pada penghematan. “Diskon”! Dan memang, situs Diskon.com adalah situs belanja online yang memberikan diskon-diskon untuk produk-produk yang ditawarkan oleh merchant-merchant yang memakai jasanya. Bermarkas di Yogyakarta, situs ini tidak hanya dipercaya oleh merchant-merchant dan konsumen dari Kota Gudeg itu saja. Banyak merchant dari kota-kota besar se-Jawa dan Bali juga menggunakannya, yaitu dari kota Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, dan Denpasar. Dengan rate diskon yang sangat besar, konsumen pasti diuntungkan. Tapi bukan cuma konsumen saja melainkan pihak merchant juga. Sebab, selain merupakan situs online, yang tentunya bisa diakses semua orang, tidak hanya di kota-kota bersangkutan melainkan juga di seluruh Indonesia bahkan di seluruh dunia, Diskon.com juga amat sangat sederhana dalam prosedurnya. Nah, bagi saya, inilah yang lebih penting! Keuntungan yang satu inilah yang justru lebih signifikan!

Begitu kita klik tombol “Daftar” di halaman utama situs Diskon.com, yang muncul adalah halaman pendaftaran dengan jumlah kolom yang relatif sedikit saja...dan, tidak ada CAPTCHA! Usai mendaftar, apakah kita perlu konfirmasi akun dengan masuk dulu ke email kita. Tidak, itu tidak perlu! Situs akan mengarahkan kita langsung ke halaman profil kita. Tidak usah log-in lagi! Di halaman profil itu, kalau kita tidak mau mengubah data diri, ya sudah, tidak perlu mengutak-atik lagi, cukup klik saja tombol “Terkini” atau “Diskon Sebelumnya”, langsung deh kita bisa melihat-lihat produk apa saja yang ditawarkan, berapa persen diskonnya, dan sudah berapa “Deal” untuk produk tersebut. Kalau kita mau membeli, tinggal klik saja “Deal”-nya dan bayar sebelum “Deal” ditutup. Nanti, begitu “Deal” ditutup, pihak Diskon.com akan mengirimkan konfirmasi pembayaran dan kode voucher via email dan SMS kepada kita. Nah, tinggal tukarkan voucher itu ke merchant dari produk terkait. Beres !

Dari tampilan situsnya yang bersahaja dan gampang dimengerti namun tetap keren serta dari ke-simpel-annya dalam prosedural itu kita dapat menangkap konsistensi Diskon.com. Kekonsistenan sangat vital dalam berbisnis, sebab konsistensi mencerminkan kehandalan, dapat dipercaya. Bukan cuma dari segi bisnis, tapi juga dari segi moril. Maksud saya begini: coba bayangkan, alangkah kontradiktifnya jika situs ini berani memakai nama “Diskon.com”, namun dalam prakteknya, ia menerapkan prosedur yang sangat ribet, lalu mendesain halaman situs yang amat nge-jreng yang justru malah bikin nge-jelimet! Terus, mana “Diskon”-nya?! Maksudnya, di mana hematnya? Wong tampilan dan prosedurnya saja bikin waktu, tenaga, pikiran, dan emosi kita (bahkan juga energi listrik) jadi boros kok!

Kesimpulannya, situs Diskon.com ini dapat diandalkan untuk turut membudayakan gaya hidup anti-boros, gaya hidup hemat. Dan kalau kita mau berubah, mau menjadi orang yang anti-boros, kita harus memangkas pemborosan kita sampai ke akar-akarnya, sampai ke biangnya, yaitu pemborosan prosedur. Dan sudah terbukti ‘kan, Diskon.com adalah satu dari amat sangat sedikit situs belanja online yang sudah meninggalkan pemborosan prosedur?!

So, buktikan saja deh! Klik saja link-link yang saya berikan di tulisan ini. Semuanya mengarah ke situs Diskon.com. Dijamin, Anda akan mengerti apa itu gaya hidup anti-boros, gaya hidup hemat! Hidup hemat itu sehat lho! Sebaliknya, berboros-boros ria itu dosa, karena membuang-buang sumber daya pemberian Tuhan dengan sia-sia. Jadi, memakai Diskon.com untuk berbelanja dan beriklan adalah salah satu cara untuk memulai hidup anti-boros alias hemat!

Jumat, 29 Juni 2012

Kemudahan Transaksi BCA Menenangkan Hati


Sejak kecil, saya sudah begitu akrab dengan kata-kata “BCA”, “Bank Central Asia”. Orangtua saya sering sekali menyebut-nyebut BCA dalam pembicaraan mereka yang berkaitan dengan urusan keuangan dan tabungan keluarga. Saya juga tahu, mereka hanya percaya pada BCA, sebab cuma di BCA-lah mereka membuka rekening. Demikian pula dengan kakak-kakak saya. Jadi, setiap kali saya membaca atau mendengar atau teringat pada kata “bank”, sudah seperti otomatis otak saya langsung akan terasosiasi dengan BCA. Sampai sekarang.

Tapi sewaktu masih duduk di bangku SD, saya masih belum peduli akan pentingnya berinvestasi dan menabung. Saya juga belum mengerti soal vitalnya kehandalan sebuah institusi keuangan atau perbankan dalam hal tersebut. Ketika sekolah saya mewajibkan para muridnya untuk membuka tabungan (waktu itu, dekade ’80-an, yang dominan adalah sebuah tabungan yang diprakarsai pemerintah) pada sebuah bank tertentu, ya sebagai murid yang baik, saya ikut-ikut saja. Namanya juga wajib. Tanpa tahu apa kepentingannya, selain supaya jangan kena hukuman dan agar nama saya sebagai murid teladan dan berprestasi tidak tercoreng. Juga tanpa memikirkan sama sekali detil-detil tentang jenis tabungan, suku bunga, bonafiditas dan kompetensi bank penyelenggara, dan sebagainya.

Namun, anehnya, jauh di lubuk hati saya ketika itu, ada sayup-sayup suara redup yang berkata, “BCA.... Bank yang bagus ‘kan BCA! Kenapa sekolah tidak pakai BCA saja?...”

Saya tidak tahu persis kapan tepatnya, yang pasti, sewaktu saya mulai masuk SMP pada tahun 1987, BCA baru mulai mengeluarkan produk Tabungan Hari Depan (Tahapan). Seingat saya, saat itu masyarakat menandai Tahapan sebagai produk perbankan yang menjadi pelopor alternatif selain tabungan program pemerintah. Dan sepengetahuan saya (maaf kalau saya salah), BCA-lah bank pelopor Tahapan. Karena setelah itu, beberapa bank ikut menawarkan produk tabungan dengan nama “Tahapan” juga.

Saya masih ingat betul, Tahapan waktu itu sangat booming. Orang berbondong-bondong buka rekening Tahapan. Banyak juga yang membukanya bukan di BCA. Namun tetap saja BCA jauh mendominasi. Dan hal itu pun menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Di rumah, kami sekeluarga membicarakannya. Orangtua dan kakak-kakak saya semuanya kemudian membuka rekening Tahapan BCA. Bahkan di sekolah pun, saya dan teman-teman hampir tiap hari membicarakannya! Teman-teman saya, yang sekelas, yang berbeda kelas, adik kelas, maupun kakak kelas, pada heboh di sekolah kalau mereka sudah membuka Tahapan, bahkan sekalipun beberapa dari mereka membukanya bukan di BCA. Dan kalau saya tidak salah, suku bunga tabungan waktu itu, secara berangsur tapi pasti, terus bergerak naik. Ini disebabkan persaingan antar-bank yang semakin ketat, termasuk juga bank-bank yang ikut tergiur menawarkan produk tabungan lain selain Tahapan. Boleh dibilang, masa-masa saya duduk di SMP (bahkan hingga beberapa tahun sesudah itu) adalah juga masa-masa demam menabung di masyarakat!

Tapi, sekali lagi, anehnya, kendati ikut-ikutan heboh dalam pembicaraan di rumah dan di sekolah, saya sendiri tidak membuka rekening Tahapan. Bahkan tabungan apapun tidak!

Sampai saat saya lulus SMA.

Tahun pertama saya kuliah adalah kali pertama pula untuk saya memperoleh penghasilan sendiri. Dua bulan sebelum hari pertama kuliah saya di salah satu sekolah tinggi informatika terkemuka di Jakarta, saya memberi les privat untuk anak SD. Dengan memegang uang sendiri, kesadaran saya mulai terbuka. Saya mulai terpikir untuk membuat rencana masa depan dengan menabung. Maka, mulailah saya pergi ke bank dan membuka tabungan.

Namun, lagi-lagi aneh: saya memang membuka tabungan berupa Tahapan, tapi bukan di BCA!...

Dua tahun kemudian, saya mendapatkan apa yang saya idam-idamkan sejak masih bersekolah, yaitu berkuliah di perguruan tinggi negeri ternama. Hanya saja, untuk itu, saya harus meninggalkan Jakarta, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, sebab saya diterima di universitas negeri ternama di Bandung. Dengan demikian, saya harus melepaskan pekerjaan saya sebagai guru les privat. Jadi, keuangan saya kembali bergantung penuh pada kiriman orangtua.

Sesampai di Bandung, membuka rekening tabungan adalah salah satu hal yang pertama-tama saya lakukan, karena hal itu memang urgen sekali, mengingat cara yang paling mudah dan cepat dalam soal kiriman uang dari orangtua adalah dengan mentransfer uang. Tapi sekali lagi, yang saya pilih bukanlah BCA!

Sebelum saya melanjutkan, saya akan mengatakan alasan saya kenapa saya tidak kunjung juga membuka tabungan di BCA, padahal BCA adalah bank yang sangat familiar bagi saya sekeluarga. Cuma satu saja: saya minder! Ketika bersekolah, saya minder karena uang jajan saya tidak sebanyak yang dipunyai teman-teman dan kakak-kakak saya. Saat mengajar les privat, saya masih juga minder karena walaupun honor saya tidak kecil-kecil amat (malah, kenyataannya, saya mendapat uang yang cukup besar menurut ukuran saya waktu itu, hasil dari mengajar di beberapa tempat karena usaha les saya yang sudah berkembang), saya merasa belum layak untuk “masuk” BCA. Apalagi pada waktu kembali “menganggur”, tidak punya pekerjaan dan penghasilan sendiri saat pertama berkuliah di Bandung. Dalam pikiran saya, BCA adalah tempat untuk orang-orang berkantong tebal dan berkelas menengah ke atas, bukan untuk anak ingusan naif yang "tong-pes" dari keluarga sederhana seperti saya kala itu. Itu sebabnya, biarpun saya mendengar salah seorang kakak perempuan saya dua kali mendapat hadiah dari Gebyar Tahapan BCA, saya tetap tidak bergeming. Malah fakta itu semakin menguatkan kesan di hati saya bahwa memang cuma orang-orang yang duitnya menumpuk dalam jumlah besar di Tahapan BCA-lah yang berkesempatan menikmati hadiah undian seperti itu. Saya tidak melihat aspek lainnya dan dari sudut pandang yang berbeda akibat belum terbukanya wawasan saya.

Setahun berjalan, saya mulai merasakan kesulitan. Jarak antara tempat kos saya dengan ATM bank tempat saya membuka rekening berjarak kurang lebih 1 km. Untuk naik angkot, saya merasa sayang membuang ongkos untuk jarak setanggung itu. Jadinya saya sering berjalan kaki ke sana. Tapi akibatnya, saya sering kepayahan karena kontur jalan yang menanjak berhubung berada di kawasan utara kota Bandung. Akhirnya, ketika pada tahun kedua kuliah saya pindah tempat kos ke bilangan Buah Batu disebabkan tempat kuliah yang juga pindah ke Jatinangor, saya memutuskan untuk memberanikan diri juga membuka rekening Tahapan di BCA, karena saya sadar (sudah lama, sebetulnya), ATM BCA ada di mana-mana. Begitu juga di daerah tempat kos saya yang baru, letak ATM BCA hanya sekitar 400 meter. Jauh lebih terjangkau. Apalagi, orangtua saya juga sudah lama menutup rekeningnya di bank-bank lain dan hanya mempunyai rekening di BCA saja.

Barulah saat itu wawasan saya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Layanan perbankan ternyata penting sekali. Dengan membuka Tahapan BCA, saya tidak lagi kesulitan kalau mau mengambil uang, dan orangtua saya juga tidak lagi terkena biaya administrasi akibat transfer antar-bank.

Dari situ, pengetahuan saya bertambah lagi karena pengalaman. Ketika kiriman dari orangtua datang terlambat karena beliau usaha sendiri yang tidak menentu kapan terkumpul uangnya, bukan bekerja kantoran yang selalu tetap tanggal gajiannya, saya mulai menjalankan usaha kecil-kecilan bersama teman-teman kos dan teman-teman kuliah. Dan nasib menentukan, hampir semua teman yang berbisnis dengan saya itu hanya memiliki rekening di BCA. Selidik punya selidik, ternyata pandangan mereka serupa dengan pandangan masyarakat pada umumnya: BCA adalah bank yang paling terpercaya di Indonesia. Untunglah saya pada waktu itu sudah meninggalkan bank yang lama dan “menetap” di BCA. Kemudahan transaksi dengan teman-teman pun saya nikmati.

BCA juga saya kenal sebagai salah satu bank pelopor virtual banking, yakni mulai dari phone banking, SMS banking, mobile banking (m-BCA), electronic banking, sampai pada internet banking (klikBCA); dan juga layanan perbankan lainnya seperti auto-debet. Layanan-layanan tersebut merupakan solusi perbankan yang amat sangat memberikan kenyamanan bagi kami, para nasabah. Image BCA sebagai bank yang menyediakan kemudahan transaksi kian menguat. Dan itu saya rasakan sendiri.

Setamat kuliah, saya merintis usaha sendiri sekaligus meniti karir sebagai penulis. Pekerjaan menuntut saya untuk banyak berada dalam 2 keadaan ekstrem, kalau tidak sangat mobile (bepergian untuk tujuan riset, mencari bahan inspirasi, bertemu orang-orang, ataupun lainnya, dan sering keluar kota dan daerah), saya malah “tertahan” di rumah untuk menulis. Cukup susah mencari waktu luang untuk membayar tagihan listrik, ledeng, dan telepon (karena saya sudah mengontrak sebuah rumah, tidak lagi kos), serta untuk membayar barang-barang yang saya pesan dan mengecek transfer dari orang apakah sudah masuk atau belum, bahkan pula untuk membeli pulsa sekalipun. Sekalinya ada waktu, kelupaan, sudah larut malam baru teringat. Tapi solusi perbankan BCA di atas benar-benar membantu saya. Bila dalam perjalanan atau sedang di luar kota, kalau sempat, saya mampir sebentar ke ATM BCA. Namun kalaupun tidak sempat atau keadaan tidak memungkinkan untuk berhenti sebentar (saat saya sedang di tengah laut dalam perjalanan dengan kapal selama berhari-hari, misalnya), saya tinggal pakai m-BCA atau akses klikBCA. Dengan begitu, semua kewajiban pembayaran dan tagihan bisa terlunasi tanpa terlambat. Bahkan sekalipun sampai larut malam akibat kelupaan. Tidak perlu was-was karena harus keluar rumah malam-malam, tidak usah kuatir kena denda atau kehilangan kepercayaan orang akibat keterlambatan dalam pembayaran. Rencananya, dalam waktu dekat, saya juga akan mendaftar untuk layanan auto-debet BCA supaya saya bisa lebih bebas lagi dari segala kelalaian.

Saya tahu, nyaris semua bank sekarang juga sudah menyediakan layanan-layanan serupa. Tapi siapa dapat memungkiri kenyataan bahwa BCA tetap merupakan bank terhandal? Bukan hanya layanannya yang komplet dan kehandalannya yang memuaskan, basis keuangan BCA pun sudah diketahui orang sangat kuat, jadi saya tidak kuatir berinvestasi di BCA.

Pendeknya, hati saya tenang bermitra dengan BCA. Saya makin lama makin mengerti apa artinya "kebebasan finansial". Tidak lagi pikiran saya terbebani untuk mengingat-ingat dan merasa “diteror” oleh tenggat waktu. Tidak lagi batin saya cemas akan kehilangan dana yang saya investasikan karena dibawa kabur institusi yang menipu. Saya jadi sangat terbantu sekali untuk jauh lebih memfokuskan energi, waktu, dan pikiran pada pekerjaan dan karir. Hati dan pikiran saya juga menjadi lebih tenang sehingga menjadi amat kondusif untuk mencari inspirasi dan ide-ide brilyan dan segar dalam menulis.

Jumat, 30 Maret 2012

Media Sosial Sebagai Ajang Ampuh Citizen Journalism di Tahun 2012


Belakangan, penggunaan media sosial bertambah marak. Lapisan masyarakat yang menggunakannya juga kian beragam, bahkan hampir seluruh golongan dan kelas melakukannya. Dengan Facebook dan Twitter sebagai kedua ujung tombak terdepan, media sosial terbukti handal sebagai wahana untuk banyak hal. Apalagi setelah banyak pihak seperti Arwuda Indonesia (Social Media Agency) yang berinisiatif menyosialisasikan segala hal tentang media sosial kepada masyarakat, mulai dari pengenalan awal akan apa itu media sosial, apa saja yang dapat kita lakukan dengan media sosial, dan seterusnya.

Pemasaran, baik produk bermerek maupun tidak bermerek, dapat diakomodasi oleh media sosial. Terbukti dengan menyeluruhnya produsen-produsen dan distributor-distributor dari segala brand yang merasakan manfaat Facebook dan Twitter, dengan strategi marketing yang berbasiskan kuis, lomba, dan kontes. Tapi tak kalah dengan pihak-pihak tersebut, orang-orang awam yang mempunyai bakat untuk membuat kerajinan tangan dan menulis, misalnya, juga telah mempromosikan karya mereka lewat kedua media sosial tersebut, dan memang, tidak sedikit dari mereka yang telah menuai buah manisnya.

Sementara itu, untuk kalangan lain, tidak semata keuntungan dalam segi bisnis yang menjadi keuntungan andalan media sosial. Sebagai tempat curhat, menumpahkan uneg-uneg, pamer, dan gaya mengaktualisasikan diri lainnya, itulah manfaat Facebook dan Twitter bagi kalangan muda. Mereka juga kerap mencari kepuasan dalam berbagai bentuk dari kedua media sosial tersebut, misalnya untuk mencari tweet-tweet dan post-post jenaka, mencari tahu apa yang sedang dilakukan dan dialami artis idola mereka, dan mencari informasi tentang apa saja yang sedang happening pada suatu term waktu. Dan tak ketinggalan, lewat Facebook dan Twitter, mereka mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman, memperoleh kenalan dan teman baru, atau untuk “bersosialisasi” dalam bentuk lainnya, seperti menyatakan isi hati kepada kekasih, sampai, negatifnya, memaki-maki musuh. Dan hal-hal itulah yang justru lebih awal dipandang sebagai manfaat media sosial ketimbang pemasaran.

Hal-hal di atas tidak hanya menjadi terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia pun seperti itu. Media sosial tidak lain adalah pemrasaran dan peneguh bukti bahwa manusia tidak bisa mengingkari kodratnya sebagai makhluk sosial. Manusia memerlukan satu sama lain, bahkan untuk mengaktualisasikan diri sekalipun. Dan manusia membutuhkan keterhubungan satu dengan yang lain, seberapapun kuatnya manusia sendiri berusaha menyangkalinya.

Interkoneksitas ini dijalin oleh 2 hal: aspirasi dan informasi. Keduanya, aspriasi dan informasi, membutuhkan keterbukaan/transparansi dan keseimbangan alur timbal-balik sebagai atmosfer untuk dapat berjalan lancar. Artinya, kita tidak hanya harus terbuka dalam menyampaikan aspirasi tapi juga perlu terbuka dalam menerima aspirasi pihak lain, dan bukan hanya kita punya hak untuk beraspriasi sebebas-bebasnya, tapi kita juga butuh menghargai hak dan kebebasan beraspirasi orang lain; demikian pula halnya dengan informasi. Tanpa kedua kondisi atmosfer tersebut, arus aspirasi dan informasi akan mandeg dan tidak sehat. Bila sudah begitu, keterhubungan akan disfungsi, bahkan barangkali bisa sampai mati. Keadaan inilah yang menjadi akar dari berbagai permasalahan sosial. Kita dapat dengan mudah melihatnya jika kita menengok sebentar ke belakang: penderitaan akibat dikekangnya hak manusia untuk berpendapat, serta juga kebobrokan yang kian membusuk dan akhirnya menghancurkan sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan akibat pembungkaman masif pers dalam masa kekuasaan rezim-rezim otoriter, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Mungkin para penguasa tersebut tidak mengekang hak berpendapat dan juga tidak membungkam kebebasan pers dalam bentuk yang vulgar dan eksplisit seperti itu, namun dalam bentuk yang tidak langsung dan bersifat “tersembunyi di bawah permukaan”. Rakyat diizinkan berbicara sebebas-bebasnya, tapi aspirasi mereka alih-alih direalisasikan dengan segera, ditanggapi bahkan didengarpun tidak. Rakyat juga boleh-boleh saja menuntut informasi apa saja, pers pun dipersilakan menggali dan menyampaikan informasi apapun, tapi penguasa sudah menyiapkan skenario sedemikian rupa sehingga fakta yang tersaji adalah fakta palsu yang kemudian akan melahirkan informasi yang sama sekali sesat. Bukan kebenaran dan keadilan yang berotoritas dan menjadi basis, tapi kepentingan-kepentingan pelbagai kelompok di kalangan atas.

Yang kerap diabaikan para penguasa seperti itu adalah realita bahwa manusia, baik rakyat maupun insan pers, memiliki kemampuan untuk mendeteksi ketidakberesan sebagai konsekuensi diinjak-injaknya kebenaran dan keadilan. Dan yang barangkali dilupakan atau tidak disadari penguasa adalah sifat likuid dari hakekat sosialnya manusia. Setiap kali ada defek dalam kehidupan sosial yang terdeteksi oleh manusia, manusia akan secara naluriah mencari segala cara untuk menutup defek tersebut. Setiap kali ada ketidakberesan dalam sebuah informasi yang tercium oleh seseorang atau sekelompok orang, orang atau kelompok tersebut akan mencari jalan lain untuk mendapatkan dan juga menyebarluaskan informasi yang benar.

Dan dalam satu-dua tahun terakhir ini, sehubung mengulminasinya kepalsuan, yang secara logis menyebabkan memuncaknya kejengahan masyarakat, muncullah trend baru di mana masyarakat awam kini mengambil tugas sekaligus hak rangkap: bukan cuma pasif sebagai penerima informasi namun juga sebagai penyaji dan penyebarluas informasi, yang bukan melulu karena ketidakpercayaan pada institusi pers yang formal, melainkan juga karena kehausan akan kebenaran dan keadilan yang sudah tak tertahankan lagi, baik untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan maupun untuk melihat orang lain mendapatkan kebenaran dan keadilan. Itulah fenomena yang dikenal sebagai citizen journalism, jurnalisme warga, jurnalisme awam.

Banyak institusi media yang sudah memfasilitasi citizen journalism. Di Indonesia pun sudah mulai ramai. Dan itu bukan inisiatif yang buruk. Hanya, biar bagaimanapun, wadah tersebut tetap saja sarat limitasi. Sebut saja: keterbatasan durasi tayang media televisi ataupun durasi siar media elektronik lainnya, kode etik jurnalisme, juga pencegahan terhadap hal-hal sensitif seperti isu SARA, hal-hal yang mengandung unsur pornografi, yang mencemarkan dan menjelek-jelekkan suatu pihak, yang menghasut dan mengagitasi, atau yang mengandung kekerasan. Masalahnya, pertama, masyarakat sudah muak dengan pembatasan, jadi bagaimanapun baiknya niat di balik penerapan pembatasan itu, pasti masyarakat tetap akan berprasangka buruk terhadapnya, sebab masyarakat menginginkan sesedikit mungkin (bahkan, kalau perlu, tidak ada!) pembatasan/limitasi; dan kedua, kalau semua pihak mau jujur, kita akan mendapati bahwa pembatasan itu memang diterapkan secara sepihak oleh pihak fasilitator, dan juga sesungguhnya, sensitif atau tidaknya sesuatu itu sangatlah subjektif, karena memang tidak (atau, belum) ada standar yang baku untuk menilainya.

Di sinilah media sosial kembali mengemuka. Pada media sosial, ada relatif jauh lebih sedikit limitasi. Dan bukan tidak mungkin, saat masyarakat sudah mulai merasa jenuh dan sudah mentok rasa tidak nyamannya juga dengan wadah-wadah citizen journalism normatif yang kini ada, ledakan citizen journalism di media-media sosial akan terjadi. Dan ada kemungkinan, itu akan terjadi dalam tahun 2012 ini juga, lalu menjadi trend baru yang akan berlanjut di tahun-tahun berikutnya.

Kamis, 15 Maret 2012

Kesehatan Holistik-Integral Ibu dan Anak

Manusia terdiri dari tubuh dan roh. Keduanya tidak terpisahkan. Hubungan keduanya juga sangat erat, apa yang menimpa dan terjadi pada yang satu akan diderita pula oleh yang lain, dan apa yang dilakukan yang satu akan berdampak juga pada yang lain. Begitu pun dengan keadaan kesehatannya. Khususnya pada ibu dan anak.

Sebelum masuk lebih jauh, kita perlu mengetahui dan mengingat satu dimensi dari pribadi manusia, suatu dimensi yang unik dan menarik. Namanya jiwa. Jiwa terdiri dari 3 (tiga) bagian: kognisi/pikiran/rasio, afeksi/perasaan/emosi/mood, dan psikomotor/kehendak/kemauan/keinginan/hasrat/keputusan. Jiwa ini dikatakan unik dan menarik karena ia merupakan suatu unit yang dimiliki roh manusia namun juga sekaligus menjadi bagian dari tubuh. Dengan kata lain, ada aspek jiwa yang berkenaan dengan tubuh kita dan di sisi lain ada pula aspek jiwa yang melekat pada kerohanian kita. Sebagai contoh, selera makan, rasa risih bila tangan kotor, dan kegemaran pada aroma parfum tertentu adalah pekerjaan-pekerjaan jiwa yang berkenaan secara dominan dengan tubuh, sedangkan kesedihan, rasa cemas, dan depresi adalah hasil-hasil proses jiwa yang lebih terkait dengan kerohanian. Tapi yang lebih uniknya lagi, bisa dibilang semua hasil olahan jiwa pasti berhubungan dengan keduanya, fisik maupun roh, sekalipun kadang-kadang hasil olahan itu dominan pada salah satu, entah fisik ataupun roh, seperti yang barusan kita lihat. Sehingga, hipotesanya, jiwa inilah yang kemungkinan besar merupakan penghubung antara fisik dengan kita sehingga keduanya menjadi saling mempengaruhi.

Sekarang kita kembali ke pokok pikiran tulisan ini, yaitu kesehatan ibu dan anak. Dalam tulisan ini, kita hanya akan mendalami kesehatan spiritual dan mental, sedangkan kesehatan fisik tidak akan dibicarakan, mengingat sudah begitu banyak tulisan-tulisan yang membahasnya di mana-mana, tidak ada informasi tentang tips, kiat, dan sebagainya mengenai kesehatan fisik ibu dan anak yang tidak bisa kita peroleh, sehingga mubazir dan tidak akan bermanfaat kalau kita membahasnya lagi.

Kesehatan spiritual

Pengertian spiritualitas itu sangat sederhana, yaitu relasi dengan Tuhan. Itu saja. Tapi itu bukan hal yang remeh! Justru sebaliknya, spiritualitas menentukan segalanya karena berurusan langsung dengan Tuhan yang adalah sumber dan penguasa atas segala-galanya. Oleh karena itu, masalah spiritual juga sangat sederhana, cuma satu, yaitu bila hubungan kita secara pribadi dengan Tuhan buruk. Sehat secara spiritual berarti memiliki hubungan yang bukan sekadar baik namun juga akrab dengan Sang Pencipta. Bila hubungan kita dengan Tuhan “sakit”, maka kehidupan mental, sosial, dan jasmani kita, cepat atau lambat, juga akan terkena efek buruk, bermasalah, sakit, dan bukan tidak mungkin sampai invalid. Sebaliknya, bila memiliki relasi yang intim dengan Tuhan, meskipun sekeras apapun badai menerpa, seberat apapun penderitaan secara fisik, mental, dan sosial, kita niscaya tetap kuat dan bahkan mampu menanggulanginya, sebab tidak mungkin ada masalah tanpa solusi dan oleh karena Tuhan menopang, menolong, dan memberi kebijaksanaan pada kita.

Memang, ada kalanya memburuknya relasi kita dengan Tuhan akibat dosa berdampak langsung kepada kehidupan kita secara jasmani, dalam pengertian, Tuhan memang bisa menjatuhkan azab kepada kita secara fisik, seperti gangguan kehamilan atau kelainan pada janin dan bayi yang dilahirkan, sebagai hukuman. Namun tidak melulu demikian. Justru lebih sering Tuhan menyerahkan kita kepada konsekuensi-konsekuensi yang sudah Ia tetapkan, yang secara logis akan mengakibatkan defek pada mentalitas kita sendiri dan juga secara sosial, dan pada gilirannya, defek itu akan menimbulkan kerusakan pada tubuh jasmani kita.

Ketika kita melakukan dosa sekecil apapun dan tidak segera memohon pengampunan-Nya, kita akan dikuasai perasaan bersalah. Ini akan menghasilkan energi negatif. Energi ini bersifat destruktif secara progresif terhadap homeostasis (keseimbangan semua variabel dalam tubuh), yang lalu menyebabkan pula gangguan pada mekanisme kerja sistem organ, organ, jaringan, hingga sel, serta pada metabolisme tubuh. Jika ini terjadi pada calon ibu, ibu hamil, dan ibu menyusui, akibatnya bukan saja akan buruk buat sang ibu, tapi juga untuk anaknya. Kita akan melihat hal ini lebih lanjut nanti dalam pembahasan tentang kesehatan mental.

Tapi tidak sedikit pula di antara kita yang “berhasil mengatasi” rasa bersalah, alias tidak kunjung mau berubah juga. Lama-kelamaan, kita menjadi baal, rasa bersalah itu menjadi tak terasa lagi. Dan hampir selalu itu terjadi karena kita sudah terbiasa. Artinya, perbuatan dosa itu sudah menjadi kebiasaan. Dan akhirnya menjadi karakter. Yang jarang kita sadari, atau mungkin juga yang tidak diketahui sebagian dari kita, adalah bahwa karakter itu menurun dan menular...secara sangat kuat! Kalau karakter jelek itu terbentuk pada seorang wanita sebelum mempunyai anak atau pada waktu sedang hamil, karakter itu menjadi herediter sehingga anaknya pun kemungkinan besar akan memilikinya. Apabila terbentuknya sesudah sang ibu memiliki anak (-anak), maka, ―paling tidak― seorang, bahkan mungkin semua, anaknya akan tertularkan karakter dan kebiasaan berdosa tersebut.

Sebab itu, para calon ibu, ibu hamil, ibu menyusui, dan semua ibu perlu terus-menerus menjaga kesehatan spiritualitasnya. Perlu diperhatikan, spiritualitas itu sama sekali berbeda dengan agama. Memang, ada juga hubungan antara agama dengan spiritualitas, dalam arti, tak mungkin seseorang yang sehat secara spiritual akan mengabaikan kehidupan keagamaannya. Namun sekali lagi, keduanya, spiritualitas dan agama, tidak sama! Boleh saja kita taat beragama, rajin sekali dan tidak pernah absen beribadah di tempat-tempat ibadah, taat menjalankan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang agama, namun memiliki spiritualitas yang buruk sekali. Sekali lagi, spiritualitas adalah soal relasi secara pribadi dengan Tuhan. Bukan relasi formalitas, sebagaimana relasi antara kita sebagai rakyat dengan SBY selaku presiden, umpamanya, yang jangankan berjumpa, bercakap-cakap, dan berkomunikasi, berselisih jalan satu sama lain pun tidak pernah, apalagi saling mengenal secara pribadi. Suatu hubungan yang kita jalin bukan karena asas manfaat, “baru datang kalau ada perlunya”, melainkan hubungan yang didasari cinta kasih kita yang tulus dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan kita kepada Tuhan karena Dia sudah terlebih dulu mengasihi kita tanpa batas. Dengan begitu, relasi dalam spiritualitas itu hangat, mesra, manis, penuh kerinduan, jauh dari formalitas kaku.

Semakin akrab dan intim hubungan kita dengan Tuhan, semakin sehat pula spiritualitas kita. Sebab, beginilah yang terjadi: pertama, sama seperti bilamana kita mendekati sebuah lampu yang besar dan amat terang, yang kalau kita berada semakin dekat dengannya kita akan bisa melihat makin jelas keadaan diri kita, kekotoran di baju, noda di tangan, dan sebagainya, maka kian kita dekat dengan Tuhan yang adalah Sang Terang, semakin pula kita mengenal diri kita sendiri, segala kekurangan dan kenajisan kita semakin jelas terungkap; kedua, semakin dekat hubungan kita dengan seseorang, semakin kenal kita siapa dirinya, apa yang menjadi isi hatinya, bagaimana isi dan jalan pikirannya, kebiasaannya, dan segala-galanya tentang dirinya, begitu pula hubungan kita dengan Tuhan: tambah dekat kita dengan-Nya, bertambah pula pengenalan kita akan Diri-Nya, apa yang diinginkan-Nya, apa yang Beliau sukai, apa yang Ia kehendaki dari kita dan yang Dia inginkan untuk kita perbuat, juga apa yang sangat dibenci-Nya; ketiga, dua orang yang selalu menjaga kebersamaan, keintiman, dan kesehatian mereka berdua lama-kelamaan akan nampak mirip satu sama lain, baik wajah, cara bertutur, cara berjalan, gestur, kebiasaan, dan seterusnya, demikian juga dalam kita berelasi dengan Tuhan: kalau kita terus menjaga keintiman kita dengan-Nya, seiring berjalannya waktu dan proses, karena Ia dominan sekali dan tak terbatas, maka segala sifat-Nya yang pengasih, panjang sabar, penuh belas kasihan, suci, kudus, benar, adil, baik, pemurah, dan sebagainya itu akan meresap juga dalam diri kita! Hasilnya, kita akan makin menyukai kebenaran, keadilan, dan kebaikan, serta pada saat yang sama, makin merasa peka dan jijik dengan dosa, sehingga akibatnya, kita akan terus semakin terdorong untuk mengikis dan membuang semua tabiat berdosa kita: iri hati, kedengkian, egoisme, narsisme, kesombongan, sifat pemarah, sifat pelit dan kikir, sifat mementingkan diri sendiri, dan sebagainya! Dan bagusnya pula, semakin kita mengenal Tuhan, kita akan semakin paham bahwa cinta kepada Tuhan itu hanya otentik dan terbukti eksistensinya jika dan hanya jika diaplikasikan dan diwujudnyatakan dalam bentuk kasih kepada sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri, yakni kasih yang bukan melulu impulsif dari perasaan belaka, melainkan yang disadari benar secara rasional dan ditindaklanjuti dalam bentuk perbuatan kasih yang nyata, perbuatan yang semata-mata menginginkan kebaikan bagi orang lain, makhluk hidup lain, dan lingkungan.

Sama seperti di atas, apapun yang kita lakukan secara kontinu, konsisten, dan intensif akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang kita pupuk terus secara kontinu, konsisten, dan intensif pula akan menjadi karakter. Dan kembali, karakter itu bersifat herediter (menurun) dominan dan sangat kontagius (menular). Artinya, bila spiritualitas sehat menjadi karakter para ibu dan calon ibu, insya Allah anak-anak pun akan sehat juga secara spiritual. Jadi, kita semua, khususnya dan teristimewa para ibu dan calon ibu karena tulisan ini ditujukan untuk mereka, sudah sewajibnya terus mendekatkan diri kepada Sang Penguasa sorga dan alam semesta. Jalinan komunikasi dalam bentuk doa dan meditasi harus dijaga dan ditingkatkan. Kenalilah dan selamilah hati-Nya terus lewat pembacaan dan perenungan Kitab Suci. Dan tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan apa yang tertulis dalam Kitab Suci harus juga dipahami dan dihayati secara benar, untuk kemudian diamalkan dan dilakukan secara menyeluruh dengan patuh, karena, sekali lagi: “tak mungkin seseorang yang sehat secara spiritual akan mengabaikan kehidupan keagamaannya”. Dan apabila jatuh dalam dosa kembali ―karena tidak ada seorang pun yang sempurna―, segeralah sadar, minta ampun pada Tuhan, dan bertobat.

Kesehatan mental

Jiwa manusia itu amat sangat luas dan dalam sekali, nyaris tanpa batas. Karenanya, permasalahan-permasalahannya pun begitu banyak dan rumit. Di sini tidak akan dibahas gangguan-gangguan kejiwaan yang berat-berat, yang harus ditangani oleh para ahli seperti psikolog, psikiater, atau psikoanalis, seperti depresi berat, gangguan kepribadian, skizofrenia, dan lain-lainnya, melainkan hanya mengangkat masalah mental biasa yang “rutin” dialami, yang penanggulangannya bisa dilakukan oleh si penderita sendiri dengan bantuan orang-orang terdekatnya, jadi kalaupun psikolog, psikiater, atau psikoanalis dilibatkan, bantuan mereka ada hanya jika penderita merasa mau memakainya, tapi tidak harus. Masalah psikologis yang dibicarakan di sini bisa merupakan masalah yang timbul secara primer dari jiwa si penderita, tapi bisa juga merupakan akibat sekunder dari masalah spiritual ―seperti yang sudah kita lihat di atas. Jikalau merupakan masalah primer, maka dampaknya terhadap spiritualitas akan sama dengan yang sudah kita bahas, jadi akan berefek rebound, memantul kembali, pada mental. Yang jelas, yang akan kita telaah di sini adalah masalah psikis yang khusus berkenaan dengan para calon ibu, ibu hamil, ibu menyusui, dan juga kaum ibu secara keseluruhan, istimewanya yang memiliki anak yang masih dalam usia sekolah. Dan sesungguhnya, masalah tersebut hanya satu! Tapi biarpun begitu, ia menjadi pemicu segala masalah kejiwaan lainnya bagi para ibu, ibu hamil, ibu menyusui, dan calon ibu. Cabut saja yang satu ini (tentu, dengan memprioritaskan penanganan masalah spiritual, sebagaimana sudah kita singgung di atas!), maka seluruh masalah yang bercokol dalam mental para ibu dan calon ibu akan lekas layu dan mati!

Dan nama masalah itu adalah stres!

Stres psikis terdiri dari 2 (dua) jenis: eustres dan distres. Eustres adalah stres yang baik (eu = baik) karena bersifat memacu kita untuk mengeluarkan lebih banyak energi agar dapat selamat dari sesuatu atau agar dapat sukses meraih sesuatu, misalnya stres pelajar dan mahasiswa menjelang dan kala menghadapi ujian karena ingin selamat dari ancaman ketidaklulusan dan sekaligus juga agar dapat meraih nilai dan prestasi belajar serta kelas atau jenjang yang lebih tinggi. Jadi, eustres tidak akan dibicarakan di sini. Sementara itu, distres adalah kebalikannya, stres yang tidak baik sebab bersifat destruktif (di = pecah, hancur). Inilah yang sekarang kita kaji. Nah, distres ini terdiri dari 2 (dua) macam juga, yaitu depresi dan kecemasan.

Depresi adalah keadaan jiwa yang merasa tertekan, merasa menanggung beban yang terlalu berat, kepayahan, seolah tidak berdaya dan bertenaga lagi, merasa tidak berarti, dan putus asa. Sedangkan rasa cemas atau kuatir adalah kondisi jiwa yang merasa ketakutan dan terancam akan sesuatu yang belum terjadi dan belum tentu terjadi, yang belum ada dan belum tentu nyata. Manifestasi keduanya berbeda, namun karena keduanya sama-sama adalah bentuk dari stres, maka dampak dan penanganannya juga sama, kendati penyebabnya tentu berbeda.

Baik depresi maupun cemas dapat bersumber dari gangguan pada spiritualitas. Bisa juga penyebabnya berasal dari gangguan fisik. Tapi mungkin pula biang keladinya adalah jiwa itu sendiri.

Sewaktu seseorang berada dalam keadaan stres (depresi dan/atau cemas), sesuatu terjadi dalam tubuhnya. Sistem saraf simpatis (sistem saraf otonom kita yang bertugas sebagai pengawas keadaan internal tubuh, sehingga bila terdapat ancaman, ia langsung membunyikan alarm tanda bahaya dan lalu memobilisasi seluruh komponen tubuh agar waspada dan siaga menghadapi perang) bekerja terlampau giat, mendorong dipompanya hormon adrenalin secara besar-besaran. Akibatnya, detak jantung menjadi lebih kuat dan cepat, bahkan sering menjadi tak beraturan; darah dipompa dan dialirkan secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya untuk mengerahkan semakin banyak tentara sel darah putih, semakin banyak sel darah merah pemasok logistik oksigen bagi sel-sel, dan semakin banyak trombosit yang pekerjaannya adalah sebagai petugas Palang Merah untuk menutupi luka-luka yang diantisipasi akan banyak terjadi, sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi naik dan terus naik; tonus otot meningkat tajam, siap-siap lebih dari 100% untuk bereaksi terhadap apapun perintah otak, baik untuk bertahan maupun untuk menyerang, berakibat otot-otot menjadi kian lama kian menegang; kelenjar keringat dan kelenjar minyak di kulit dipaksa untuk beroperasi pol-polan untuk meng-cover kulit dan pori-pori dari ancaman serangan kuman, perubahan suhu yang ekstrem, dan sebagainya; bronkus-bronkus (cabang-cabang saluran nafas yang menghubungkan trakhea/tenggorokan dengan kedua paru-paru) berkonstriksi (mengerut) demi menggugah bos mereka, paru-paru, dari gerak santainya supaya lebih keras lagi berupaya dalam mengisap sebanyak mungkin bahan bakar, yaitu oksigen, sekaligus membuang sampah, yakni karbondioksida, setuntas-tuntasnya; ginjal dan saluran kemih dipacu untuk lebih ngotot lagi bersih-bersih, membuang limbah-limbah urea sebersih mungkin agar beban darah tambah enteng, tidak lagi terbebani limbah; begitu juga saluran cerna mulai dari mulut sampai rektum, khususnya lambung, usus halus, dan usus besar, semuanya dipaksa bekerja ekstra-keras untuk selekas mungkin menuntaskan proses pencernaan agar stok makanan dan energi bagi sel-sel, terutama darah, untuk berperang bisa terjamin, juga untuk dalam tempo sesingkat-singkatnya membuang sampah-sampah ampas makanan yang tidak berguna, sehingga akibatnya, enzim-enzim pencernaan, termasuk asam lambung, diproduksi berlebihan, dan gerak peristaltik (gerakan otot-otot dinding mukosa lambung dan usus untuk mendorong maju makanan) menjadi gila-gilaan. Pada bagian lain, hormon tiroid juga dikerahkan secara nyaris di luar batas, dengan harapan supaya tugasnya, yaitu memimpin komando proses metabolisme sel-sel, menjadi maksimal dan optimal, dan efeknya, tubuh akan terasa lemas akibat bahan bakar dari makanan yang terlalu cepat habis, terlalu diboroskan entah untuk apa sebelum seluruh sel sendiri kebagian.

Apa yang terjadi itu tambah lama bukannya tambah berdampak baik, malah sebaliknya, tambah kacau! Chaos terjadi. Pada perempuan, kontrol produksi hormon esterogen dan progesteron menjadi terabaikan, menyebabkan kadar keduanya tidak memenuhi standar, sehingga organ-organ reproduksi jadi kacau pekerjaannya, siklus menstruasi terganggu, tahap kesuburan sudah tidak mampu dideteksi lagi bagaimana dan kapannya, dan semua itu berpengaruh besar pada mood, dan mood yang kacau semakin memperparah keadaan stres, dan terbentuklah lingkaran setan kekacauan! Pada ibu hamil, si anak dalam kandungan pun merasakan penuh kekacauan yang terjadi, dan sayangnya, juga terkena imbasnya, apalagi karena otot dinding rahim tahu-tahu berkontraksi tanpa tahu jam dan tanggal sehingga air ketuban menjadi bagai laut yang diterjang badai. Pada ibu menyusui, produksi hormon oksitosin terabaikan, akibatnya, tidak ada yang bertugas sebagai pembimbing kelenjar susu dan saluran-salurannya untuk memproduksi ASI dan mendistribusikannya ke luar, maka proses menyusui pun macet.

Sementara itu, pada ibu-ibu yang masih mengurusi anak, boro-boro memikirkan anak, masih ingat anak saja sudah bagus!

Kita dapat dengan aman dan berani menyatakan bahwa seluruh ganjalan dan masalah mental, sebut saja pola hidup yang tidak teratur, ketidakdisiplinan, apatisme, ketidakmandirian, kebiasaan-kebiasaan buruk, obsesi yang ngawur, hubungan sosial yang rusak, dan sebagainya, sampai pola pikir yang keliru, penyakit-penyakit kejiwaan yang serius, budaya yang merusak, dan kriminalitas, selain berakar terutama dari masalah spiritualitas, juga berawal dari kecemasan, kekuatiran, depresi, dan keputusasaan yang dibiarkan.

Untuk itu, para ibu, khususnya ibu hamil dan menyusui, pun para calon ibu, seyogyanya mewaspadai stres ini. Adalah perlu untuk senantiasa memperhatikan keadaan jiwa kita, sehingga bilamana tanda-tanda awal stres muncul, sedari dini kita sudah menyadarinya, lalu bisa segera membereskannya. Guna menyukseskan upaya membersihkan pikiran, perasaan, dan hasrat ini, para ibu dan calon ibu mesti mencari dukungan sebanyak mungkin. Tidak ada gunanya berlagak kuat, ingin menanggulangi semuanya seorang diri. Itu malah berbahaya. Selain dengan Tuhan, jalinlah hubungan yang lebih mesra lagi dengan suami, calon suami, anak-anak lain, orangtua, mertua, calon mertua, kakak-adik, famili, para sahabat, juga para tetangga. Tapi jelas, harus selektif juga. Tidak semua orang bisa kita andalkan. Perlu keawasan yang mumpuni untuk memilih orang-orang, terutama dari kalangan di luar keluarga dan sanak-famili, yang akan direkrut untuk bergabung dalam skuad Penanggulangan Stres. Sekali lagi, semoga tidak bosan, kejelian itu hanya bisa didapatkan dari hati atau roh yang bening, dan kebeningan roh itu cuma dimungkinkan jika dan hanya jika hubungan dengan Tuhan akrab.

Yang patut diperhatikan juga, kata kunci bagi soal mental ini adalah “bahagia” dan “puas”. Orang yang bahagia memang tetap bisa diserang rasa tertekan, tapi yang pasti, depresi itu takkan sanggup berkuasa atasnya. Orang yang puas memang tetap dapat diguncang kepanikan dan kekuatiran, namun yang jelas, kecemasan itu takkan mampu bertahta dalam dirinya. Masalahnya, dan ini perlu selalu kita ingat, siapapun dan apapun, manusia, malaikat, hewan, tumbuhan, iblis, setan, jin, uang, dan materi, yang sanggup dan wajib membuat kita bahagia dan puas. Bagaimana dengan Tuhan? Sudah terlalu jelas, terlalu mudah bagi Tuhan untuk membahagiakan dan memuaskan kita, tapi Dia tidak wajib melakukannya. Jadi, satu-satunya yang mampu sekaligus wajib membuat kita puas dan bahagia adalah diri kita sendiri!

Peran orang-orang terdekat dan lingkungan

Lingkungan pun memiliki tanggung jawab moral untuk membantu dan mendukung para ibu dan calon ibu agar berspiritualitas dan bermental sehat. Para suami harus menjadi imam yang benar agar menjadi contoh dan teladan yang sungguh-sungguh baik; oleh karenanya, para suami pun dituntut untuk mempunyai spiritualitas dan mental yang lebih sehat lagi. Dengan begitu, suami akan mempunyai dasar yang kokoh untuk mendesak, daya persuasi yang kuat untuk mengajak, dan alasan yang tak terbantahkan untuk menasehati dan mengimbau isterinya supaya mau membina hubungan yang mesra pula dengan Tuhan dan membentuk sendiri kebahagiaan dan kepuasan dirinya. Bukan malah menghalang-halangi, apalagi pakai cara kekerasan, bilamana sang isteri merintis relasi dengan Sang Khalik, lalu juga menjadi sumber stres baginya. Lebih-lebih kalau mencontohkan yang tidak benar dengan berbuat kriminal, melakukan korupsi, bahkan melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)! Apalagi menyuruh sang isteri berbuat yang tidak benar, berbuat murtad, menjual diri, dan sebagainya! Amit-amit!

Semua itu juga dapat mulai diberlakukan kepada para calon suami sejak sebelum pernikahan. Dengan begitu, berarti para calon suami pun harus memperhatikan kesehatan spiritualitas dan jiwanya sendiri. Bukan malah menjerumuskan sang pujaan hati dengan menodai kesuciannya sebelum menikah!

Demikian pula orangtua dan mertua. Jangan malah mengejek atau bahkan mengecam anak atau menantu perempuannya yang giat mencari dan menaati Tuhan! Terlebih menghalang-halangi, melarang, dan mengutuk. Apalagi sampai juga ikut menyuruh sang anak atau menantu perempuan untuk berbuat dosa! Justru sebaliknya, orangtua dan mertua pun teramat wajib menjadi teladan, motivator, dan penasehat kesehatan spiritual! Jangan juga menjadi beban bagi anak atau menantu perempuan! Tidak usah membebaninya dengan mengungkit-ungkit masa lalu, atau menyinggung soal utang budi terhadap orangtua dan keharusan berbakti! Itu akan menjadi pemicu stres baginya. Justru saat sang anak atau menantu perempuan depresi atau merasa cemas, orangtua dan mertua harus siap di belakang mereka sebagai penopang agar ia tidak terjatuh!

Anak-anak yang lain yang sudah cukup dewasa, jika si ibu tengah hamil atau menyusui atau merawat adik mereka, harus menghargai saat-saat di mana ibunya ingin menyendiri untuk berdoa dan membaca Kitab Suci, tidak rewel meminta perhatiannya secara berlebihan, dan tidak mengganggu ketenangan hatinya dengan cara apapun.

Kakak-adik dan saudara-saudara ipar pun bertanggung jawab untuk membantu dan mendukung. Tidak menjadi batu sandungan bagi saudara mereka yang tengah hamil, menyusui, atau merawat balitanya itu, apalagi mengajaknya melakukan hal-hal yang tidak terpuji dan menghasutnya dengan kabar yang tidak-tidak. Begitu pula dengan teman-teman dan tetangga.

Para rohaniwan, aktivis keagamaan, dan ulama harus tanggap terhadap kesehatan spiritual dan mental umat wanitanya yang sedang hamil, menyusui, dan memiliki anak kecil. Tindakan proaktif perlu dilakukan, tidak menunggu secara pasif saja sampai sang umat datang kepadanya dulu setelah berton-ton masalah menghimpitnya sampai hampir mati baru ditolong. Tapi itu harus dilakukan sembari tetap menjunjung hak pribadi, privasi, dan kerahasiaan; tidak menghakimi, vulgar, nyinyir, ikut campur, “mau tau aja”, apalagi sampai jadi “ember bocor”. Begitu juga para konselor, psikolog, psikiater, dan psikoanalis.

Penutup

Sudah seyogyanya kita memperhatikan kesehatan ibu dan anak dengan cara yang menyeluruh (holistik) dan terpadu (integral). Sebab, selama ini, jikalau kita membahas tema ini, maka yang lebih banyak dikupas adalah kesehatan fisik. Itu tidak salah. Yang salah adalah kalau kita tidak memiliki paradigma tentang keutuhan kesatuan pribadi manusia. Kita sibuk mencari solusi bagi masalah tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi, juga giat mengkaji pencegahan-pencegahan yang sedini mungkin atas resiko kehamilan dan cacat bayi. Tapi kita segera mendapati, solusi dan pencegahan yang sudah kita peroleh dan terapkan ternyata hanya membuahkan hasil yang mengecewakan, tidak signifikan, bahkan cuma temporal, singkat sekali. Sesudah itu, masalah segera kembali. Lebih banyak, lebih besar, dan lebih kompleks lagi daripada sebelumnya. Dan kitapun kembali tenggelam dalam pencarian solusi dan pencegahan. Dan proses yang sama berulang kembali. Terus dan terus, bagai lingkaran setan. Kita tidak mudeng bahwa ada sesuatu yang salah. Memang, dalam hidup di dunia yang fana ini, masalah apapun dalam bidang apapun tidak akan mungkin pernah selesai dan tuntas total sama sekali lalu takkan pernah kembali-kembali lagi. Akan tetapi, jika pengulangan itu terjadi dalam waktu yang amat singkat, baru saja kita mendapat solusi, kemudian mengaplikasikannya, tapi hanya secuil saja dari problema yang bisa diatasi, dan baru saja kita melakukan upaya pencegahan namun cuma sebagian kecil saja dari masalah yang dapat kita bendung, malah datang lagi “saudara-saudara” dari masalah itu dalam jumlah yang jauh lebih besar, maka mestinya kita langsung tersadar, solusi dan usaha pencegahan itu tidak efektif. Ada aspek-aspek yang belum kita sentuh, yakni aspek-aspek spiritual, mental, dan sosial, padahal justru dalam hal-hal itulah akar-akar dari berbagai masalah itu menggurita, atau dalam hal-hal itulah “kanker-kanker” tersebut sudah menyebar luas dan berpenetrasi hingga dalam.

Di samping itu, penanganan masalah-masalah fisik ibu dan anak yang luar biasa lamban secara sudah tidak masuk akal itu konon disebabkan karena para pemimpin dan para pembuat kebijakan sendiri pun sudah rusak secara spiritual, moral, dan mental. Itulah sebabnya mereka tidak peduli pada semakin banyak perempuan warga masyarakatnya dan anak-anak bangsanya menderita dan kehilangan nyawa sia-sia, pikiran mereka hanya penuh dengan diri mereka sendiri. Kalaupun ada orang lain yang mereka pikirkan, paling-paling itu keluarga dan kalangan terdekat mereka saja.

Dan terakhir, wajib kita semua, teristimewa para ibu dan calon ibu, merenungkan: apa gunanya memiliki anak yang sehat, sempurna, dan fit secara fisik tetapi berkarakter buruk dan tidak bermoral sehingga menjadi seseorang yang senantiasa menjadi masalah bagi dirinya sendiri, orangtua, keluarga, dan masyarakat?!

(Artikel ini juga dapat dibaca dalam http://nutrisiuntukbangsa.org/blog-writing-competition/)

Senin, 05 Maret 2012

Asa: yang Kosong dan yang Benar

Kita baru saja memasuki tahun 2012. Biasanya, pada tiap awal tahun, orang berharap tahun yang baru akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Anda begitu? Kalau demikian, Anda pasti kecewa berat. Harapan itu sudah pasti tidak kesampaian!

Anda bilang saya pesimis? Baik! Coba simak.

Pertama, jika Anda mendalami sains, khususnya Fisika, Anda akan mendapati fakta ilmiah ini: segala-galanya di alam semesta ini sedang menuju kehancuran dan kepunahan, dan proses kemerosotan itu berjalan semakin lama semakin cepat! Semua makhluk menjadi tua, kehabisan daya, lalu mati; semua materi aus, usang, kemudian jadi sampah, terbuang; demikian juga ekonomi, politik, moral, semua merosot tajam; krisis melanda semua bidang.

Kedua, Anda sendiri bisa saksikan, manusia makin jahat, biadab, tak manusiawi lagi. Kasih sayang, kebersamaan, rasa hormat, dan kebajikan sudah langka. Keserakahan makin parah, korupsi merajalela tanpa terkendali. Semakin susah mendapati orang yang tulus menolong saat kita susah, sementara hati kita sendiri pun makin susah tergerak melihat orang susah. Kekerasan tambah marak, bahkan anak-anak dan remaja sudah sangat mahir melakukannya. Tangan kian enteng melakukan pembunuhan, untuk alasan yang amat sepele, dengan cara yang sangat keji.

Ketiga, tak ada manusia yang tahu kapan ia mati. Andaipun benar tahun 2012 ini lebih baik, apa Anda bisa jamin bahwa Anda masih hidup sampai tahun ini usai untuk dapat ikut menikmatinya? Maka, yang harusnya menjadi obsesi Anda bukanlah harapan kosong akan “tahun yang lebih baik”, melainkan pertanyaan: “Setelah aku mati, apa yang akan terjadi? Apakah Tuhan akan menerimaku di sorga?"

Sepertinya kembali ada nada sumbang. Ada di antara Anda yang berseloroh: “Sorga dan neraka itu omong kosong! Sesudah mati, ya sudah! Selesai! Tidak ada yang namanya ‘Tuhan’!”

Oke! Pikirkan ini: kalau ada orang merampok harta dan uang Anda habis-habisan, lalu menganiaya Anda dan seluruh keluarga Anda sampai cacat bahkan meninggal, setelah itu kabur; Anda sama sekali tidak tahu siapa dia, polisi tidak pernah dapat menemukannya; kira-kira bagaimana perasaan Anda membayangkan orang tersebut hidup tenang dan tidak terjamah hukum sampai tua, malah meninggal dalam keadaan kaya, terhormat, bahagia, dikelilingi para kekasihnya? Saya yakin, Anda pasti tidak terima. Anda berharap, entah bagaimana caranya, keadilan ditegakkan dan orang itu terbalaskan, bukan? Tapi bagaimana mungkin itu terlaksana jika tak ada apa-apa di seberang alam maut dan tidak ada Tuhan yang menjadi Hakim Terakhir?

Saudara, Tuhan itu sungguh ada! Ia memang bermaksud memusnahkan alam semesta-Nya ini karena semua ini sudah dikuasai dosa. Itulah kiamat! Itulah alasan mengapa semuanya makin kacau dan rusak. Dan karena Tuhan ada maka keadilan bisa ditegakkan. Itu sebabnya, neraka harus ada untuk menghukum orang jahat. Masalahnya, di mata-Nya, kita semua adalah orang jahat sebab kita telah berdosa! Tapi Ia mencintai kita! Ia mau berdamai dengan kita. Dan Ia sudah menyediakan jalannya. Ia menjadi manusia Yesus Kristus, mati disalib untuk menanggung hukuman atas dosa kita. Yang Ia minta hanyalah agar Anda menerima-Nya sebagai Tuhan dan bertobat dari semua dosa. Itu karena Ia mau Anda menikmati masa depan yang sempurna. Ya, masa depan cemerlang itu sungguh ada! Alam semesta baru akan Tuhan ciptakan setelah dunia ini musnah. Di dalamnya takkan lagi ada kemerosotan, kerusakan, kejahatan, dan kesusahan! Di sanalah kita akan hidup selama-lamanya, bahkan setelah kita meninggal! Tapi bukan cuma nanti di sana: sekarang ini di dunia ini pun harapan dan kehidupan Anda sudah akan mulai diperbarui dan dipulihkan menjadi baik!

Semoga Anda tidak berkeras hati. Karena, jikalau Anda tetap menolak Tuhan Yesus Kristus, betah dalam dosa, mengabaikan Injil (Injil = Kabar Baik), senang kalau pemberitaan Injil gagal, bahkan ikut giat menindas para pemberita Injil, maka bagaimanapun hebat, berkuasa, kaya, sukses, dan bahagianya Anda saat ini, waktu Anda meninggal atau saat Kristus datang kembali pada Hari Kiamat, Anda pasti binasa selama-lamanya dalam neraka! Bukan Tuhan, bukan Injil, dan bukan pula kami yang gagal membawakan masa depan yang penuh harapan pada Anda, melainkan diri Anda sendiri!

(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-29, Februari 2012, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)

Terlalu Muluk, Terlalu Fantastis

Musim panen, empat puluh enam tahun yang lalu. Umurku belum genap 13 tahun. Aku ikut bapakku bergabung dengan massa yang berarak. Semua bersenjata tajam. Satu jam berikutnya, kami menginjak-injak tumpukan mayat dari ketiga tempat ibadah yang ada di desa.

Keadaan berbalik setelah Oktober ’65. Giliran kami yang menjadi buruan. Aku berhasil lolos. Tapi Bapak dan semua yang malam itu ikut dalam pengganyangan tewas. Juga ibu dan kedua kakak perempuanku mereka gantung.

Hidupku selanjutnya berisikan kemaksiatan dan kriminalitas. Untuk bertahan hidup dan sebagai gaya hidup, kutempuh semua cara yang melawan segala norma dan hukum. Siapa pula yang mau mempekerjakan dan bergaul dengan orang sepertiku? Eks-PKI dan keluarganya adalah sampah! Penjara tidak asing bagiku. Sampai lupa sudah berapa kali aku masuk-keluar.

Tapi aku takkan pernah lupa penjara terakhirku barusan.

Aku dijebloskan delapan tahun yang lalu. Divonis sepuluh tahun karena merampok rumah mewah dan membunuh pembantu yang mencoba memberontak. Dua tahun lalu, datang seorang pria yang tampak seusia denganku.

“Bapak tidak mengenali saya.” Itu penegasan, bukan pertanyaan. Aku hanya menggeleng.

“Kita pernah bertemu,” lanjutnya, “di gereja Desa Wanaasih. Anda mengejar saya dengan belati. Saya berhasil kabur. Tapi seluruh keluarga saya, kedua orangtua, ketiga kakak, dan adik satu-satunya, tewas.”

Aku terperanjat. Pembantaian di tiga rumah ibadah itu!

“Saya sudah tahu semua tentang Anda,” katanya lagi. Suaranya menenteramkan. “Saya dulu dendam sekali pada kalian. Kepingin sekali membalas. Tapi sekarang tidak lagi. Nanti, sekeluar Anda dari sini, hubungi saya. Ini kartu nama saya. Saya akan kasih Anda pekerjaan, dan sebelum Anda mampu mandiri, saya akan jamin hidup Anda.”

“Kenapa―” aku tak tahan untuk buka suara, “―Anda mau lakukan itu? Intrik apa ini?”

“Tidak ada intrik, Pak. Saya memaafkan Anda sepenuhnya.”

“Kenapa?” desakku.

Ia menunduk. Aku terkejut. Air matanya menetes.

“Karena,” sahutnya bergetar, “saya sendiri jahat. Tapi Tuhan Yesus mengampuni saya.”

Dia bercerita tentang anugerah Tuhan. Tentang orang yang bernama Yesus dari Nazaret. Tentang hidupnya yang diubah menjadi benar oleh Yesus itu.

Ia memberiku Alkitab. Buku itu kubaca habis berkali-kali. Pertama kali, aku menertawakannya. Tidak mungkin riwayat Yesus yang disebut Kristus itu pernah benar-benar terjadi! Tuhan, yang katanya pencipta segalanya dan mahakuasa, lahir jadi manusia di kandang ternak cuma untuk mati di salib Romawi demi, katanya, menebus dosa manusia? Terlalu muluk!

Tapi tunggu! Aku sudah melalap banyak buku. Termasuk kitab-kitab suci banyak agama. Tapi tak ada yang seperti kisah Yesus. Itu lebih romantis daripada cerita cinta paling agung, lebih heroik dibanding epik kepahlawanan manapun! Tidak mungkin itu karangan manusia! Manusia takkan mungkin punya ide seperti itu. Terlalu fantastis!

Presiden memberiku remisi karena aku berkelakuan baik. Apa? Aku? Baik?? Pantas, hampir dua tahun ini aku merasa aneh! Muak pada hidupku yang dulu. Pada narkoba. Pada seks bebas. Pada semua kejahatan yang dulu kulakoni. Bahkan sampai pada rokok pun aku mulai muak! Apa ini perbuatan-Mu, Yesus? Engkau mempengaruhiku?

Sejam lalu aku keluar gerbang penjara itu. Kini aku berdiri di jalan ini. Mengapa kuat sekali perasaanku bahwa Engkau ada di sampingku, Yesus? Kenapa aku yakin aku memang sedang berbicara dengan-Mu, Tuhan?

Apa yang baru kukatakan? Aku panggil Kau “Tuhan”...?!

Mengapa aku merasa Kauselimuti dengan cinta? Kenapa hatiku menginginkan-Mu? Pergi, Yesus! Engkau mahasuci! Aku tidak pantas untuk-Mu! Aku ini pendosa besar, Tuhan! Tapi... oh, jangan! Jangan tinggalkan aku, Yesus!!

Aku menyerah. Hatiku mendambakan-Mu, Yesus Kristus! Engkau begitu indah! Amin, Engkaulah Tuhan! Nurani dan akalku berteriak ingin disucikan dengan darah-Mu. Selamatkanlah aku dari semua kejahatan, Tuhan Yesus! Ampuni semua dosaku!

Oh, bukankah ini tepat malam di mana orang-orang tebusan-Mu merayakan kelahiran-Mu...?

(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-28, November 2011, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)