Senin, 30 Juli 2012

Tentang Menjadi Pendidik



Pekerjaan dan profesi sebagai pendidik tidak asing bagi saya. Hingga wafatnya, papa saya seorang guru; hampir tiga perempat hidupnya dihabiskan dengan menjadi guru SR (sekarang SD) dan SMA, menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, memberi pelatihan bahasa Inggris di beberapa instansi pemerintah maupun swasta, juga memberi les privat untuk beberapa bidang studi, terutama bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Kakak perempuan saya, kakak sulung, selulus dari IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta atau UNJ), pernah selama 20 tahun menjadi guru SD, SMP, dan SMEA (sekarang SMK Ekonomi), juga sebagai guru les privat untuk anak-anak SD, SMP, dan SMEA, bahkan pernah pula ikut mendirikan sebuah tempat bimbingan belajar. Dan saya sendiri sempat hampir tiga tahun menjadi guru SD dan memberi les privat untuk para siswa SD dan SMP.

Selama bercengkerama dengan dunia profesi pendidik, saya mendapati dan merenungkan banyak hal. Beberapa hal saya dapati tidak benar, salah kaprah, tidak pada tempatnya. Sebagian lagi memang sudah tepat, tapi sangat rentan di-salah-interpretasi-kan. Kemudian, saya menyusun sebuah pemikiran kesimpulan akan bagaimana sosok pendidik itu seharusnya.

Karena itu, di bawah ini secara garis besar saya akan tuliskan apa yang saya peroleh dan yang saya konklusikan tersebut.

Meluruskan beberapa kekeliruan pandangan mengenai pendidik

1. Menjadi pendidik untuk kepentingan pribadi

Pekerjaan menjadi seorang edukator memang sungguh-sungguh adalah pekerjaan yang agung dan mulia. Itu niscaya, sebab memang di tangan pendidiklah masa depan bangsa bergantung. Disposisi itu tidak perlu diragukan lagi. Tapi mestinya, dari situ kita berpikir, “Unsur intrinsik apa di dalam profesi pendidik yang membuatnya mulia?” Itu adalah pertanyaan yang bagus. Dan jawabannya adalah: menjadi pendidik itu mulia karena padanya melekat erat sifat altruistik. Sifat berdedikasi untuk kepentingan dan kebaikan orang lain semata. Sifat ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan sebagai pendidik, sehingga konsekuensinya, menggolongkan pekerjaan edukator ini sebagai pekerjaan altruistik, sama dengan pekerjaan sebagai rohaniawan, dokter, tentara, dan polisi. Altruisme berkontradiksi dengan egoisme dan egosentrisme. Oleh sebab itu, melakukan pekerjaan dan menyandang profesi yang altruistik berarti sama sekali tidak memberi ruang dan tempat untuk kepentingan diri sendiri. Ini mungkin terdengar ekstrem, tapi memang begitu kenyataannya. Sekali seorang pendidik berkompromi dengan agenda pribadinya dalam melakukan pekerjaannya, maka saat itu hilanglah kemuliaan dari profesi yang disandangnya. Ia telah mengkhianati profesinya sendiri, telah menodainya.

Lantas, apakah seorang pendidik tak punya hak untuk memperhatikan hidupnya sendiri dan keluarganya? Apakah dia tidak berhak memikirkan nasib dan memperjuangkan nafkah bagi penghidupannya dan keluarganya? Tentu saja ia berhak! Sepenuhnya! Dan bukankah “seorang pekerja layak menerima upahnya”? Tentu saja! Jadi, apa yang salah? Yang salah adalah kalau individu tersebut memasukkan “perjuangan nasib dan pencarian nafkahnya” itu ke dalam profesinya, sewaktu ia mencampuradukkan entitas jabatannya dengan entitasnya yang lain, entah itu sebagai diri pribadi, atau sebagai suami, atau sebagai ayah, atau sebagai yang lainnya.

Banyak alasan dan motivasi orang yang mendorongnya untuk ingin menjadi pendidik. Ada yang menjadi pendidik untuk mencari uang sekadar untuk bertahan hidup. Ada yang untuk mencari uang dalam jumlah yang relatif besar, atau dengan kata lain, ingin menjadi kaya. Ada yang untuk menaikkan derajat, supaya dianggap terpandang. Macam-macam. Dan semua alasan dan motivasi itu mengandung nada dan bau yang sama: “ego”. Itu yang salah! Harusnya, karena pekerjaannya altruistik, berjiwa altruisme, ya alasan dan motivasinya juga wajib altruistik. Contoh: “untuk memajukan generasi muda di kampung atau di kota saya”, “ingin mencerdaskan suku yang masih terbelakang”, atau “supaya pola pikir, moral, dan karakter bangsa ini tidak terus-menerus bobrok”.

2. Memandang jabatan terlalu tinggi, mencari sendiri penghormatan

Efek dari egoisme-egosentrisme yang dibiarkan bertumbuh adalah sikap memandang pekerjaan dan profesi kita secara terlampau tinggi, serta ambisi mencari hormat bagi diri sendiri dari semua orang. Sekali lagi, benar sekali jabatan pendidik itu mulia. Dan itulah intinya. “Jabatan/pekerjaan/profesi”-nya yang mulia secara mutlak. Sedangkan “pribadi sang penyandang jabatan/pekerjaan/profesi” itu sendiri mempunyai nilai kehormatan dan kemuliaannya sendiri, terpisah, dan sifatnya berbeda, sebab bergantung pada karakter dan integritas orang itu sendiri. Tidak sepantasnya kehormatan dan kemuliaan jabatan dan pekerjaan pendidik disatukan dan disamakan dengan kehormatan diri pribadi sang pendidik.

Itu yang pertama. Yang kedua, kalaupun memang pemuliaan pekerjaan sebagai pendidik itu tetap mau digabungkan juga dengan penghormatan terhadap pribadi si pendidik sendiri, maka yang punya hak dan layak melakukan itu adalah orang luar, orang-orang yang bukan pendidik. Merekalah yang sah dan wajib secara logika dan moral untuk melakukan penghormatan, baik terhadap diri sang pendidik maupun terhadap profesinya. Bukan para pendidik itu sendiri. Para pendidik secara logika dan moral hanya pantas menilai tinggi jabatan dan pekerjaannya tok, terlepas sama sekali dari diri pribadinya.

Lalu, bagaimana, apakah pendidik tidak boleh menuntut kelayakan hidup? Apakah dengan begitu, pendidik tidak boleh lagi mempunyai naluri sebagai manusia untuk dihargai sepantasnya? Tidak begitu juga. Tentu saja boleh! Manusia siapapun juga punya hak yang sama untuk memperoleh penghormatan selayaknya. Kita semua berhak menuntut bilamana hak asasi kita, termasuk hak untuk memperoleh penghidupan yang layak, ada yang coba pasung. Tapi ya itu, cukup sampai di taraf itu, di taraf sebagai “manusia”. Tidak perlulah diembel-embeli: “...karena kami adalah ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’!...”, atau: “...karena kami sudah berjasa mencerdaskan anak bangsa!...”, atau juga: “...karena pekerjaan kami ini mulia!...”. Itu hanya mencerminkan jiwa egoisme si pendidik sendiri yang masih besar. Yang mestinya membela para pendidik dengan embel-embel seperti tadi adalah orang-orang yang bukan pendidik. Mereka bukan cuma pantas, tapi juga sebetulnya memiliki kewajiban moral untuk membela sesama mereka yang berprofesi sebagai pendidik dengan cara seperti itu. Merekalah yang wajib mengingatkan pihak yang berwenang apabila kemuliaan jabatan dan pekerjaan para pendidik diabaikan.

3. Menyamaratakan derajat kehormatan pribadi di antara semua pendidik

Dalam semua jenis pekerjaan, perbedaan dan ekses pada segala aspek di kalangan para pelakunya pasti ada. Demikian pula dalam pekerjaan sebagai pendidik. Ada pendidik yang bernasib baik karena bekerja di institusi pendidikan yang berkekuatan finansial besar sehingga kesejahteraannya amat terjamin berkat gaji yang berlipat-lipat kali UMR, tapi ada juga pendidik yang tidak “seberuntung” itu karena bekerja di daerah terpencil, mengajar anak-anak suku terasing di pedalaman, yang hidup dengan mengandalkan usaha lain seperti bercocok-tanam. Ada pendidik yang akhlaknya sedemikian luhur sampai-sampai dijadikan tokoh yang dituakan oleh masyarakat di sekitarnya, namun ada pula pendidik yang kebejadan moralnya bisa membuat setan-setan malu.

Saya tadi sudah mengatakan bahwa kehormatan profesi pendidik berbeda daripada kehormatan pribadi sang pendidik itu sendiri. Karena itu, yang saya maksudkan dalam poin ini adalah, tiap-tiap orang dihormati menurut cara ia hidup detik demi detik. Begitu pula pendidik. Jangan karena jabatan pendidik itu mulia dan terhormat, lantas kita memukul rata, menganggap semua pendidik itu mulia, atau, paling tidak, seharusnya mulia. Tidak mesti begitu. Mulia-tidak mulianya seorang pendidik memang mempengaruhi citra terhormat profesi pendidik di mata orang, akan tetapi mulia-tidak mulianya si pendidik tidak bergantung pada kehormatan profesinya tersebut. Semua bergantung pada kualitas dan integritas diri sang pendidik itu sendiri saja. Dan karena kualitas dan integritas tiap individu berbeda-beda, maka kehormatan pribadi pendidik pun berbeda satu sama lain. Apakah pendidik yang hidup enak di kota dengan penghasilan besar dan tunjangan pensiun yang terjamin bisa disamakan kadar kemuliaan pengabdian dan pengorbanannya dengan pendidik yang tinggal di pulau kecil yang gersang bersama suku yang belum dikenal dunia? Apakah pendidik yang menjadi legenda di kalangan anak-anak lantaran perbuatan baiknya yang sarat sama terhormatnya dengan pendidik yang memperkosa anak didiknya?

4. Memandang parsial segala hal dari pekerjaan dan jabatan sebagai pendidik

Ada 2 hal dari pekerjaan dan jabatan sebagai pendidik yang paling sering dipandang parsial.

Pertama, profesi pendidik dipandang hanya sebagai pembentuk intelektual peserta didik saja. Padahal, pekerjaan mendidik itu adalah pekerjaan membentuk manusia secara keseluruhan, holistik, baik fisik, mental, intelektual, emosional, moral, sosial, karakter, maupun spiritual. Semua pendidik bertanggung jawab untuk itu. Tidak ada alasan. Seorang guru Olahraga, misalnya, tak pantas berdalih bahwa dia tidak bertanggung-jawab atas permasalahan sosial seorang anak didiknya yang suka berkelahi. Seorang guru Fisika tidak seharusnya melalaikan perhatian akan kebugaran dan kesehatan anak didiknya yang sering sakit-sakitan. Yang seperti itu seharusnya tidak boleh terjadi. Jabatan sebagai pendidik jauh lebih luas cakupannya ketimbang subyek atau bidang studi atau mata pelajaran yang menjadi lingkup ajar sang pendidik. Sayang, masih banyak pendidik yang mengabaikan hal ini. Bahkan sering sangat parah. Masih bagus kalau si pendidik masih sadar untuk membentuk intelektual anak didik, karena yang parahnya, beberapa pendidik malah hanya berperan sebagai penyampai informasi saja. Soal peserta didik memahami subyek yang diterangkan secara komprehensif atau tidak, dia sama sekali tidak peduli. Kalau begitu, jadi wartawan saja, jangan jadi guru!

Kedua, pekerjaan sebagai pendidik dipandang sama saja jam kerjanya dengan pekerjaan lain. Itu salah. Sebagaimana di atas sudah saya sebutkan, pekerjaan sebagai pendidik itu termasuk pekerjaan altruistik. Salah satu ciri khas pekerjaan yang altruistik adalah waktu kerjanya yang tidak ada batasan. Ulama, dokter, tentara, dan polisi, meskipun jam kerja mereka di tempat dinas resmi mereka sudah selesai, sepulang ke rumah, mereka tetap ulama, dokter, tentara, dan polisi. Saat sedang berekreasi dengan keluarganya, jika ada orang yang sakit dan darurat, seorang dokter tetap dituntut keharusan oleh jabatannya untuk menolong. Ketika lagi asyik-asyiknya bersantai di rumah, kalau ada anggota jemaatnya meninggal, seorang ulama tetap diwajibkan oleh profesinya untuk mendoakan dan menghibur keluarga almarhum/almarhumah. Biarpun sedang enak tidur di tengah malam, jikalau negara diserang musuh, seorang tentara amat sangat diharamkan untuk menolak angkat senjata. Tidak ada berhentinya jam kerja bagi para pekerja altruistik. Begitu pula pendidik. Pendidik harus selalu dapat “digugu” dan “ditiru”. Ia kapanpun harus senantiasa siap menjawab pertanyaan apapun dari siapapun yang haus akan pengetahuan. Ia juga harus selalu siap mengoreksi setiap kesalahan, membenahi ketidakberesan, dan mencambuk kealpaan manusiawi yang dilakukan oleh siapa saja di manapun.

Kontemplasi-refleksi dan penutup

Melihat hal-hal tersebut di atas, saya menyadari, menjadi pendidik itu amat sangat tidak mudah. Ya jelaslah! Kemuliaan dan kehormatan yang menyertai pekerjaan dan profesi sebagai pendidik itu luar biasa besarnya, jadi sudah pasti tanggung jawab pengembannya pun bukan main beratnya. Karena itu, sudah menjadi keniscayaan, seorang pendidik itu haruslah takut akan Tuhan, berkarakter dan bermoral luhur, memiliki integritas diri yang sangat tinggi, rendah hati, mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri, tidak mementingkan diri sendiri, serta yang tak kalah pentingnya adalah tidak memiliki kata “menyerah” dalam kamusnya, memang sedari awal sudah mempunyai niat yang tak tergoyahkan untuk menjadi pendidik, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, dan seluruh kualitas kebaikan manusia. Semua orang sudah sering mendengar semua itu, jadi saya tidak akan menguraikannya. Hanya sebagai pengingat saja, betapa kompletnya seorang manusia harus mempersiapkan dirinya jika ingin menjadi pendidik yang layak, yang memang seharusnya, sebagaimana tuntutan profesinya. Maklum saja, pendidik adalah pembentuk manusia. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apapun yang dilakoni sang pendidik, itulah yang akan dilakoni anak-anak didiknya dengan skala yang jauh lebih besar. Apabila seorang pendidik begitu bersinar bagai lilin di tengah kegelapan ruangan tanpa listrik, betapa hebatnya cahaya dari para muridnya, yang bagaikan kumpulan obor yang menerangi seluruh isi kampung! Namun, jika sang pendidik berbau busuk sampai ke sumsum-sumsumnya, alangkah menjijikkan dan berbisanya darah dan uap nafas para anak didiknya, sampai-sampai meracuni seluruh negeri!

Terakhir, saya meminta maaf jikalau tulisan saya ini terlalu keras, ekstrem, dan lancang. Bukan karena saya tidak menghormati profesi dan pekerjaan pendidik. Kebalikannya malah. Saya menulis ini justru karena di mata saya, jabatan dan pekerjaan menjadi pendidik itu sangat luar biasa terhormat dan mulianya. Karena itu, saya sampai mati tidak rela kalau jabatan ini disandang dan pekerjaan ini dilakukan oleh tangan-tangan dan insan-insan yang tidak siap, yang tidak berkompeten, yang rusak dan bobrok, yang ber-tuhan-kan perut dan kelamin, yang cinta uang-harta dan gila hormatnya membuat Iblis minder, serta yang pendek akal dan mati nurani!

1 komentar:

Unknown mengatakan...

silakan baca juga artikel saya tentang ultrabook terbaru :)