Senin, 31 Oktober 2011

Menghargai Nilai yang Lebih Lestari


Sesuatu tidak harus dinilai dari penampilan luarnya, asesorisnya, atau harga jualnya. Bahkan tidak juga dari berfungsi-tidaknya dan berguna-tidaknya. Sesuatu bisa juga dinilai dari sejarahnya, riwayatnya, cerita di baliknya, dan orang-orang yang berperan di belakangnya. Malahan, nilai yang diukur berdasarkan hal-hal yang saya sebut terakhir itu jauh lebih long-lasting, lebih langgeng, lebih lestari sifatnya ketimbang jika diukur berdasarkan hal-hal yang pertama disebutkan.

Apalagi dalam menilai manusia. Manusia punya nilai intrinsik, nilai hakiki dan asasi, nilai yang bukan hanya lestari namun juga kekal, yaitu nilainya sebagai makhluk tertinggi: sebagai manusia itu sendiri.

Kita harus menghormati sesama kita karena hal itu. Saya belajar dan terus berusaha melakukannya. Itu adalah sesuatu yang besar. Karena itu, untuk dapat semakin sempurna menghargai sesama manusia, saya belajar dari hal-hal kecil, dengan cara menghargai nilai barang yang saya miliki, seremeh apapun itu, berdasarkan tolok-ukur tadi: sejarahnya, riwayatnya, cerita di baliknya, dan orang-orang yang berperan di belakang keberadaan benda itu.

Salah satu pelajaran paling penting tentang nilai itu saya dapatkan dari handphone saya. Tepatnya, sekarang ini: mantan handphone saya.

Itu adalah handphone dari merek yang paling terkenal dan paling banyak digunakan di Indonesia. Handphone itu bukanlah dari jenis smartphone. Tidak bisa dipakai buat akses internet. Jadi jelas tidak bisa buat buka email, Facebook, ataupun Twitter. Pasti saja begitu, sebab handphone tersebut saya dapatkan sebelum teknologi 3G lahir. Jadi praktis hanya bisa digunakan untuk telepon dan SMS saja.

Kendati begitu, waktu saya pertama memilikinya, handphone itu termasuk tipe yang paling canggih pada masa itu. Handphone itu merupakan tipe kedua yang dikeluarkan merek bersangkutan yang menggunakan antena internal, dan merupakan handphone pertama di Indonesia yang menggunakan baterai lithium, menggantikan baterai berbahan nikel sebelumnya.

Handphone itu tadinya milik kakak perempuan saya. Ia membelinya kira-kira di bulan Maret 2001. Waktu saya lulus sarjana kedokteran dan baru masuk ko-asistensi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, pada September 2001, ibu saya mau menghadiahkan saya sebuah handphone, mengingat handphone cukup penting juga untuk dimiliki seorang ko-asisten (ko-ass) untuk menghubungi dokter-dokter residen atau konsulen bilamana ada keadaan darurat pada pasien. Mulanya, pada awal Januari 2002 Ibu mengajak saya ke ITC Roxy Mas, Jakarta, dengan diantar kakak perempuan saya itu dan keluarganya, berhubung kakak ipar sayalah yang paham betul seluk-beluk Roxy Mas. Tapi, selagi berkeliling-keliling, hasil percakapan kami membuahkan pemikiran, mengapa tidak Ibu beli saja handphone Kakak itu untuk saya, lalu suami Kakak yang beli handphone baru itu untuk kakak saya sebagai gantinya. Kami semua memandang ide tersebut cukup baik. Akhirnya, Kakak melepas handphone itu dengan harga, atas persetujuan suaminya, tujuh ratus ribu rupiah. Kalau kita beli baru, handphone tipe punya kakak saya itu harganya satu juta tiga ratus ribu rupiah. Dulu juga, waktu dia beli, harganya masih satu setengah juta. Pada tahun itu, handphone memang masih tergolong barang yang agak mewah, jadi harganya lebih mahal ketimbang sekarang.

Deal! Handphone itupun pindah ke tangan saya. Kakak saya dibelikan handphone baru. Dan Ibu membelikan kartu SIM untuk saya. Sesuai anjuran beliau, saya memilih nomor perdana XL (waktu itu masih bernama proXL), karena beliau tertarik pada iklan proXL di TV yang ketika itu dibintangi Tantowi Yahya.

Saya tidak menyesal memiliki handphone tersebut. Kinerjanya tidak mengecewakan. Daya tahannya luar biasa, karena meskipun berkali-kali jatuh dan terbanting dengan tak sengaja, tetap saja casing-nya tidak bocel, LCD-nya tidak pecah, dan fungsi-fungsi lainnya pun tidak ada yang terganggu.

Bertahun-tahun handphone itu dan XL-nya setia mengabdi demi kelancaran komunikasi saya. Di tengah perjalanan kebersamaan itu, strip pada casing yang mengelilingi layar LCD-nya terkelupas. Rupa-rupanya, lemnya lama-kelamaan aus akibat sering terkena keringat saya dan gesekan-gesekan dengan kain saku celana. Untuk mengatasinya, agar tidak kelihatan jelek karena memble-memble begitu, dan supaya tidak terkelupas lebih besar lagi, saya bantu rekatkan dengan selotip. Tapi ternyata lem aus itu merembet ke beberapa titik juga. Jadinya, ya, saya pasang selotip-selotip lagi, sampai-sampai akhirnya tiga selotip menempel di sisi kiri, kanan, dan atas strip itu. Cukup merusak keindahan sih. Tapi mau bagaimana lagi? Kerjanya masih oke banget kok!

Namun fungsi si handphone itu pun harus mengalami cobaan berat. Pertama, setelah dipakai tiga tahun, karena sudah mencapai limit optimalnya, baterai orisinalnya pun melemah, jadi sering drop sehingga harus sering di-charge, bahkan untuk dipakai telepon pun harus sambil di-charge, kalau tidak, baru bicara tiga-empat detik sudah mati. Jadinya, saya beli baterai baru. Dan karena baterai orisinal itu mahal, yang saya anggap mubazir membelinya karena harganya beda tipis dengan handphone baru, maka saya beli saja yang non-orisinal. Tapi ya namanya juga bukan orisinal, baru setahun sudah nge-drop juga. Jadi saya beli lagi baterai baru, kembali bukan yang orisinal, dan kesusahan yang sama pun berulang. Malah lebih parah, belum setahun sudah nge-drop! Begitulah: beli baterai baru, nge-drop, beli lagi, nge-drop lagi, terus dan terus begitu berkali-kali!

Cobaan kedua terjadi karena keteledoran bodoh saya sendiri. Pada malam hari pas Tahun Baru 2007, saat menginap di rumah kakak perempuan saya itu, sepulang dari Puncak bersama keluarganya dan keluarga kakak saya yang satu lagi, karena saat itu hujan besar dan kami semua, termasuk saya, basah kuyup waktu turun dari mobil untuk masuk rumah, sesampai di rumah, saya langsung mandi, dan usai mandi, saya langsung masukkan celana panjang saya yang basah ke ember rendaman cucian yang airnya penuh, tanpa ingat sedikitpun kalau handphone saya masih ada di sakunya. Setelah sekitar semenit, barulah saya sadar! Saya langsung mengeluarkan handphone itu. Basah total pastinya! Lampunya menyala tapi tidak ada tampilan apa-apa. Gawat! Saya cepat-cepat lepas baterainya, lalu saya tempatkan di bawah AC di kamar supaya cepat kering. Salahnya, saya tidak mengeringkannya dengan hair dryer. Belakangan, saat saya konsultasi dengan tukang servis, dia pun menyesalkan, karena memang seharusnya, katanya, kalau handphone terendam air, pengeringan mesti segera dilakukan dan harus dengan hair dryer supaya kering sempurna. Lebih salah lagi, setelah semalaman di bawah AC, saat saya coba nyalakan dan ternyata bisa, saya langsung mengisinya dengan charger keponakan saya, yang ternyata voltage-nya lebih besar. Karuan saja, dalam beberapa hari, baterai sang handphone jadi bunting sembilan bulan! Tapi bukan itu saja akibatnya. Yang lebih fatal lagi, akibat tidak kering sempurna dan dihubungkan ke charger yang tidak cocok, sebulan kemudian software pengisian di charger connector menjadi error, menurut si tukang servis. Hasilnya, handphone saya tidak bisa di-charge secara biasa. Jadinya, saya harus beli desktop charger. Dan juga satu baterai cadangan, biar saat baterai yang satu sedang di-charge, handphone masih tetap bisa dipakai.

Tapi biarpun sudah parah merepotkannya, dan, dengan begitu, fungsinya juga otomatis pasti ikut jadi sangat terganggu, handphone itu tetap saya gunakan. Sama sekali tidak mau saya buang. Saya menghargai tinggi Ibu dan cintanya, yang rela keluar uang cukup besar supaya anak terkasihnya bisa punya handphone, padahal saat itu beliau sendiri belum punya handphone. Saya menghargai kenangan-kenangan yang menghiasi story perjalanan sang handphone dalam membantu studi saya semasa masih ko-ass, dalam membantu harmonisnya hubungan saya dengan pacar, juga termasuk dalam membantu saya tetap bisa berkomunikasi dengan Ibu dan keluarga di Jakarta sementara saya jauh dari mereka karena tinggal di Bandung, karena bisa telepon-teleponan dan SMS-an kapan saja.

Dan saya terus mempertahankan handphone itu karena nilainya tersebut.

Hingga 8 April 2011 lalu. Tepat di hari ulangtahun saya.

Saat itu saya sedang di rumah ibu saya di Tangerang. Selepas magrib, sehabis beres-beres di rumah, ketika mengeluarkannya dari saku, handphone itu saya dapati error. Saya coba matikan kemudian nyalakan kembali, tetap error. Saya titipkan ke kakak saya untuk dibawa ke temannya yang mampu membetulkan handphone yang sudah rusak parah. Seminggu kemudian, Kakak menelepon. Dia bilang, si teman mendapati PCB handphone saya sudah melengkung, sehingga sudah tidak mungkin dibetulkan lagi.

Dengan kata lain, kalau handphone saya itu manusia, gelar “almarhum” akan tercantum di depan namanya, dan saya akan memasang iklan kematiannya di koran.

Tapi, biarpun ia sudah “tiada”, sang handphone tetap hidup dalam ingatan saya.

Karena dia sangat bernilai buat saya.

Senin, 17 Oktober 2011

Belum Cocok


Bila mendengar kata 'polisi', biasanya yang terbayang dalam benak kita adalah sosok pria/wanita bertopi, berseragam coklat, bertampang sangar, bersuara galak, dan cenderung gampang disogok di jalan. Tak heran, citra buruk melekat pada diri polisi, khususnya polisi lalu lintas.

Namun, saya pernah bertemu seorang polisi lalu lintas yang beda dari yang lain. Selera humor, kearifan, dan kebaikan hatinya memberikan kesan bagi saya bahwa tidak semua polisi buruk. Ini terjadi pada suatu pagi di bulan Juni 1996, ketika saya baru duduk di tahun pertama Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Waktu itu, saya sedang membawa mobil pacar saya. Dia sedang dirawat di R.S. St. Borromeus. Mobil itu ia titipkan untuk ditaruh di rumah kos saya.

Sepulang menjenguknya di rumah sakit, mobil saya bawa pulang ke kos saya di bilangan Pasteur. Sesampai di perempatan Cipaganti dan Eyckman, lampu merah menyala. Saya berada di belakang dua mobil lain pada lajur kiri, hendak membelok ke Eyckman.

Ketika itu, tiba-tiba saya teringat pada lembar tugas kelompok yang sudah selesai saya kerjakan dan ingin saya serahkan pada teman yang sore itu akan mengambilnya di kos saya untuk diketik. Tadi pagi saya mengerjakannya di kamar inap pacar sambil menungguinya. Masalahnya, saya lupa apakah lembar itu sudah saya masukkan ke tas atau belum!

Waktu itu, handphone masih merupakan barang mewah yang teramat mahal dan terbilang langka, hanya orang-orang kaya yang mempunyainya. Jadi, karena saya dan pacar saya saat itu belum mumpuni untuk memiliki handphone, saya tidak bisa menghubunginya, baik telepon langsung maupun S.M.S., untuk menanyakan apakah lembar itu tertinggal di kamarnya atau tidak. Maka, mulailah saya sibuk membuka tas dan mencarinya. Jadinya tidak sadar bahwa lampu telah berganti hijau. Untung waktu itu jalanan kota Bandung masih sangat lengang dan lancar, tidak seperti sekarang. Di tengah kesibukan itu, tahu-tahu saya mendengar kaca sebelah kiri diketuk. Saya menengok. "Selamat siang, Dik!" seorang polisi berwajah ramah menyapa dengan sopan. Saat itu saya sadar, mobil-mobil di depan sudah tidak ada! Sementara lampu kembali merah.

Menyadari kesilapan saya, dengan gugup saya buka kaca lalu berusaha menjelaskan pada Pak Polisi itu duduk permasalahannya. Mendengar itu, dengan mata berkilat jenaka si polisi berkata, "Oh, saya kira Adik merasa warnanya belum ada yang cocok." (Maksudnya warna lampu lalu lintas). Dia terbahak. Saya pun ikut tertawa getir dan miring karena malu. Lampu kembali hijau. Beliau menyilakan saya jalan terus. Saya pun mengucapkan terima kasih dengan lega sambil berlalu.

Becak dan Bulan


Indonesia kaya sekali akan keragaman ras, suku, dan etnis. Masing-masing memiliki budaya dan adatnya sendiri-sendiri, yang pada gilirannya, membentuk sifat, tabiat, kebiasaan, dan gaya hidup yang unik dalam diri orang-orangnya. Kadang, harus diakui, semua itu dapat menimbulkan friksi di antara orang-orang dari ras, suku, dan etnis yang berbeda. Tapi tak jarang juga ada kelucuan dalam gaya suatu suku, yang justru berpotensi mengakrabkan.

Hal inilah yang terkandung dalam cerita teman saya, Mas Broto. Setiap akhir tahun, dia mendapat jatah cuti dari kantornya selama 2 - 3 minggu, yang selalu dimanfaatkannya untuk pulang kampung merayakan Natal. Dia berasal dari Malang, Jawa Timur. Namun, tiap kali dia selalu menyempatkan diri ke Surabaya karena ada beberapa kakaknya yang tinggal di kota itu. Nah, kejadian yang diceritakannya ini terjadi di Surabaya pada awal Januari 2008. Cerita ini sama sekali bukan dimaksud untuk menghina etnis yang disebutkan. Justru sebaliknya, mengagumkan sekali akal seorang pelakunya! Sangat kocak pula!

Di suatu sore menjelang malam, kira-kira hampir jam 6, Mas Broto sedang berjalan kaki menuju warnet untuk mengecek email dan lihat-lihat berita menarik dari internet. Beberapa meter dari warnet, ia melihat seorang ibu tengah tawar-menawar dengan seorang penarik becak. Dari logatnya, ia tahu kalau tukang becak itu adalah orang Madura. Dalam hal gaya bicara, orang-orang di Jawa Timur, terutama yang berasal dari etnis Madura, lebih celetak-celetuk dan ceplas-ceplos, berbeda dengan orang-orang di Jawa Tengah dan Yogya yang lebih lembut. Begitu juga yang terjadi kala itu antara si ibu dengan si tukang becak.

Waktu menirukan percakapan itu, Mas Broto memakai kata-kata yang persis sama dengan yang dipakai kedua orang itu, yaitu dalam bahasa Jawa. Tapi karena saya tidak mengerti bahasa Jawa, ia kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dan yang saya ulangi di bawah ini adalah versi Indonesia-nya itu.

“Mas, Tunjungan Plaza ya,” kata si ibu.
“Hayo, Bu.”
“Seribu ‘kan?” (Seribu rupiah, tentunya)
“Wah, nggak bisa, Bu!” ujar si penarik becak.
Ibu itu terheran-heran. “Lho? Jadi berapa?”
“Lima ribu.”
“Alah!! Mahal amat?!” cetus keberatan si ibu sembari mengerutkan alis. “Yo wis, dua ribu!”
“Nggak kurang, Bu!” sang tukang becak bertahan. Makin keluar logat Madura-nya.
Si ibu tak mau kalah ngotot, “Lha, wong dekat gitu kok! Dari sini juga kelihatan tuh! Dua ribu aja!”
Sang tukang becak membalas cepat dan mantap. “Bulan juga kelihatan!” tukasnya seraya menunjuk bulan yang waktu itu memang sudah muncul. “Tapi mana dapet dua ribu?”

Mas Broto terbahak-bahak menyaksikannya. Dan kembali terbahak-bahak waktu menceritakannya. Aku pun ikut ngakak setengah mati.
“Dasar orang Madura!” katanya sambil terus tertawa.
“Jawabannya itu lho! Ngasal! Tapi bener! Hahaha!!” timpalku dengan rasa geli.
Mas Broto menambahkan, “Si ibu nggak bisa jawab apa-apa, langsung pergi, kalah ngomong! Hahaha!!”