Sabtu, 14 April 2018

Belum Jadi KONSUMEN CERDAS DI ERA DIGITAL, Belum Pantas Jadi GENERASI “JAMAN NOW”!

Logo "Si Koncer", alias "Konsumen Cerdas"


Apa Iya, Generasi “Jaman Now” Itu Cuma Remaja dan Anak Muda?

Generasi “jaman now” menurutku bukanlah hanya generasi milenial yang usianya berkisar 17 – 30 tahun saja, walaupun patut diakui, memang merekalah motor utamanya. Siapapun dari usia berapapun sah-sah saja disebut sebagai generasi “jaman now”, asalkan semua aspek kehidupannya selaras dengan zaman sekarang. Bukan hanya mengikuti zaman, tetapi juga memahami hakekat zaman, kemudian menguasai segala keadaan yang ada di dalam zaman, sehingga mampu menjadi pemenang atas zaman itu sendiri. Artinya, menguasai semua kebaikan dari zaman, sekaligus mampu meminimalisir bahkan mengeliminir seluruh keburukannya.

Adalah Wajib Hukumnya bagi Generasi “Jaman Now” Jadi Konsumen Cerdas di Era Digital!

Kita tahu, yang menjadi tanda paling utama dari zaman sekarang ialah digitalisasi. Ke dalam semua hal, digitalisasi merambah. Termasuk dan utamanya dalam hal ekonomi. Semua bisnis, perdagangan, industri, dan investasi mengandalkan teknologi digital. Nah, di dalam zaman apapun dalam sejarah umat manusia di manapun, ketika kita membicarakan bisnis dan perdagangan, yang senantiasa menjadi pihak paling lemah pastilah konsumen. Entah sebagai korban dari pelaku usaha yang nakal, atau sebagai korban dari penguasa yang cenderung berpihak pada yang kuat (dalam konteks ini: pebisnis) serta tidak becus menciptakan regulasi dan sistem dagang yang sehat dan adil. Dan tidak terkecuali di “jaman now”! Namun, konsumen dapat menjadi korban justru akibat kelalaian dan kebodohannya sendiri! Karena itu, konsumen punya tanggung-jawab untuk melindungi dirinya dengan cara menjadi konsumen cerdas! Termasuk dan teristimewa konsumen di “jaman now, di mana segala-galanya sudah serba canggih, termasuk tindak kejahatan dan kecurangan.

Bagaimana menjadi konsumen cerdas, apalagi menjadi konsumen cerdas di era digital sekarang ini?

Sekilas tentang Harkonas 2018

Setiap tanggal 20 April, Indonesia memperingati Hari Konsumen Nasional (Harkonas). Di tiap peringatan Harkonas pula, termasuk di Harkonas2018 ini, selalu didengungkan imbauan kepada masyarakat agar menjadi konsumen cerdas. Nah, kalau kita  membaca situs resmi Harkonas yang dirilis Direktorat Pemberdayaan Konsumen, yang berada di bawah Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, yakni harkonas.id atau lebih spesifiknya di laman harkonas.id/koncer.php, kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata konsumen cerdas itu ialah konsumen yang memenuhi 7 (tujuh) poin kriteria, yaitu:
  1. tahu dan memahami, serta mampu menegakkan, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya;
  2. teliti sebelum membeli;
  3. memperhatikan ada/tidaknya label dan manual garansi berbahasa Indonesia;
  4. memastikan bahwa produk yang dipilih sudah berstandar SNI (Standar Nasional Indonesia);
  5. memperhatikan masa kadaluwarsa produk;
  6. selalu membeli berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan;
  7. mencintai sehingga memprioritaskan pilihan pada produk buatan Indonesia.


Khusus untuk poin 1, harkonas.id juga memaparkan apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam Undang-Undang yang biasa disebut UU No.8/1999 atau UU-Perlindungan Konsumen tersebut, dikatakan di Pasal 4, bahwa hak konsumen adalah:
  1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


Sementara, pasal selanjutnya, Pasal 5, mengatur kewajiban konsumen, yakni:
  1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


Memahami serta kemudian menegakkan hak dan kewajiban merupakan langkah awal yang wajib kita lakukan untuk menjadi konsumen cerdas. Sebab, langkah-langkah berikutnya yang termaktub dalam poin 2 hingga 7 dari kriteria situs harkonas.id di atas pasti serta-merta kita lakukan bilamana sudah memahami dan berkomitmen pada hak dan kewajiban kita selaku konsumen.

Bagaimana “Modelnya” Konsumen Cerdas di Era Digital Itu?

Nah, khusus untuk menjadi konsumen cerdas di era digital, kita tentu perlu menerjemahkan kriteria di atas ke dalam konteks zaman digital.

A. Digitalisasi Niaga Bukan Melulu Soal Niaga Online!

Pertama-tama, kita perlu menyadari dulu bahwa biarpun sangat mungkin ketika mendengar tentang “era digital”, pikiran kita langsung mengarah ke transaksi yang kita lakukan dalam jaringan internet (daring/online), toko online, memesan secara online, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu, tetapi kegiatan bisnis dan perdagangan di era digital bukan soal itu semua belaka! Sebab, saat ini, sebagian besar pelaku usaha, baik institusi perusahaan maupun individu pengusaha, apalagi yang berskala besar, sudah memperkenalkan diri dan produknya di dunia maya. Sedikitnya, mereka punya satu akun media-sosial. Itu pun sangat mengherankan. Karena, umumnya, bukan hanya memiliki lebih dari 2 (dua) akun media-sosial, tetapi mereka pun hampir pasti mempunyai situs web sendiri. Tetapi, apakah selalu sudah pasti, ketika melihat dan membaca apa yang mereka tawarkan di internet lalu tertarik untuk membelinya, kita akan memesan semua itu secara online, lalu duduk manis di rumah menunggu pesanan datang? Tidak! Dalam banyak kasus, kita akan membeli komoditas-komoditas yang kita lihat promosinya di internet itu justru di toko fisiknya langsung. Lagipula, ada produsen yang mempromosikan produk dan layanannya di internet, tetapi kita mustahil memesan dan membelinya secara daring. Stasiun pengisian bahan-bakar umum (SPBU, alias “pom bensin”), rumah sakit, dan laboratorium klinis, umpamanya. Dan, dapat dipastikan, di semua wahana daring itu, tampilan produk, harga yang ditawarkan, layanan dan jaminan yang dijanjikan, serta kualitas produk yang digembar-gemborkan, mereka buat seideal mungkin. Melihat dan membaca semua itu, sangat mungkin tiba-tiba saja kita merasa ingin membelinya! Itulah yang memang menjadi tujuan mereka. Nah, pada titik itulah kita wajib waspada!

B. Manfaatkan Senjata Digital Mereka untuk Menggali Informasi Sebanyak Mungkin Mengenai Produk dan Profil Mereka Sendiri!

Tetapi, tidak cukup hanya kewaspadaan yang kita usung. Sebaliknya, “senjata mereka” haruslah kita balikkan menjadi “senjata kita”! Mereka menggunakan teknologi digital sebagai media ampuh untuk pamer sebagus-bagusnya profil usaha dan (yang terpenting) produk mereka, bukan? Nah, alih-alih termakan provokasi karena terhisab ke dalam display menarik yang mereka tampilkan di layar media-sosial dan situs web mereka, lebih baik justru jurus dan senjata mereka itu kita pakai sendiri untuk mencari tahu sebanyak mungkin hal tentang produk yang mereka tawarkan, bahkan juga segala sesuatu menyangkut perusahaan atau pengusaha yang menawarkannya. Berapa harga yang mereka tawarkan, apakah kompetitif atau tidak, serta apakah sepadan dengan bobot, volume, dan kualitas dari produk bersangkutan? Bagaimana rekam-jejak perusahaan itu, apakah pernah ada catatan buruk perihal produk dan kegiatan usaha mereka sebelumnya, serta apakah porsi keluhan orang terhadap produk dan layanan mereka tergolong besar atau tidak? Dan sebagainya, dan seterusnya. Pokoknya, perkaya diri kita dengan sebanyak mungkin data yang bisa kita kumpulkan perihal produk yang kita lihat dan perusahaan/pengusaha yang menawarkannya, sebelum kita telanjur merasa terpikat!

C. Eksploitasi Terus Dunia Digital Demi Komparasi dan Investigasi Maksimal terhadap Produk Serupa!

Dalam poin B di atas, sudah kusinggung pentingnya mengetahui apakah harga sebuah produk kompetitif atau tidak, dan juga tak boleh diabaikannya melihat rekam-jejak produsen yang menawarkan produk bersangkutan. Kedua hal tersebut membutuhkan komparasi atau pembandingan, serta investigasi atau penyelidikan. Konsumencerdas di era digital haruslah selalu ingat pula untuk berhemat. Kalau ada produk sejenis yang sama kualitasnya tetapi harganya lebih murah, mengapa tidak pilih itu saja? Memang, barangkali saja perbedaannya cuma seratus atau duaratus rupiah. Namun, bila kita kalikan jumlah item yang kita beli selama periode tertentu, totalnya pasti lama-lama akan signifikan juga, bukan? Akan tetapi, kita bukan saja mesti berhemat, melainkan juga wajib menghindarkan diri dari penipuan! Sebab, sekiranya kita hanya berpatokan pada prinsip “asal hemat” saja, itu artinya kita membuka peluang untuk diri kita tertipu! Karena, bukankah dari pengalaman banyak jemaah umrah akhir-akhir ini kita seharusnya bisa menarik pelajaran dan kesimpulan bahwa orang bisa terjerat tipuan lantaran menyambar umpan “harga murah” yang disodorkan para oknum pebisnis nakal? Maka, selain komparasi, investigasi pun sangat esensial untuk kita mulai lakukan agar menjadi konsumen cerdas, terutama menjadi konsumen cerdas di era digital ini. Kita tidak boleh malas menyelidiki bukan hanya rekam-jejak produsen melainkan juga banyak topik sehubungan dengan produk yang kita incar, seperti berapa harga kewajarannya, apa regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur segala hal terkait produk bersangkutan (misalnya, bagaimana memastikan kehalalannya dan berapa harga minimal-maksimal yang dipatok Pemerintah), apakah ada perbedaan bahan antara satu produk dengan produk lain yang sejenis, dan apakah bahan yang berbeda itu sama-sama aman ataukah justru sama-sama tidak aman.

D. Belanjalah Secara Online Hanya dalam Keadaan Darurat!

Harap tidak salah sangka! Ini bukanlah ujaran kebencian terhadap usaha perdagangan online! Ini juga bukanlah pendiskreditan terhadapnya! Bahkan, bukan imbauan untuk sama sekali menolak bisnis dan transaksi via internet tersebut! Dan, bukan niat dan maksudku pula untuk membuat usaha bisnis online menjadi mundur karena dihindari pembeli! Sama sekali bukan semua itu! Justru sebaliknya. Tidak saja aku menyarankan hal seperti yang aku tulis di atas itu dengan tujuan supaya Anda semua bisa menjadi konsumen cerdas di eradigital, namun juga agar semua perusahaan dan pengusaha yang menjual dagangannya secara online tercambuk untuk terus-menerus meningkatkan intergritas. Karena, hukumnya memang seperti itu: konsumen yang terus-terusan bodoh akan mendorong produsen dan penjual untuk terus-terusan curang; sebaliknya, konsumen yang makin hari makin cerdas akan mendorong produsen dan penjual untuk memacu dirinya agar semakin jujur serta berusaha meningkatkan terus kualitas produk dan layanannya. Lantas, apa “keadaan darurat” yang membuat kita “terpaksa” berbelanja secara online?
  1. Bilamana produk yang ditawarkan secara online tersebut luar biasa langka dan unik sehingga tidak dijual di manapun juga. Contohnya, koleksi lukisan kuno mahakarya salah satu pelukis ternama Indonesia.
  2. Andaikata produk yang dijual daring itu ditawarkan oleh orang yang betul-betul kita kenal secara dekat, kita ketahui tempat tinggal dan tempat usahanya, serta kita kenal dekat pula keluarganya sehingga ada yang bisa menjadi jaminan jika sekiranya yang bersangkutan melakukan kekhilafan karena suatu keadaan.
  3. Apabila produk yang ditawarkan itu memang dari jenis yang di mana-mana hanya dijual secara daring, tidak ada di toko atau tempat penjualan fisik yang reguler. Umpamanya, transportasi (ojek atau taksi) online, juga tiket untuk menghadiri sebuah pertunjukan, apakah itu olahraga ataukah musik atau teater atau yang lain-lainnya lagi.
  4. Kalau kita dalam keadaan sakit berat, di mana kita mengalami kesulitan yang amat sangat untuk bangun dari tempat tidur, apalagi berjalan keluar rumah untuk berbelanja, sedangkan memang di dekat kita betul-betul sama sekali tidak ada orang lain yang bisa kita mintai tolong.
  5. Bila penjual atau toko online bersedia menerima pembayaran setelah barang tiba di tangan konsumen pemesan, dan si konsumen sudah memverifikasi bahwa barang tersebut memang cocok dengan keinginan dan pesanannya karena memang juga sesuai dengan yang ditawarkan dan ditampilkan secara daring. Bukan hanya itu, si penjual atau toko online pun bersedia menjamin bahwa pembayaran boleh ditunda apabila konsumen menemukan kalau barang tersebut tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Kemudian, bersedia membawa pulang kembali barang tersebut dan menukarnya dengan barang lain yang memang dimaksudkan konsumen, dan menjamin tidak akan menarik ongkos tambahan apa-apa sampai konsumen sudah memverifikasi bahwa barang yang diterimanya sudah sesuai. Dan juga, bersedia menunda menerima pembayaran hingga konsumen betul-betul puas karena barang yang diterimanya sudah sesuai dengan yang ia harapkan. Sebagai catatan, semua sistem pembayaran di belakang ini bukan hanya berlaku untuk pembayaran secara COD (cash on delivery) saja, melainkan untuk semua sistem pembayaran. Jadi, dengan kata lain, si penjual dengan kesadarannya sendiri menolak membuka sistem pembayaran apapun yang masuk ke pihaknya sebelum barang yang diantarkannya diverifikasi penuh oleh konsumen.