Senin, 05 Maret 2012

Terlalu Muluk, Terlalu Fantastis

Musim panen, empat puluh enam tahun yang lalu. Umurku belum genap 13 tahun. Aku ikut bapakku bergabung dengan massa yang berarak. Semua bersenjata tajam. Satu jam berikutnya, kami menginjak-injak tumpukan mayat dari ketiga tempat ibadah yang ada di desa.

Keadaan berbalik setelah Oktober ’65. Giliran kami yang menjadi buruan. Aku berhasil lolos. Tapi Bapak dan semua yang malam itu ikut dalam pengganyangan tewas. Juga ibu dan kedua kakak perempuanku mereka gantung.

Hidupku selanjutnya berisikan kemaksiatan dan kriminalitas. Untuk bertahan hidup dan sebagai gaya hidup, kutempuh semua cara yang melawan segala norma dan hukum. Siapa pula yang mau mempekerjakan dan bergaul dengan orang sepertiku? Eks-PKI dan keluarganya adalah sampah! Penjara tidak asing bagiku. Sampai lupa sudah berapa kali aku masuk-keluar.

Tapi aku takkan pernah lupa penjara terakhirku barusan.

Aku dijebloskan delapan tahun yang lalu. Divonis sepuluh tahun karena merampok rumah mewah dan membunuh pembantu yang mencoba memberontak. Dua tahun lalu, datang seorang pria yang tampak seusia denganku.

“Bapak tidak mengenali saya.” Itu penegasan, bukan pertanyaan. Aku hanya menggeleng.

“Kita pernah bertemu,” lanjutnya, “di gereja Desa Wanaasih. Anda mengejar saya dengan belati. Saya berhasil kabur. Tapi seluruh keluarga saya, kedua orangtua, ketiga kakak, dan adik satu-satunya, tewas.”

Aku terperanjat. Pembantaian di tiga rumah ibadah itu!

“Saya sudah tahu semua tentang Anda,” katanya lagi. Suaranya menenteramkan. “Saya dulu dendam sekali pada kalian. Kepingin sekali membalas. Tapi sekarang tidak lagi. Nanti, sekeluar Anda dari sini, hubungi saya. Ini kartu nama saya. Saya akan kasih Anda pekerjaan, dan sebelum Anda mampu mandiri, saya akan jamin hidup Anda.”

“Kenapa―” aku tak tahan untuk buka suara, “―Anda mau lakukan itu? Intrik apa ini?”

“Tidak ada intrik, Pak. Saya memaafkan Anda sepenuhnya.”

“Kenapa?” desakku.

Ia menunduk. Aku terkejut. Air matanya menetes.

“Karena,” sahutnya bergetar, “saya sendiri jahat. Tapi Tuhan Yesus mengampuni saya.”

Dia bercerita tentang anugerah Tuhan. Tentang orang yang bernama Yesus dari Nazaret. Tentang hidupnya yang diubah menjadi benar oleh Yesus itu.

Ia memberiku Alkitab. Buku itu kubaca habis berkali-kali. Pertama kali, aku menertawakannya. Tidak mungkin riwayat Yesus yang disebut Kristus itu pernah benar-benar terjadi! Tuhan, yang katanya pencipta segalanya dan mahakuasa, lahir jadi manusia di kandang ternak cuma untuk mati di salib Romawi demi, katanya, menebus dosa manusia? Terlalu muluk!

Tapi tunggu! Aku sudah melalap banyak buku. Termasuk kitab-kitab suci banyak agama. Tapi tak ada yang seperti kisah Yesus. Itu lebih romantis daripada cerita cinta paling agung, lebih heroik dibanding epik kepahlawanan manapun! Tidak mungkin itu karangan manusia! Manusia takkan mungkin punya ide seperti itu. Terlalu fantastis!

Presiden memberiku remisi karena aku berkelakuan baik. Apa? Aku? Baik?? Pantas, hampir dua tahun ini aku merasa aneh! Muak pada hidupku yang dulu. Pada narkoba. Pada seks bebas. Pada semua kejahatan yang dulu kulakoni. Bahkan sampai pada rokok pun aku mulai muak! Apa ini perbuatan-Mu, Yesus? Engkau mempengaruhiku?

Sejam lalu aku keluar gerbang penjara itu. Kini aku berdiri di jalan ini. Mengapa kuat sekali perasaanku bahwa Engkau ada di sampingku, Yesus? Kenapa aku yakin aku memang sedang berbicara dengan-Mu, Tuhan?

Apa yang baru kukatakan? Aku panggil Kau “Tuhan”...?!

Mengapa aku merasa Kauselimuti dengan cinta? Kenapa hatiku menginginkan-Mu? Pergi, Yesus! Engkau mahasuci! Aku tidak pantas untuk-Mu! Aku ini pendosa besar, Tuhan! Tapi... oh, jangan! Jangan tinggalkan aku, Yesus!!

Aku menyerah. Hatiku mendambakan-Mu, Yesus Kristus! Engkau begitu indah! Amin, Engkaulah Tuhan! Nurani dan akalku berteriak ingin disucikan dengan darah-Mu. Selamatkanlah aku dari semua kejahatan, Tuhan Yesus! Ampuni semua dosaku!

Oh, bukankah ini tepat malam di mana orang-orang tebusan-Mu merayakan kelahiran-Mu...?

(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-28, November 2011, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)

Tidak ada komentar: