Manusia terdiri dari tubuh dan roh. Keduanya tidak terpisahkan. Hubungan keduanya juga sangat erat, apa yang menimpa dan terjadi pada yang satu akan diderita pula oleh yang lain, dan apa yang dilakukan yang satu akan berdampak juga pada yang lain. Begitu pun dengan keadaan kesehatannya. Khususnya pada ibu dan anak.
Sebelum masuk lebih jauh, kita perlu mengetahui dan mengingat satu dimensi dari pribadi manusia, suatu dimensi yang unik dan menarik. Namanya jiwa. Jiwa terdiri dari 3 (tiga) bagian: kognisi/pikiran/rasio, afeksi/perasaan/emosi/mood, dan psikomotor/kehendak/kemauan/keinginan/hasrat/keputusan. Jiwa ini dikatakan unik dan menarik karena ia merupakan suatu unit yang dimiliki roh manusia namun juga sekaligus menjadi bagian dari tubuh. Dengan kata lain, ada aspek jiwa yang berkenaan dengan tubuh kita dan di sisi lain ada pula aspek jiwa yang melekat pada kerohanian kita. Sebagai contoh, selera makan, rasa risih bila tangan kotor, dan kegemaran pada aroma parfum tertentu adalah pekerjaan-pekerjaan jiwa yang berkenaan secara dominan dengan tubuh, sedangkan kesedihan, rasa cemas, dan depresi adalah hasil-hasil proses jiwa yang lebih terkait dengan kerohanian. Tapi yang lebih uniknya lagi, bisa dibilang semua hasil olahan jiwa pasti berhubungan dengan keduanya, fisik maupun roh, sekalipun kadang-kadang hasil olahan itu dominan pada salah satu, entah fisik ataupun roh, seperti yang barusan kita lihat. Sehingga, hipotesanya, jiwa inilah yang kemungkinan besar merupakan penghubung antara fisik dengan kita sehingga keduanya menjadi saling mempengaruhi.
Sekarang kita kembali ke pokok pikiran tulisan ini, yaitu kesehatan ibu dan anak. Dalam tulisan ini, kita hanya akan mendalami kesehatan spiritual dan mental, sedangkan kesehatan fisik tidak akan dibicarakan, mengingat sudah begitu banyak tulisan-tulisan yang membahasnya di mana-mana, tidak ada informasi tentang tips, kiat, dan sebagainya mengenai kesehatan fisik ibu dan anak yang tidak bisa kita peroleh, sehingga mubazir dan tidak akan bermanfaat kalau kita membahasnya lagi.
Kesehatan spiritual
Pengertian spiritualitas itu sangat sederhana, yaitu relasi dengan Tuhan. Itu saja. Tapi itu bukan hal yang remeh! Justru sebaliknya, spiritualitas menentukan segalanya karena berurusan langsung dengan Tuhan yang adalah sumber dan penguasa atas segala-galanya. Oleh karena itu, masalah spiritual juga sangat sederhana, cuma satu, yaitu bila hubungan kita secara pribadi dengan Tuhan buruk. Sehat secara spiritual berarti memiliki hubungan yang bukan sekadar baik namun juga akrab dengan Sang Pencipta. Bila hubungan kita dengan Tuhan “sakit”, maka kehidupan mental, sosial, dan jasmani kita, cepat atau lambat, juga akan terkena efek buruk, bermasalah, sakit, dan bukan tidak mungkin sampai invalid. Sebaliknya, bila memiliki relasi yang intim dengan Tuhan, meskipun sekeras apapun badai menerpa, seberat apapun penderitaan secara fisik, mental, dan sosial, kita niscaya tetap kuat dan bahkan mampu menanggulanginya, sebab tidak mungkin ada masalah tanpa solusi dan oleh karena Tuhan menopang, menolong, dan memberi kebijaksanaan pada kita.
Memang, ada kalanya memburuknya relasi kita dengan Tuhan akibat dosa berdampak langsung kepada kehidupan kita secara jasmani, dalam pengertian, Tuhan memang bisa menjatuhkan azab kepada kita secara fisik, seperti gangguan kehamilan atau kelainan pada janin dan bayi yang dilahirkan, sebagai hukuman. Namun tidak melulu demikian. Justru lebih sering Tuhan menyerahkan kita kepada konsekuensi-konsekuensi yang sudah Ia tetapkan, yang secara logis akan mengakibatkan defek pada mentalitas kita sendiri dan juga secara sosial, dan pada gilirannya, defek itu akan menimbulkan kerusakan pada tubuh jasmani kita.
Ketika kita melakukan dosa sekecil apapun dan tidak segera memohon pengampunan-Nya, kita akan dikuasai perasaan bersalah. Ini akan menghasilkan energi negatif. Energi ini bersifat destruktif secara progresif terhadap homeostasis (keseimbangan semua variabel dalam tubuh), yang lalu menyebabkan pula gangguan pada mekanisme kerja sistem organ, organ, jaringan, hingga sel, serta pada metabolisme tubuh. Jika ini terjadi pada calon ibu, ibu hamil, dan ibu menyusui, akibatnya bukan saja akan buruk buat sang ibu, tapi juga untuk anaknya. Kita akan melihat hal ini lebih lanjut nanti dalam pembahasan tentang kesehatan mental.
Tapi tidak sedikit pula di antara kita yang “berhasil mengatasi” rasa bersalah, alias tidak kunjung mau berubah juga. Lama-kelamaan, kita menjadi baal, rasa bersalah itu menjadi tak terasa lagi. Dan hampir selalu itu terjadi karena kita sudah terbiasa. Artinya, perbuatan dosa itu sudah menjadi kebiasaan. Dan akhirnya menjadi karakter. Yang jarang kita sadari, atau mungkin juga yang tidak diketahui sebagian dari kita, adalah bahwa karakter itu menurun dan menular...secara sangat kuat! Kalau karakter jelek itu terbentuk pada seorang wanita sebelum mempunyai anak atau pada waktu sedang hamil, karakter itu menjadi herediter sehingga anaknya pun kemungkinan besar akan memilikinya. Apabila terbentuknya sesudah sang ibu memiliki anak (-anak), maka, ―paling tidak― seorang, bahkan mungkin semua, anaknya akan tertularkan karakter dan kebiasaan berdosa tersebut.
Sebab itu, para calon ibu, ibu hamil, ibu menyusui, dan semua ibu perlu terus-menerus menjaga kesehatan spiritualitasnya. Perlu diperhatikan, spiritualitas itu sama sekali berbeda dengan agama. Memang, ada juga hubungan antara agama dengan spiritualitas, dalam arti, tak mungkin seseorang yang sehat secara spiritual akan mengabaikan kehidupan keagamaannya. Namun sekali lagi, keduanya, spiritualitas dan agama, tidak sama! Boleh saja kita taat beragama, rajin sekali dan tidak pernah absen beribadah di tempat-tempat ibadah, taat menjalankan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang agama, namun memiliki spiritualitas yang buruk sekali. Sekali lagi, spiritualitas adalah soal relasi secara pribadi dengan Tuhan. Bukan relasi formalitas, sebagaimana relasi antara kita sebagai rakyat dengan SBY selaku presiden, umpamanya, yang jangankan berjumpa, bercakap-cakap, dan berkomunikasi, berselisih jalan satu sama lain pun tidak pernah, apalagi saling mengenal secara pribadi. Suatu hubungan yang kita jalin bukan karena asas manfaat, “baru datang kalau ada perlunya”, melainkan hubungan yang didasari cinta kasih kita yang tulus dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan kita kepada Tuhan karena Dia sudah terlebih dulu mengasihi kita tanpa batas. Dengan begitu, relasi dalam spiritualitas itu hangat, mesra, manis, penuh kerinduan, jauh dari formalitas kaku.
Semakin akrab dan intim hubungan kita dengan Tuhan, semakin sehat pula spiritualitas kita. Sebab, beginilah yang terjadi: pertama, sama seperti bilamana kita mendekati sebuah lampu yang besar dan amat terang, yang kalau kita berada semakin dekat dengannya kita akan bisa melihat makin jelas keadaan diri kita, kekotoran di baju, noda di tangan, dan sebagainya, maka kian kita dekat dengan Tuhan yang adalah Sang Terang, semakin pula kita mengenal diri kita sendiri, segala kekurangan dan kenajisan kita semakin jelas terungkap; kedua, semakin dekat hubungan kita dengan seseorang, semakin kenal kita siapa dirinya, apa yang menjadi isi hatinya, bagaimana isi dan jalan pikirannya, kebiasaannya, dan segala-galanya tentang dirinya, begitu pula hubungan kita dengan Tuhan: tambah dekat kita dengan-Nya, bertambah pula pengenalan kita akan Diri-Nya, apa yang diinginkan-Nya, apa yang Beliau sukai, apa yang Ia kehendaki dari kita dan yang Dia inginkan untuk kita perbuat, juga apa yang sangat dibenci-Nya; ketiga, dua orang yang selalu menjaga kebersamaan, keintiman, dan kesehatian mereka berdua lama-kelamaan akan nampak mirip satu sama lain, baik wajah, cara bertutur, cara berjalan, gestur, kebiasaan, dan seterusnya, demikian juga dalam kita berelasi dengan Tuhan: kalau kita terus menjaga keintiman kita dengan-Nya, seiring berjalannya waktu dan proses, karena Ia dominan sekali dan tak terbatas, maka segala sifat-Nya yang pengasih, panjang sabar, penuh belas kasihan, suci, kudus, benar, adil, baik, pemurah, dan sebagainya itu akan meresap juga dalam diri kita! Hasilnya, kita akan makin menyukai kebenaran, keadilan, dan kebaikan, serta pada saat yang sama, makin merasa peka dan jijik dengan dosa, sehingga akibatnya, kita akan terus semakin terdorong untuk mengikis dan membuang semua tabiat berdosa kita: iri hati, kedengkian, egoisme, narsisme, kesombongan, sifat pemarah, sifat pelit dan kikir, sifat mementingkan diri sendiri, dan sebagainya! Dan bagusnya pula, semakin kita mengenal Tuhan, kita akan semakin paham bahwa cinta kepada Tuhan itu hanya otentik dan terbukti eksistensinya jika dan hanya jika diaplikasikan dan diwujudnyatakan dalam bentuk kasih kepada sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri, yakni kasih yang bukan melulu impulsif dari perasaan belaka, melainkan yang disadari benar secara rasional dan ditindaklanjuti dalam bentuk perbuatan kasih yang nyata, perbuatan yang semata-mata menginginkan kebaikan bagi orang lain, makhluk hidup lain, dan lingkungan.
Sama seperti di atas, apapun yang kita lakukan secara kontinu, konsisten, dan intensif akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang kita pupuk terus secara kontinu, konsisten, dan intensif pula akan menjadi karakter. Dan kembali, karakter itu bersifat herediter (menurun) dominan dan sangat kontagius (menular). Artinya, bila spiritualitas sehat menjadi karakter para ibu dan calon ibu, insya Allah anak-anak pun akan sehat juga secara spiritual. Jadi, kita semua, khususnya dan teristimewa para ibu dan calon ibu karena tulisan ini ditujukan untuk mereka, sudah sewajibnya terus mendekatkan diri kepada Sang Penguasa sorga dan alam semesta. Jalinan komunikasi dalam bentuk doa dan meditasi harus dijaga dan ditingkatkan. Kenalilah dan selamilah hati-Nya terus lewat pembacaan dan perenungan Kitab Suci. Dan tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan apa yang tertulis dalam Kitab Suci harus juga dipahami dan dihayati secara benar, untuk kemudian diamalkan dan dilakukan secara menyeluruh dengan patuh, karena, sekali lagi: “tak mungkin seseorang yang sehat secara spiritual akan mengabaikan kehidupan keagamaannya”. Dan apabila jatuh dalam dosa kembali ―karena tidak ada seorang pun yang sempurna―, segeralah sadar, minta ampun pada Tuhan, dan bertobat.
Kesehatan mental
Jiwa manusia itu amat sangat luas dan dalam sekali, nyaris tanpa batas. Karenanya, permasalahan-permasalahannya pun begitu banyak dan rumit. Di sini tidak akan dibahas gangguan-gangguan kejiwaan yang berat-berat, yang harus ditangani oleh para ahli seperti psikolog, psikiater, atau psikoanalis, seperti depresi berat, gangguan kepribadian, skizofrenia, dan lain-lainnya, melainkan hanya mengangkat masalah mental biasa yang “rutin” dialami, yang penanggulangannya bisa dilakukan oleh si penderita sendiri dengan bantuan orang-orang terdekatnya, jadi kalaupun psikolog, psikiater, atau psikoanalis dilibatkan, bantuan mereka ada hanya jika penderita merasa mau memakainya, tapi tidak harus. Masalah psikologis yang dibicarakan di sini bisa merupakan masalah yang timbul secara primer dari jiwa si penderita, tapi bisa juga merupakan akibat sekunder dari masalah spiritual ―seperti yang sudah kita lihat di atas. Jikalau merupakan masalah primer, maka dampaknya terhadap spiritualitas akan sama dengan yang sudah kita bahas, jadi akan berefek rebound, memantul kembali, pada mental. Yang jelas, yang akan kita telaah di sini adalah masalah psikis yang khusus berkenaan dengan para calon ibu, ibu hamil, ibu menyusui, dan juga kaum ibu secara keseluruhan, istimewanya yang memiliki anak yang masih dalam usia sekolah. Dan sesungguhnya, masalah tersebut hanya satu! Tapi biarpun begitu, ia menjadi pemicu segala masalah kejiwaan lainnya bagi para ibu, ibu hamil, ibu menyusui, dan calon ibu. Cabut saja yang satu ini (tentu, dengan memprioritaskan penanganan masalah spiritual, sebagaimana sudah kita singgung di atas!), maka seluruh masalah yang bercokol dalam mental para ibu dan calon ibu akan lekas layu dan mati!
Dan nama masalah itu adalah stres!
Stres psikis terdiri dari 2 (dua) jenis: eustres dan distres. Eustres adalah stres yang baik (eu = baik) karena bersifat memacu kita untuk mengeluarkan lebih banyak energi agar dapat selamat dari sesuatu atau agar dapat sukses meraih sesuatu, misalnya stres pelajar dan mahasiswa menjelang dan kala menghadapi ujian karena ingin selamat dari ancaman ketidaklulusan dan sekaligus juga agar dapat meraih nilai dan prestasi belajar serta kelas atau jenjang yang lebih tinggi. Jadi, eustres tidak akan dibicarakan di sini. Sementara itu, distres adalah kebalikannya, stres yang tidak baik sebab bersifat destruktif (di = pecah, hancur). Inilah yang sekarang kita kaji. Nah, distres ini terdiri dari 2 (dua) macam juga, yaitu depresi dan kecemasan.
Depresi adalah keadaan jiwa yang merasa tertekan, merasa menanggung beban yang terlalu berat, kepayahan, seolah tidak berdaya dan bertenaga lagi, merasa tidak berarti, dan putus asa. Sedangkan rasa cemas atau kuatir adalah kondisi jiwa yang merasa ketakutan dan terancam akan sesuatu yang belum terjadi dan belum tentu terjadi, yang belum ada dan belum tentu nyata. Manifestasi keduanya berbeda, namun karena keduanya sama-sama adalah bentuk dari stres, maka dampak dan penanganannya juga sama, kendati penyebabnya tentu berbeda.
Baik depresi maupun cemas dapat bersumber dari gangguan pada spiritualitas. Bisa juga penyebabnya berasal dari gangguan fisik. Tapi mungkin pula biang keladinya adalah jiwa itu sendiri.
Sewaktu seseorang berada dalam keadaan stres (depresi dan/atau cemas), sesuatu terjadi dalam tubuhnya. Sistem saraf simpatis (sistem saraf otonom kita yang bertugas sebagai pengawas keadaan internal tubuh, sehingga bila terdapat ancaman, ia langsung membunyikan alarm tanda bahaya dan lalu memobilisasi seluruh komponen tubuh agar waspada dan siaga menghadapi perang) bekerja terlampau giat, mendorong dipompanya hormon adrenalin secara besar-besaran. Akibatnya, detak jantung menjadi lebih kuat dan cepat, bahkan sering menjadi tak beraturan; darah dipompa dan dialirkan secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya untuk mengerahkan semakin banyak tentara sel darah putih, semakin banyak sel darah merah pemasok logistik oksigen bagi sel-sel, dan semakin banyak trombosit yang pekerjaannya adalah sebagai petugas Palang Merah untuk menutupi luka-luka yang diantisipasi akan banyak terjadi, sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi naik dan terus naik; tonus otot meningkat tajam, siap-siap lebih dari 100% untuk bereaksi terhadap apapun perintah otak, baik untuk bertahan maupun untuk menyerang, berakibat otot-otot menjadi kian lama kian menegang; kelenjar keringat dan kelenjar minyak di kulit dipaksa untuk beroperasi pol-polan untuk meng-cover kulit dan pori-pori dari ancaman serangan kuman, perubahan suhu yang ekstrem, dan sebagainya; bronkus-bronkus (cabang-cabang saluran nafas yang menghubungkan trakhea/tenggorokan dengan kedua paru-paru) berkonstriksi (mengerut) demi menggugah bos mereka, paru-paru, dari gerak santainya supaya lebih keras lagi berupaya dalam mengisap sebanyak mungkin bahan bakar, yaitu oksigen, sekaligus membuang sampah, yakni karbondioksida, setuntas-tuntasnya; ginjal dan saluran kemih dipacu untuk lebih ngotot lagi bersih-bersih, membuang limbah-limbah urea sebersih mungkin agar beban darah tambah enteng, tidak lagi terbebani limbah; begitu juga saluran cerna mulai dari mulut sampai rektum, khususnya lambung, usus halus, dan usus besar, semuanya dipaksa bekerja ekstra-keras untuk selekas mungkin menuntaskan proses pencernaan agar stok makanan dan energi bagi sel-sel, terutama darah, untuk berperang bisa terjamin, juga untuk dalam tempo sesingkat-singkatnya membuang sampah-sampah ampas makanan yang tidak berguna, sehingga akibatnya, enzim-enzim pencernaan, termasuk asam lambung, diproduksi berlebihan, dan gerak peristaltik (gerakan otot-otot dinding mukosa lambung dan usus untuk mendorong maju makanan) menjadi gila-gilaan. Pada bagian lain, hormon tiroid juga dikerahkan secara nyaris di luar batas, dengan harapan supaya tugasnya, yaitu memimpin komando proses metabolisme sel-sel, menjadi maksimal dan optimal, dan efeknya, tubuh akan terasa lemas akibat bahan bakar dari makanan yang terlalu cepat habis, terlalu diboroskan entah untuk apa sebelum seluruh sel sendiri kebagian.
Apa yang terjadi itu tambah lama bukannya tambah berdampak baik, malah sebaliknya, tambah kacau! Chaos terjadi. Pada perempuan, kontrol produksi hormon esterogen dan progesteron menjadi terabaikan, menyebabkan kadar keduanya tidak memenuhi standar, sehingga organ-organ reproduksi jadi kacau pekerjaannya, siklus menstruasi terganggu, tahap kesuburan sudah tidak mampu dideteksi lagi bagaimana dan kapannya, dan semua itu berpengaruh besar pada mood, dan mood yang kacau semakin memperparah keadaan stres, dan terbentuklah lingkaran setan kekacauan! Pada ibu hamil, si anak dalam kandungan pun merasakan penuh kekacauan yang terjadi, dan sayangnya, juga terkena imbasnya, apalagi karena otot dinding rahim tahu-tahu berkontraksi tanpa tahu jam dan tanggal sehingga air ketuban menjadi bagai laut yang diterjang badai. Pada ibu menyusui, produksi hormon oksitosin terabaikan, akibatnya, tidak ada yang bertugas sebagai pembimbing kelenjar susu dan saluran-salurannya untuk memproduksi ASI dan mendistribusikannya ke luar, maka proses menyusui pun macet.
Sementara itu, pada ibu-ibu yang masih mengurusi anak, boro-boro memikirkan anak, masih ingat anak saja sudah bagus!
Kita dapat dengan aman dan berani menyatakan bahwa seluruh ganjalan dan masalah mental, sebut saja pola hidup yang tidak teratur, ketidakdisiplinan, apatisme, ketidakmandirian, kebiasaan-kebiasaan buruk, obsesi yang ngawur, hubungan sosial yang rusak, dan sebagainya, sampai pola pikir yang keliru, penyakit-penyakit kejiwaan yang serius, budaya yang merusak, dan kriminalitas, selain berakar terutama dari masalah spiritualitas, juga berawal dari kecemasan, kekuatiran, depresi, dan keputusasaan yang dibiarkan.
Untuk itu, para ibu, khususnya ibu hamil dan menyusui, pun para calon ibu, seyogyanya mewaspadai stres ini. Adalah perlu untuk senantiasa memperhatikan keadaan jiwa kita, sehingga bilamana tanda-tanda awal stres muncul, sedari dini kita sudah menyadarinya, lalu bisa segera membereskannya. Guna menyukseskan upaya membersihkan pikiran, perasaan, dan hasrat ini, para ibu dan calon ibu mesti mencari dukungan sebanyak mungkin. Tidak ada gunanya berlagak kuat, ingin menanggulangi semuanya seorang diri. Itu malah berbahaya. Selain dengan Tuhan, jalinlah hubungan yang lebih mesra lagi dengan suami, calon suami, anak-anak lain, orangtua, mertua, calon mertua, kakak-adik, famili, para sahabat, juga para tetangga. Tapi jelas, harus selektif juga. Tidak semua orang bisa kita andalkan. Perlu keawasan yang mumpuni untuk memilih orang-orang, terutama dari kalangan di luar keluarga dan sanak-famili, yang akan direkrut untuk bergabung dalam skuad Penanggulangan Stres. Sekali lagi, semoga tidak bosan, kejelian itu hanya bisa didapatkan dari hati atau roh yang bening, dan kebeningan roh itu cuma dimungkinkan jika dan hanya jika hubungan dengan Tuhan akrab.
Yang patut diperhatikan juga, kata kunci bagi soal mental ini adalah “bahagia” dan “puas”. Orang yang bahagia memang tetap bisa diserang rasa tertekan, tapi yang pasti, depresi itu takkan sanggup berkuasa atasnya. Orang yang puas memang tetap dapat diguncang kepanikan dan kekuatiran, namun yang jelas, kecemasan itu takkan mampu bertahta dalam dirinya. Masalahnya, dan ini perlu selalu kita ingat, siapapun dan apapun, manusia, malaikat, hewan, tumbuhan, iblis, setan, jin, uang, dan materi, yang sanggup dan wajib membuat kita bahagia dan puas. Bagaimana dengan Tuhan? Sudah terlalu jelas, terlalu mudah bagi Tuhan untuk membahagiakan dan memuaskan kita, tapi Dia tidak wajib melakukannya. Jadi, satu-satunya yang mampu sekaligus wajib membuat kita puas dan bahagia adalah diri kita sendiri!
Peran orang-orang terdekat dan lingkungan
Lingkungan pun memiliki tanggung jawab moral untuk membantu dan mendukung para ibu dan calon ibu agar berspiritualitas dan bermental sehat. Para suami harus menjadi imam yang benar agar menjadi contoh dan teladan yang sungguh-sungguh baik; oleh karenanya, para suami pun dituntut untuk mempunyai spiritualitas dan mental yang lebih sehat lagi. Dengan begitu, suami akan mempunyai dasar yang kokoh untuk mendesak, daya persuasi yang kuat untuk mengajak, dan alasan yang tak terbantahkan untuk menasehati dan mengimbau isterinya supaya mau membina hubungan yang mesra pula dengan Tuhan dan membentuk sendiri kebahagiaan dan kepuasan dirinya. Bukan malah menghalang-halangi, apalagi pakai cara kekerasan, bilamana sang isteri merintis relasi dengan Sang Khalik, lalu juga menjadi sumber stres baginya. Lebih-lebih kalau mencontohkan yang tidak benar dengan berbuat kriminal, melakukan korupsi, bahkan melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)! Apalagi menyuruh sang isteri berbuat yang tidak benar, berbuat murtad, menjual diri, dan sebagainya! Amit-amit!
Semua itu juga dapat mulai diberlakukan kepada para calon suami sejak sebelum pernikahan. Dengan begitu, berarti para calon suami pun harus memperhatikan kesehatan spiritualitas dan jiwanya sendiri. Bukan malah menjerumuskan sang pujaan hati dengan menodai kesuciannya sebelum menikah!
Demikian pula orangtua dan mertua. Jangan malah mengejek atau bahkan mengecam anak atau menantu perempuannya yang giat mencari dan menaati Tuhan! Terlebih menghalang-halangi, melarang, dan mengutuk. Apalagi sampai juga ikut menyuruh sang anak atau menantu perempuan untuk berbuat dosa! Justru sebaliknya, orangtua dan mertua pun teramat wajib menjadi teladan, motivator, dan penasehat kesehatan spiritual! Jangan juga menjadi beban bagi anak atau menantu perempuan! Tidak usah membebaninya dengan mengungkit-ungkit masa lalu, atau menyinggung soal utang budi terhadap orangtua dan keharusan berbakti! Itu akan menjadi pemicu stres baginya. Justru saat sang anak atau menantu perempuan depresi atau merasa cemas, orangtua dan mertua harus siap di belakang mereka sebagai penopang agar ia tidak terjatuh!
Anak-anak yang lain yang sudah cukup dewasa, jika si ibu tengah hamil atau menyusui atau merawat adik mereka, harus menghargai saat-saat di mana ibunya ingin menyendiri untuk berdoa dan membaca Kitab Suci, tidak rewel meminta perhatiannya secara berlebihan, dan tidak mengganggu ketenangan hatinya dengan cara apapun.
Kakak-adik dan saudara-saudara ipar pun bertanggung jawab untuk membantu dan mendukung. Tidak menjadi batu sandungan bagi saudara mereka yang tengah hamil, menyusui, atau merawat balitanya itu, apalagi mengajaknya melakukan hal-hal yang tidak terpuji dan menghasutnya dengan kabar yang tidak-tidak. Begitu pula dengan teman-teman dan tetangga.
Para rohaniwan, aktivis keagamaan, dan ulama harus tanggap terhadap kesehatan spiritual dan mental umat wanitanya yang sedang hamil, menyusui, dan memiliki anak kecil. Tindakan proaktif perlu dilakukan, tidak menunggu secara pasif saja sampai sang umat datang kepadanya dulu setelah berton-ton masalah menghimpitnya sampai hampir mati baru ditolong. Tapi itu harus dilakukan sembari tetap menjunjung hak pribadi, privasi, dan kerahasiaan; tidak menghakimi, vulgar, nyinyir, ikut campur, “mau tau aja”, apalagi sampai jadi “ember bocor”. Begitu juga para konselor, psikolog, psikiater, dan psikoanalis.
Penutup
Sudah seyogyanya kita memperhatikan kesehatan ibu dan anak dengan cara yang menyeluruh (holistik) dan terpadu (integral). Sebab, selama ini, jikalau kita membahas tema ini, maka yang lebih banyak dikupas adalah kesehatan fisik. Itu tidak salah. Yang salah adalah kalau kita tidak memiliki paradigma tentang keutuhan kesatuan pribadi manusia. Kita sibuk mencari solusi bagi masalah tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi, juga giat mengkaji pencegahan-pencegahan yang sedini mungkin atas resiko kehamilan dan cacat bayi. Tapi kita segera mendapati, solusi dan pencegahan yang sudah kita peroleh dan terapkan ternyata hanya membuahkan hasil yang mengecewakan, tidak signifikan, bahkan cuma temporal, singkat sekali. Sesudah itu, masalah segera kembali. Lebih banyak, lebih besar, dan lebih kompleks lagi daripada sebelumnya. Dan kitapun kembali tenggelam dalam pencarian solusi dan pencegahan. Dan proses yang sama berulang kembali. Terus dan terus, bagai lingkaran setan. Kita tidak mudeng bahwa ada sesuatu yang salah. Memang, dalam hidup di dunia yang fana ini, masalah apapun dalam bidang apapun tidak akan mungkin pernah selesai dan tuntas total sama sekali lalu takkan pernah kembali-kembali lagi. Akan tetapi, jika pengulangan itu terjadi dalam waktu yang amat singkat, baru saja kita mendapat solusi, kemudian mengaplikasikannya, tapi hanya secuil saja dari problema yang bisa diatasi, dan baru saja kita melakukan upaya pencegahan namun cuma sebagian kecil saja dari masalah yang dapat kita bendung, malah datang lagi “saudara-saudara” dari masalah itu dalam jumlah yang jauh lebih besar, maka mestinya kita langsung tersadar, solusi dan usaha pencegahan itu tidak efektif. Ada aspek-aspek yang belum kita sentuh, yakni aspek-aspek spiritual, mental, dan sosial, padahal justru dalam hal-hal itulah akar-akar dari berbagai masalah itu menggurita, atau dalam hal-hal itulah “kanker-kanker” tersebut sudah menyebar luas dan berpenetrasi hingga dalam.
Di samping itu, penanganan masalah-masalah fisik ibu dan anak yang luar biasa lamban secara sudah tidak masuk akal itu konon disebabkan karena para pemimpin dan para pembuat kebijakan sendiri pun sudah rusak secara spiritual, moral, dan mental. Itulah sebabnya mereka tidak peduli pada semakin banyak perempuan warga masyarakatnya dan anak-anak bangsanya menderita dan kehilangan nyawa sia-sia, pikiran mereka hanya penuh dengan diri mereka sendiri. Kalaupun ada orang lain yang mereka pikirkan, paling-paling itu keluarga dan kalangan terdekat mereka saja.
Dan terakhir, wajib kita semua, teristimewa para ibu dan calon ibu, merenungkan: apa gunanya memiliki anak yang sehat, sempurna, dan fit secara fisik tetapi berkarakter buruk dan tidak bermoral sehingga menjadi seseorang yang senantiasa menjadi masalah bagi dirinya sendiri, orangtua, keluarga, dan masyarakat?!
(Artikel ini juga dapat dibaca dalam http://nutrisiuntukbangsa.org/blog-writing-competition/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar