Ada satu benda yang diburu semua orang di dunia. Tidak terkecuali Anda dan saya. Dalam tidur, kita memimpikannya. Waktu sendirian, kita merindukannya. Ketika bersama orang tercinta, kita menyebut-nyebut dan menanti-nantikannya. Kala bekerja, kita mengejarnya.
Benda itu adalah KEBAHAGIAAN.
Tapi, bukankah dalam kenyataannya kebahagiaan susah kita raih? Bahkan, seandainya kita sudah menggenggamnya, bukankah ia sering berkhianat dan akhirnya pergi meninggalkan kita lagi? Saya dulu bertanya-tanya, apa dan bagaimana kebahagiaan yang sejati itu.
Saya tidak berani bilang kalau saya sudah paham betul segalanya tentang kebahagiaan, tapi memang ada sedikit yang saya mengerti, dan saya ingin membagikannya.
Pertama, “bahagia” itu sama dengan “merasa lengkap”. Maksudnya, jika kita bahagia, itu artinya kita merasa hidup kita sudah komplet, tidak ada kebutuhan yang belum terpenuhi.
Kedua, kebahagiaan tidak datang dari luar melainkan dari dalam. Alih-alih mencari dan mengejarnya, kita harus memproduksinya sendiri. Suami, isteri, orangtua, anak, saudara, sahabat, musuh, uang, harta, lingkungan, keadaan ekonomi, situasi keamanan, serta siapa pun dan apa pun juga tidak mungkin dapat membuat kita bahagia atau tidak bahagia: hanya pikiran, perasaan, dan kemauan kita sendiri yang bisa. Sebaliknya, kita pun takkan pernah bisa membuat orang lain bahagia atau tidak. Kesimpulannya, tiap-tiap kita bertanggung jawab atas kebahagiaan diri masing-masing saja.
Ketiga, untuk memproduksinya, kita perlu bahan baku. Dan harus kita sendiri juga yang merakitnya. Sebab, bahan baku itu hanya satu: rasa syukur; namun ia terdiri dari tiga komponen yang harus disatukan: pertama, kesadaran dan keyakinan bahwa kita sudah berada dalam keadaan selamat; kedua, kelegaan dan kegembiraan karena akhirnya kita selamat; dan ketiga, rasa berutang budi dan berterimakasih yang tak habis-habis pada orang yang telah membuat kita selamat.
Suatu hari, buku tulis anak Anda hilang. Buku itu dicetak khusus oleh sekolah, tidak dapat dibeli di mana pun; murid harus mengerjakan PR di buku tersebut, tidak boleh di buku lain. Masalahnya, sekolah hanya mencetaknya di awal tahun ajaran dalam jumlah yang pas sesuai pesanan. Jadi hari-hari sekarang, buku itu tidak tersedia. Lalu, orangtua teman anak Anda menawarkan buku itu secara gratis, sebab mereka kelebihan satu buku waktu membeli. Alhasil, anak Anda selamat dari nilai jelek dan hukuman guru; kalian jelas lega dan senang, serta sangat berterimakasih dan merasa berutang budi pada keluarga itu. Singkatnya, kalian bersyukur.
Contoh di atas amat sederhana. Sekarang, saya akan perhadapkan Anda pada kasus yang paling besar, berat, dan rumit: apa yang akan terjadi pada kita setelah meninggal?
Jujurlah, bukankah hati kecil kita mengakui bahwa kita sama sekali tidak pantas untuk tinggal bersama Tuhan Yang Mahakudus dan Mahasuci itu di sorga, dan sebenarnya harus pergi ke neraka dan binasa selamanya akibat dosa kita?
KABAR BAIK!!! Tuhan mencintai kita secara tak terbatas! Ia mau kita tinggal bersama-Nya. Ia mau hidup bersama kita. Bukan cuma nanti di sorga, tapi dari sekarang juga! Caranya, Ia mengutus Putera-Nya menjadi manusia Yesus Kristus, membebankan kepada-Nya seluruh dosa kita, kemudian menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam Diri Anak-Nya sendiri itu di salib.
Dengan lain kata, Yesus Kristus adalah Penyelamat manusia dari perhambaan dan kutuk dosa. Yang Ia tanya pada kita adalah mau/tidak kita meninggalkan semua dosa, menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi, lalu menyerahkan hidup kepada-Nya.
Saya sarankan Anda terima tawaran itu. Terlalu berharga untuk ditolak, Kawan! Berdoalah kepada Tuhan Yesus, akui semua dosamu, dan mohon supaya Ia menjadi Raja dalam hatimu. Setelah itu, sadarilah dan yakinlah bahwa keselamatan jiwa dan hidup kekal Anda sudah terjamin, hiruplah udara dan tertawalah sepuasnya, ungkapkan terimakasih dan rasa utang budimu tanpa henti kepada-Nya dalam ucapan syukur yang penuh kasih!
Dan karena Tuhan Yesus Kristus adalah “hidup komplet” itu sendiri, maka setelah itu, otomatis, kebahagiaan terbesar pun niscaya menjadi milikmu! Amin!!
Benda itu adalah KEBAHAGIAAN.
Tapi, bukankah dalam kenyataannya kebahagiaan susah kita raih? Bahkan, seandainya kita sudah menggenggamnya, bukankah ia sering berkhianat dan akhirnya pergi meninggalkan kita lagi? Saya dulu bertanya-tanya, apa dan bagaimana kebahagiaan yang sejati itu.
Saya tidak berani bilang kalau saya sudah paham betul segalanya tentang kebahagiaan, tapi memang ada sedikit yang saya mengerti, dan saya ingin membagikannya.
Pertama, “bahagia” itu sama dengan “merasa lengkap”. Maksudnya, jika kita bahagia, itu artinya kita merasa hidup kita sudah komplet, tidak ada kebutuhan yang belum terpenuhi.
Kedua, kebahagiaan tidak datang dari luar melainkan dari dalam. Alih-alih mencari dan mengejarnya, kita harus memproduksinya sendiri. Suami, isteri, orangtua, anak, saudara, sahabat, musuh, uang, harta, lingkungan, keadaan ekonomi, situasi keamanan, serta siapa pun dan apa pun juga tidak mungkin dapat membuat kita bahagia atau tidak bahagia: hanya pikiran, perasaan, dan kemauan kita sendiri yang bisa. Sebaliknya, kita pun takkan pernah bisa membuat orang lain bahagia atau tidak. Kesimpulannya, tiap-tiap kita bertanggung jawab atas kebahagiaan diri masing-masing saja.
Ketiga, untuk memproduksinya, kita perlu bahan baku. Dan harus kita sendiri juga yang merakitnya. Sebab, bahan baku itu hanya satu: rasa syukur; namun ia terdiri dari tiga komponen yang harus disatukan: pertama, kesadaran dan keyakinan bahwa kita sudah berada dalam keadaan selamat; kedua, kelegaan dan kegembiraan karena akhirnya kita selamat; dan ketiga, rasa berutang budi dan berterimakasih yang tak habis-habis pada orang yang telah membuat kita selamat.
Suatu hari, buku tulis anak Anda hilang. Buku itu dicetak khusus oleh sekolah, tidak dapat dibeli di mana pun; murid harus mengerjakan PR di buku tersebut, tidak boleh di buku lain. Masalahnya, sekolah hanya mencetaknya di awal tahun ajaran dalam jumlah yang pas sesuai pesanan. Jadi hari-hari sekarang, buku itu tidak tersedia. Lalu, orangtua teman anak Anda menawarkan buku itu secara gratis, sebab mereka kelebihan satu buku waktu membeli. Alhasil, anak Anda selamat dari nilai jelek dan hukuman guru; kalian jelas lega dan senang, serta sangat berterimakasih dan merasa berutang budi pada keluarga itu. Singkatnya, kalian bersyukur.
Contoh di atas amat sederhana. Sekarang, saya akan perhadapkan Anda pada kasus yang paling besar, berat, dan rumit: apa yang akan terjadi pada kita setelah meninggal?
Jujurlah, bukankah hati kecil kita mengakui bahwa kita sama sekali tidak pantas untuk tinggal bersama Tuhan Yang Mahakudus dan Mahasuci itu di sorga, dan sebenarnya harus pergi ke neraka dan binasa selamanya akibat dosa kita?
KABAR BAIK!!! Tuhan mencintai kita secara tak terbatas! Ia mau kita tinggal bersama-Nya. Ia mau hidup bersama kita. Bukan cuma nanti di sorga, tapi dari sekarang juga! Caranya, Ia mengutus Putera-Nya menjadi manusia Yesus Kristus, membebankan kepada-Nya seluruh dosa kita, kemudian menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam Diri Anak-Nya sendiri itu di salib.
Dengan lain kata, Yesus Kristus adalah Penyelamat manusia dari perhambaan dan kutuk dosa. Yang Ia tanya pada kita adalah mau/tidak kita meninggalkan semua dosa, menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi, lalu menyerahkan hidup kepada-Nya.
Saya sarankan Anda terima tawaran itu. Terlalu berharga untuk ditolak, Kawan! Berdoalah kepada Tuhan Yesus, akui semua dosamu, dan mohon supaya Ia menjadi Raja dalam hatimu. Setelah itu, sadarilah dan yakinlah bahwa keselamatan jiwa dan hidup kekal Anda sudah terjamin, hiruplah udara dan tertawalah sepuasnya, ungkapkan terimakasih dan rasa utang budimu tanpa henti kepada-Nya dalam ucapan syukur yang penuh kasih!
Dan karena Tuhan Yesus Kristus adalah “hidup komplet” itu sendiri, maka setelah itu, otomatis, kebahagiaan terbesar pun niscaya menjadi milikmu! Amin!!
(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-27, Agustus 2011, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar