Jumat, 30 Maret 2012

Media Sosial Sebagai Ajang Ampuh Citizen Journalism di Tahun 2012


Belakangan, penggunaan media sosial bertambah marak. Lapisan masyarakat yang menggunakannya juga kian beragam, bahkan hampir seluruh golongan dan kelas melakukannya. Dengan Facebook dan Twitter sebagai kedua ujung tombak terdepan, media sosial terbukti handal sebagai wahana untuk banyak hal. Apalagi setelah banyak pihak seperti Arwuda Indonesia (Social Media Agency) yang berinisiatif menyosialisasikan segala hal tentang media sosial kepada masyarakat, mulai dari pengenalan awal akan apa itu media sosial, apa saja yang dapat kita lakukan dengan media sosial, dan seterusnya.

Pemasaran, baik produk bermerek maupun tidak bermerek, dapat diakomodasi oleh media sosial. Terbukti dengan menyeluruhnya produsen-produsen dan distributor-distributor dari segala brand yang merasakan manfaat Facebook dan Twitter, dengan strategi marketing yang berbasiskan kuis, lomba, dan kontes. Tapi tak kalah dengan pihak-pihak tersebut, orang-orang awam yang mempunyai bakat untuk membuat kerajinan tangan dan menulis, misalnya, juga telah mempromosikan karya mereka lewat kedua media sosial tersebut, dan memang, tidak sedikit dari mereka yang telah menuai buah manisnya.

Sementara itu, untuk kalangan lain, tidak semata keuntungan dalam segi bisnis yang menjadi keuntungan andalan media sosial. Sebagai tempat curhat, menumpahkan uneg-uneg, pamer, dan gaya mengaktualisasikan diri lainnya, itulah manfaat Facebook dan Twitter bagi kalangan muda. Mereka juga kerap mencari kepuasan dalam berbagai bentuk dari kedua media sosial tersebut, misalnya untuk mencari tweet-tweet dan post-post jenaka, mencari tahu apa yang sedang dilakukan dan dialami artis idola mereka, dan mencari informasi tentang apa saja yang sedang happening pada suatu term waktu. Dan tak ketinggalan, lewat Facebook dan Twitter, mereka mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman, memperoleh kenalan dan teman baru, atau untuk “bersosialisasi” dalam bentuk lainnya, seperti menyatakan isi hati kepada kekasih, sampai, negatifnya, memaki-maki musuh. Dan hal-hal itulah yang justru lebih awal dipandang sebagai manfaat media sosial ketimbang pemasaran.

Hal-hal di atas tidak hanya menjadi terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia pun seperti itu. Media sosial tidak lain adalah pemrasaran dan peneguh bukti bahwa manusia tidak bisa mengingkari kodratnya sebagai makhluk sosial. Manusia memerlukan satu sama lain, bahkan untuk mengaktualisasikan diri sekalipun. Dan manusia membutuhkan keterhubungan satu dengan yang lain, seberapapun kuatnya manusia sendiri berusaha menyangkalinya.

Interkoneksitas ini dijalin oleh 2 hal: aspirasi dan informasi. Keduanya, aspriasi dan informasi, membutuhkan keterbukaan/transparansi dan keseimbangan alur timbal-balik sebagai atmosfer untuk dapat berjalan lancar. Artinya, kita tidak hanya harus terbuka dalam menyampaikan aspirasi tapi juga perlu terbuka dalam menerima aspirasi pihak lain, dan bukan hanya kita punya hak untuk beraspriasi sebebas-bebasnya, tapi kita juga butuh menghargai hak dan kebebasan beraspirasi orang lain; demikian pula halnya dengan informasi. Tanpa kedua kondisi atmosfer tersebut, arus aspirasi dan informasi akan mandeg dan tidak sehat. Bila sudah begitu, keterhubungan akan disfungsi, bahkan barangkali bisa sampai mati. Keadaan inilah yang menjadi akar dari berbagai permasalahan sosial. Kita dapat dengan mudah melihatnya jika kita menengok sebentar ke belakang: penderitaan akibat dikekangnya hak manusia untuk berpendapat, serta juga kebobrokan yang kian membusuk dan akhirnya menghancurkan sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan akibat pembungkaman masif pers dalam masa kekuasaan rezim-rezim otoriter, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Mungkin para penguasa tersebut tidak mengekang hak berpendapat dan juga tidak membungkam kebebasan pers dalam bentuk yang vulgar dan eksplisit seperti itu, namun dalam bentuk yang tidak langsung dan bersifat “tersembunyi di bawah permukaan”. Rakyat diizinkan berbicara sebebas-bebasnya, tapi aspirasi mereka alih-alih direalisasikan dengan segera, ditanggapi bahkan didengarpun tidak. Rakyat juga boleh-boleh saja menuntut informasi apa saja, pers pun dipersilakan menggali dan menyampaikan informasi apapun, tapi penguasa sudah menyiapkan skenario sedemikian rupa sehingga fakta yang tersaji adalah fakta palsu yang kemudian akan melahirkan informasi yang sama sekali sesat. Bukan kebenaran dan keadilan yang berotoritas dan menjadi basis, tapi kepentingan-kepentingan pelbagai kelompok di kalangan atas.

Yang kerap diabaikan para penguasa seperti itu adalah realita bahwa manusia, baik rakyat maupun insan pers, memiliki kemampuan untuk mendeteksi ketidakberesan sebagai konsekuensi diinjak-injaknya kebenaran dan keadilan. Dan yang barangkali dilupakan atau tidak disadari penguasa adalah sifat likuid dari hakekat sosialnya manusia. Setiap kali ada defek dalam kehidupan sosial yang terdeteksi oleh manusia, manusia akan secara naluriah mencari segala cara untuk menutup defek tersebut. Setiap kali ada ketidakberesan dalam sebuah informasi yang tercium oleh seseorang atau sekelompok orang, orang atau kelompok tersebut akan mencari jalan lain untuk mendapatkan dan juga menyebarluaskan informasi yang benar.

Dan dalam satu-dua tahun terakhir ini, sehubung mengulminasinya kepalsuan, yang secara logis menyebabkan memuncaknya kejengahan masyarakat, muncullah trend baru di mana masyarakat awam kini mengambil tugas sekaligus hak rangkap: bukan cuma pasif sebagai penerima informasi namun juga sebagai penyaji dan penyebarluas informasi, yang bukan melulu karena ketidakpercayaan pada institusi pers yang formal, melainkan juga karena kehausan akan kebenaran dan keadilan yang sudah tak tertahankan lagi, baik untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan maupun untuk melihat orang lain mendapatkan kebenaran dan keadilan. Itulah fenomena yang dikenal sebagai citizen journalism, jurnalisme warga, jurnalisme awam.

Banyak institusi media yang sudah memfasilitasi citizen journalism. Di Indonesia pun sudah mulai ramai. Dan itu bukan inisiatif yang buruk. Hanya, biar bagaimanapun, wadah tersebut tetap saja sarat limitasi. Sebut saja: keterbatasan durasi tayang media televisi ataupun durasi siar media elektronik lainnya, kode etik jurnalisme, juga pencegahan terhadap hal-hal sensitif seperti isu SARA, hal-hal yang mengandung unsur pornografi, yang mencemarkan dan menjelek-jelekkan suatu pihak, yang menghasut dan mengagitasi, atau yang mengandung kekerasan. Masalahnya, pertama, masyarakat sudah muak dengan pembatasan, jadi bagaimanapun baiknya niat di balik penerapan pembatasan itu, pasti masyarakat tetap akan berprasangka buruk terhadapnya, sebab masyarakat menginginkan sesedikit mungkin (bahkan, kalau perlu, tidak ada!) pembatasan/limitasi; dan kedua, kalau semua pihak mau jujur, kita akan mendapati bahwa pembatasan itu memang diterapkan secara sepihak oleh pihak fasilitator, dan juga sesungguhnya, sensitif atau tidaknya sesuatu itu sangatlah subjektif, karena memang tidak (atau, belum) ada standar yang baku untuk menilainya.

Di sinilah media sosial kembali mengemuka. Pada media sosial, ada relatif jauh lebih sedikit limitasi. Dan bukan tidak mungkin, saat masyarakat sudah mulai merasa jenuh dan sudah mentok rasa tidak nyamannya juga dengan wadah-wadah citizen journalism normatif yang kini ada, ledakan citizen journalism di media-media sosial akan terjadi. Dan ada kemungkinan, itu akan terjadi dalam tahun 2012 ini juga, lalu menjadi trend baru yang akan berlanjut di tahun-tahun berikutnya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

dan akan banyak orang yang dituntut sebab dianggap menghina melalui fb dan twit...