Jumat, 16 September 2011

Gaya Puasa Terbalik “Osama bin Laden”




 
Jam tujuh kurang sepuluh pagi, sewaktu aku tiba di bangsal perawatan pasien Psikiatri Rumah Sakit Hassan Sadikin (RSHS), Bandung, aku, beberapa rekan ko-ass, dan para perawat dikejutkan oleh kedatangan tiga orang polisi yang didampingi dua orang perawat pria. Mereka membawa masuk seorang lelaki berumur kira-kira dua puluh tahunan. Penampilannya benar-benar lusuh dan kotor. Rambutnya panjang dan gimbal. Muka dan sekujur badannya penuh debu bercampur lumpur, membuat kulit gelapnya semakin tampak kusam. Dia merunduk terus, tidak bersuara bahkan tidak berespon sama sekali kala diajak bicara.

Dalam waktu singkat, suasana pagi di bangsal itu yang biasanya masih sepi kali itu mendadak ramai. Pasien-pasien lain mulai berkerumun, ingin melihat orang baru yang nampak aneh itu.

Menurut para polisi, orang itu ditemukan warga Ciroyom sedang tertidur di tengah pasar pada waktu orang-orang tengah sibuk berbelanja makanan untuk sahur. Polisi langsung dihubungi. Saat dibangunkan dan tidak menanggapi sedikit pun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya, polisi segera menelepon RSHS untuk menjemput orang yang disinyalir menderita gangguan jiwa tersebut.

Mengingat saat itu hari Senin, hari visite bagi para pasien, hampir semua konsulen (dokter spesialis senior) Bagian Kedokteran Jiwa datang. Jadinya, sejak awal sekali mereka sudah dapat langsung memeriksa sang pasien baru, karena biasanya, bila konsulen belum atau tidak datang, pasien baru diperiksa terlebih dahulu oleh para dokter residen (dokter yang sedang mengambil spesialisasi), dibantu para ko-ass seperti aku.

Tapi bahkan para konsulen yang paling ahli pun tidak sanggup membuat laki-laki itu berespon ataupun bicara. Mereka menyerahkan pasien tersebut kepada para residen, ko-ass, dan perawat untuk mengobservasi terus keadaannya, sembari memberi terapi yang mereka instruksikan.

Seperti biasa, pasien yang identitasnya belum diketahui diberi identifikasi “Mr.X”, atau “Ms.X” bila perempuan. Namun, kami, para ko-ass dan perawat, memberi julukan tambahan khusus untuk pasien misterius yang satu ini, yaitu “Osama bin Laden”, karena saat itu adalah akhir November 2011, sehingga tragedi menara kembar WTC New York tanggal 11 September sebelumnya masih hangat, dan nama Osama bin Laden sedang menjadi topik pembicaraan paling hangat di seluruh dunia.

Bagiku yang sedang menempuh pendidikan koasistensi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang sehari-harinya bertugas di RSHS, minggu keduaku di bagian Psikiatri itu menjadi pengalaman yang berkesan sekaligus berharga. Sesuai prosedur dan instruksi, aku dan teman-teman ko-ass lain selama beberapa hari terus memantau “Osama bin Laden”, mencoba berinteraksi dan membangun komunikasi dengannnya, sambil membantu para perawat memberinya makan dan obat.

Usaha kami tidak sia-sia.

Pada akhir pekan itu, ia untuk pertama kalinya memberi respon saat aku dan teman-teman mengajaknya mengobrol. Meski hanya satu-dua detik, dia sudah mau mendongak dan memandang ke arah kami. Dan sekalipun terlihat seperti seringai yang agak menakutkan, kami tahu dia bermaksud tersenyum.

Senin berikutnya, tepat satu minggu kehadirannya, “Osama” mulai buka suara. Memang, hanya satu kata-satu kata saja tiap kali. Tapi, dia sudah bicara saja sudah merupakan tanda-tanda yang menggembirakan. Berarti, terapi dan perawatan yang selama ini kami berikan mulai membuahkan hasil. Lebih jauh lagi, dia pun sudah dapat mengikuti instruksi yang diberikan, seperti kalau disuruh ambil obat dari loket yang dijaga seorang perawat atau untuk mengambil jatah makanannya sendiri. Itu tandanya dia mengerti bahasa, dan asosiasinya sudah membaik.

Perkembangannya makin lama makin bagus. Beberapa hari kemudian, walaupun tetap masih satu-dua patah kata saja ucapannya, tapi dia sudah mampu bercakap-cakap.

Dan ada satu hal yang bagi semua orang sangat lucu.

Rupanya, “Osama” sudah mulai “terhubung” dengan realita, sehingga dia tahu kalau saat itu sedang bulan puasa. Rupanya pula, dia juga seorang Islam. Kata-kata pendek dan patah-patahnya cukup kami mengerti, mengisyaratkan bahwa dia ingin ikut berpuasa. Nah, yang lucu itu gaya puasanya! Kejadiannya sendiri tidak kusaksikan langsung. Aku, juga teman-teman ko-ass, para konsulen, residen, dan beberapa perawat hanya mendengar ceritanya dari perawat-perawat yang bertugas jaga malam dan juga dari para pasien lainnya.

Waktu yang lainnya berbuka puasa, dia ikut makan. Tapi malamnya, “Osama” tidak tidur sama sekali. Disuruh tidur pun dia tidak bergeming. Salah seorang perawat mengamatinya terus. Sepanjang malam hingga pagi, “Osama” tidak merokok. Padahal, semenjak sudah bisa diajak berinteraksi, selama tidak tidur, dia merokok seperti kereta api, hampir tak berhenti mengepul, sebab selalu dia langsung minta rokok lagi dari ko-ass atau dari perawat saat rokok di tangannya habis.

Ketika dini hari, saat yang lainnya makan sahur, dia pun ikut makan. Setelah itu, dia sholat. Para perawat jaga menyangkanya sholat subuh. Tapi mereka heran, lama sekali si “Osama” sholat. Dan sehabis sholat, tahu-tahu dia minta rokok! Dia juga minta minum. Satu jam kemudian, dia minta makan. Dan kira-kira dua-tiga jam berikutnya lagi, kala kami, para ko-ass, residen, dan perawat baru beberapa menit datang berdinas, dia tidur. Sepanjang hari itu dia tidur, sehingga kami tidak lagi bisa lama-lama mengobrol dengannya seperti sebelumnya. Dari perawat jaga juga kami baru tahu, dia baru bangun setengah atau satu jam sebelum saat bedug magrib.

Setelah dia melakukan itu beberapa hari, jelas, itu membuat kami penasaran! Jadi, kami putuskan untuk menyempatkan diri menginap selama beberapa malam di bangsal agar bisa mengamatinya sekaligus menanyakan padanya mengapa ia berperilaku seperti itu.

Barulah saat itu kami tahu. Ternyata, sehabis magrib, saat yang lain tidak berpuasa, dia malah puasa; dan sebaliknya, saat subuh, ketika yang lainnya berpuasa sehabis sahur, dia malah tidak berpuasa!

Kami berusaha menjelaskan padanya bahwa kelakuannya itu terbalik. Tapi dia bersikukuh. Kami tanyakan alasannya melakukan hal itu. Tapi dia tidak menjawab. Beberapa kali kami tanyakan, dia tetap tidak menjawab. Entah karena dia sendiri tidak punya alasan, ataukah dia belum mampu merumuskan penjelasan untuk alasannya, ataukah ada hal yang lain, kami tidak tahu.

Sampai hari terakhir masa pendidikanku di Bagian Psikiatri, yang bersamaan waktunya dengan malam takbiran, aku dan semua orang tetap tidak tahu. “Osama” tetap tidak bungkam tentang keanehannya itu. Dan dia juga tetap tidak mau mengubah perilakunya betapapun gigihnya kami berusaha menyadarkannya.

Hanya tawa geli saja yang dapat kami lakukan setiap kali melihatnya.

Dan cuma tawa geli saja yang dapat kulakukan tiap kali aku mengingatnya!

Tidak ada komentar: