Domisili Penulis:
Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.
Saya beberapa kali menghadapi kasus HIV-AIDS. Terutama sejak
menempuh studi kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
Bandung, di R.S. Hassan Sadikin. Karena saya terikat Kode Etik dan Sumpah
Profesi Kedokteran, di sini saya tidak akan menyebutkan satupun nama, waktu,
peristiwa, dan apapun berkenaan dengan orang-orang pengidap HIV-AIDS yang saya
temui, pula tentang keluarga, orang-orang terdekat, lingkungan, serta profesi mereka,
dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, yang saya paparkan adalah temuan-temuan
saya selama berinteraksi dengan HIV-AIDS dan para penderitanya, juga beberapa
hal yang saya simpulkan setelah melakukan berbagai pemikiran dan analisa.
Hal-hal yang saya dapatkan di lapangan adalah sebagai
berikut:
1. Masih sangat banyak sekali orang yang belum memahami
secara menyeluruh apa itu HIV-AIDS. Bahkan termasuk para penderitanya sendiri
dan orang-orang terdekatnya. Kekurang-pahaman ini besar sekali pengaruhnya
terhadap tingkat penyebaran penyakit berbahaya ini, sekaligus amat berperan
dalam hal timbulnya stigma masyarakat terhadap orang-orang dengan HIV-AIDS
(ODHA).
2. Temuan kedua ini membuat saya terkejut serta juga geram,
terpukul, dan sedih. Di antara orang-orang yang sudah mengenal betul segalanya
tentang HIV-AIDS, terutama mereka yang berada di kalangan medis dan dunia
kesehatan, seperti dokter, perawat, mahasiswa kedokteran, personel staf rumah
sakit dan farmasi, saya temukan kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka ternyata
tetap memberikan stigma terhadap ODHA!
3. Yang lebih memprihatinkan, sebagian dari mereka juga
memiliki gaya hidup dan perilaku yang beresiko tinggi terkena HIV-AIDS!
Pengetahuan yang mereka kuasai secara mumpuni rupanya tidak menghentikan mereka
dari aktivitas seksual di luar nikah dengan pasangan lebih dari satu dan dari
penggunaan narkoba dengan jarum suntik.
4. Golongan usia remaja, yaitu mereka yang berusia belasan
tahun, adalah golongan yang paling rentan terhadap HIV-AIDS. Pertama, mereka
paling rentan terkena penyakit itu sendiri. Kondisi kejiwaan yang sedang
labil-labilnya akibat gelora yang memang sedang puncak-puncaknya dari proses
pencarian dan pengukuhan jatidiri, ditambah pengaruh kuat lingkungan pergaulan,
menempatkan diri mereka tepat di bibir jurang gaya hidup dan perilaku beresiko
HIV-AIDS.
Kedua, mereka juga paling rentan mengalami keterpurukan dan
kehancuran pribadi dan psikologis jika mereka terkena, apalagi kalau kerap
berhadapan dengan stigma masyarakat. ODHA dari golongan dewasa lebih mampu
menanggung beban karena keadaan kejiwaan yang memang relatif lebih stabil dan
sudah terbentuk mantap. Sedangkan ODHA dari golongan anak-anak belum paham betul
apa yang sebenarnya tengah menggerogoti dirinya. Proses waktu juga membuat
mereka makin lama makin adaptif terhadap kenyataan. Lagipula, bisa dikatakan
amat sangat kecil kemungkinan masyarakat menjatuhkan stigma terhadap ODHA yang
anak-anak, karena mereka pun hampir pasti berpikir bahwa bukanlah kesalahan
anak-anak itu sendiri kalau sampai terkena HIV-AIDS. Berbeda dengan anak
remaja. Masyarakat yang telanjur tidak senang melihat banyaknya remaja yang
melakukan tindak-tanduk yang terkesan anti-sosial akan dengan mudahnya langsung
menyimpulkan, tanpa mau repot-repot mencari tahu kejadian yang sebenarnya,
bahwa remaja bisa sampai terkena HIV-AIDS pasti karena melakukan seks bebas dan/atau
mengonsumsi narkoba.
Fakta-fakta tersebut saya pelajari, merenungkannya, lalu
menarik beberapa kesimpulan, di antaranya adalah saran alternatif kemungkinan
solusi untuk sejumlah masalah yang berhubungan dengan HIV-AIDS. Ini hasilnya:
1. Stigma terhadap ODHA sebenarnya berangkat dari sesuatu
yang pada dasarnya sehat dan wajar, yaitu mekanisme pertahanan diri menghadapi
ancaman. Sayangnya, mekanisme ini acapkali berkembang liar tak terkendali.
Kewaspadaan berkembang menjadi ketakutan yang terlalu (paranoid). Pandangan
kita tidak lagi terfokus pada ancaman yang riil, tapi sudah merambah pada
obyek-obyek yang sebetulnya bukan ancaman namun, karena pandangan kita sudah
mengabur, kita lihat sebagai ancaman juga.
Karena itu, perlu sekali kita mengendalikan diri dalam
menangani mekanisme mental kita untuk mempertahankan diri, dan juga sangat
perlu untuk kita menata mekanisme pertahanan kita sendiri agar tetap berjalan
pada relnya dan tidak meluap dari wadahnya. Bahkan sesungguhnya, kita bisa
memanfaatkannya menjadi pendorong kita untuk mengambil tindakan-tindakan yang
benar.
Dalam poin-poin selanjutnya, kita akan melihat hal ini
secara lebih jelas.
2. Walaupun bukan satu-satunya penentu, ketidak-tahuan dan
kekurang-pahaman tetap merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan
penyebaran HIV-AIDS dan dalam melahirkan stigma. Maka, penyebaran informasi
tentang HIV-AIDS yang lengkap dan komprehensif harus terus-menerus dilakukan,
dan harus dilakukan seluas dan seintensif mungkin. Ada baiknya juga kita
menerapkan prinsip efek domino. Maksudnya, selain memberi informasi, kita juga
seyogyanya melatih beberapa dari orang-orang yang sudah menerima informasi
menyeluruh mengenai HIV-AIDS untuk menjadi penyuluh juga, paling tidak, dalam
lingkungan mereka sendiri. Dan orang-orang inipun perlu kita ingatkan agar juga
melatih orang-orang yang sudah mereka informasikan untuk dapat menjadi penyuluh
juga. Begitu seterusnya.
Namun, sebagaimana yang sudah saya saksikan, bahwa memiliki
pengetahuan yang menyeluruh tidak serta-merta menjadikan orang terhindar dari
penyakit fatal itu dan juga tidak otomatis mencegah mereka mengenakan cap
negatif pada ODHA, ternyata ada faktor lain lagi dalam penyebaran HIV-AIDS dan
lahirnya stigma.
3. Terpikirkah oleh Anda, kita selama ini sesungguhnya
tengah memerangi lawan yang salah dan berperang di medan yang keliru? Lawan
kita yang sebenarnya adalah virus HIV berikut penyakit AIDS itu sendiri dan faktor-faktor
pendukung penyebarannya. Faktor-faktor pendukung penyebaran HIV-AIDS adalah
perilaku hubungan seks dengan pasangan lebih dari satu dan penggunaan narkoba
jenis suntikan. Sehubungan dengan itu, kita sebenarnya berperang di wilayah
fisik dan non-fisik, dan wilayah non-fisiknya itu adalah gaya hidup dan
kebiasaan-kebiasaan berperilaku tidak sehat.
Barangkali hampir semua kita memang memerangi lawan yang
benar di wilayah yang juga benar. Tapi seringkali pada saat yang bersamaan,
kita juga kebablasan menghantam obyek-obyek yang seharusnya tidak kita perangi.
Masyarakat memang memerangi HIV-AIDS, tapi pada saat yang sama juga nyaris
selalu menjadikan orang-orang yang terkena HIV-AIDS itu sebagai lawan pula.
Sebaliknya, selain jelas berperang melawan virus dan penyakit yang
menggerogotinya, para ODHA pun memandang orang-orang yang bukan ODHA sebagai
musuh.
Medan perang kita juga kerap bergeser, menjadi menyempit tapi
sekaligus meluas pada saat yang sama. Dikatakan menyempit sebab kita hanya
berperang di ranah fisik saja, melupakan ranah non-fisik yang seharusnya kita
rambah juga. Tapi dalam waktu bersamaan, dapat dibilang meluas juga karena wilayah
fisik yang kita masuki menjadi lebih luas ruang lingkupnya. Mestinya, ketika
kita berperang di medan perang fisik, yang kita boleh masuki hanyalah area yang
ditempati penyakit dan aspek-aspek medisnya saja. Tapi alih-alih demikian, kita
masuki juga area yang merupakan tempat manusia dan kemanusiaannya!
Kekeliruan ini sudah mencapai taraf yang memprihatinkan.
Kita harus segera bertindak untuk meluruskannya kembali. Semua orang harus
menyadari hal ini. Semua orang, tanpa terkecuali! Jadi, itu termasuk pemerintah
dan para pemangku otoritas kebijakan lain seperti DPR, LSM-LSM dan badan-badan
sosial yang menangani HIV-AIDS, serta lembaga-lembaga dan tenaga-tenaga medis
dan juga para praktisi kesehatan.
Sebab kalau tidak, keadaan bukannya membaik, tapi malah akan
menjadi tambah memburuk, dan memburuknya itu akan jadi makin cepat. HIV-AIDS
tambah merajalela seperti tak terhentikan, sementara stigma terhadap ODHA
tambah kejam seperti tak lagi mengenal belas kasihan! Bukannya menghentikan,
ODHA malah akan semakin “giat” dalam aktivitas tidak sehatnya. Sementara itu,
orang-orang non-ODHA terus mengutuki ODHA, memvonis mereka sebagai pendosa
besar, bahkan memandang dan memperlakukan mereka seolah-olah bukan manusia;
tapi pada saat yang sama, orang-orang itu juga melakukan “dosa-dosa” yang sama,
bahkan lebih “gila” daripada ODHA sendiri! Dan orang-orang yang bukan ODHA juga
menjadi kian tidak manusiawi karena tindakan mereka menjadi semakin
kontradiktif: mereka tahu benar-benar bagaimana HIV-AIDS itu tapi mereka hidup
seakan-akan seperti tidak tahu apapun sama sekali tentang HIV-AIDS, yang
tercermin dari gaya hidup mereka yang “bebas”!
ODHA maupun non-ODHA wajib cepat menyadari bahwa kita semua
sejatinya ada di pihak yang sama dan sedang menghadapi ancaman dari musuh yang
sama. Jikalau ODHA dipandang sebagai korban, maka orang-orang yang bukan ODHA
pun adalah korban: ODHA korban aktual, non-ODHA korban potensial, sebab tak
seorangpun kebal HIV-AIDS. Kita semua sama, jadi sudah selayaknya untuk senantiasa
“bersama-sama”!
4. Kita sudah lihat, stigma merupakan bentuk penyerangan
yang salah kaprah karena yang diserang adalah orang, ODHA, obyek yang harusnya
tidak boleh diserang sebab bukan merupakan musuh. Sebelumnya, kita juga sudah
melihat, stigma sebenarnya berakar dari kewaspadaan yang sehat dan berdasar.
Artinya, stigma itu sendiri adalah akibat. Ia adalah buah dari pergeseran
paradigma.
Jadi, stigma pun bukan musuh yang sebenarnya! Tapi betapa
seringnya kita berniat dan berusaha memerangi stigma dengan tujuan untuk
meredam dan, kalau mungkin, meniadakannya. Tapi betapa nyata juga kita lihat
bahwa upaya itu sama sekali tidak berhasil. Banyak orang berpikir, dengan
meniadakan stigma, ODHA akan dapat diperlakukan sebagaimana semestinya. Orang
juga berharap, dengan menghilangkan stigma, HIV-AIDS akan menurun penyebarannya
sebagai hasil dari semakin terbukanya diri ODHA sehingga dapat dengan leluasa
berbagi pengalaman dengan orang-orang lain yang tidak mengidap HIV-AIDS supaya
mereka tidak ikut terkena. Tapi dalam prakteknya, pemikiran dan harapan itu
semakin jauh untuk menjadi kenyataan! Mengapa? Karena yang kita lakukan
sebenarnya keliru sama sekali! Stigma hanyalah buah, bukan akarnya.
Kita harus memerangi akarnya. Tadi sudah kita lihat, medan
peperangan kita juga mencakup wilayah non-fisik. Wilayah itu adalah alam
pemikiran. Alam pemikiran inilah yang melahirkan gaya hidup. Alam pemikiran
atau paradigma yang keliru menghasilkan gaya hidup yang rusak, yang kemudian
menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang merusak seperti pola seks berganti-ganti
pasangan dan mengonsumsi narkoba. Paradigma atau pola pikir yang salah
mengakibatkan manajemen mekanisme pertahanan mental menjadi salah juga, yang
kemudian menghasilkan kekhawatiran yang berlebihan dan respon yang tidak
rasional.
5. Sebagaimana kita sudah maklum, kelompok usia remaja
adalah kelompok yang paling rentan dalam hal HIV-AIDS, baik rentan terhadap
kemungkinan menjadi ODHA maupun rentan terhadap kehancuran mental dan pribadi
ketika akhirnya benar-benar terjangkiti HIV-AIDS. Yang harus diperhatikan,
tidak selalu disintegrasi mental dan pribadi mereka itu berwujud penarikan
diri, mengurung dan menutup diri, meratapi dan menyesali dengan penuh
kesedihan, dan hal-hal serupa. Tak jarang disintegrasi itu termanifestasi
justru dalam bentuk agresi!
Agresi itupun tidak selalu berupa penyerangan frontal
langsung terhadap lingkungan dan masyarakat. Agresi itu bisa juga dilampiaskan
dalam bentuk perlawanan lain, dan yang paling sering adalah dalam bentuk
kesengajaan mengumbar perilaku seks bebas dan mengonsumsi narkoba secara “jor-joran”.
Mereka berpikir, “Sudah kepalang kotor, najis, dan rusak ini diriku, ya sudah,
puas-puasin saja sekalian!” Dan perilaku seks bebas dan penggunaan narkoba
merekapun jadi semakin tak terkendali lagi! Akibatnya, melihat hal tersebut,
kemuakan masyarakat menjadi-jadi, stigmapun semakin kokoh terpatri!
Untuk itu, mereka perlu ditopang oleh orang-orang (tidak
bisa cuma satu orang saja) yang bertugas untuk mencegah agar keretakan pribadi
dan mental mereka tidak menjadi semakin parah, menahan pribadi dan mental itu
agar tetap “berdiri di tempatnya” sementara menjalani proses pemulihan, menjaga
agar jiwa yang terdisintegrasi itu tidak mencari penyaluran ke arah agresi
ataupun ke arah tindakan terminasi (mengakhiri semuanya dengan cara pintas,
yaitu bunuh diri), dan membimbing jiwa tersebut kembali ke jalan yang benar,
yaitu memberi pemahaman kepada remaja ODHA akan “peperangan” yang benar, apa
musuh yang sebenarnya dan di mana mereka harus berperang, sebab pemahaman yang
lurus itu harus dimiliki semua orang tanpa terkecuali demi kepentingan dan
kebaikan orang yang bersangkutan sendiri serta supaya masyarakat juga bisa
memperoleh kebaikan darinya.
Pertolongan itu tidak hanya berlaku untuk remaja, tapi juga
untuk ODHA dari golongan usia dewasa dan golongan lain. Hanya memang, ODHA dari
kalangan remaja perlu mendapat porsi ekstra dan perhatian yang khas mereka,
mengingat betapa “rapuh”-nya mereka yang sedang dalam proses menjadi “manusia”
itu, dan pula mengingat betapa mereka itu aset yang tak terhingga nilainya sebagai
cikal-bakal pemimpin bangsa. Karena itu, bilamana kita semua sebagai bangsa
mampu menangani remaja yang merupakan ODHA sehingga bisa pulih dari keadaan
disintegrasi pribadi dan mentalnya, lalu bisa berkarya dan berfungsi optimal
sebagai manusia, bayangkan bagaimana dengan kaum remaja yang bukan ODHA, yang mana
mereka semua juga ada di bawah bimbingan kita! Tidakkah itu sungguh
menyenangkan?!
Itulah impian saya. Makanya, sudah sejak lama saya memegang
teguh paradigma yang benar supaya saya bisa “berperang” secara benar. Saya
tetap berperang hingga saat ini. Dan saya berusaha menjadi penopang
sekuat-kuatnya bagi sebanyak-banyaknya ODHA yang saya jumpai, terutama para
generasi muda remaja.
Tidakkah Anda ingin menjadikannya impian Anda juga? Marilah
kita sama-sama berjuang!