Sejak kecil, saya sudah begitu akrab dengan kata-kata “BCA”, “Bank Central Asia”. Orangtua saya sering sekali menyebut-nyebut BCA dalam pembicaraan mereka yang berkaitan dengan urusan keuangan dan tabungan keluarga. Saya juga tahu, mereka hanya percaya pada BCA, sebab cuma di BCA-lah mereka membuka rekening. Demikian pula dengan kakak-kakak saya. Jadi, setiap kali saya membaca atau mendengar atau teringat pada kata “bank”, sudah seperti otomatis otak saya langsung akan terasosiasi dengan BCA. Sampai sekarang.
Tapi sewaktu masih duduk di bangku SD, saya masih belum peduli akan pentingnya berinvestasi dan menabung. Saya juga belum mengerti soal vitalnya kehandalan sebuah institusi keuangan atau perbankan dalam hal tersebut. Ketika sekolah saya mewajibkan para muridnya untuk membuka tabungan (waktu itu, dekade ’80-an, yang dominan adalah sebuah tabungan yang diprakarsai pemerintah) pada sebuah bank tertentu, ya sebagai murid yang baik, saya ikut-ikut saja. Namanya juga wajib. Tanpa tahu apa kepentingannya, selain supaya jangan kena hukuman dan agar nama saya sebagai murid teladan dan berprestasi tidak tercoreng. Juga tanpa memikirkan sama sekali detil-detil tentang jenis tabungan, suku bunga, bonafiditas dan kompetensi bank penyelenggara, dan sebagainya.
Namun, anehnya, jauh di lubuk hati saya ketika itu, ada sayup-sayup suara redup yang berkata, “BCA.... Bank yang bagus ‘kan BCA! Kenapa sekolah tidak pakai BCA saja?...”
Saya tidak tahu persis kapan tepatnya, yang pasti, sewaktu saya mulai masuk SMP pada tahun 1987, BCA baru mulai mengeluarkan produk Tabungan Hari Depan (Tahapan). Seingat saya, saat itu masyarakat menandai Tahapan sebagai produk perbankan yang menjadi pelopor alternatif selain tabungan program pemerintah. Dan sepengetahuan saya (maaf kalau saya salah), BCA-lah bank pelopor Tahapan. Karena setelah itu, beberapa bank ikut menawarkan produk tabungan dengan nama “Tahapan” juga.
Saya masih ingat betul, Tahapan waktu itu sangat booming. Orang berbondong-bondong buka rekening Tahapan. Banyak juga yang membukanya bukan di BCA. Namun tetap saja BCA jauh mendominasi. Dan hal itu pun menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Di rumah, kami sekeluarga membicarakannya. Orangtua dan kakak-kakak saya semuanya kemudian membuka rekening Tahapan BCA. Bahkan di sekolah pun, saya dan teman-teman hampir tiap hari membicarakannya! Teman-teman saya, yang sekelas, yang berbeda kelas, adik kelas, maupun kakak kelas, pada heboh di sekolah kalau mereka sudah membuka Tahapan, bahkan sekalipun beberapa dari mereka membukanya bukan di BCA. Dan kalau saya tidak salah, suku bunga tabungan waktu itu, secara berangsur tapi pasti, terus bergerak naik. Ini disebabkan persaingan antar-bank yang semakin ketat, termasuk juga bank-bank yang ikut tergiur menawarkan produk tabungan lain selain Tahapan. Boleh dibilang, masa-masa saya duduk di SMP (bahkan hingga beberapa tahun sesudah itu) adalah juga masa-masa demam menabung di masyarakat!
Tapi, sekali lagi, anehnya, kendati ikut-ikutan heboh dalam pembicaraan di rumah dan di sekolah, saya sendiri tidak membuka rekening Tahapan. Bahkan tabungan apapun tidak!
Sampai saat saya lulus SMA.
Tahun pertama saya kuliah adalah kali pertama pula untuk saya memperoleh penghasilan sendiri. Dua bulan sebelum hari pertama kuliah saya di salah satu sekolah tinggi informatika terkemuka di Jakarta, saya memberi les privat untuk anak SD. Dengan memegang uang sendiri, kesadaran saya mulai terbuka. Saya mulai terpikir untuk membuat rencana masa depan dengan menabung. Maka, mulailah saya pergi ke bank dan membuka tabungan.
Namun, lagi-lagi aneh: saya memang membuka tabungan berupa Tahapan, tapi bukan di BCA!...
Dua tahun kemudian, saya mendapatkan apa yang saya idam-idamkan sejak masih bersekolah, yaitu berkuliah di perguruan tinggi negeri ternama. Hanya saja, untuk itu, saya harus meninggalkan Jakarta, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, sebab saya diterima di universitas negeri ternama di Bandung. Dengan demikian, saya harus melepaskan pekerjaan saya sebagai guru les privat. Jadi, keuangan saya kembali bergantung penuh pada kiriman orangtua.
Sesampai di Bandung, membuka rekening tabungan adalah salah satu hal yang pertama-tama saya lakukan, karena hal itu memang urgen sekali, mengingat cara yang paling mudah dan cepat dalam soal kiriman uang dari orangtua adalah dengan mentransfer uang. Tapi sekali lagi, yang saya pilih bukanlah BCA!
Sebelum saya melanjutkan, saya akan mengatakan alasan saya kenapa saya tidak kunjung juga membuka tabungan di BCA, padahal BCA adalah bank yang sangat familiar bagi saya sekeluarga. Cuma satu saja: saya minder! Ketika bersekolah, saya minder karena uang jajan saya tidak sebanyak yang dipunyai teman-teman dan kakak-kakak saya. Saat mengajar les privat, saya masih juga minder karena walaupun honor saya tidak kecil-kecil amat (malah, kenyataannya, saya mendapat uang yang cukup besar menurut ukuran saya waktu itu, hasil dari mengajar di beberapa tempat karena usaha les saya yang sudah berkembang), saya merasa belum layak untuk “masuk” BCA. Apalagi pada waktu kembali “menganggur”, tidak punya pekerjaan dan penghasilan sendiri saat pertama berkuliah di Bandung. Dalam pikiran saya, BCA adalah tempat untuk orang-orang berkantong tebal dan berkelas menengah ke atas, bukan untuk anak ingusan naif yang "tong-pes" dari keluarga sederhana seperti saya kala itu. Itu sebabnya, biarpun saya mendengar salah seorang kakak perempuan saya dua kali mendapat hadiah dari Gebyar Tahapan BCA, saya tetap tidak bergeming. Malah fakta itu semakin menguatkan kesan di hati saya bahwa memang cuma orang-orang yang duitnya menumpuk dalam jumlah besar di Tahapan BCA-lah yang berkesempatan menikmati hadiah undian seperti itu. Saya tidak melihat aspek lainnya dan dari sudut pandang yang berbeda akibat belum terbukanya wawasan saya.
Setahun berjalan, saya mulai merasakan kesulitan. Jarak antara tempat kos saya dengan ATM bank tempat saya membuka rekening berjarak kurang lebih 1 km. Untuk naik angkot, saya merasa sayang membuang ongkos untuk jarak setanggung itu. Jadinya saya sering berjalan kaki ke sana. Tapi akibatnya, saya sering kepayahan karena kontur jalan yang menanjak berhubung berada di kawasan utara kota Bandung. Akhirnya, ketika pada tahun kedua kuliah saya pindah tempat kos ke bilangan Buah Batu disebabkan tempat kuliah yang juga pindah ke Jatinangor, saya memutuskan untuk memberanikan diri juga membuka rekening Tahapan di BCA, karena saya sadar (sudah lama, sebetulnya), ATM BCA ada di mana-mana. Begitu juga di daerah tempat kos saya yang baru, letak ATM BCA hanya sekitar 400 meter. Jauh lebih terjangkau. Apalagi, orangtua saya juga sudah lama menutup rekeningnya di bank-bank lain dan hanya mempunyai rekening di BCA saja.
Barulah saat itu wawasan saya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Layanan perbankan ternyata penting sekali. Dengan membuka Tahapan BCA, saya tidak lagi kesulitan kalau mau mengambil uang, dan orangtua saya juga tidak lagi terkena biaya administrasi akibat transfer antar-bank.
Dari situ, pengetahuan saya bertambah lagi karena pengalaman. Ketika kiriman dari orangtua datang terlambat karena beliau usaha sendiri yang tidak menentu kapan terkumpul uangnya, bukan bekerja kantoran yang selalu tetap tanggal gajiannya, saya mulai menjalankan usaha kecil-kecilan bersama teman-teman kos dan teman-teman kuliah. Dan nasib menentukan, hampir semua teman yang berbisnis dengan saya itu hanya memiliki rekening di BCA. Selidik punya selidik, ternyata pandangan mereka serupa dengan pandangan masyarakat pada umumnya: BCA adalah bank yang paling terpercaya di Indonesia. Untunglah saya pada waktu itu sudah meninggalkan bank yang lama dan “menetap” di BCA. Kemudahan transaksi dengan teman-teman pun saya nikmati.
BCA juga saya kenal sebagai salah satu bank pelopor virtual banking, yakni mulai dari phone banking, SMS banking, mobile banking (m-BCA), electronic banking, sampai pada internet banking (klikBCA); dan juga layanan perbankan lainnya seperti auto-debet. Layanan-layanan tersebut merupakan solusi perbankan yang amat sangat memberikan kenyamanan bagi kami, para nasabah. Image BCA sebagai bank yang menyediakan kemudahan transaksi kian menguat. Dan itu saya rasakan sendiri.
Setamat kuliah, saya merintis usaha sendiri sekaligus meniti karir sebagai penulis. Pekerjaan menuntut saya untuk banyak berada dalam 2 keadaan ekstrem, kalau tidak sangat mobile (bepergian untuk tujuan riset, mencari bahan inspirasi, bertemu orang-orang, ataupun lainnya, dan sering keluar kota dan daerah), saya malah “tertahan” di rumah untuk menulis. Cukup susah mencari waktu luang untuk membayar tagihan listrik, ledeng, dan telepon (karena saya sudah mengontrak sebuah rumah, tidak lagi kos), serta untuk membayar barang-barang yang saya pesan dan mengecek transfer dari orang apakah sudah masuk atau belum, bahkan pula untuk membeli pulsa sekalipun. Sekalinya ada waktu, kelupaan, sudah larut malam baru teringat. Tapi solusi perbankan BCA di atas benar-benar membantu saya. Bila dalam perjalanan atau sedang di luar kota, kalau sempat, saya mampir sebentar ke ATM BCA. Namun kalaupun tidak sempat atau keadaan tidak memungkinkan untuk berhenti sebentar (saat saya sedang di tengah laut dalam perjalanan dengan kapal selama berhari-hari, misalnya), saya tinggal pakai m-BCA atau akses klikBCA. Dengan begitu, semua kewajiban pembayaran dan tagihan bisa terlunasi tanpa terlambat. Bahkan sekalipun sampai larut malam akibat kelupaan. Tidak perlu was-was karena harus keluar rumah malam-malam, tidak usah kuatir kena denda atau kehilangan kepercayaan orang akibat keterlambatan dalam pembayaran. Rencananya, dalam waktu dekat, saya juga akan mendaftar untuk layanan auto-debet BCA supaya saya bisa lebih bebas lagi dari segala kelalaian.
Saya tahu, nyaris semua bank sekarang juga sudah menyediakan layanan-layanan serupa. Tapi siapa dapat memungkiri kenyataan bahwa BCA tetap merupakan bank terhandal? Bukan hanya layanannya yang komplet dan kehandalannya yang memuaskan, basis keuangan BCA pun sudah diketahui orang sangat kuat, jadi saya tidak kuatir berinvestasi di BCA.
Pendeknya, hati saya tenang bermitra dengan BCA. Saya makin lama makin mengerti apa artinya "kebebasan finansial". Tidak lagi pikiran saya terbebani untuk mengingat-ingat dan merasa “diteror” oleh tenggat waktu. Tidak lagi batin saya cemas akan kehilangan dana yang saya investasikan karena dibawa kabur institusi yang menipu. Saya jadi sangat terbantu sekali untuk jauh lebih memfokuskan energi, waktu, dan pikiran pada pekerjaan dan karir. Hati dan pikiran saya juga menjadi lebih tenang sehingga menjadi amat kondusif untuk mencari inspirasi dan ide-ide brilyan dan segar dalam menulis.
Tapi sewaktu masih duduk di bangku SD, saya masih belum peduli akan pentingnya berinvestasi dan menabung. Saya juga belum mengerti soal vitalnya kehandalan sebuah institusi keuangan atau perbankan dalam hal tersebut. Ketika sekolah saya mewajibkan para muridnya untuk membuka tabungan (waktu itu, dekade ’80-an, yang dominan adalah sebuah tabungan yang diprakarsai pemerintah) pada sebuah bank tertentu, ya sebagai murid yang baik, saya ikut-ikut saja. Namanya juga wajib. Tanpa tahu apa kepentingannya, selain supaya jangan kena hukuman dan agar nama saya sebagai murid teladan dan berprestasi tidak tercoreng. Juga tanpa memikirkan sama sekali detil-detil tentang jenis tabungan, suku bunga, bonafiditas dan kompetensi bank penyelenggara, dan sebagainya.
Namun, anehnya, jauh di lubuk hati saya ketika itu, ada sayup-sayup suara redup yang berkata, “BCA.... Bank yang bagus ‘kan BCA! Kenapa sekolah tidak pakai BCA saja?...”
Saya tidak tahu persis kapan tepatnya, yang pasti, sewaktu saya mulai masuk SMP pada tahun 1987, BCA baru mulai mengeluarkan produk Tabungan Hari Depan (Tahapan). Seingat saya, saat itu masyarakat menandai Tahapan sebagai produk perbankan yang menjadi pelopor alternatif selain tabungan program pemerintah. Dan sepengetahuan saya (maaf kalau saya salah), BCA-lah bank pelopor Tahapan. Karena setelah itu, beberapa bank ikut menawarkan produk tabungan dengan nama “Tahapan” juga.
Saya masih ingat betul, Tahapan waktu itu sangat booming. Orang berbondong-bondong buka rekening Tahapan. Banyak juga yang membukanya bukan di BCA. Namun tetap saja BCA jauh mendominasi. Dan hal itu pun menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Di rumah, kami sekeluarga membicarakannya. Orangtua dan kakak-kakak saya semuanya kemudian membuka rekening Tahapan BCA. Bahkan di sekolah pun, saya dan teman-teman hampir tiap hari membicarakannya! Teman-teman saya, yang sekelas, yang berbeda kelas, adik kelas, maupun kakak kelas, pada heboh di sekolah kalau mereka sudah membuka Tahapan, bahkan sekalipun beberapa dari mereka membukanya bukan di BCA. Dan kalau saya tidak salah, suku bunga tabungan waktu itu, secara berangsur tapi pasti, terus bergerak naik. Ini disebabkan persaingan antar-bank yang semakin ketat, termasuk juga bank-bank yang ikut tergiur menawarkan produk tabungan lain selain Tahapan. Boleh dibilang, masa-masa saya duduk di SMP (bahkan hingga beberapa tahun sesudah itu) adalah juga masa-masa demam menabung di masyarakat!
Tapi, sekali lagi, anehnya, kendati ikut-ikutan heboh dalam pembicaraan di rumah dan di sekolah, saya sendiri tidak membuka rekening Tahapan. Bahkan tabungan apapun tidak!
Sampai saat saya lulus SMA.
Tahun pertama saya kuliah adalah kali pertama pula untuk saya memperoleh penghasilan sendiri. Dua bulan sebelum hari pertama kuliah saya di salah satu sekolah tinggi informatika terkemuka di Jakarta, saya memberi les privat untuk anak SD. Dengan memegang uang sendiri, kesadaran saya mulai terbuka. Saya mulai terpikir untuk membuat rencana masa depan dengan menabung. Maka, mulailah saya pergi ke bank dan membuka tabungan.
Namun, lagi-lagi aneh: saya memang membuka tabungan berupa Tahapan, tapi bukan di BCA!...
Dua tahun kemudian, saya mendapatkan apa yang saya idam-idamkan sejak masih bersekolah, yaitu berkuliah di perguruan tinggi negeri ternama. Hanya saja, untuk itu, saya harus meninggalkan Jakarta, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, sebab saya diterima di universitas negeri ternama di Bandung. Dengan demikian, saya harus melepaskan pekerjaan saya sebagai guru les privat. Jadi, keuangan saya kembali bergantung penuh pada kiriman orangtua.
Sesampai di Bandung, membuka rekening tabungan adalah salah satu hal yang pertama-tama saya lakukan, karena hal itu memang urgen sekali, mengingat cara yang paling mudah dan cepat dalam soal kiriman uang dari orangtua adalah dengan mentransfer uang. Tapi sekali lagi, yang saya pilih bukanlah BCA!
Sebelum saya melanjutkan, saya akan mengatakan alasan saya kenapa saya tidak kunjung juga membuka tabungan di BCA, padahal BCA adalah bank yang sangat familiar bagi saya sekeluarga. Cuma satu saja: saya minder! Ketika bersekolah, saya minder karena uang jajan saya tidak sebanyak yang dipunyai teman-teman dan kakak-kakak saya. Saat mengajar les privat, saya masih juga minder karena walaupun honor saya tidak kecil-kecil amat (malah, kenyataannya, saya mendapat uang yang cukup besar menurut ukuran saya waktu itu, hasil dari mengajar di beberapa tempat karena usaha les saya yang sudah berkembang), saya merasa belum layak untuk “masuk” BCA. Apalagi pada waktu kembali “menganggur”, tidak punya pekerjaan dan penghasilan sendiri saat pertama berkuliah di Bandung. Dalam pikiran saya, BCA adalah tempat untuk orang-orang berkantong tebal dan berkelas menengah ke atas, bukan untuk anak ingusan naif yang "tong-pes" dari keluarga sederhana seperti saya kala itu. Itu sebabnya, biarpun saya mendengar salah seorang kakak perempuan saya dua kali mendapat hadiah dari Gebyar Tahapan BCA, saya tetap tidak bergeming. Malah fakta itu semakin menguatkan kesan di hati saya bahwa memang cuma orang-orang yang duitnya menumpuk dalam jumlah besar di Tahapan BCA-lah yang berkesempatan menikmati hadiah undian seperti itu. Saya tidak melihat aspek lainnya dan dari sudut pandang yang berbeda akibat belum terbukanya wawasan saya.
Setahun berjalan, saya mulai merasakan kesulitan. Jarak antara tempat kos saya dengan ATM bank tempat saya membuka rekening berjarak kurang lebih 1 km. Untuk naik angkot, saya merasa sayang membuang ongkos untuk jarak setanggung itu. Jadinya saya sering berjalan kaki ke sana. Tapi akibatnya, saya sering kepayahan karena kontur jalan yang menanjak berhubung berada di kawasan utara kota Bandung. Akhirnya, ketika pada tahun kedua kuliah saya pindah tempat kos ke bilangan Buah Batu disebabkan tempat kuliah yang juga pindah ke Jatinangor, saya memutuskan untuk memberanikan diri juga membuka rekening Tahapan di BCA, karena saya sadar (sudah lama, sebetulnya), ATM BCA ada di mana-mana. Begitu juga di daerah tempat kos saya yang baru, letak ATM BCA hanya sekitar 400 meter. Jauh lebih terjangkau. Apalagi, orangtua saya juga sudah lama menutup rekeningnya di bank-bank lain dan hanya mempunyai rekening di BCA saja.
Barulah saat itu wawasan saya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Layanan perbankan ternyata penting sekali. Dengan membuka Tahapan BCA, saya tidak lagi kesulitan kalau mau mengambil uang, dan orangtua saya juga tidak lagi terkena biaya administrasi akibat transfer antar-bank.
Dari situ, pengetahuan saya bertambah lagi karena pengalaman. Ketika kiriman dari orangtua datang terlambat karena beliau usaha sendiri yang tidak menentu kapan terkumpul uangnya, bukan bekerja kantoran yang selalu tetap tanggal gajiannya, saya mulai menjalankan usaha kecil-kecilan bersama teman-teman kos dan teman-teman kuliah. Dan nasib menentukan, hampir semua teman yang berbisnis dengan saya itu hanya memiliki rekening di BCA. Selidik punya selidik, ternyata pandangan mereka serupa dengan pandangan masyarakat pada umumnya: BCA adalah bank yang paling terpercaya di Indonesia. Untunglah saya pada waktu itu sudah meninggalkan bank yang lama dan “menetap” di BCA. Kemudahan transaksi dengan teman-teman pun saya nikmati.
BCA juga saya kenal sebagai salah satu bank pelopor virtual banking, yakni mulai dari phone banking, SMS banking, mobile banking (m-BCA), electronic banking, sampai pada internet banking (klikBCA); dan juga layanan perbankan lainnya seperti auto-debet. Layanan-layanan tersebut merupakan solusi perbankan yang amat sangat memberikan kenyamanan bagi kami, para nasabah. Image BCA sebagai bank yang menyediakan kemudahan transaksi kian menguat. Dan itu saya rasakan sendiri.
Setamat kuliah, saya merintis usaha sendiri sekaligus meniti karir sebagai penulis. Pekerjaan menuntut saya untuk banyak berada dalam 2 keadaan ekstrem, kalau tidak sangat mobile (bepergian untuk tujuan riset, mencari bahan inspirasi, bertemu orang-orang, ataupun lainnya, dan sering keluar kota dan daerah), saya malah “tertahan” di rumah untuk menulis. Cukup susah mencari waktu luang untuk membayar tagihan listrik, ledeng, dan telepon (karena saya sudah mengontrak sebuah rumah, tidak lagi kos), serta untuk membayar barang-barang yang saya pesan dan mengecek transfer dari orang apakah sudah masuk atau belum, bahkan pula untuk membeli pulsa sekalipun. Sekalinya ada waktu, kelupaan, sudah larut malam baru teringat. Tapi solusi perbankan BCA di atas benar-benar membantu saya. Bila dalam perjalanan atau sedang di luar kota, kalau sempat, saya mampir sebentar ke ATM BCA. Namun kalaupun tidak sempat atau keadaan tidak memungkinkan untuk berhenti sebentar (saat saya sedang di tengah laut dalam perjalanan dengan kapal selama berhari-hari, misalnya), saya tinggal pakai m-BCA atau akses klikBCA. Dengan begitu, semua kewajiban pembayaran dan tagihan bisa terlunasi tanpa terlambat. Bahkan sekalipun sampai larut malam akibat kelupaan. Tidak perlu was-was karena harus keluar rumah malam-malam, tidak usah kuatir kena denda atau kehilangan kepercayaan orang akibat keterlambatan dalam pembayaran. Rencananya, dalam waktu dekat, saya juga akan mendaftar untuk layanan auto-debet BCA supaya saya bisa lebih bebas lagi dari segala kelalaian.
Saya tahu, nyaris semua bank sekarang juga sudah menyediakan layanan-layanan serupa. Tapi siapa dapat memungkiri kenyataan bahwa BCA tetap merupakan bank terhandal? Bukan hanya layanannya yang komplet dan kehandalannya yang memuaskan, basis keuangan BCA pun sudah diketahui orang sangat kuat, jadi saya tidak kuatir berinvestasi di BCA.
Pendeknya, hati saya tenang bermitra dengan BCA. Saya makin lama makin mengerti apa artinya "kebebasan finansial". Tidak lagi pikiran saya terbebani untuk mengingat-ingat dan merasa “diteror” oleh tenggat waktu. Tidak lagi batin saya cemas akan kehilangan dana yang saya investasikan karena dibawa kabur institusi yang menipu. Saya jadi sangat terbantu sekali untuk jauh lebih memfokuskan energi, waktu, dan pikiran pada pekerjaan dan karir. Hati dan pikiran saya juga menjadi lebih tenang sehingga menjadi amat kondusif untuk mencari inspirasi dan ide-ide brilyan dan segar dalam menulis.