Sejak UNESCO mendeklarasikan batik sebagai “warisan budaya dunia”, pamor batik dan nama Indonesia menjadi mendunia. Sekaligus, dengan begitu, posisi batik sebagai milik otentik Indonesia menjadi “aman”. Namun, “keamanan” itu tidak berlaku absolut. Pasalnya, UNESCO memberlakukan syarat: Indonesia harus menjaga kelestarian batik. Bila tidak, maka pengakuan tersebut akan dicabut. Kalau sudah demikian, sudah tidak “aman” lagi posisi kepemilikan kita. Sehingga bangsa-bangsa yang sudah cukup lama kentara “ngiler”-nya pada batik akan kembali mendapat peluang untuk mengklaim batik sebagai miliknya. Bahaya, ‘kan?
Nah, untuk itu, kita wajib hukumnya menggenggam erat-erat
batik supaya tidak terlepas dari tangan. Cara yang paling efektif agar
genggaman kita terhadap sesuatu tidak terlepas adalah dengan terus menjaga
kewaspadaan kita terhadap genggaman kita itu. Begitulah juga yang berlaku
terhadap sikap kita terhadap batik. Tapi, sebagai manusia, kita mudah sekali
lengah, bukan? Lagipula, kalaupun tidak lengah, kita lekas benar menjadi bosan,
betul? Lantas, apa ada cara untuk menjaga kewaspadaan kita dari ancaman
kelengahan, sekaligus juga untuk melindungi kita dari serangan rasa bosan bin
jenuh? Ada. Yaitu menggenggamnya bukan cuma dengan tangan, tapi juga “dengan
hati yang dipenuhi cinta”.
Bukankah semakin kita mencintai seseorang atau sesuatu,
semakin gampang pula kita cemburu jikalau ada yang ingin merebut orang atau
apapun yang kita cintai tersebut? Kecemburuan yang sehat adalah tanda kewaspadaan
dari cinta. Makin besar cinta, makin kuat pula sinyal kewaspadaan yang
“dibunyikan”-nya.
Dan juga: bukankah kian besar cinta kita pada seseorang atau
sesuatu, kian kreatif pula kita merencanakan dan merancang hal-hal romantis nan
indah untuk mewarnai relasi antara kita dengan orang atau hal lain tersebut?
Kreativitas ber-romansa adalah mekanisme yang ditelurkan oleh cinta agar kita
tidak menjadi bosan. Jadi, dengan bertambah besarnya cinta bertumbuh, bertambah
banyak pula ragam mekanisme yang dilahirkannya.
Kalau kita sudah dengan sepenuh hati mencintai batik, kita
takkan mungkin kehabisan cara untuk melestarikannya. Yang ada juga kita
kehabisan selera untuk mencari-cari alasan. Dan itu sudah amat sangat terbukti.
1. Segan berbatik karena batik itu kuno, konservatif, tidak trendy, tidak “gaul”? Omong-kosong! Para desainer yang 100% tulus mencintai
batik sudah banyak sekali membuat motif-motif yang bukan hanya trendy, tapi malah justru menjadi trendsetter.
2. Malas berbatik dengan alasan kenyamanan, karena gerah,
begitu? Anda ke mana saja? Berkat para inovator yang cintanya amat besar, kini batik sudah banyak yang terbuat dari bahan-bahan yang nyaman dan
adem di badan, seperti kain katun, satin, sutera, bahkan korduroi dan denim.
3. Enggan berbatik karena berpikir bahwa batik itu mahal,
hanya untuk kalangan atas, dan cuma pantas dipakai untuk acara-acara tertentu
yang resmi alias tidak fleksibel secara sikon? Wah, saya kuatir Anda sepertinya
hidup dalam “menara gading”, nih! Sekarang ini, karena variasi yang sudah
begitu beragam bukan hanya dari segi bahan saja melainkan juga dari segi zat
pewarna dan sebagainya, harga batik pun tidak lagi melulu mahal tapi juga sudah
banyak yang terjangkau namun tetap berkualitas tinggi; dan, oleh sebab motifnya
sudah macam-macam pula, maka batik pun bukan lagi menjadi dominasi kaum lanjut
usia, pejabat, kalangan bangsawan, dan pelbagai kalangan atas sejenisnya saja,
tapi sudah menjadi milik semua kalangan: ya remaja, anak “nongkrong”, karyawan
biasa, pedagang, petani, dan sebagainya; juga, karena sekolah-sekolah dan
instansi-instansi pemerintah serta swasta kini ramai-ramai sudah berkomitmen
untuk menggalakkan gerakan cinta batik, dan juga karena, syukurnya, banyak
perancang sudah mendesain batik untuk segala sikon, maka berbatik bukan semata
untuk menghadiri resepsi atau acara formal nan kaku, namun juga sudah menjadi
seragam, pakaian kasual, bahkan juga menjadi pakaian renang dan kostum pantai,
lho!
4. Yang terakhir: tidak mau berbatik lantaran susah didapat?
Nah, ini sudah tidak bisa diterima sama sekali! Sudah benar-benar tidak masuk
akal, mengada-ada! Toko batik dan butik batik sudah “berjibun” di mana-mana,
Bu, Pak! Bukan hanya toko dan butik khusus batik saja, toko-toko baju dan
butik-butik umum mana di muka bumi Indonesia ini yang tidak menjual pakaian
bermotif batik? Tidak cuma itu: (sama sekali tanpa bermaksud merendahkan
siapapun) coba saja cari penjual baju di emperan yang tidak menjual baju batik
satu pun! Apalagi, kini, di zaman di mana teknologi informasi dan internet
sudah nyaris menjadi “kebutuhan primer”, sudah ada penjual batik online,
contohnya situs www.berbatik.com. Pesan
barang bisa dari rumah atau dari manapun, bayarnya pun bisa dari rumah atau
dari manapun, terima barang juga bisa di rumah atau di manapun, terserah Anda.
Masih mau beralasan tidak punya waktu untuk berbelanja?
Jadi, kita lihat, alasan untuk tidak berbatik saja sudah
semakin langka. Apalagi kalau kita cinta pada batik. Sudah tidak terpikir lagi
kita untuk mencari-cari alasan agar tidak berbatik. Yang terjadi justru kita
mungkin malah mencari-cari alasan agar bisa pakai batik terus di manapun!
Pertanyaan yang bagus adalah: “Bagaimana agar cinta terhadap
batik bisa tertanam dan bertumbuh subur dalam hati kita?”
Saya akan segera jawab: “Peribahasa mengatakan: ‘Tak kenal
maka tak sayang’, maka dari itu, kita harus mengenal dan memahami batik secara
komprehensif; dan karena tidak mungkin komprehensi kita akan sesuatu hal bisa
utuh kalau kita tidak mengenal dan memahami substansi ataupun filosofi dari hal
tersebut, maka demikian pula dengan batik. Kita harus tahu apa filosofi yang terkandung di dalam batik. Jika tidak, pemahaman kita
akan dangkal. Dan kalau pemahaman kita dangkal, cinta kita pun dijamin tidak
akan mendalam.”
Maka, di sini, saya akan memfokuskan pada filosofi batik.
Saya menyadari, yang akan saya utarakan di bawah ini masih jauh dari sempurna
dan paripurna. Tapi lebih baik sedikit daripada tidak ada sama sekali, bukan?
Dan saya pun berharap, Anda semua sudi mengembangkan lagi gagasan saya mengenai
filosofi batik berikut ini.
Dan sampailah kita pada topik utama tulisan saya ini.
Filosofi Batik? Apa Itu?
Saya percaya ada banyak filosofi yang bisa digali dari
batik. Saya hanya mendapatkan beberapa saja. Untuk memudahkan, saya melakukan
klasifikasi. Filosofi-filosofi yang saya peroleh itu saya masukkan ke dalam 2
(dua) golongan. Pertama, filosofi-filosofi yang terkandung dalam cara pembuatan
batik; kedua, filosofi-filosofi yang terkandung dalam corak dan motif batik itu
sendiri.
A. Filosofi-filosofi dari Cara Pembuatan Batik
Kendati memiliki beberapa perbedaan dalam hal teknis seperti
pencantuman corak pada bahan, namun secara garis besar, baik batik tulis maupun
batik cetak mempunyai pakem tahap-tahap prosedural yang sama dalam proses
produksi, sebab yang namanya “pakem” jelas tidak boleh diganggu-gugat. Ada 3
(tiga) garis besar tahapan: pertama, penulisan atau pencetakan corak pada
kain/bahan yang (pasti dan harus) berwarna putih; kedua, pencelupan bahan/kain
yang sudah ditulisi atau dicetaki corak itu ke dalam cairan pewarna; dan
terakhir, proses pelepasan malam dari bahan/kain, yang sampai sekarang hampir
semuanya dikerjakan dengan cara merebus kain/bahan yang sudah bercorak dan
berwarna batik tersebut di dalam air mendidih. Nah, masing-masing tahapan ini
memiliki filosofi.
Tapi sebelum kita lanjut, kita harus tahu dulu bahwa pakem
cara pembuatan batik ini pun mempunyai makna atau filosofi, yaitu sebagai
alegori (perlambangan) yang menggambarkan bagaimana Tuhan mengatur kehidupan
kita, manusia, dari semenjak kita dilahirkan hingga seterusnya. Sebagaimana
bahan/kain yang hanya akan bisa menjadi batik yang begitu indah karena dan
hanya karena ia berdiam diri total di tangan pembuatnya belaka, begitu juga
kita: hanya akan menjadi manusia yang indah lahir dan batin jika dan hanya jika
kita total menyerahkan diri secara sukarela dan sukacita ke dalam tangan
Pencipta kita saja.
1. Filosofi dari pencantuman corak pada bahan
Tuhan adalah Sang Penulis batik tulis bercanting
atau Sang Desainer batik cetak. Dan kitalah bahan atau kainnya. Sama seperti
pencantuman corak adalah proses yang dilakukan paling pertama, penentuan keberadaan
kita masing-masing per individu pun adalah hal pertama yang dilakukan Tuhan
sebelum membentuk kita dalam rahim ibu kita. Kapan kita mulai terbentuk sebagai
hasil dari pembuahan sel sperma ayah kita terhadap sel telur ibu kita, dari
ayah dan ibu mana kita dibentuk, kapan dan bagaimana kita keluar dari rahim ibu
kita, siapa jodoh kita, di mana tempat kita dan apa porsi untuk kita di dunia
ini sehingga kita bisa berkontribusi secara optimal dan maksimal bagi Tuhan,
sesama, dan dunia, serta kapan dan dengan cara apa kita harus dijemput pulang oleh-Nya
dan kepada-Nya, semua sudah “ditulis/dicetak” jauh sebelum kita ada, bahkan
sebelum dunia dijadikan.
2. Filosofi dari pencelupan bahan ke dalam cairan pewarna
Tepat pada saat sebelum Tuhan menyatukan sel sperma ayah
mana yang akan menjadi diri kita dengan sel telur ibu mana yang ditentukan
untuk membentuk diri kita, Tuhan “mencelupkan” kita ke dalam “bahan pewarna”,
yaitu lingkungan kita. Nah, tahapan ini agak berbeda dengan tahapan sebelumnya.
Pada tahap pertama tadi, kita sama sekali tidak punya kuasa dan kesempatan
untuk memilih. Sementara pada tahap “pencelupan” ini, ada bagian di mana kita
masih tetap sama sekali tidak punya kemampuan dan kesempatan untuk memilih, dan
ada bagian di mana kita punya. Kita tidak mungkin dapat memilih lingkungan
keluarga tempat kita dilahirkan dan juga kebangsaan kita, serta, kemungkinan
besar juga, (sebagaimana terjadi pada sebagian besar dari kita) sekolah pertama
kita. Tapi kita sangat bisa memilih sekolah kita selanjutnya, tempat kita
kuliah, tempat kita bekerja, tempat tinggal kita setelah cukup dewasa, lingkungan pergaulan kita,
dan lingkungan-lingkungan lainnya. Namun, kita harus tahu, dalam tahap ini,
Tuhan tetap memegang wewenang dan kuasa sepenuhnya. Tidak ada kontradiksi
antara “penentuan Tuhan sepenuhnya” dengan “kemampuan kita untuk memilih”.
Jadi, jangan pernah (lagi) kita mencoba mendikotomikan keduanya. Saya tidak
akan membahas hal ini lebih lanjut walaupun sebenarnya saya ingin sekali. Kalau
Anda ingin mengerti hal ini, barangkali di lain kesempatan pada tulisan yang
lain, jika diizinkan Tuhan, saya akan membicarakannya panjang-lebar. Kalaupun Tuhan
tidak mengizinkan, sementara Anda tetap ingin segera mengerti, saya sarankan
Anda berdoa meminta hikmat dari Tuhan dan pelajari benar-benar Kitab Suci
dengan pikiran yang bersih dari mindset apapun, karena justru sebetulnya
Firman (Kitab Suci)-Nya itulah yang seharusnya membentuk mindset kita.
Segala sesuatu di dunia manapun mengalami dinamika. Selalu
harus ada kemajuan dan perkembangan dalam dunia, dunia apapun itu. Tiadakan
kemajuan, hapuslah perkembangan, maka tidak lagi ada yang namanya “dunia”.
Bukan hanya manusia, hewan dan tumbuhan serta bahkan malaikat dan roh-roh jahat
pun mengalami dinamika, karena memang dinamikalah ciri mutlak “dunia”, baik
dunia fisik maupun dunia metafisik. Bahkan benda-benda tidak hidup sekalipun
mengalami dinamika, semata-mata karena mereka menjadi bagian dari dunia. Bahkan
(ini mungkin saja akan mengagetkan Anda, dan mungkin saja Anda tidak setuju),
Tuhan sendiri pun mengalami dinamika, meskipun pengertian “dinamika” untuk Tuhan
yang tidak merupakan bagian dari dunia, yang justru menciptakan dunia fisik
maupun dunia roh (metafisik), mahakekal, tidak berubah, serta tidak memiliki awal
dan tidak mempunyai akhir itu betul-betul berbeda dengan “dinamika” untuk dunia
dan makhluk ciptaan-Nya. Yang mesti juga kita ketahui, dinamika itu bisa
positif, bisa pula negatif. Kita biasa menyebut dinamika yang positif itu
sebagai “kemajuan”, “perkembangan”, atau istilah-istilah lain yang berkerabat
dengan itu. Sementara dinamika yang negatif itu kita kenal sebagai
“kemunduran”, “kemerosotan”, atau istilah-istilah lain yang pengertiannya
serupa dengan itu. Amat mungkin kita tidak memasukkan “kemunduran” atau
“kemerosotan” sebagai dinamika. Padahal sejatinya ya, itu juga dinamika. Yang
bukan merupakan dinamika adalah stagnasi absolut. Dan itu hanya terjadi di
neraka, karena neraka bukanlah sebuah dunia, dan tidak dapat disebut sebagai
“dunia”.
Kita memang tidak bisa memilih untuk tidak mengalami
dinamika (tentu saja, lain ceritanya kalau kita memilih untuk masuk neraka
kelak), tapi kita sangat sanggup untuk memilih dinamika yang mana yang kita
alami, yang positifkah, ataukah yang negatif. Kemajuan dan perkembangankah,
ataukah kemunduran dan kemerosotan. Kalau kita ingin mengalami dinamika yang
positif, maka kita harus menanggalkan 2 (dua) hal yang merintangi langkah
dinamika kita ke arah positif dan menyebabkan kita terperosok ke kutub
sebaliknya. Dua hal itu adalah dosa dan beban yang tidak berguna. Saya anggap
kita semua mengerti apa itu dosa. Tapi sekarang, apa itu “beban yang tidak
berguna”? Itu adalah masa lalu (baik itu masa lalu yang indah maupun yang
buruk), jiwa kekanak-kanakkan, rasa bersalah, minder, dan malu yang terus
mengobsesi, serta segala macam ketakutan yang tidak sehat, kecemasan, dan
depresi.
Dosa dan beban yang tidak perlu itulah “lapisan malam” atau
“lapisan lilin” kita. Kita wajib hukumnya melepaskan “malam” atau “lilin” kita
itu agar dapat menjadi “batik”. Namun, kita juga harus menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan, karena dari sudut pandang lain, Tuhan-lah yang
sepenuhnya berkuasa melepaskan kita dari dosa dan beban yang tidak berguna
tersebut. Tapi sekali lagi, jangan kita mendikotomikan dan menganggap
kontradiksi kedua kenyataan yang sejatinya berjalan beriringan itu, sebagaimana
sudah saya ingatkan di atas.
B. Filosofi-filosofi dari Corak/Motif Batik Itu Sendiri
Kalau makna filosofis global dari proses pembuatan batik
adalah soal kedaulatan Tuhan atas hidup dan jalan kehidupan kita, maka dari
yang kedua ini, dari corak atau motif batik, makna filosofis yang kita dapat
adalah soal kewajiban dan tanggung jawab kita, yaitu tentang apa yang semestinya
kita lakukan dalam mengisi hidup ini, sebagai umat manusia pada umumnya, dan
sebagai manusia Indonesia pada khususnya.
Saat kita melihat sesuatu, kita berkata, “Ini batik.” Dan
ketika kita melihat yang lain, kita berkata, “Itu bukan batik. Itu (misalnya)
lurik.” Pertanyaannya, dari mana kita bisa menentukan itu batik atau
bukan? Dari coraknya, motifnya. Itu saja semata-mata. Bukan dari faktor lain. Bukan
dari model potongannya, bukan dari utilitasnya, bukan dari warna atau permainan
nuansa warnanya, bahkan bukan pula dari apakah itu pakaian atau bukan. Sebab,
batik tidak mesti hanya ada di pakaian saja (apalagi dieksklusifkan cuma untuk
pakaian atas atau pakaian luar saja), akan tetapi bisa pula terdapat pada
sepatu, tas, lukisan kanvas, ikat pinggang, vas bunga, kertas penutup dinding, apapun. Muncul pertanyaan
berikutnya: bagaimana kita menentukan suatu corak/motif itu adalah batik atau
bukan? Nah, barangkali saja banyak di antara kita yang amat sulit menjawabnya.
Itu juga dulu yang menjadi pertanyaan besar saya. Dan saat saya mencari tahu
dari berbagai sumber, saya malah jadi semakin bingung. Karena, ibaratnya, dari
sepuluh sumber yang saya dengar atau baca, ada sebelas keterangan berbeda yang
saya terima. Jadi, yang mana yang benar-benar benar? Ternyata, saya dapati,
semuanya benar! Semuanya tergantung dari perspektif masing-masing. Karena itu,
saya putuskan untuk mengerahkan segenap energi pikiran saya yang bodoh ini
untuk mensintesa jawaban versi saya sendiri, berdasarkan sudut pandang saya
sendiri. Maka, saya mohon dimaafkan kalau ternyata penjelasan saya tentang
corak/motif unik dari batik ini berbeda dengan sudut pandang Anda, terutama jika
Anda adalah pakar atau pengamat batik.
Ini konklusi saya: suatu corak dapat dinamakan “batik” jika
corak itu mempunyai keempat unsur ini:
1. garis lurus yang berlanjut menjadi garis melingkar
seperti spiral labirin,
2. percabangan,
3. repetisi (pengulangan), dan
4. keterpolaan (keteraturan).
Keempat unsur tersebut mutlak harus ada dalam corak yang
bersangkutan. Ketiadaan salah satu saja berimplikasi ketidaklayakan disebut
sebagai “batik”. Saya akan merinci unsur-unsur itu lebih jauh bersamaan dengan
pemaparan akan filosofi dari masing-masingnya di bawah ini.
1. Filosofi dari garis lurus yang berlanjut menjadi garis
melingkar seperti spiral labirin
Pada setiap corak batik dari semua variasi ragam berdasarkan
kedaerahan di seluruh Indonesia, ornamen garis lurus yang berlanjut menjadi
melingkar seperti spiral labirin pasti ada, meski ornamen tersebut tidak harus
mendominasi keseluruhan corak. Tapi, biarpun sedikit, ornamen ini harus ada.
Inilah ciri unik mutlak pertama dari batik. Rasio panjang garis lurus : garis
melingkar spiral labirin sangat bervariasi antara corak satu dengan yang lain;
demikian pula dengan garis melingkar, tidak mesti harus sampai membentuk
labirin yang jauh ke dalam, tapi sekalipun begitu, tetap ada bagian
melingkarnya.
Ornamen garis lurus berlanjut melingkar ini melambangkan
fleksibilitas/kelenturan. Kelenturan adalah bentuk implementasi utama
dari adaptasi. Tak mungkin kita beradaptasi tanpa mempunyai sikap yang
fleksibel terhadap perubahan maupun perbedaan. Dan mustahil kemajuan dan
perkembangan bisa terwujud tanpa adanya daya adaptasi. Semakin besar daya
adaptasi yang kita punya, akan semakin cepat pula kita menikmati kemajuan dan
perkembangan. Dan ada satu hal yang patut kita perhatikan: sesuai dengan
penggambarannya pada ornamen garis lurus yang berlanjut menjadi melingkar pada
corak batik, adaptasi yang benar pasti tidak akan menghilangkan jatidiri
otentik, sebagaimana terlihat dari persambungan yang tidak putus dari garis
lurus ke garis yang melingkar.
Sebagai pemilik dan “orangtua kandung” yang sah dari batik,
kita, bangsa Indonesia, harus konsekuen. Kita dikaruniai ilham akan suatu nilai
luhur, yaitu suatu kemaslahatan bagi seluruh umat dalam bangsa ini yang
berdasarkan kemakmuran, yang hanya dapat dicapai dengan cara mengejar kemajuan
dan perkembangan: kemajuan dan perkembangan yang cuma bisa terwujud dengan
memiliki daya adaptasi ampuh, daya adaptasi yang benar, yang bukannya
memudarkan apalagi menghilangkan jatidiri ke-Indonesia-an kita tapi sebaliknya,
justru harusnya memperkokoh dan mempernyata identitas itu. Kemudian, nilai itu,
sadar maupun tidak, kita resapkan jauh ke dalam sanubari dan alam bawah sadar
kita karena saking inginnya kita mencapainya. Akibatnya, dalam berkreasipun,
bangsa kita mengejawantahkan nilai luhur tersebut. Dan yang pengejawantahan
yang terbesar adalah dalam batik. Tapi, setelah itu, apa? Berhenti hanya sampai
melukiskannya dalam batik? Tidak boleh begitu! Batik
harusnya menjadi pelecut kita untuk kian mencintai dan menjaga jatidiri kita
sebagai bangsa. Batik seyogyanya menjadi pengingat kita akan pentingnya
fleksibilitas dalam hidup, untuk lentur terhadap perbedaan di sekitar kita dan
perubahan yang terjadi pada zaman kita.
Tapi, apa realitanya sekarang? Kita harusnya malu sebagai
bangsa pemilik dan yang melahirkan batik! Terhadap orang yang berbeda agama,
suku, ras, budaya, pandangan politik, dan sebagainya, kita keji. Terhadap
perubahan zaman, kita tergagap-gagap, kita histeris, kita melemparkan diri ke
salah satu di antara dua ekstrem yang keliru: kalau tidak menolak mentah-mentah
perubahan tanpa mempelajarinya sama sekali, ya menelannya bulat-bulat dengan
cara yang sama: tanpa mencernanya dulu sama sekali. Jadinya? Ya begini! Bangsa
kita terancam terdisintegrasi, sudah lupa dan hampir tidak mengenali lagi
jatidiri sendiri, mengalami kemerosotan di segala bidang, yaitu fisik, mental,
moral, sosial, dan spiritual!
2. Filosofi dari percabangan
Kemudian, pada gambar-gambar dan ornamen-ornamen batik, saya dapati juga percabangan.
Percabangan ini bukan hanya terdapat pada garis lurus yang berlanjut menjadi
lengkungan spiral saja, tapi juga terdapat pada bentuk-bentuk dan gambar-gambar
ornamen lainnya.
Ini menyimbolkan harapan yang tak pernah putus, asa yang
tiada berakhir, karena selalu ada jalan bagi segala sesuatu. Hidup yang tidak
mengenal “putus asa” dan “menyerah” dalam kamusnya. Sebab, kalau kita bersedia
meluangkan cukup waktu untuk menganalisa hidup ini, kita akan mendapati bahwa
mustahil ada masalah yang tidak bersolusi, tidak mungkin ada teka-teki
tanpa pemecahan, tidak masuk akal bila ada perangkap yang tidak ada jalan
keluarnya. Dalam segala hal! Tuhan selalu bersedia membuka jalan bagi
orang-orang yang mengasihi Dia dan meminta pertolongan dari-Nya. Tiada
sesuatupun yang mustahil bagi Tuhan. Soal menyediakan jalan keluar adalah hal
yang luar biasa sepele untuk-Nya. Hanya saja, kita pun punya tanggung jawab
penuh untuk “mencari” dan “menggali” jalan itu. Tuhan akan menyediakan jalan
hanya kalau kita mencari dan menggalinya. Saat kita mencari dan menggali jalan
keluar, tepat pada saat yang sama, Tuhan menyediakannya. Tidak pernah lebih
cepat, tidak pernah lebih lambat. Barang se-nano-detikpun!
Melihat kondisi bangsa kita sekarang ini, godaan untuk
berpesimis sangatlah besar bagi kita. Terasa bukan main berat bagi kita untuk
mengembangkan mental yang optimis, bukan? Bukankah hidup ini seperti
mempermainkan kita dengan kejamnya? Terlihat jelas betapa kejahatan semakin
merajalela, ‘kan? Ketidakadilan makin jenuh memenuhi udara kita, kesulitan demi
kesulitan kian hari kian mengencangkan lilitannya pada kita, betul? “Menyerah”
dan “putus asa” begitu ringan untuk menjadi kata terakhir keputusan kita, iya
‘kan? Tapi, lihat! Di dekat “belokan garis yang tepat hendak menjadi lengkungan"
itu, ada “garis cabang” yang kecil! Nyaris tak kentara! Tapi tetap saja: itu
alternatif! Jalan keluar! Solusi! Tidak nampak oleh mata jasmani dan mata
pikiran kita, barangkali, tapi coba gunakan mata iman, mata pengharapan
kita.... Ya, meski sangat samar, tak diragukan lagi: itulah jalan yang harus
kita tempuh! Itulah jalan menuju hari-hari kita selanjutnya! Itulah jalan di
mana di atasnya kita bisa membangun lagi cita-cita kita yang mulia, walaupun
harus mulai dari 0 (nol) lagi, bahkan mungkin dari minus! Di situlah kita punya
kemungkinan-kemungkinan baru! Di situlah Indonesia dapat membangun lagi, dan
terus membangun, dan terus... hingga menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan
makmur!
3. Filosofi dari repetisi (pengulangan)
Pada batik, tidak ada gambar yang hanya satu, tunggal. Tidak
pernah begitu! Gambarlah corak di posisi mana saja (gambar apa saja: wayang,
orang, bunga, binatang, apa saja!) pada sebuah media (kain, tas, atau media
apapun), dan jadikan itu gambar satu-satunya pada media itu. Maka, gugurlah
corak yang Anda bikin itu dari kategori “batik”. Corak itu sudah tidak lagi
menjadi batik! Karena, dalam batik, satu gambar atau ornamen selalu berulang, bukan
2 (dua), bukan 3 (tiga), tapi bisa belasan bahkan puluhan! Malah, ada rancangan
yang membuat pola berulang itu tidak hanya terdiri atas satu baris jajar saja,
tapi bisa 2 (dua) jajar bahkan lebih! Dan, yang lebih menarik serta yang
menjadi ciri otentik dari batik, pengulangan itu berjarak berdekatan. Gambar A
hanya berjarak tidak lebih dari 2 cm dari kembarannya, dan pada jarak yang sama
dari kembaran itu, ada kembaran yang ketiga, demikian seterusnya.
Pengulangan! Itulah pola yang didengungkan dan dipaparkan
“berulang-ulang” oleh batik pada kita untuk mengingatkan: segala sesuatu yang
dilakukan berulang-ulang, dilatih terus-menerus, akan menghasilkan kesempurnaan
demi kesempurnaan, kemuliaan demi kemuliaan. Tidak ada yang instan dalam
kesuksesan! Bisa saja seseorang, karena saking berbakatnya, melakukan sesuatu
hal dengan amat sangat baik hanya dengan satu kali coba. Tapi yang pasti, kalau
ia tidak terus melatihnya, tidak terus melakukan repetisi, ia dan hasil yang
diproduksinya pasti akan mengalami kemerosotan, cepat atau lambat! Ingat
wacana “dinamika” di atas?
Hidup ini tidak menjodohkan “dinamika positif” dengan
“kemalasan”. Ia menjodohkan “kemalasan” dengan “dinamika negatif”. Pengulangan
adalah manifestasi dari ketekunan (perseverasi) dan tekad (determinasi). Dalam
menghadapi hidup yang berat setengah mati ini, agar bisa mengalami perkembangan
dan kemajuan, kita harus tekun dan bertekad kuat. “Perseverasi dan
dedikasi”-lah jodoh “dinamika positif”... dan mereka tidak mengenal poligami!
Jadi, kalau kita malas (ingat! “Malas” sama sekali tidak sama/identik dengan
“santai”! Kita bisa saja “serius” dalam kemalasan, tapi kita juga bisa “santai”
dalam keringan-tanganan!), jangan heran kalau kemorosotan dan keterpurukanlah
yang terjadi pada kita. Dalam segala hal! Ini bukan cuma soal studi dan
pekerjaan, tapi juga dalam hal keimanan dan kerohanian, dalam hal cinta dan asmara, dalam hal relasi (dengan Tuhan, dengan pasangan
hidup, dengan anggota keluarga lain, dengan anggota masyarakat lain, dengan
makhluk lain, dengan lingkungan, dan sebagainya), dan dalam hal-hal lainnya.
Tidak ada yang tidak lolos dari kebutuhan akan usaha dan perjuangan. Jika kita
mencintai seseorang, kalau kita tidak terus-menerus melatih cinta kita dengan
penuh pengorbanan, maka niscaya cinta itu akan memudar dan menghilang. Kalau
kita tidak terus-menerus mengulang perbuatan iman kita, maka iman kita kepada
Tuhan pasti lama-lama akan menciut dan mati. Pengulangan menghasilkan kebiasaan,
dan kebiasaan melahirkan karakter. Biasakanlah berbuat jahat, maka karakter
kita akan jahat. Usahakanlah terus untuk berbuat benar dan baik, maka karakter
kita akan mulia! Nah, kalau kita melihat kenyataan bangsa kita akhir-akhir ini,
kira-kira, sudahkah kita memiliki karakter yang mulia?
4. Filosofi dari keterpolaan (keteraturan)
Semua ornamen dan gambar dalam batik (dengan
percabangan-percabangannya), baik itu garis lurus yang berlanjut menjadi
lengkungan spiral maupun gambar lain, tidak pernah tersusun secara acak-acakan.
Tidak pernah ada terjadi di mana gambar yang satu miring ke kiri sementara
kembarannya miring ke kanan. Semuanya serba tertata dan teratur. Sekarang
begini: gambarlah garis lurus yang berlanjut menjadi labirin, dan gambarlah
kembarannya sampai memenuhi seluruh media, tapi letakkan semuanya itu secara
acak tanpa pola yang jelas. Maka orang-orang yang melihat akan mengomentari:
“Itu batik apaan?!”
Demikianlah juga dengan hidup kita. Lakukanlah perbuatan
benar, beribadahlah, dan perbuatlah semua itu dengan jiwa yang fleksibel dan
adaptatif terhadap perbedaan dan perubahan orang lain dan lingkungan, teruslah
lakukan itu semua dengan ketekunan dan tekad yang diliputi semangat pantang
menyerah, tapi perbuatlah itu tanpa juntrungan yang jelas. Maka, lama-kelamaan kita pasti
akan kehilangan fleksibilitas dan jiwa adaptatif, segera merasa jemu dan bosan akibat ausnya
tekad dan ketekunan kita, serta sangat tergoda untuk menuliskan kata “menyerah”
di “papan penunjuk jalan” kita. Dan, ada kemungkinan orang akan menganggap kita
gila... dan bukannya tidak mungkin kita sendiri juga lama-lama bakal gila
benaran! Karena, untuk merekatkan semua itu pada diri kita, kita memerlukan
sistematika. Kita butuh metoda. Harus ada perencanaan dan manajemen yang
cermat. Singkatnya, kita perlu kedisiplinan. Kedisiplinanlah yang me-maintain
jiwa kita biar tetap fleksibel dan adaptif, tetap semangat, serta juga tetap memiliki
ketekunan dan tekad.
Sedihnya, kedisiplinan sepertinya menjadi barang langka bagi
bangsa kita....
Renungan Penutup
Barangkali ada yang menilai saya berkhotbah atau menggurui.
Tidak apa-apa. Saya memang sedang mengkhotbahi dan menggurui diri saya sendiri.
Karena saya memang amat memerlukannya. Saya menyadari, bukan tanpa maksud Tuhan
menganugerahi bangsa kita ini dengan batik. Itu karena Tuhan sangat sayang pada
Indonesia. Betapa tidak? Baru-baru ini, saya baru ngeh, ratusan tahun yang
lalu, Tuhan mengilhamkan kemampuan menciptakan batik hanya pada beberapa suku
bangsa yang tinggal pada wilayah tertentu saja. Suku-suku bangsa tersebut kelak
bersatu menjadi sebuah bangsa besar yang disebut bangsa Indonesia, yang tinggal
di wilayah yang kelak bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada
suku bangsa lain di luar suku-suku tersebut di dunia ini yang memiliki
inisiatif ataupun terpikir untuk menciptakan batik. Itu adalah sebuah mujizat!
Saya juga menyadari, maksud Tuhan mengaruniakan kemampuan
tersebut adalah semata-mata supaya bangsa itu selalu mengingat Tuhan, dan untuk
membuktikan rasa cinta dan ibadah kepada-Nya dengan cara hidup bertanggung
jawab, sebagaimana yang difilsafatkan oleh teknik pembuatan dan corak batik.
Dan saya malu. Saya adalah elemen dari bangsa tersebut. Dan
saya masih jauh dari ibadah yang benar kepada-Nya, sebab masih saja saya kurang
mampu beradaptasi serta menerima perbedaan dan perubahan, cepat kehilangan
fokus, masih tidak berdisiplin, malas, serta tidak memiliki tekad dan
ketekunan yang memadai.
Tapi selama hidup masih dikandung badan, saya tidak akan
berhenti berusaha untuk menumbuhkan cinta dan bakti saya kepada Tuhan dengan
cara tidak berhenti berusaha mewujudkannya dalam bentuk menjalani hidup yang
bertanggungjawab. Dan saya mau memulai semuanya itu dengan belajar dari batik dan belajar mencintainya juga. Saya tidak akan menyerah barang sesaatpun...!