Makhluk hidup,
termasuk kita, manusia, memerlukan unsur-unsur esensial, yang mutlak mesti ada,
untuk mempertahankan dan menjamin eksistensinya, hidupnya, serta kontinuitas pertumbuhan
dan perkembangannya. Unsur-unsur esensial tersebut adalah udara dan air. Nah,
teknologi pun mirip makhluk hidup, butuh unsur esensial agar bisa tetap
berlangsung, terus berkembang, dan semakin maju. Dan yang menjadi "udara dan
air" untuk teknologi adalah listrik.
Sementara itu,
teknologi itu sendiri adalah unsur esensial bagi peradaban manusia.
Teknologilah satu-satunya indikator kondisi peradaban suatu komunitas populasi.
Jika kemajuan teknologi di suatu bangsa mencapai taraf yang luar biasa, maka
sangat tinggi peradaban bangsa tersebut, demikian pula berlaku sebaliknya. Dan,
kian pesat akselerasi dari kemajuan teknologi tersebut, kian cepat pula
peningkatan mutu peradaban masyarakatnya, dan begitu juga sebaliknya.
Memang, suplai
yang memadai dari air dan juga oksigen di udara tidaklah serta-merta menjamin bahwa
manusia akan lancar-lancar saja kehidupannya, khususnya proses
tumbuh-kembangnya. Banyak faktor yang mampu menghambat dan merintangi
pertumbuhan dan perkembangan diri kita, sekalipun di sekitar kita udara dan air
sangat berlimpah. Akan tetapi, mustahil diri kita bisa bertumbuh dan berkembang
secara sehat dan optimal apabila kita mengalami kekurangan air dan oksigen, terlebih
lagi kalau sampai tidak mendapatkannya. Sama halnya dengan teknologi dan
listrik. Tidak selalu daerah yang pasokan listriknya cukup, atau bahkan
berlebih, pasti maju teknologinya. Namun, kalau daerah yang seperti itu saja
belum tentu maju, apalagi yang kesulitan listrik atau aliran pasokan listriknya
sering berkendala! Tentulah teknologi masyarakat yang tinggal di daerah
bersangkutan tidak maju-maju.
Kasus tersebut
kita alami di Indonesia. Banyak hal yang membuat kita tak kunjung juga menjadi
negara dan bangsa yang maju. Salah satu penghambat terbesarnya, ya itu,
teknologi kita yang tertinggal cukup jauh dari bangsa-bangsa maju. Dan hampir
mustahil mengharapkan teknologi kita bisa maju, apalagi dengan kecepatan dan
akselerasi perkembangan yang tinggi, apabila suplai listrik di negeri ini masih
tersendat-sendat, tidak pasti kelancarannya, lantaran masih sangat sering byar-pet, malah di beberapa daerah
listriknya tidak 24 jam menyalanya! Bahkan, beberapa daerah lain justru belum
terjangkau listrik sama sekali!
Memang,
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sendiri,
pemasok tunggal listrik di tanah air, masih mengalami banyak kendala teknis dan
non-teknis terkait optimalisasi penyuplaian listrik di seluruh wilayah
Indonesia hingga ke pelosok dan pedalaman. Tapi, di pihak lain, adalah hak yang
tidak dapat ditawar dan dijamin konstitusi dari seluruh warganegara untuk
mendapat pelayanan listrik secara baik dan memuaskan dari negara. Tuntutan
rakyat untuk bisa menikmati listrik tanpa terputus dengan harga murah itu
wajar. Terlebih karena rakyat merasakan juga ketidakadilan: cepat terkena
sanksi denda, dan bahkan sampai penalti berupa pemutusan aliran, bilamana
terlambat membayar tagihan listrik (bagi para pelanggan yang masih menggunakan
sistem pembayaran listrik model lama, yakni dengan membayar tagihan saban
bulan). Mana tarif listrik naik terus tiap tahun. Tapi, manakala listrik sering
mati, tidak satupun kompensasi yang diterima. Pada saat bersamaan, sudah
semaksimal bagaimanapun upaya yang dilakukan PLN,
listrik yang disediakannya, berikut pelayanan terhadap konsumennya, masih tetap
jauh dari memadai. Sehingga, kesannya, PLN
tidak menjalankan kewajibannya terhadap rakyat dengan baik. Sebab, PLN pun serba terbatas sumber dayanya. Tidak
bisa sendirian melakukan semuanya. Dukungan dari berbagai pihak, terutama
sekali pemerintah, betul-betul dibutuhkan PLN.
Sementara
menunggu bantuan, juga kesadaran dan niat baik pemerintah untuk memajukan
listrik di negeri ini, apakah tidak ada lagi yang dapat dilakukan PLN untuk menunaikan kewajibannya agar,
setidaknya, "penderitaan" rakyat bisa sedikit berkurang? Tentu, seharusnya
masih ada.
Nah, melalui tulisan
di blog ini, izinkan saya memberi sedikit
sumbang pemikiran solutif bagi problematika tersebut.
Pertama, PLN secara proaktif menyediakan dan
memasangkan pesawat Uninterrupted Power
Supply (UPS) untuk semua pelanggan. UPS tersebut statusnya harus tetap
merupakan properti PLN, milik PLN, sebagaimana halnya transformator (trafo)
meteran, jadi harus dipasang secara paten dan kemudian disegel pula, tidak
boleh dibuka (apalagi sampai dilepaskan) oleh siapapun selain petugas PLN yang beridentitas jelas dan membawa surat
tugas resmi. Apabila penyediaan alat UPS itu tidak bisa sekaligus untuk seluruh
pelanggan, paling sedikit, diterapkan skala prioritas: jadi, para pelanggan
yang paling sering mengalami mati listrik, apalagi dalam waktu lama, adalah
yang menjadi prioritas paling utama, dan daerah yang rakyatnya paling parah mengalami
hal semacam itu harus didahulukan sebagai sasaran pendistribusian UPS. Tapi,
tetap harus diingat, sejatinya UPS tersebut diperuntukkan bagi seluruh
pelanggan PLN tanpa terkecuali. Hal ini
akan sangat menolong mengurangi kerugian yang diderita masyarakat akibat
seringnya aliran listrik padam secara tiba-tiba. Terlebih padam dalam waktu
lama. Kita tahu, hampir semua alat elektronik akan lekas rusak bila terputus
secara tiba-tiba dari aliran listrik tanpa prosedur yang semestinya untuk
mematikan alat. Terutama yang cukup vital bagi bisnis dan keluarga, mahal pula,
seperti lemari es, komputer, dan televisi LCD/LED. Bukan itu saja. Kerugian
material dalam bentuk lain pun tak sedikit dialami para pelanggan yang mengalami "musibah" seperti itu. Belum lagi kerugian moral dan emosional. Misalnya,
seperti yang sedang saya lakukan, yaitu menulis blog
ini. Saat saya sudah menulis panjang-panjang tapi belum sempat men-save-nya ke hard disc komputer, data yang sudah capek-capek saya ketik ini akan
lenyap begitu saja bilamana listrik tahu-tahu mati! Dengan adanya UPS selaku
alat penyimpan cadangan energi listrik terbatas, kita bisa punya cukup waktu
setidaknya untuk mematikan alat-alat elektronik kita melalui prosedur yang
semestinya, serta untuk menyimpan data yang sedang kita input. Jadi, setiap kali aliran listrik dari PLN mendadak mati, UPS itu akan mengeluarkan
bunyi peringatan yang cukup keras untuk mengingatkan pelanggan agar segera
mematikan alat-alat yang sedang digunakan. Dengan demikian, akan sangat besar
kerugian yang bisa dicegah, bukan? Tapi, harus diingat, UPS tersebut haruslah
dibagikan gratis. Kalau tidak, manfaat dari UPS tersebut bukannya terasa, tapi
malah terkesan sebagai akal-akalan PLN dan
pemerintah saja untuk cari duit dan cari untung lebih besar lagi!
Meskipun kerugian
material dan emosional bisa banyak dikurangi dengan adanya UPS, tetap saja hak
rakyat masih terlanggar dengan masih terjadinya pemadaman listrik secara
sepihak, lebih-lebih kalau terjadi tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan
sosialisasi masif sebelumnya. Sebab, bagaimanapun, sebagaimana sudah kita lihat
di atas, hak rakyat adalah untuk mendapatkan layanan penyediaan listrik yang
tanpa terputus sama sekali, aman, dan harganya terjangkau, serta untuk mendapat
pelayanan-pelayanan lain dari PLN di luar
soal keterjaminan aliran listrik. Maka, usul saya yang kedua adalah supaya PLN secara gencar dan intensif melakukan blusukan, turun ke semua kampung atau RW
(Rukun Warga) di seluruh tanah air. Untuk apa? Dalam rangka: pertama, mencari
tahu sumber daya apa yang dimiliki dan tersimpan sebagai potensi di kampung
atau RW bersangkutan, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik;
kedua, sesudah mendapati sumber daya yang dicari, melibatkan masyarakat untuk
ikut berperan (sembari juga mendidik masyarakat agar kelak, cepat atau lambat,
bisa secara swadaya) menyediakan sarana dan infrastruktur pengubah energi dari
sumber daya tersebut menjadi energi listrik dengan keluaran watt yang tidak usah besar, cukup untuk
memenuhi kebutuhan listrik masyarakat kampung atau RW tersebut saja. Umpamanya,
di suatu kampung di desa tertentu, sepanjang hari angin kencang bertiup, andai
saja di situ dibangun kincir-kincir angin, sangat mungkin bisa dihasilkan
energi listrik yang mencukupi bagi seluruh kampung. Sementara, di tempat lain
di Nusantara, ada sebuah RW di suatu kota, di mana penduduknya cukup banyak dan
padat, sehingga sampah yang dihasilkan pun lumayan besar tiap harinya, dan
sebenarnya sampah-sampah itu bisa diolah untuk menghasilkan energi listrik;
apalagi kalau masyarakat diedukasi dan diberdayakan untuk membentuk bank
sampah, lalu membuat alat pemilah dan pengolah sampah, serta kemudian juga
membuat alat untuk menghasilkan energi listrik dari sampah-sampah yang telah
dipilih dan diolah itu; maka, niscaya, pasokan listrik di RW itu akan terjamin
lancar terus. Lagipula, merata di seluruh tanah air kita, sinar matahari
bersinar sepanjang tahun, dan bilamana di seluruh kampung dan RW tersedia panel
pembangkit listrik tenaga surya, betapa terhindarnya kita dari "dosa"
membiarkan sumber daya melimpah terbuang mubazir! Silakan PLN dan pemerintah mengkalkulasi, mana yang
membutuhkan biaya lebih besar: menjalankan metode yang saya sarankan barusan
ataukah membangun pembangkit-pembangkit listrik berskala raksasa yang baru.
Kalaupun metode yang saya usulkan itu lebih besar ongkosnya, namun tingkat
kesulitan dan kerumitannya jauh lebih rendah sehingga dapat lebih cepat
direalisasikan. Dan rakyat pun tidak usah menunggu-nunggu lebih lama lagi untuk
mendapatkan listrik yang terus menyala tanpa ancaman padam sewaktu-waktu, tidak
perlu menderita lebih lama lagi akibat semakin banyaknya alat elektronik yang
jadi korban, kian banyaknya emosi terkuras, dan makin banyaknya pekerjaan yang
terbengkalai gara-gara listrik yang tidak bisa diandalkan. Anak-anak yang masih
bersekolah di daerah yang (tadinya) krisis listrik pun bisa belajar pada malam
hari karena sudah tersedia penerangan di rumah mereka. Tapi, keuntungan yang
tak dapat dihitung namun sangat bermakna adalah bangkitnya pengetahuan masyarakat
akan manfaat dan segala seluk-beluk listrik, termasuk bahayanya apabila
terdapat penyalahgunaan dan penggunaan yang tidak tepat. Juga, bangkitnya rasa
memiliki di hati rakyat terhadap aset negara yang vital semacam pembangkit
listrik, sehingga pasti tumbuh pula rasa tanggung jawab seluruh pihak untuk
menjaga dan memeliharanya.
Akan tetapi,
pembangkit-pembangkit listrik penghasil daya ribuan mega-watt pun tetap diperlukan dan masih harus dibangun untuk
memenuhi kebutuhan industri besar. Ini memang sudah merupakan proyek reguler PLN. Nah, ide saya yang ketiga berhubungan
dengan hal ini. Kalau selama ini kendala yang dihadapi pemerintah dan PLN adalah soal keterbatasan sumber daya
finansial, selain mengandalkan investor, dalam negeri maupun (terutama) asing, mengapa
tidak dirancang saja sistem franchise
(waralaba) untuk menggalang banyak sekali pihak sebagai rekanan penyelenggara
pembangkit listrik? Tinggal dibuat saja regulasinya agar menguntungkan semua
pihak, baik negara (dalam hal ini, PLN)
sebagai franchiser maupun pihak
swasta selaku franchisee, serta
merangsang supaya yang menjadi franchisee
sebanyak mungkin adalah swasta dari kalangan anak negeri kita sendiri dan
membatasi jumlah kalangan asing yang memegang hak waralaba itu. Kalau bisa, dan
memang sudah semestinya, seratus persen yang menjadi franchisee ialah orang Indonesia. Bukan saya anti-asing dan menganjurkan
semangat anti-asing. Namun, listrik adalah sesuatu yang esensial dan menyentuh
hajat hidup orang banyak. Dan, sesuai konstitusi kita, UUD '45 pasal 33,
cabang-cabang produksi semacam itu harusnya memang dikuasai negara, sehingga
satu-satunya pihak yang layak diserahi pembagian tanggung jawab mengelolanya
adalah rakyat dan warganegara Indonesia sendiri. Jadi, pembangkit-pembangkit
listrik yang dibangun itu tetap memakai nama PLN,
jadi listrik yang dihasilkannya pun tetap dianggap sebagai produk PLN. PLN
pun bertanggung jawab atas standardisasi mutu sarana, infrastruktur, produksi,
distribusi, produk, dan layanan kepada pelanggan. Juga bertanggung jawab atas
penyediaan tenaga ahli dan auditor. Sedangkan tanggung jawab pihak pemegang hak
waralaba (franchisee) adalah
menyetorkan dana untuk membeli hak waralaba selama jangka waktu tertentu serta
untuk pengadaan sarana, infrastruktur, dan peralatan, menyiapkan lahan yang
akan ditempati pembangkit, serta merekrut dan menggaji tenaga pekerja lapangan.
Adapun hak franchisee adalah untuk
mencari klien yang hendak dipasangkan listrik dari pembangkit mereka, serta
untuk menerima seluruh uang pembayaran biaya pemasangan dan uang penjualan
pulsa listrik. Akan tetapi, tarif listrik di seluruh Indonesia tetap wajib
dipatok, dan hanya pemerintah (PLN) yang
punya hak untuk menetapkannya. Franchisee
sama sekali tidak boleh mengutak-atik dan bermain di ranah ini. Maka, dengan
sistem waralaba ini, kebutuhan dan kepuasan segala lapisan masyarakat akan
listrik dapat segera terpenuhi seoptimal mungkin, aset negara yang menguasai
hajat hidup publik tetap aman di tangan rakyat kita sendiri, pemerintah (PLN) pun menjadi sangat diringankan dari beban
finansial, dan lapangan kerja serta peluang usaha pun bakal lebih banyak
terbuka.
Kalau semua itu
dapat direalisasikan dan berjalan bagus, insyaallah
PLN akan sangat berjasa menjadikan kemajuan
jauh lebih mungkin untuk dicapai oleh Indonesia, karena "udara dan air" bagi
teknologi sudah disediakan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini secara adekuat.