Rendang Padang. Makanan tradisional asal Sumatera Barat dan telah menjadi makanan khas dan otentik Indonesia ini kini mulai dikenal
masyarakat internasional sejak dinobatkan menjadi makanan terlezat nomor satu
di dunia pada tahun 2011 lalu. Adalah tugas dan tanggung jawab kita semua, bangsa Indonesia pada
umumnya dan masyarakat Minang khususnya, untuk terus menggadang rendang sehingga
semakin populer di kalangan semua bangsa. Segala cara dalam berbagai aspek dapat
dilakukan. Contohnya, seperti yang dilakukan rumah makan Randang Padang RESTU MANDE.
Saya penasaran ketika pertama kali tahu restoran RESTU MANDE
ini, istimewanya sewaktu membaca visinya yang luhur untuk memasyarakatkan
rendang Padang ke seluruh dunia. Dan pas tahu kalau rumah makan ini berpusat di
kota tempat domisili saya sendiri, Bandung, saya jadi lebih antusias. Selain
menyimak keterangan yang dipublikasikan di situs resmi dan fanpage-nya, tentu saja saya juga datangi rumah makan ini untuk
melihat langsung. Dan mencoba sendiri rendangnya, tentu saja, sebab kebetulan
memang saya ini penggemar kuliner dan penyuka masakan Padang. Terutama rendang Padang. Kalau saya beli makanan Padang, sebagian besar yang saya pesan adalah
rendang.
Tempatnya tidak terkesan mahal. Jadi, orang yang ingin
berhemat pun tidak akan enggan dan merasa ciut nyali untuk masuk, membeli, dan
makan di situ. Tapi bukan berarti juga terlihat murahan. Tetap saja rumah makan
yang berlokasi di Jalan Brigjen Katamso 64, Bandung, tersebut tampak berkelas. Saya
yakin, kalangan elit yang biasanya amat memperhatikan detil pun akan merasa
aman dan tetap merasa dihargai.
Untuk makan siang yang sedikit agak terlambat saat itu,
jelas saya pesan menu favorit saya: paket nasi rendang. Dan saya terkesan bahkan
sebelum makanan itu masuk ke mulut saya. Karena, begitu saya potong dengan
sendok, dagingnya begitu mudahnya dibelah. Terus terang, saya tidak tahu lagi
sudah berapa kali makan rendang Padang yang saya dapatkan dari entah berapa
rumah makan Padang seumur hidup saya, tapi belum pernah saya dapati yang seempuk, sebegitu bersahabat dengan gigi, dan sedemikian gampang ditelan
seperti di RESTU MANDE itu. Citarasanya juga sangat tidak memungkinkan untuk disebut sebagai biasa-biasa saja. Otentik sekali! Lezat
pula, pastinya. Saya termasuk mahal dalam memberi pujian. Jika tidak
benar-benar mengesankan, saya takkan puas. Dan penilaian saya ini bukannya
tanpa dukungan. Foto di dinding restoran itu yang memperlihatkan kunjungan
orang-orang ternama dalam dunia kuliner Indonesia semacam Bondan Winarno
mengafirmasikan pendapat saya.
Paket nasi rendang Padang RESTU MANDE (Foto: koleksi pribadi) |
Saya ingin menggarisbawahi keotentikan rasa ini. Bagi saya, itulah unsur yang paling penting dalam sebuah menu makanan tradisional. Lezat itu bisa saja relatif dan subjektif sekali sifatnya. Tapi tidak dengan otentisitas citarasa. Ada rendang yang memang enak namun tidak otentik. Saya pernah merasakan rendang yang rasanya lebih mendekati steak ketimbang rendang Padang. Pada kesempatan lain lagi, rendang yang saya makan terasa seperti empal atau gepuk, unsur dan sentuhan yang menjadikannya layak diberi label rendang Padang nyaris tak kentara. Tapi yang saya temukan di RESTU MANDE itu adalah rendang Padang dengan rasa yang Padang banget. Tingkat kepedasannya juga moderat, sehingga berterima bagi orang yang tidak suka atau tidak tahan pedas, namun tetap menggigit untuk lidah yang kebal pedas. Bagus sekali! Kalau kata Pak Bondan, “Maknyus! Top markotop!”
Harganya pun betul-betul terjangkau. Satu potong daging
rendang hanya Rp9.500 saja! Ditambah nasi plus sayur daun singkong dan nangka seharga
empat ribu rupiah, paket nasi rendang Padang itu jadinya cuma Rp13.500. Itu
harga yang bisa dibilang sama saja dengan paket nasi rendang Padang di rumah
makan Padang biasa, alias rumah makan
Padang berskala kecil yang harga makanannya paling murah. Padahal, dari segi
rasa, rendang Padang RESTU MANDE selevel (kalau tidak mau dikatakan lebih berkualitas, sebutan yang
sebenarnya amat pantas) dengan restoran Minangkabau kelas atas nan megah dan
mewah.
Rendang Padang RESTU MANDE, berkualitas tinggi tapi relatif murah (Foto: koleksi pribadi) |
Di restoran Randang Padang RESTU MANDE tersebut juga saya dapati sampel paket rendang kemasan. Ada 2 jenis rasa yang saya lihat: rendang Padang kemasan yang orisinal dan yang pedas/lebih berbumbu (spicy hot). Masing-masing berharga Rp64.000 dan Rp67.000, dengan berat yang sama, 3 ons per kemasan. Jadi, suatu saat, jika ingin membawakan kerabat oleh-oleh rendang Padang untuk dibawa ke luar kota atau ke luar negeri, saya tinggal memesan dari RESTU MANDE ini saja, mengingat keawetannya yang relatif cukup lama, bisa sampai beberapa bulan bahkan setahun.
Rendang kemasan RESTU MANDE |
Ada baiknya apa yang diupayakan RESTU MANDE itu kita teladani juga dalam rangka memasyarakatkan rendang Padang ke seluruh dunia. Pertama, memberikan kesan elegan yang membumi, sehingga orang mengerti bahwa rendang Padang itu dapat masuk untuk segala kalangan dan golongan, baik orang kaya maupun orang sederhana, kaum ningrat pula rakyat jelata. Kedua, sangat memperhatikan dan mempertahankan kualitas rasa dan higiene maupun otentisitas citarasa, karena para pecinta kuliner di manapun di dunia, apalagi dari kalangan pekerja kuliner profesional, amat menjunjung tinggi hal-hal tersebut. Ketiga, bukan cuma dari segi tampilan saja, dalam soal rasa dan harga pun rendang Padang harus akseptabel bagi semua orang dari apapun latar belakang suku, bangsa, agama, dan lain-lainnya; maksudnya, tidak mahal-mahal, serta juga tidak mengandung rasa yang pedas atau gurih atau apapun secara ekstrem. Dan keempat, membuat rendang Padang dalam kemasan-kemasan dengan kadar mobilitas dan kepraktisan tinggi; jadi, tidak merepotkan untuk dibawa dalam rangka promosi ataupun untuk penjualan tetap ke luar negeri, pula porsinya cukup untuk dimakan beramai-ramai namun tidak berpotensi menyisa dalam waktu lama.
Di pihak lain, terpikirkan oleh saya, ada aspek lain dari
rendang Padang yang membuatnya dapat diterima oleh semua orang di seluruh
dunia. Aspek itu adalah filosofi yang terkandung dalam rendang Padang.
Menurut Wikipedia berbahasa Indonesia, rendang Padang
memiliki makna budaya yang bersumber dari keempat elemen utamanya. Makna budaya
ini terkait erat dengan kehidupan masyarakat Minang. Daging sapi, yang
merupakan elemen utama dari rendang, melambangkan kaum pemuka adat sebagai pemimpin
serta pilar penopang entitas, kebudayaan, dan kehidupan kemasyarakatan orang
Minang. Kelapa (sebagai santan) adalah simbol dari kaum cerdik-pandai atau
cendekiawan, para pemikir yang tugasnya memberi rasa dan ilham untuk para pemuka adat agar dapat memimpin masyarakat
dengan lebih bijaksana lagi, sebagaimana kelapa (santan) yang meresap ke dalam
daging. Cabai, pemberi rasa pedas, mengibaratkan para ulama dan pemuka agama,
yang menjaga kepemimpinan para pemangku kewenangan tetap lurus secara moral
dengan petuah-petuahnya yang kritis dan tajam. Terakhir, bumbu-bumbu pemasak
lainnya (bawang merah, serai, garam, dan sebagainya) menggambarkan semua
lapisan masyarakat, mengawal dengan pemantauan ketat agar kepemimpinan para
pemuka adat tetap berpihak pada rakyat, serta terus menyokong para pemimpin
dengan berbagai dukungan supaya teguh, langgeng, dan terhindar dari pembusukan,
seperti halnya bumbu-bumbu dalam rendang Padang yang berfungsi sebagai pengawet
alami karena mengandung zat-zat antimikroba.
Namun, sama sekali tanpa bermaksud menafikan makna budaya di
atas, saya sendiri punya penafsiran juga. Menurut saya, rendang Padang mengandung
filosofi yang berlaku untuk siapapun di belahan dunia manapun dalam zaman
apapun.
Kehidupan kita ibarat daging sapi. Demi menjadikannya bergizi dan nikmat serta bermutu, kita harus mengolahnya. Dalam proses
pengolahan itu, kita membutuhkan bahan-bahan dan bumbu-bumbu berupa ilmu,
pengetahuan, pendidikan, pengalaman, dan seterusnya. Semakin banyak semakin
baik. Namun, semua itu harus pas takaran dan metodenya. Artinya, timing atau momentum harus benar-benar
diperhatikan. Demikian pula prosedur. Ada waktu untuk menimba ilmu
sebanyak-banyaknya, ada pula masanya untuk mempraktekkan apa yang sudah
dipelajari. Keliru satu saja prosedur atau gagal dalam memanfaatkan satu momen
saja akan merusak seluruh masakan.
Tidak satupun bahan dan bumbu yang tidak bermakna. Semuanya bermanfaat. Maka,
apapun yang kita alami pastilah ada hikmahnya. Ada kalanya kita mengalami
masa-masa di mana kita memiliki gurihnya
santan kelapa; tapi pada kesempatan berbeda, kita juga harus merasakan
kecut manakala asem kandis dimasukkan
ke dalam hidup kita. Di satu titik, garam
yang dibubuhi menyebabkan kelenjar neurotransmiter kita memompakan hormon
endorfin yang menghasilkan keluarnya segala rasa dan energi positif serta juga
potensi yang ada dalam diri kita. Tapi di waktu lain, pahitnya rempah-rempah mesti kita rasakan, yang menimbulkan
kesedihan, kepedihan, bahkan penderitaan dan kesengsaraan di hati dan tubuh
kita. Dalam suatu kesempatan, gula yang
dimasukkan akan memberi kita indahnya rasa manis; namun pada saat tertentu,
cabai dan rempah-rempah pedas lainnya
wajib kita terima juga. Terlebih lagi, semua itu harus melalui pemanasan di atas api. Dalam waktu lama
pula! Akan tetapi, justru itulah yang membuat segala rasa dan pengalaman di
atas, baik yang positif maupun yang negatif, memadu untuk memproduksi sebuah
hasil yang luar biasa nikmat dan bermutu tinggi, sebuah kemuliaan yang tiada
taranya, entah itu berupa kesuksesan, atau berupa kebahagiaan, atau bisa juga
berupa kesejahteraan, atau apapun juga bentuk kemuliaan itu! Namun, meski demikian,
ada satu hal yang tidak boleh dilupakan. Rendang Padang kehidupan kita itu memerlukan proses yang panjang yang harus
dijalani dengan penuh komitmen, ketelatenan, dan ketekunan. Tidak bisa
ditinggal. Tidak diizinkan sedikitpun kelengahan dan keleha-lehaan. Kita harus
terus-menerus menunggui, mengaduk, dan menjalani seluruh proses secara kontinu
dan konsisten tanpa boleh terputus.
Itulah sebabnya mengapa rendang Padang sangat bisa diterima
oleh semua bangsa di dunia. Saya percaya, ada hubungan yang erat dan niscaya
antara karakter manusia, per individu maupun kelompok, dengan makanan yang
dimakannya. Yang mana yang menjadi penyebab pertama memang belum bisa saya
simpulkan, tapi yang pasti, keduanya pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.
Karakter manusia menentukan pilihan menu makanannya. Tapi suatu jenis makanan
yang dikonsumsi dalam jumlah dan rentang waktu tertentu juga dapat mempengaruhi
perubahan atau pembentukan watak dan karakter orang tersebut. Oleh sebab itu,
siapapun yang sebelumnya tidak pernah mengenal rendang Padang, begitu
diperkenalkan dengan makanan tradisional Indonesia yang satu ini, dapat
dipastikan akan menyukainya. Karena, secara naluriah, disadari maupun tidak,
filosofi yang sarat terkandung dalam citarasa rendang Padang akan terkoneksi
dengan karakter dan sifat bawaan manusia yang menginginkan kemajuan dan
kemaslahatan dalam segala hal, karakter dan sifat yang juga mengandung
kesadaran bahwa untuk meraih semua itu harus melalui proses yang panjang,
berliku, dan dinamis. Sebab, pada dasarnya juga manusia menyadari, makin sulit
dan berat prosesnya, kian mulia pula hasilnya. Tidak ada kemuliaan sedikitpun
dari kondisi yang serba instan dan mudah. Bahkan makanan cepat saji dan mi
instan sekalipun tidak luput, harus melalui proses juga jika mau terasa enak
dan bernilai gizi tinggi, karena jika tidak, maka makanan-makanan itu takkan
terasa enak dan hanya akan menjadi makanan sampah yang menimbulkan penyakit.