Kita banyak membeli barang dan membayar jasa. Jika kita
hitung, dalam sehari saja, rata-rata kita bisa lebih dari 1 kali melakukan
transaksi pembelian dan pemakaian jasa. Bayangkan, kalau kita kalikan dengan jumlah
hari selama kita hidup sampai saat ini, jelas sudah banyak sekali, bukan? Dan,
seiring dengan itu, tentu sudah hampir tak terhitung pula uang, waktu, dan
tenaga yang juga telah kita keluarkan.
Tapi, barangkali banyak di antara kita yang merasa dirugikan
dalam sebagian besar transaksi tersebut. Kualitas produk yang tidak sesuai
ekspektasi, layanan purna-jual yang buruk, dan masih banyak hal lain lagi;
semua itu membuat kita geram dan merasa tertipu.
Kita pasti masih ingat nasehat yang sangat terkenal dari
Bang Napi: "Ingat! Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya,
tapi juga karena adanya kesempatan. Waspadalah!! Waspadalah!!!" Benar, segala
hal yang menyebabkan atau berpotensi mengakibatkan konsumen rugi adalah
kejahatan. Namun, hampir selalu kejadian itu bisa sampai terjadi karena kita
sendiri, sebagai konsumen, lalai. Kurang cermat meneliti produk atau layanan
yang hendak kita beli, kurang cerdas dalam memilih dan memilah barang serta
layanan yang akan kita ambil. Dengan demikian, kita sudah membuka kesempatan bagi "para serigala" yang siap "menerkam" kita kapanpun kita lengah.
Memang, itu "hampir selalu", artinya tidak selalu juga kita
dirugikan atau terperdaya akibat kelalaian kita sendiri. Sebab, memang, bisa
saja terjadi, kita sudah sebegitu teliti, sudah melakukan perhitungan dengan
amat baik, tapi tetap merugi. Akan tetapi, tetap saja, seringnya bukan itu yang
terjadi. Karena, kembali, hampir selalu
kita rugi akibat kesalahan kita sendiri. Berarti, kita sendiri sebenarnya punya
andil paling besar atas kerugian yang menimpa diri kita.
Tapi, jika kita memandangnya dari sudut pandang lain, yaitu
dari perspektif yang optimistis, hal itu justru adalah kabar baik. Sebab, itu
berarti kita sendiri jugalah yang punya andil paling besar untuk mencegah
terjadinya kerugian pada diri kita. Dengan kata lain, kita sangat punya daya
dan kuasa untuk mencegahnya. Kita sangat mampu untuk itu.
Bagaimana caranya? Nah, berikut ini adalah langkah-langkah
paling dasar, tapi justru yang paling menentukan, untuk menjaga agar diri kita
sebagai konsumen tidak dirugikan, alias untuk "menjadi konsumen cerdas".
1. Apa sih yang benar-benar saya butuhkan?
Seringkali, kita tidak mengambil waktu untuk memilah-milah
antara apa yang kita butuhkan dengan apa yang kita inginkan. Sayangnya, justru
inilah yang paling banyak menyebabkan kita "kejeblos".
Nah, untuk itulah, kita harus mulai dari sini. Kita harus
mulai punya kemauan untuk mengenali apa saja yang sungguh-sungguh merupakan
kebutuhan kita dan apa saja yang cuma sekadar keinginan kita.
Di sini diperlukan kejujuran dan kelapangan hati dalam
membuat klasifikasi, serta kedisiplinan dalam mengaplikasikannya. Sebagai
tambahan, sangat penting untuk digarisbawahi: kejujuran, kelapangan hati, dan
kedisiplinan ini terus berlaku dalam semua langkah selanjutnya.
Sebaiknya kita melakukan pencatatan. Kecuali kalau kita
punya memori atau daya ingat yang amat sangat long-lasting. Kita catat apa-apa yang kita butuhkan secara
berurutan sesuai skala prioritas, mulai dari yang sangat mendesak sekali di
urutan teratas, hingga yang kurang atau tidak terlalu mendesak di urutan paling
bawah.
2. Berapa ya uang jatah belanja saya?
Belum, kita belum mulai belanja. Ini masih di rumah. Sesudah
kita bereskan daftar kebutuhan, sekarang giliran membuat anggaran. Ini bukan
anggaran belanja, melainkan anggaran keuangan kita secara keseluruhan. Dan,
sekali lagi, sebaiknya tercatat. Kecuali, selain punya memori yang sangat
permanen, kita juga punya kemampuan yang luar biasa sekali dalam hal berhitung
dan membuat skema secara bayangan saja dalam imajinasi tanpa melihat riilnya,
seperti Gary Kasparov.
Nah, begitu anggaran itu jadi, kita jadi bisa melihat,
berapa uang yang kita punya seluruhnya (benar-benar secara aktual kita punya sekarang, baik di dompet maupun di
rekening bank; bukan yang nanti bakalan
kita punya), berapa yang kita pisahkan untuk membayar tagihan-tagihan wajib, berapa
yang kita sisihkan untuk membelanjakan kebutuhan yang tadi sudah kita catat,
berapa yang kita cadangkan untuk keperluan darurat yang mendadak dan tak
terduga, berapa yang kita khususkan untuk pengeluaran "spesial" (misalnya:
untuk amal dan sumbangan, atau untuk membantu orangtua, atau untuk berekreasi,
berlibur, berwisata, serta makan-makan dan hiburan sesekali), dan berapa yang
kita simpan untuk ditabungkan.
3. Barang anu kira-kira harganya sekian, bayar
anu kira-kira sekian....
Masih tetap di rumah. Tinggal satu lagi. Makin matang
persiapan, makin diperkecil peluang terjadinya kerugian. Setelah kita
memastikan berapa uang yang kita jatahkan untuk belanja, barulah kita membuat
anggaran belanja. Tercatat juga, seyogyanya.
Barangkali, "rincian pengeluaran belanja" lebih tepat
ketimbang "anggaran belanja". Copy-paste
tulisan dari catatan prioritas kebutuhan (yang tadi kita buat dalam langkah 1)
ke kertas baru, lalu di tiap poin urutan kebutuhan, kita tuliskan prediksi
harga atau biayanya. Tentu saja, prediksi itu mengikuti asumsi maksimal;
maksudnya, yang kita cantumkan di samping nama (atau jenis) barang (atau jasa)
itu adalah harga atau ongkos tertinggi yang bersedia kita bayarkan untuknya.
Contohnya, kita tuliskan: "Bahan-bahan dan bumbu-bumbu masakan untuk makan per
hari: Rp20.000", berarti biaya untuk belanja bahan makanan per hari kita
tetapkan maksimal sebesar dua puluh ribu rupiah, tidak boleh lebih.
Ada baiknya juga kalau pada item yang kita butuhkan itu kita
tuliskan pula detilnya, misalnya merek dan jenisnya. Bila itu yang kita tulis,
maka "asumsi maksimal" itu adalah harga paling mahal dari barang tersebut yang
kita prediksikan kemungkinannya. Umpamanya, kita tuliskan: "Lemari pakaian kayu
merek 'A' berukuran a x b cm: Rp2.000.000", itu artinya kita memperkirakan
bahwa lemari bermerek 'A' tersebut “separah-parahnya” berharga dua juta rupiah,
yang berarti pula, secara normal sebetulnya harga pasarannya biasanya dan
seharusnya di bawah itu; jadi, kalau seandainyapun memang terjadi sesuatu yang
menyebabkan harga lemari itu melonjak, jika harganya jadi dua juta rupiah, kita
tetap beli; tapi sekiranya lebih mahal daripada itu, kita harus tunda dulu
pembeliannya, kita pikirkan dan rencanakan ulang terlebih dahulu.
4. Belanja, ayo kita belanja...!
Nah, sekarang barulah kita pergi belanja! Jangan lupa, rincian pengeluaran belanja harus kita bawa. Karena catatan rincian itu merangkap
daftar belanjaan kita juga. Tentunya, kita tidak mesti membeli semua yang kita
catat itu dalam sekali jalan. Oleh sebab itu, ada baiknya kita menyisihkan
sedikit waktu lagi saja di rumah, paling lama juga 10 menit, guna membuat satu
daftar lagi, yaitu daftar belanja. Maksudnya, daftar belanja untuk hari ini, apa yang mau kita beli hari
ini saja, di tempat tertentu saja. Daftar terakhir inilah yang kita bawa.
Bawalah uang secukupnya, hanya sejumlah yang dibutuhkan
untuk belanja saat ini sesuai daftar belanja, beberapa rupiah untuk ongkos atau
uang bensin, dan ditambah sedikit saja untuk marjin, bukan untuk belanja
tambahan, melainkan untuk jaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi dalam
perjalanan yang membutuhkan tambahan ongkos.
Tapi itu kalau kita memilih memakai uang tunai. Bagaimana kalau dengan berbagai alasan, kita lebih memilih untuk memakai kartu kredit atau kartu debet? Nah, itu memang situasional sekali. Adalah hak asasi semua orang untuk memakai cara pembayaran apapun sesuai yang disukainya. Namun, sebagai konsumen yang cerdas, adalah lebih bijak jikalau kita lebih mengutamakan kartu debet. Mengapa? Karena akan lebih terasa pengeluarannya, hampir sama dengan saat kita menggunakan uang tunai. Kartu kredit sebaiknya hanya digunakan pada waktu kita memerlukan pembayaran yang jumlahnya relatif besar, mengingat faktor keamanan dan kepraktisan. Hanya saja, pada kesempatan yang sama, kita membutuhkan kontrol yang kuat. Sekiranya kita cukup kuat mengontrol diri, tidak mudah terpikat mata kita untuk membelanjakan hal-hal yang tidak perlu, bolehlah kita menggunakan kartu kredit saat kita melakukan transaksi seorang diri. Tapi jika tidak, sebagai bukti bahwa kita cukup tahu diri dan berusaha menjadi konsumen cerdas, sebaiknya kita membawa paling sedikit satu orang untuk menemani kita belanja. Maksudnya, sebagai pengawas dan pengingat kita, yang menjaga agar kita tidak terjebak nafsu berbelanja. Bisa itu suami/isteri, atau kakak, atau orangtua, atau sahabat, atau siapa saja yang kita tahu baik dan semata-mata hanya menginginkan kebaikan bagi kita.
Dan ini berlaku juga manakala kita melakukan pembelian secara online, di mana kartu kredit juga dapat digunakan sebagai salah satu cara pembayaran selain transfer bank dan PayPal, sebagaimana nanti akan kita lihat di bawah.
Tapi itu kalau kita memilih memakai uang tunai. Bagaimana kalau dengan berbagai alasan, kita lebih memilih untuk memakai kartu kredit atau kartu debet? Nah, itu memang situasional sekali. Adalah hak asasi semua orang untuk memakai cara pembayaran apapun sesuai yang disukainya. Namun, sebagai konsumen yang cerdas, adalah lebih bijak jikalau kita lebih mengutamakan kartu debet. Mengapa? Karena akan lebih terasa pengeluarannya, hampir sama dengan saat kita menggunakan uang tunai. Kartu kredit sebaiknya hanya digunakan pada waktu kita memerlukan pembayaran yang jumlahnya relatif besar, mengingat faktor keamanan dan kepraktisan. Hanya saja, pada kesempatan yang sama, kita membutuhkan kontrol yang kuat. Sekiranya kita cukup kuat mengontrol diri, tidak mudah terpikat mata kita untuk membelanjakan hal-hal yang tidak perlu, bolehlah kita menggunakan kartu kredit saat kita melakukan transaksi seorang diri. Tapi jika tidak, sebagai bukti bahwa kita cukup tahu diri dan berusaha menjadi konsumen cerdas, sebaiknya kita membawa paling sedikit satu orang untuk menemani kita belanja. Maksudnya, sebagai pengawas dan pengingat kita, yang menjaga agar kita tidak terjebak nafsu berbelanja. Bisa itu suami/isteri, atau kakak, atau orangtua, atau sahabat, atau siapa saja yang kita tahu baik dan semata-mata hanya menginginkan kebaikan bagi kita.
Dan ini berlaku juga manakala kita melakukan pembelian secara online, di mana kartu kredit juga dapat digunakan sebagai salah satu cara pembayaran selain transfer bank dan PayPal, sebagaimana nanti akan kita lihat di bawah.
5. Pilah-pilih aaah...!!
Sampailah kita ke tempat yang dituju. Pada titik inilah "perjuangan" mencapai titik paling panas, paling nyata, sekaligus paling
menentukan. Namun, sebetulnya sederhana saja. Yang perlu kita lakukan hanyalah
memilah dan memilih secara betul-betul cermat dan teliti.
Proses pemilahan dan pemilihan produk ini juga terdiri dari
beberapa langkah. Langkah-langkah ini tidak perlu dilakukan secara berurutan.
Yang penting, seluruhnya dijalankan. Kalau kita sudah menentukan merek, model,
tipe, dan spesifikasi lain dari produk yang kita inginkan, tugas kita jadi jauh
lebih ringan, sebab alternatif yang harus kita pilah-pilih pasti jauh lebih
sedikit. Tapi kalaupun tidak, kita tidak perlu panik dan risau. Meskipun memang
lebih banyak alternatif yang harus kita amati, setidaknya kita punya patokan,
yaitu barang itu harganya harus berada dalam range asumsi maksimal yang sudah kita tentukan dalam rincian
belanja.
a). Pilihlah yang kemasannya rapat dan utuh. Terutama
untuk produk bahan pangan. Kalau bisa, semulus mungkin. Tidak terlihat kusam
dan tidak menyebabkan jari kita terasa risih pada waktu kita usap akibat debu
yang menempel. Kelihatannya sepele, padahal kemasan ini banyak "berbicara" kepada kita. Dari
kesan yang diberikan kemasan, kita dapat mengira-ngira, barang tersebut dirawat
baik-baik oleh penjual atau pengelola toko atau tidak, juga apakah itu stok
lama atau baru. Sebab, kalau untuk membersihkan barang dagangannya saja penjual
atau pengelola toko sudah tidak telaten, jangan-jangan cara perlakuan lainnya
juga tidak baik, seperti tidak hati-hati menaruh, main banting-banting saja.
Andai benar begitu, gawat juga! Apalagi untuk barang elektronik dan
barang-barang pecah-belah.
b). Pilihlah barang yang ada labelnya, dan label tersebut
berbahasa Indonesia. Hal ini untuk menghindari barang black market (BM), yang tidak jelas rimbanya.
c). Pilihlah produk yang pada labelnya (yang sebaiknya
berbahasa Indonesia, sebagaimana disebutkan barusan) tercantum secara rinci dan
jelas identitas produsen dan distributornya, lebih baik lagi kalau ada alamat
dan nomor kontak layanan konsumennya. Jika tidak, kalau terjadi sesuatu
yang merugikan, kita akan kesulitan meminta pertanggungjawaban. Karena,
produsen dan distributor yang tidak merinci identitas perusahaannya, apalagi
jikalau sama sekali bahkan tidak menuliskan nama mereka sekalipun pada label,
patut dipertanyakan kredibilitas dan keterpercayaannya.
d). Pilihlah produk yang labelnya (sekali lagi: sebaiknya berbahasa Indonesia), minimal, menjelaskan juga keadaan (kondisi) dan kegunaan barang, tanggal kadaluwarsa, serta informasi K3L (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan). Informasi yang berkaitan dengan K3L yang terdapat pada label barang adalah simbol bahaya, pernyataan kehati-hatian, dan/atau peringatan yang jelas.
d). Pilihlah produk yang labelnya (sekali lagi: sebaiknya berbahasa Indonesia), minimal, menjelaskan juga keadaan (kondisi) dan kegunaan barang, tanggal kadaluwarsa, serta informasi K3L (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan). Informasi yang berkaitan dengan K3L yang terdapat pada label barang adalah simbol bahaya, pernyataan kehati-hatian, dan/atau peringatan yang jelas.
d). Pilihlah produk yang masa kadaluwarsanya paling lama.
Terutama untuk produk-produk yang digunakan pada tubuh dan/atau dikonsumsi ke
dalam tubuh, seperti bahan pangan dan obat-obatan. Sering didapati, dua produk
dengan merek dan jenis yang sama, ternyata berbeda tanggal kadaluwarsanya.
Umpamanya, mi instan merek 'B' rasa ayam bawang yang sedang kita pegang
ternyata berbeda tanggal kadaluwarsa dengan yang di sebelahnya, sesama mi
instan merek 'B' rasa ayam bawang. Semakin akhir tanggal kadaluwarsanya, sudah
pasti semakin baru produknya.
e). Pilihlah barang yang menyertakan buku petunjuk
pemakaian manual dan kartu garansi. Ini berlaku untuk barang-barang
elektronik, alat-alat listrik, barang-barang yang menggunakan mesin, dan
produk-produk lain yang memang semestinya menyertakan manual dan kartu garansi.
Dengan begitu, kita terhindar dari kerugian akibat kekeliruan pemasangan
dan/atau pemakaian yang salah, serta lebih terjamin dan terlindungi apabila
kebetulan mendapatkan produk gagal.
f). Pilihlah item yang sudah terstandar dan tersertifikasi.
Paling tidak, ada 3 standardisasi dan sertifikasi yang kita kenal pada
produk-produk yang beredar di Indonesia. Standar SNI (Standar Nasional
Indonesia) untuk semua produk, serta Sertifikasi Halal MUI (Majelis Ulama
Indonesia) dan sertifikasi dari BPOM-RI (Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia) untuk produk-produk pangan, suplemen, kosmetika, dan
obat-obatan. Biasanya, itu dibuktikan dengan adanya logo dan nomor registrasi
dari lembaga-lembaga tersebut. Ini penting untuk membuktikan bahwa produk
tersebut terawasi peredarannya oleh pemerintah.
(Sumber: http://hkn2013.com/materi/materi-foto/) |
g). Prioritaskan dengan sangat untuk membeli produk
buatan Indonesia, terutama yang kandungan lokalnya paling besar, kalau bisa
100%. Produk dalam negeri tidak kalah kualitasnya dengan buatan luar
negeri. Sesungguhnya, hal itu sudah lama sekali terjadi. Malahan, kenyataannya,
sudah begitu banyak hasil karya anak negeri yang mutunya justru lebih bagus
daripada produk ekspatriat. Bahkan beberapa di antaranya jauh sekali di atas
dan mengungguli banyak produk dari negara lain, dan malah menjadi nomor satu di
dunia, sehingga bahkan orang-orang dari seluruh dunia saja justru mencari dan
lebih menyukai produk yang dihasilkan orang-orang Indonesia itu! Makanya,
andaikata sampai sekarang kita masih juga berpikir bahwa produk asing lebih
bagus dibandingkan produk lokal, wah, betapa semestinya kita malu setengah mati
karena ketahuan bodohnya, berwawasan amat sempit, dan sangat ketinggalan info!
Lagian, tindakan ini merupakan salah satu bukti paling konkret dan faktual dari
patriotisme dan rasa cinta tanah air yang kita miliki. Dan, pastinya, dengan
berbuat demikian, kita ikut berperan serta memajukan perekonomian bangsa kita.
h). Utamakan sekali barang-barang yang paling ramah
lingkungan. Perbuatan ini merupakan wujud tanggung jawab kita sebagai
bagian dari dunia ini dalam rangka melestarikan alam. Umpamanya, memilih barang
elektronik yang tidak menggunakan CFC (chlor-fluoro-carbon
= freon) dan tidak membeli pakaian yang dibuat dari bulu atau kulit hewan
langka. Untuk itu, penting untuk kita senantiasa meng-update pengetahuan kita, terutama dalam hal-hal yang berkaitan
dengan kiat-kiat menjaga dan memulihkan keasrian alam, serta tentang
bahan-bahan yang ramah lingkungan.
i). Untuk produk-produk yang dikonsumsi tubuh kita,
pilihlah yang paling sehat dan alamiah. Saat membeli makanan/minuman jadi,
makanan/minuman olahan, bahan pangan lainnya, obat-obatan, suplemen, dan
kosmetika, yang kita ambil itu semestinya bebas bahan pengawet dan bahan kimia
lainnya. Seorganik mungkinlah. Pula, harusnya sesuai pola diet yang dibutuhkan diri
masing-masing. Tiap orang memerlukan pola diet yang berbeda-beda, tergantung
pada banyak sekali variabel dan faktor. Komposisi gizi optimal bagi bayi
berbeda dengan untuk remaja, dan berbeda lagi dengan yang untuk lansia. Pola
nutrisi untuk atlet tidak sama dengan yang diperuntukkan bagi pekerja kantoran,
lain lagi dengan yang untuk penderita diabetes melitus, dan berbeda juga dengan
yang untuk penderita asam urat, dan seterusnya. Jadi, perhatikan komposisi gizi
yang tertulis pada kemasan, jika barang yang kita beli ada dalam kemasan. Pilihlah
yang paling cocok untuk kebutuhan tubuh kita sendiri. Karena itu, sekali lagi,
kita seyogyanya terus mengembangkan pengetahuan dan wawasan kita, istimewanya
mengenai nutrisi yang sehat berikut aneka-ragam pola-polanya untuk
masing-masing kebutuhan.
(Sumber: http://hkn2013.com/materi/materi-foto/) |
j). "Kenakan kacamata kuda" saat berbelanja. "Berjalanlah lurus" ke arah tempat yang memajang hanya barang yang hendak kita
beli saja, jangan mencobai diri dengan melihat-lihat toko, outlet, atau rak display barang lain yang tidak ada atau kurang kaitannya dengan
catatan yang kita bawa. "Tutuplah telinga" manakala para sales-person "melontarkan godaan dan tawaran maut". Apalagi
terhadap tawaran-tawaran melalui SMS-SMS gelap yang tidak jelas juntrungannya
dan amat sangat kurang dapat dipercaya. Tampiklah tawaran mereka, para sales-person itu, secara santun dan
ramah, namun juga dengan setegas dan segamblang mungkin. Katakan saja "Tidak,
terimakasih", atau "Terimakasih, tapi saya cuma kepingin beli yang itu", atau
yang sejenisnya. Hindari kalimat menggantung atau bersayap, semacam "Mungkin
lain kali", atau "Nanti saya lihat/pikir-pikir dulu", atau yang seperti itu.
Karena banyak dari mereka biasanya akan membalas: "Kalau begitu,
Pak/Bu/Mas/Mbak/Kak, bisa saya minta nomor telepon Anda?". Kalau sudah begitu, kemungkinan
besar godaan akan datang via pesan singkat ponsel pada saat yang tidak
disangka-sangka di manapun kita sedang berada.
k). Latihlah keberanian dan kepandaian menawar harga,
juga perhatikan pelayanan pihak penjual. Jika tempat kita membeli barang
atau jasa memungkinkan untuk kita menawar, itu akan lebih menguntungkan karena
memberi kesempatan kita untuk berhemat, dan kita pun seharusnya tidak perlu
malu dan takut untuk menawar. Kebanyakan kita sungkan dan malu menawar karena
kuatir sikap pihak penjual akan menjadi tidak enak, dan bahkan marah. Jika itu
terjadi, dan selain itu, terdapat juga cacat lain dalam segi pelayanan yang
diberikan, sebaiknya pikirkan kembali niat untuk membeli barang atau jasa di
situ. Kalau bisa, urungkan. Cari di tempat lainnya. Sebab, kalau sebelum kita
beli saja, si penjual atau penyedia jasa sudah tidak suka melayani, apalagi
kalau kita nanti mengajukan keluhan seandainya ada ketidakpuasan yang kita
alami?
l). Jika kebutuhan kita belum mendesak benar, seyogyanya
lakukan perbandingan silang dengan penjual dari barang atau penyedia dari jasa
yang sama di tempat lain. Sangat sering kita temukan, di tempat lain untuk
produk yang sama, harganya lebih murah, atau pelayanannya lebih sempurna, atau
kondisi barang dan kemasannya lebih baik, atau pilihan-pilihannya lebih
beragam, atau alasan lainnya yang lebih menguntungkan.
m). Khusus jika kita membeli barang secara online, lipat-gandakan kewaspadaan kita,
lakukan hanya untuk produk yang benar-benar kita butuhkan secara amat sangat
mendesak tapi yang sama sekali tidak tersedia di toko atau di manapun juga
selain dipasok oleh sang penjual online.
Kalau memang itu yang terjadi, yaitu kita betul-betul sudah butuh sekali dan
produk itu juga cuma bisa didapatkan dari orang yang menjual secara online tersebut, ajukan permintaan pada
sang penjual agar pembayarannya dapat dilakukan pada saat barang sudah diterima
dan dicek terlebih dahulu. Jika tidak, sekiranya si pemasok memaksa untuk
membayar di muka via transfer bank, jangan langsung dituruti. Pikirkan lagi
beberapa kali, betapapun kita sudah mengenal baik si penjual secara pribadi,
bahkan kalaupun dia adalah saudara kandung kita sendiri. Sebaiknya kita meminta
saran dan masukan dari orang-orang yang berkompeten dalam hal perdagangan,
utamanya dalam hal transaksi online. Bagaimanapun,
uang tidak mengenal keluarga, saudara, teman, sahabat, dan hubungan
darah-daging. Dan bagaimanapun pula, hampir tidak ada barang di dunia ini yang
tidak ada alternatifnya. Kalau terjadi jalan buntu, kita harus berani
memutuskan untuk mengambil langkah paling aman. Batalkan rencana pembelian
secara online itu, carilah segala
informasi tentang alternatif lain dari produk yang kita butuhkan, yang jauh
lebih banyak tersedia di pasaran. Apalagi kalau sebenarnya tidak terlalu
mendesak benar kebutuhan kita akan barang itu, lalu barang yang sejenis bisa
kita dapatkan di pasar dunia nyata: sudah, buang jauh-jauh keinginan kita untuk
membelinya dari pasar dunia maya!
6. Mari pulang, marilah pulang...!
Beres! Kita sudah di rumah lagi. Selesai? Tidak ada lagi
yang harus kita kerjakan? Tidak! Bagian pasca-belanja ini tak kalah penting.
Tidak sulit, tidak rumit. Kita cuma perlu memperlakukan barang yang kita beli "dengan
hormat dan penuh rasa sayang". Dengan begitu, kinerja barang tersebut akan
tetap optimal dan barang itu sendiri akan awet. Semakin langgeng keoptimalan
kinerja dan kelangsungan hidup barang tersebut, semakin jarang keharusan kita
untuk berbelanja barang baru. Dengan begitu, kian hemat kita jadinya.
Selain itu, aspek lain dari rasa hormat dan sayang kita
adalah bilamana barang tersebut rusak, kita sebaiknya lebih mengutamakan
mereparasi atau memperbaikinya ketimbang membuangnya dan kemudian membeli yang
baru. Kecuali kalau perbedaan biayanya sangat kecil antara menyervis yang lama
dengan membeli barang baru.
Masih ingat dengan "musibah" yang sempat sedikit disinggung
di atas? Di mana kita sudah teliti, cermat, berhati-hati, berupaya sebijak
mungkin sebagai konsumen, mengikuti setiap langkah di atas dengan saksama, akan
tetapi tetap mengalami kerugian? Yah, kalau demikian, barulah kita berhak penuh
untuk menyebutnya sebagai "musibah". Dan kita pantas mengambil segala tindakan
untuk menuntut hak kita.
Bagaimana caranya? Salah satunya yang paling tepat adalah
dengan menghubungi pihak berwenang yang urusannya memang adalah untuk
melindungi konsumen. Dalam hal ini, pemerintah. Yaitu Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). Tepatnya, melalui Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan (Ditjen-SPK Kemendag). Info lengkap mengenai segala hal terkait Ditjen-SPK Kemendag ini
dapat diakses melalui situs resmi http://ditjenspk.kemendag.go.id/.
Di situ kita juga bisa mengajukan pengaduan sehubungan kerugian yang kita alami
sebagai konsumen.
Tapi, sekali lagi perlu ditekankan, kita sendiri juga harus
cerdas sebagai konsumen dan bertanggung jawab atas setiap tindakan transaksi
yang kita lakukan serta juga atas produk dan jasa yang kita beli. Kalau kita
sendiri teledor, ceroboh, tidak berlaku sebagaimana seharusnya seorang konsumen
yang bijak, kemudian kita mengalami kerugian akibat tertipu dan sebagainya,
maka alangkah kurang layaknya kita menuntut ganti rugi dan hak kita. Karena,
jika kita seperti itu, itu sama saja artinya kita telah menjerumuskan diri
sendiri.
Marilah kita terus belajar dan mendisiplin diri untuk
menjadi konsumen yang cerdas. Dengan demikian, kita sudah cukup terlindungi,
karena kita sendiri yang melindungi diri kita dari ancaman kerugian. Ditambah
pula, keuntungannya tak kalah besar. Banyak uang, waktu, emosi, dan tenaga yang
dapat dihemat. Kita juga semakin belajar bertanggung jawab atas kemajuan dunia
ekonomi, industri, dan jasa tanah air. Juga jadi tambah peduli pada lingkungan
dan kesehatan diri kita sendiri.
1 komentar:
silakan baca juga artikel saya tentang ultrabook terbaru :)
Posting Komentar