Ketika kita
berbicara soal air, barangkali hal pertama yang perlu kita ketahui dan camkan
adalah fakta bahwa jumlah air di seluruh dunia ini konstan. Tidak pernah dan
tidak akan pernah bertambah maupun berkurang selama bumi masih ada. Yang
terjadi adalah perubahan wujud dan karakteristiknya saja.
Perubahan wujud
air sepenuhnya bersifat fisik dan sepenuhnya juga bergantung pada tekanan dan
temperatur. Pada tekanan 76 mmHg, apabila suhunya berada dalam rentang lebih
dari 0 derajat Celsius dan kurang dari 100 derajat Celcius, air akan berwujud
cair. Suhu 0 derajat Celsius adalah titik beku air, jadi ketika air tepat
berada pada suhu tersebut, ia bersiap-siap menjadi beku, sehingga ketika
suhunya turun lagi, proses pembentukan es pun dimulai. Sebaliknya, suhu 100
derajat Celsius adalah titik didih air, jadi saat air berada tepat di suhu
tersebut, dia bersiap untuk menguap, sehingga sewaktu suhunya naik lebih jauh,
proses pembentukan uap air pun terjadi.
Sementara itu,
perubahan karakteristik air bersifat fisik, kimiawi, dan biologis, maka
variabel pengubahnya pun menjadi lebih banyak. Sebagai contoh, air laut terjadi
karena adanya perubahan pada fisik air serta pada senyawa kimia yang
dikandungnya, karena secara fisik, air tersebut menjadi berasa asin, memiliki
massa jenis yang lebih tinggi, dan sebagainya, sementara secara kimiawi, air
itu sudah bersenyawa dengan garam-garam mineral yang berasal dari bebatuan di
dasar laut dan pantai. Apabila minuman teh telah berjamur, misalnya, maka
selain air yang ada telah berubah fisik dalam hal rasa dan warna, senyawa
kimianya pun berubah akibat adanya campuran dengan alkaloid teh dan gula, serta
ada tambahan pula unsur biologis berupa jamur yang mengkontaminasinya.
Jadi, karena air
itu jumlahnya konstan di planet bumi ini, maka permasalahan spesifiknya
bukanlah berkurang atau sampai habisnya persediaan air tok. Melainkan ketersediaan air yang sehat.
Kita sering berbicara tentang pentingnya ketersediaan air yang layak konsumsi.
Itu benar. Akan tetapi, itu bukanlah seluruh permasalahannya. Air yang kita
konsumsi memang harus layak, namun air yang tidak kita konsumsi pun seharusnya
sehat pula. Berdasarkan pengertiannya, air
konsumsi berarti air yang masuk ke dalam tubuh kita, baik yang kita minum
maupun yang kita pakai sebagai bahan untuk memasak makanan. Dengan definisi
tersebut, maka air yang kita gunakan di luar tubuh kita namun tidak masuk ke
dalamnya itu tentu bukanlah termasuk air konsumsi. Seperti air mandi, air kolam
renang, air untuk mencuci tangan, air untuk mencuci pakaian, dan air untuk
mencuci piring. Apakah air non-konsumsi yang dimaksudkan untuk
kegunaan-kegunaan tersebut tidak perlu sehat? Tentu saja perlu. Karena itu,
artinya, air yang layak konsumsi adalah bagian dari air yang sehat. Dan masalah
ketersediaan air yang sehat jauh lebih luas ketimbang masalah ketersediaan air
yang layak konsumsi saja.
Pada prinsipnya,
seluruh air di bumi ini (termasuk yang berada di atmosfer berupa awan) seharusnya
sehat. Sebab, jika tidak, kalau ada salah satu saja bagian dari hidrosfer yang
tidak sehat, maka akan banyak ragam kehidupan yang ikut menjadi tidak sehat.
Karena, selain oksigen, air adalah unsur mutlak yang diperlukan kehidupan fisik
makhluk hidup. Air adalah elemen penyusun paling dominan bagi tubuh makhluk
hidup. Sekitar 70% tubuh kita terbangun dari air. Begitu pula dengan fauna,
flora, sampai jasad renik non-flora dan non-fauna. Bukan hanya harus dikonsumsi
untuk menunjang keberlangsungan hidupnya, air pun sangat dibutuhkan makhluk
hidup untuk membuat hidupnya berkualitas. Seumur hidup tidak mandi pun kita,
manusia, tetap bisa hidup. Pakaian dan peralatan makan yang kita pakai dari
lahir sampai meninggal tidak kita cuci-cuci sama sekali pun belum tentu menjadikan
ajal menjemput kita. Tapi, tak usah diragukan lagi, kehidupan yang dijalani
dengan gaya-gaya yang demikian itu seratus persen sudah pasti tidak
berkualitas. Kualitas hidup makhluk, istimewanya manusia, sangat bergantung
pada kualitas air yang digunakannya.
Di lain pihak,
buruknya kualitas hidup suatu makhluk juga dapat berpengaruh pada menurunnya
kualitas hidup makhluk lainnya. Ini erat kaitannya dengan rantai makanan. Air
laut yang tercemar logam berat akan menyebabkan besarnya penimbunan kadar logam
berat di dalam tubuh flora dan fauna kelas primer yang hidup di laut, yaitu
fitoplankton dan zooplankton. Saat plankton itu dimakan oleh ikan-ikan kecil,
massa logam berat di dalam tubuh ikan-ikan itu akan bertambah besar. Dan jumlah
itu akan semakin besar lagi di dalam tubuh ikan-ikan besar, karena mereka
adalah pemangsa dari ikan-ikan kecil. Sehingga, ketika kita mengonsumsi ikan
besar yang organ dalam tubuhnya sudah mengandung kadar besar logam berat,
konsentrasi mineral berbahaya itu akan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan
kita.
Dengan demikian,
adalah penting sekali agar air di bumi ini, terutama di wilayah sekitar tempat
tinggal kita, berada dalam kondisi sehat. Bukan hanya air yang kita sebut
sebagai air konsumsi saja. Kesehatan
kehidupan di bumi serta di masing-masing negeri dan daerah kita akan jauh lebih
dimungkinkan untuk meningkat pesat optimalitasnya apabila seluruh sumber dan
matra airnya sehat. Laut, sungai, danau, perairan payau, air tanah, sampai
hujan dan juga uap air di udara.
Semua itu hanya
akan tinggal sebagai kondisi utopis saja jikalau tidak diupayakan dengan serius
oleh seluruh insan. Sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkal, rusaknya
kondisi kesehatan air disebabkan oleh kerusakan dan pengrusakan lingkungan.
Sampah dan limbah pabrik mencemari sungai. Tumpahan minyak bumi mencemari laut,
terkadang juga sungai dan danau. Polusi udara menyebabkan kandungan uap air di
udara dan atmosfer menjadi tercemar sehingga mengandung asam dan zat-zat kimia
berbahaya lainnya. Dan masih banyak lagi. Mulai dari yang berskala kecil, yakni
rusaknya lingkungan akibat limbah domestik/rumahtangga, hingga yang berskala
global, yang selalu menjadi berita panas namun yang segera menguap bak didihan
air, mungkin karena saking panasnya sehingga mudah menjadi uap.
Dan kita, bangsa
dan negara Indonesia, tidak boleh tidak menyadari hal ini. Justru harusnya
sebaliknya. Bilamana di negara lain kesadaran akan pentingnya perbaikan
ekosistem bertumbuh lambat, kesadaran itu harus berkembang cepat di Indonesia. Jikalau
bangsa lain memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dan bertumbuh cepat, bangsa
kita mesti menggenjot akselerasi berkali-kali lipat untuk menyusul mereka.
Ini sama sekali
bukan soal prestise. Bukan tentang menang atau kalah dalam sesuatu hal. Ini semata-mata
tentang kualitas hidup. Masih banyak sekali kelompok masyarakat di negeri ini
yang kualitas hidupnya masih buruk dan sangat buruk. Kalau keadaan ini terus
dibiarkan, indeks kualitas hidup bangsa kita akan terus merosot. Tingkat
kesehatan masyarakat pun terpengaruh. Sumber daya manusia kita menjadi semakin
buruk, sebagai akibatnya. Dan tidak mungkin pembangunan akan berjalan optimal
tanpa adanya mutu yang tinggi dari manusianya.
Problematika ini
tidak dapat ditangani secara parsial hanya dengan memperbaiki satu aspek saja.
Tidak bisa hanya dengan pembangunan infrastruktur yang memadai semata. Usaha
perbaikan lingkungan hidup pun akan kepayahan bila harus menjadi satu-satunya
andalan. Kualitas alam dan lingkungan pada umumnya, dan kualitas air pada
khususnya, hanya mungkin ditingkatkan apabila seluruh aspek dan elemen
dilibatkan. Sudah sangat mendesak untuk menerapkan aturan yang ketat terhadap
masyarakat. Kebiasaan dan paradigma buruk manusialah akar dari segala sumber
permasalahan. Tanpa penegakan hukum secara keras dan ketat, takkan mungkin
terbentuk pola dan gaya hidup yang benar. Berarti, bukan cuma pelaku industri
kelas kakap yang membandel dengan membuang limbah pabrik ke tanah dan sungai
saja yang harus dihukum berat, warga bantaran kali dan siapapun juga yang
membuang sampah sembarangan sekecil apapun di manapun wajib diganjar dengan
hukuman yang tidak ringan. Selama ini, ada pemikiran yang salah di negeri ini.
Pedang hukum memang terkenal seringkali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akan
tetapi, yang sama buruknya adalah pedang kepatutan lebih sering kebalikannya,
tajam ke atas dan tumpul ke bawah. Para eksekutif dan kaum intelektual akan
dicaci habis-habisan dan dijatuhkan martabatnya jika ketahuan membuang sampah
plastik bungkus permen secara sembarangan di selokan. Tapi untuk warga di
sepanjang aliran sungai, bahkan sampai mereka membuang kasur, gerobak, dan
mebel berkali-kali ke badan sungai pun, masih tetap luas ruang maklum di hati
semua orang.
Jika kita
mengaitkan pembahasan kita tentang perbaikan kesehatan air di negara kita ini
dengan soal air yang layak konsumsi, maka kita perlu membahas 2 hal.
Pertama, masalah
ketersediaan air layak konsumsi itu sendiri. Semua orang sudah tahu, banyak
wilayah memerlukan sarana-prasarana air bersih yang optimal. Itu memang harus
dibangun, dan pemerintah wajib mengerjakannya. Tapi, untuk soal ini, yang patut
dipertimbangkan adalah diversifikasi sumber ketersediaan air konsumsi tersebut.
Selama ini, mata-air, air sungai, dan air tanah menjadi sumber eksklusif.
Masalahnya, bagaimana dengan daerah yang kondisi alamnya lebih kering secara
cukup ekstrem ketimbang daerah-daerah lainnya, seperti Nusa Tenggara Timur dan
Gunung Kidul, Yogyakarta? Mengapa kita tidak mulai menerapkan teknologi
desalinasi untuk mengubah air laut menjadi air layak konsumsi? Apa yang
menghalangi? Apakah rasa gengsi, takut harga diri kita jatuh, karena sudah
telanjur terkenal sebagai bangsa yang hidup di tanah yang subur dan hijau,
bukan bangsa yang buminya kering-kerontang karena didominasi gurun? Kalau
memang dirasa sulit mengubah air laut menjadi air tawar, mengapa tidak
memanfaatkan air tawar yang memang sudah disediakan, bahkan dilimpahkan secara
luar biasa, namun yang senantiasa dimubazirkan dan bahkan distigma sebagai
bencana, yaitu air hujan? Agak aneh juga, sebetulnya. Berdekade-dekade, dan
bahkan berabad-abad, banyak wilayah yang menjadi terkenal sebagai daerah rawan
banjir. Yang paling top tentu saja ibukota negara ini sendiri, Jakarta. Namun,
sepertinya tidak ada satu orangpun sampai di zaman pasca-modern ini yang
terpikir untuk memanfaatkan air hujan dan air limpahan sungai yang terkumpul
secara masif menjadi banjir itu, baik sebagai sumber air konsumsi maupun
sebagai sumber energi. Jika alasannya karena hal itu tidak mungkin, di mana
letak ketidakmungkinannya? Kalau dibilang bahwa hal itu memerlukan teknologi
yang teramat sulit dan kompleks, sangat mungkin memang seperti itu. Tapi, teramat sulit dan kompleks sama sekali
tidak bersinonim dengan mustahil.
Hal kedua yang
perlu dibahas adalah masalah pola pemanfaatan. Pemborosan menjadi salah satu
gaya hidup patologis yang kronis diidap bangsa kita. Penggunaan air bersih dan
air konsumsi secara boros bukan hanya membuang biaya secara percuma, namun yang
lebih penting adalah mengurangi jatah ketersediaan air bersih dan air konsumsi
itu sendiri. Kerugian ekologisnya lebih besar, dan seyogyanya lebih
diperhatikan, dibandingkan kerugian ekonomisnya.
Buruknya kualitas
tumbuhan dan binatang dapat menurunkan kualitas hidup manusia. Lebih-lebih pada
tumbuhan dan hewan yang menjadi bahan konsumsi. Tetapi, hal yang sebaliknya pun
terjadi. Buruknya kualitas hidup manusia di suatu tempat akan menyebabkan
buruknya kualitas makhluk hidup lain di tempat tersebut. Dan buruknya kualitas
kehidupan makhluk di suatu tempat tentu mengakibatkan memburuknya juga kualitas
kehidupan makhluk di tempat lain. Indonesia memainkan peran yang sangat sentral
sehubungan dengan interkoneksitas semacam itu. Dengan jumlah penduduk terbesar
keempat di dunia, juga dengan dihuni sekitar 30% spesies biota-hayati,
Indonesia merupakan salah satu sarang terbesar dari kehidupan bumi. Dan khusus
dalam hal air, ada tambahan faktor lagi yang kian memperbesar peran Indonesia,
yaitu karena kondisi geografis negeri kita yang sebagian besar diliputi air.
Bahkan, rata-rata angka konsentrasi air yang terkandung di udara sebagai uap
air pun di seluruh Nusantara ini pun cukup tinggi. Hal inilah yang menjadi
alasan mengapa kita sebagai bangsa yang tinggal di kepulauan negeri ini punya kewajiban
moral untuk memperbaiki, memulihkan, dan meningkatkan mutu lingkungan,
khususnya kualitas air.
Adalah baik
mengonsumsi air dalam kemasan, karena dengan demikian, tingkat kesehatan dan
kualitas hidup kita akan meningkat dan terjaga tetap tinggi. Akan tetapi,
adalah lebih baik lagi apabila air ledeng di seluruh negeri ini kualitasnya
setara dengan air kemasan, apalagi kalau ketersediaannya tersebar di seluruh
tanah air kita hingga ke pelosok, pinggiran, dan pedalaman sekalipun. Namun, di
atas semua, yang terbaik adalah jika saja air sungai dan bahkan air hujan pun
dapat langsung dikonsumsi, saking berkualitas dan sehatnya!