Minggu, 31 Agustus 2014

Jangan Pernah Bermimpi untuk Takut Bermimpi Memiliki Rumah Sendiri!

Saya punya banyak mimpi. Saya berani bilang, semua mimpi saya itu besar. Salah satunya adalah memiliki rumah pribadi sendiri. Yang saya beli dari hasil halal yang dibuahkan keringat, airmata, dan darah jujur saya sendiri. Bukan pemberian siapapun. Bukan dibayari siapapun. Bukan warisan siapapun. Jadi, bukan karena kemurahan hati siapapun. Apalagi, hasil merampas hak siapapun. Tidak! Rumah yang saya miliki itu harus besar supaya bisa menampung seluruh keluarga saya dan keluarga isteri saya (kelak setelah saya menikah) bila mereka berkunjung ke rumah saya/kami dan menginap beberapa hari. Juga agar sanggup mengakomodasi saat ada tamu saya, tamu isteri saya, atau tamu kami berdua yang berniat mengunjungi kami dan bermalam, serta sekiranya jumlah mereka cukup banyak lantaran ada acara yang saya dan isteri saya adakan, misalnya. Namun, tidak terlalu besar juga, yang bisa berakibat membengkaknya pengeluaran karena mesti membiayai perawatannya. Luas bangunannya berkisar 500 sampai dengan 3.000 meter persegi. Kalau luas tanahnya, mungkin di antara 300 dan 2.000 meter persegi. Tak perlu yang mewah. Yang penting, semua bahannya berkualitas, baik bahan bangunan maupun bahan perabotannya, tapi dengan harga yang se-ekonomis mungkin. Tak kalah perlu juga, desain dan modelnya membuat betah penghuni dan tamu, memancarkan kesan bermartabat, namun tidak glamor, yang justru malah mengundang maling, bikin tamu merasa minder dan terintimidasi, serta membebani moril kami sendiri yang menghuninya lantaran selalu merasa dituntut untuk berpenampilan wah sekalipun sedang berada di luar rumah.

Menurut saya, adalah penting sekali bagi manusia dewasa untuk mempunyai rumah sendiri. Terutama kaum lelaki. Paling tidak, rumah yang status kepemilikannya dipegang bersama oleh kita dan pasangan hidup kita. Sebab, memiliki rumah sendiri adalah kriteria paling terminal, final, dan paripurna untuk seseorang disebut sebagai dewasa penuh. Hal itu adalah ciri paling nyata dari kemandirian dan independensi, di mana kemandirian sendiri merupakan ciri paling utama, sekaligus menjadi ciri pertama dan ciri pamungkas, dari kedewasaan.

Barangkali, banyak di antara Anda yang mengalami hal yang sama seperti yang saya alami ketika menyatakan mimpi saya ini pada orang-orang. Tidak sedikit yang mencibir, menganggap remeh, mengatakan bahwa mimpi saya kelewat muluk, dan juga menyarankan agar saya sebaiknya realistis saja. Anda mungkin juga sama, dibegitukan oleh banyak pihak manakala mengutarakan mimpi besar Anda. Sewaktu saya mendapat tanggapan seperti itu, saya merespon balik. Kata saya, buat apa kita dianugerahi kemampuan imanjinasi dan berkeinginan yang luar biasa daya jangkaunya apabila tidak dimanfaatkan. Itu adalah pemubaziran! Dan justru pemubaziranlah yang merupakan dosa, bukan cita-cita atau mimpi yang besar!

Saya yakin, kapasitas yang kita, manusia, miliki bukan bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Maksud saya begini, jika memang kapasitas kita sudah ditentukan, sudah ditakdirkan, tidak bisa diubah lagi, maka kapasitas yang sudah baku itu adalah soal persentase, bukan soal unit. Jika memang benar kapasitas saya sudah ditentukan, maka kapasitas tersebut bernilai 50 persen, umpamanya. Bukan 50 unit! Jadi, apapun yang saya kerjakan, hasilnya pasti 50 persen dari usaha saya. Apapun dan berapapun target yang saya buat, hasil yang saya capai pun pasti 50 persen dari target tersebut. Misalnya, saya menargetkan, duapuluh tahun lagi, penghasilan saya akan mencapai 10 milyar rupiah sebulan. Dengan kapasitas yang saya miliki senilai 50 persen, yang sudah ditakdirkan untuk saya, maka, apabila usaha saya maksimal, duapuluh tahun mendatang, penghasilan saya mencapai 5 milyar rupiah sebulan. Tapi, bayangkan kalau saya menargetkan duapuluh tahun lagi saya berpenghasilan 10 juta rupiah perbulan, maka biarpun saya sudah bekerja setengah mati, ketika waktunya tiba, penghasilan saya paling cuma 5 juta rupiah perbulannya.

Dengan begitu, kesimpulannya, saya harus menentukan target setinggi dan sebesar mungkin, dibarengi dengan kerja keras dan kerja cerdas yang optimal dan maksimal, agar kalaupun target saya itu tidak tercapai, pencapaian saya tetap besar dan tinggi.

Begitu pula dalam memimpikan rumah untuk pribadi sendiri. Dengan target yang saya mimpikan di atas, seandainyapun rumah yang saya miliki nanti tidak seluas itu, tapi tetap saja luas. Seandainyapun daya tampungnya tidak sebesar yang saya idam-idamkan, namun tetap saja rumah itu berdaya tampung besar.

Selain itu, bagi saya pribadi, dan saya yakin juga berlaku untuk banyak sekali orang, sangat mungkin termasuk Anda juga, ukuran mimpi dan cita-cita menentukan ukuran kerja. Semakin besar dan tinggi mimpi dan cita-cita saya, semakin besar juga semangat kerja saya, semakin besar pula motivasi kerja saya, semakin besar juga kreativitas dan daya inovasi saya dalam bekerja, dan semakin besar pula energi saya untuk bekerja. Sehingga, niscaya hasil yang saya raih pun menjadi semakin besar. Tapi, itu juga berlaku sebaliknya. Makin kecil target saya, makin kecil pula semangat, motivasi, kreativitas, daya berinovasi, dan energi saya. Maka, tidak heran bilamana hasil yang saya dapatkan pun kecil.

Karena itu, saya tidak takut untuk bermimpi. Termasuk, dan teristimewa, bermimpi untuk memiliki rumah sendiri. Bahkan, saya tidak mau sampai bermimpi untuk takut, yaitu takut bermimpi! Saya juga menyarankan Anda seperti itu. Tidak perlu takut bermimpi besar, termasuk untuk punya rumah sendiri! Dan bahkan jangan pernah coba-coba bermimpi untuk takut bermimpi! Sekali kita memimpikan ketakutan untuk bermimpi, untuk seterusnya kita akan terbelenggu oleh ketakutan itu!

Maka, marilah bersama-sama saya mulai melirik-lirik model-model rumah idaman kita! Carilah di agen-agen properti yang bagus. Seperti Mimpi Properti, yang bisa kita kunjungi di situs internetnya, mimpiproperti.com. Atau, seperti saya juga, ikut event yang diselenggarakan Mimpi Properti, salah satunya Blog Kontes di situs kontesmimpiproperti.com.

1 komentar: