Saya punya banyak
mimpi. Saya berani bilang, semua mimpi saya itu besar. Salah satunya adalah
memiliki rumah pribadi sendiri. Yang saya beli dari hasil halal yang dibuahkan
keringat, airmata, dan darah jujur saya sendiri. Bukan pemberian siapapun.
Bukan dibayari siapapun. Bukan warisan siapapun. Jadi, bukan karena kemurahan
hati siapapun. Apalagi, hasil merampas hak siapapun. Tidak! Rumah yang saya
miliki itu harus besar supaya bisa menampung seluruh keluarga saya dan keluarga
isteri saya (kelak setelah saya menikah) bila mereka berkunjung ke rumah
saya/kami dan menginap beberapa hari. Juga agar sanggup mengakomodasi saat ada
tamu saya, tamu isteri saya, atau tamu kami berdua yang berniat mengunjungi
kami dan bermalam, serta sekiranya jumlah mereka cukup banyak lantaran ada
acara yang saya dan isteri saya adakan, misalnya. Namun, tidak terlalu besar
juga, yang bisa berakibat membengkaknya pengeluaran karena mesti membiayai
perawatannya. Luas bangunannya berkisar 500 sampai dengan 3.000 meter persegi.
Kalau luas tanahnya, mungkin di antara 300 dan 2.000 meter persegi. Tak perlu
yang mewah. Yang penting, semua bahannya berkualitas, baik bahan bangunan
maupun bahan perabotannya, tapi dengan harga yang se-ekonomis mungkin. Tak
kalah perlu juga, desain dan modelnya membuat betah penghuni dan tamu,
memancarkan kesan bermartabat, namun tidak glamor, yang justru malah mengundang
maling, bikin tamu merasa minder dan terintimidasi, serta membebani moril kami
sendiri yang menghuninya lantaran selalu merasa dituntut untuk berpenampilan wah sekalipun sedang berada di luar
rumah.
Menurut saya,
adalah penting sekali bagi manusia dewasa untuk mempunyai rumah sendiri.
Terutama kaum lelaki. Paling tidak, rumah yang status kepemilikannya dipegang
bersama oleh kita dan pasangan hidup kita. Sebab, memiliki rumah sendiri adalah
kriteria paling terminal, final, dan paripurna untuk seseorang disebut sebagai
dewasa penuh. Hal itu adalah ciri paling nyata dari kemandirian dan
independensi, di mana kemandirian sendiri merupakan ciri paling utama,
sekaligus menjadi ciri pertama dan ciri pamungkas, dari kedewasaan.
Barangkali,
banyak di antara Anda yang mengalami hal yang sama seperti yang saya alami
ketika menyatakan mimpi saya ini pada orang-orang. Tidak sedikit yang mencibir,
menganggap remeh, mengatakan bahwa mimpi saya kelewat muluk, dan juga
menyarankan agar saya sebaiknya realistis saja. Anda mungkin juga sama,
dibegitukan oleh banyak pihak manakala mengutarakan mimpi besar Anda. Sewaktu
saya mendapat tanggapan seperti itu, saya merespon balik. Kata saya, buat apa
kita dianugerahi kemampuan imanjinasi dan berkeinginan yang luar biasa daya
jangkaunya apabila tidak dimanfaatkan. Itu adalah pemubaziran! Dan justru pemubaziranlah
yang merupakan dosa, bukan cita-cita atau mimpi yang besar!
Saya yakin,
kapasitas yang kita, manusia, miliki bukan bersifat kuantitatif, melainkan
kualitatif. Maksud saya begini, jika memang kapasitas kita sudah ditentukan,
sudah ditakdirkan, tidak bisa diubah lagi, maka kapasitas yang sudah baku itu
adalah soal persentase, bukan soal unit. Jika memang benar kapasitas saya sudah
ditentukan, maka kapasitas tersebut bernilai 50 persen, umpamanya. Bukan 50
unit! Jadi, apapun yang saya kerjakan, hasilnya pasti 50 persen dari usaha
saya. Apapun dan berapapun target yang saya buat, hasil yang saya capai pun
pasti 50 persen dari target tersebut. Misalnya, saya menargetkan, duapuluh
tahun lagi, penghasilan saya akan mencapai 10 milyar rupiah sebulan. Dengan
kapasitas yang saya miliki senilai 50 persen, yang sudah ditakdirkan untuk
saya, maka, apabila usaha saya maksimal, duapuluh tahun mendatang, penghasilan
saya mencapai 5 milyar rupiah sebulan. Tapi, bayangkan kalau saya menargetkan
duapuluh tahun lagi saya berpenghasilan 10 juta rupiah perbulan, maka biarpun
saya sudah bekerja setengah mati, ketika waktunya tiba, penghasilan saya paling
cuma 5 juta rupiah perbulannya.
Dengan begitu,
kesimpulannya, saya harus menentukan target setinggi dan sebesar mungkin,
dibarengi dengan kerja keras dan kerja cerdas yang optimal dan maksimal, agar
kalaupun target saya itu tidak tercapai, pencapaian saya tetap besar dan
tinggi.
Begitu pula dalam
memimpikan rumah untuk pribadi sendiri. Dengan target yang saya mimpikan di atas,
seandainyapun rumah yang saya miliki nanti tidak seluas itu, tapi tetap saja
luas. Seandainyapun daya tampungnya tidak sebesar yang saya idam-idamkan, namun
tetap saja rumah itu berdaya tampung besar.
Selain itu, bagi
saya pribadi, dan saya yakin juga berlaku untuk banyak sekali orang, sangat
mungkin termasuk Anda juga, ukuran mimpi dan cita-cita menentukan ukuran kerja.
Semakin besar dan tinggi mimpi dan cita-cita saya, semakin besar juga semangat
kerja saya, semakin besar pula motivasi kerja saya, semakin besar juga
kreativitas dan daya inovasi saya dalam bekerja, dan semakin besar pula energi
saya untuk bekerja. Sehingga, niscaya hasil yang saya raih pun menjadi semakin
besar. Tapi, itu juga berlaku sebaliknya. Makin kecil target saya, makin kecil pula
semangat, motivasi, kreativitas, daya berinovasi, dan energi saya. Maka, tidak
heran bilamana hasil yang saya dapatkan pun kecil.
Karena itu, saya
tidak takut untuk bermimpi. Termasuk, dan teristimewa, bermimpi untuk memiliki
rumah sendiri. Bahkan, saya tidak mau sampai bermimpi untuk takut, yaitu takut
bermimpi! Saya juga menyarankan Anda seperti itu. Tidak perlu takut bermimpi
besar, termasuk untuk punya rumah sendiri! Dan bahkan jangan pernah coba-coba
bermimpi untuk takut bermimpi! Sekali kita memimpikan ketakutan untuk bermimpi,
untuk seterusnya kita akan terbelenggu oleh ketakutan itu!
Maka, marilah
bersama-sama saya mulai melirik-lirik model-model rumah idaman kita! Carilah di
agen-agen properti yang bagus. Seperti Mimpi
Properti, yang bisa kita kunjungi di situs internetnya, mimpiproperti.com. Atau, seperti saya
juga, ikut event yang diselenggarakan
Mimpi Properti, salah satunya Blog Kontes di situs kontesmimpiproperti.com.
1 komentar:
he..he,,he,,,inspiratif..
Posting Komentar