Sesuatu tidak harus dinilai dari penampilan luarnya, asesorisnya, atau harga jualnya. Bahkan tidak juga dari berfungsi-tidaknya dan berguna-tidaknya. Sesuatu bisa juga dinilai dari sejarahnya, riwayatnya, cerita di baliknya, dan orang-orang yang berperan di belakangnya. Malahan, nilai yang diukur berdasarkan hal-hal yang saya sebut terakhir itu jauh lebih long-lasting, lebih langgeng, lebih lestari sifatnya ketimbang jika diukur berdasarkan hal-hal yang pertama disebutkan.
Apalagi dalam menilai manusia. Manusia punya nilai
intrinsik, nilai hakiki dan asasi, nilai yang bukan hanya lestari namun juga
kekal, yaitu nilainya sebagai makhluk tertinggi: sebagai manusia itu sendiri.
Kita harus menghormati sesama kita karena hal itu. Saya
belajar dan terus berusaha melakukannya. Itu adalah sesuatu yang besar. Karena
itu, untuk dapat semakin sempurna menghargai sesama manusia, saya belajar dari
hal-hal kecil, dengan cara menghargai nilai barang yang saya miliki, seremeh
apapun itu, berdasarkan tolok-ukur tadi: sejarahnya, riwayatnya, cerita di
baliknya, dan orang-orang yang berperan di belakang keberadaan benda itu.
Salah satu pelajaran paling penting tentang nilai itu saya
dapatkan dari handphone saya.
Tepatnya, sekarang ini: mantan handphone
saya.
Itu adalah handphone
dari merek yang paling terkenal dan paling banyak digunakan di Indonesia. Handphone itu bukanlah dari jenis smartphone. Tidak bisa dipakai buat
akses internet. Jadi jelas tidak bisa buat buka email, Facebook, ataupun Twitter.
Pasti saja begitu, sebab handphone
tersebut saya dapatkan sebelum teknologi 3G lahir. Jadi praktis hanya bisa
digunakan untuk telepon dan SMS saja.
Kendati begitu, waktu saya pertama memilikinya, handphone itu termasuk tipe yang paling
canggih pada masa itu. Handphone itu
merupakan tipe kedua yang dikeluarkan merek bersangkutan yang menggunakan
antena internal, dan merupakan handphone pertama di Indonesia yang menggunakan
baterai lithium, menggantikan baterai berbahan nikel sebelumnya.
Handphone itu
tadinya milik kakak perempuan saya. Ia membelinya kira-kira di bulan Maret
2001. Waktu saya lulus sarjana kedokteran dan baru masuk ko-asistensi di
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, pada September 2001, ibu
saya mau menghadiahkan saya sebuah handphone,
mengingat handphone cukup penting
juga untuk dimiliki seorang ko-asisten (ko-ass) untuk menghubungi dokter-dokter
residen atau konsulen bilamana ada keadaan darurat pada pasien. Mulanya, pada awal
Januari 2002 Ibu mengajak saya ke ITC Roxy Mas, Jakarta, dengan diantar kakak
perempuan saya itu dan keluarganya, berhubung kakak ipar sayalah yang paham
betul seluk-beluk Roxy Mas. Tapi, selagi berkeliling-keliling, hasil percakapan
kami membuahkan pemikiran, mengapa tidak Ibu beli saja handphone Kakak itu untuk saya, lalu suami Kakak yang beli handphone baru itu untuk kakak saya
sebagai gantinya. Kami semua memandang ide tersebut cukup baik. Akhirnya, Kakak
melepas handphone itu dengan harga,
atas persetujuan suaminya, tujuh ratus ribu rupiah. Kalau kita beli baru, handphone tipe punya kakak saya itu
harganya satu juta tiga ratus ribu rupiah. Dulu juga, waktu dia beli, harganya
masih satu setengah juta. Pada tahun itu, handphone
memang masih tergolong barang yang agak mewah, jadi harganya lebih mahal
ketimbang sekarang.
Deal! Handphone itupun pindah ke tangan saya.
Kakak saya dibelikan handphone baru.
Dan Ibu membelikan kartu SIM untuk saya. Sesuai anjuran beliau, saya memilih
nomor perdana XL (waktu itu masih bernama proXL), karena beliau tertarik pada
iklan proXL di TV yang ketika itu dibintangi Tantowi Yahya.
Saya tidak menyesal memiliki handphone tersebut. Kinerjanya tidak mengecewakan. Daya tahannya
luar biasa, karena meskipun berkali-kali jatuh dan terbanting dengan tak
sengaja, tetap saja casing-nya tidak bocel, LCD-nya tidak pecah, dan
fungsi-fungsi lainnya pun tidak ada yang terganggu.
Bertahun-tahun handphone
itu dan XL-nya setia mengabdi demi kelancaran komunikasi saya. Di tengah
perjalanan kebersamaan itu, strip pada casing
yang mengelilingi layar LCD-nya terkelupas. Rupa-rupanya, lemnya lama-kelamaan
aus akibat sering terkena keringat saya dan gesekan-gesekan dengan kain saku
celana. Untuk mengatasinya, agar tidak kelihatan jelek karena memble-memble begitu, dan supaya tidak
terkelupas lebih besar lagi, saya bantu rekatkan dengan selotip. Tapi ternyata
lem aus itu merembet ke beberapa titik juga. Jadinya, ya, saya pasang
selotip-selotip lagi, sampai-sampai akhirnya tiga selotip menempel di sisi
kiri, kanan, dan atas strip itu. Cukup merusak keindahan sih. Tapi mau
bagaimana lagi? Kerjanya masih oke banget kok!
Namun fungsi si handphone
itu pun harus mengalami cobaan berat. Pertama, setelah dipakai tiga tahun,
karena sudah mencapai limit optimalnya, baterai orisinalnya pun melemah, jadi
sering drop sehingga harus sering di-charge, bahkan untuk dipakai telepon pun
harus sambil di-charge, kalau tidak, baru
bicara tiga-empat detik sudah mati. Jadinya, saya beli baterai baru. Dan karena
baterai orisinal itu mahal, yang saya anggap mubazir membelinya karena harganya
beda tipis dengan handphone baru,
maka saya beli saja yang non-orisinal. Tapi ya namanya juga bukan orisinal,
baru setahun sudah nge-drop juga.
Jadi saya beli lagi baterai baru, kembali bukan yang orisinal, dan kesusahan
yang sama pun berulang. Malah lebih parah, belum setahun sudah nge-drop! Begitulah: beli baterai baru, nge-drop, beli lagi, nge-drop lagi, terus dan terus begitu
berkali-kali!
Cobaan kedua terjadi karena keteledoran bodoh saya sendiri.
Pada malam hari pas Tahun Baru 2007, saat menginap di rumah kakak perempuan
saya itu, sepulang dari Puncak bersama keluarganya dan keluarga kakak saya yang
satu lagi, karena saat itu hujan besar dan kami semua, termasuk saya, basah
kuyup waktu turun dari mobil untuk masuk rumah, sesampai di rumah, saya
langsung mandi, dan usai mandi, saya langsung masukkan celana panjang saya yang
basah ke ember rendaman cucian yang airnya penuh, tanpa ingat sedikitpun kalau handphone saya masih ada di sakunya.
Setelah sekitar semenit, barulah saya sadar! Saya langsung mengeluarkan
handphone itu. Basah total pastinya! Lampunya menyala tapi tidak ada tampilan
apa-apa. Gawat! Saya cepat-cepat lepas baterainya, lalu saya tempatkan di bawah
AC di kamar supaya cepat kering. Salahnya, saya tidak mengeringkannya dengan hair dryer. Belakangan, saat saya
konsultasi dengan tukang servis, dia pun menyesalkan, karena memang seharusnya,
katanya, kalau handphone terendam
air, pengeringan mesti segera dilakukan dan harus dengan hair dryer supaya kering sempurna. Lebih salah lagi, setelah
semalaman di bawah AC, saat saya coba nyalakan dan ternyata bisa, saya langsung
mengisinya dengan charger keponakan
saya, yang ternyata voltage-nya lebih
besar. Karuan saja, dalam beberapa hari, baterai sang handphone jadi bunting sembilan bulan! Tapi bukan itu saja
akibatnya. Yang lebih fatal lagi, akibat tidak kering sempurna dan dihubungkan
ke charger yang tidak cocok, sebulan
kemudian software pengisian di charger connector menjadi error, menurut si tukang servis.
Hasilnya, handphone saya tidak bisa
di-charge secara biasa. Jadinya, saya
harus beli desktop charger. Dan juga
satu baterai cadangan, biar saat baterai yang satu sedang di-charge, handphone masih tetap bisa dipakai.
Tapi biarpun sudah parah merepotkannya, dan, dengan begitu,
fungsinya juga otomatis pasti ikut jadi sangat terganggu, handphone itu tetap saya gunakan. Sama sekali tidak mau saya buang.
Saya menghargai tinggi Ibu dan cintanya, yang rela keluar uang cukup besar
supaya anak terkasihnya bisa punya handphone,
padahal saat itu beliau sendiri belum punya handphone.
Saya menghargai kenangan-kenangan yang menghiasi story perjalanan sang handphone
dalam membantu studi saya semasa masih ko-ass, dalam membantu harmonisnya
hubungan saya dengan pacar, juga termasuk dalam membantu saya tetap bisa
berkomunikasi dengan Ibu dan keluarga di Jakarta sementara saya jauh dari
mereka karena tinggal di Bandung, karena bisa telepon-teleponan dan SMS-an
kapan saja.
Dan saya terus mempertahankan handphone itu karena nilainya tersebut.
Hingga 8 April 2011 lalu. Tepat di hari ulangtahun saya.
Saat itu saya sedang di rumah ibu saya di Tangerang. Selepas
magrib, sehabis beres-beres di rumah, ketika mengeluarkannya dari saku, handphone itu saya dapati error. Saya coba matikan kemudian nyalakan
kembali, tetap error. Saya titipkan
ke kakak saya untuk dibawa ke temannya yang mampu membetulkan handphone yang sudah rusak parah.
Seminggu kemudian, Kakak menelepon. Dia bilang, si teman mendapati PCB handphone saya sudah melengkung,
sehingga sudah tidak mungkin dibetulkan lagi.
Dengan kata lain, kalau handphone
saya itu manusia, gelar “almarhum” akan tercantum di depan namanya, dan saya
akan memasang iklan kematiannya di koran.
Tapi, biarpun ia sudah “tiada”, sang handphone tetap hidup dalam ingatan saya.
Karena dia sangat bernilai buat saya.