#LombaBlogNUB
Tidak dapat dipungkiri, peran seorang ibu
memang sangat besar sekali bagi proses tumbuh-kembang dan pembentukan masa
depan anak. Memang sudah menjadi anggapan umum yang rupa-rupanya dianut oleh
semua bangsa di seluruh dunia bahwa perempuan kebagian tugas dan tanggung jawab
untuk menata keluarga, tidak peduli apakah ia, perempuan bersangkutan, juga
bekerja mencari penghasilan dan berkarier di luar rumah ataukah secara
penuh-waktu bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Saya seorang laki-laki. Saya pun belum
menikah. Namun, suatu saat nanti ketika saya menikah, dapat dipastikan pundak isteri
saya juga takkan luput dari "beban terhormat" tersebut. Baik-buruknya keadaan
keluarga, beres-kacaunya kondisi sang kepala keluarga dan anak-anak, semuanya
seolah ditentukan oleh kinerja sang nyonya dan ibu rumah tangga. Makanya, saya
sering mendengar pepatah "Di balik kesuksesan seorang pria, terdapat seorang
wanita". Dan makna senada juga berlaku buat kegemilangan hari depan anak-anak.
Secara pribadi, saya pasti akan bangga sekali
apabila nanti isteri saya menjadi tokoh penentu di balik kebesaran saya dan
anak-anak saya. Akan tetapi, meski begitu, ada juga sedikit ganjalan dalam
pikiran saya. Tetap saja ada yang tidak benar menurut pemandangan saya.
Ini terlebih berkaitan dengan soal
tumbuh-kembang anak-anak ke depannya, seperti yang tadi saya singgung. Sungguh
mudah bagi saya sebagai ayah untuk mengklaim pengakuan dari semua orang juga
bilamana anak kami menjadi orang yang hebat, seberapapun besarnya kemungkinan
bagi isteri saya sebagai ibu untuk terlebih dulu menerima penghormatan
tersebut. Tapi sedihnya, hal itu juga berlaku sebaliknya, alangkah mudahnya
saya melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai ayah jikalau anak saya
melakukan hal-hal yang jahat, dan hampir pasti isteri sayalah yang lebih dulu
menjadi "kambing hitam" dan dipandang lebih besar "dosanya"!
Saya akui, mungkin memang lebih mungkin anak
menjadi hebat karena ibunya saja yang becus sementara ayahnya tidak, ketimbang
karena hanya ayahnya yang becus sedangkan ibunya tidak. Jujur saja, saya belum
pernah melakukan riset tentang hal itu dan belum pernah membaca dan mendengar
ada riset seperti itu, tapi, secara nalar berdasarkan pengalaman saya, memang
sangat mungkin seperti itulah yang terjadi. Namun, saya merasa tidak adil kalau
salah satu pihak lebih diuntungkan sedangkan pihak lain posisinya lebih rawan
karena merupakan "calon kuat sebagai tumbal" secara demikian!
Karena itu, saya sejak dini sudah berkomitmen
dengan calon isteri saya bahwa baik kemuliaan maupun tanggung jawab harus kami
terima dan emban bersama-sama dengan porsi yang sama. Buat saya, suami adalah
pemimpin, bukan atasan, dan isteri adalah penyokong, bukan bawahan. Anak yang
kelak dianugerahkan ke dalam keluarga kami adalah anak kami berdua. Jadi,
tanggung jawab kami berdua terhadap si anak adalah sama. Jika saya berhak atas
penghargaan yang sama dengan yang diberikan kepada isteri saya atas kehebatan
anak kami, maka mengapa saya tidak memikul konsekuensi yang sama dengan isteri
saya untuk membenahi ketidakbenaran anak kami? Anak itu jelas adalah anak saya
juga, jadi kenapa seluruh beban untuk mendidik dan membentuknya harus ditaruh
lebih banyak, atau bahkan seluruhnya, di bahu isteri saya?
Kami berdua banyak membekali diri. Pengalaman
orang-orangtua kami sendiri dan juga para kerabat dalam membina keluarga sudah
banyak kami kaji. Sumber-sumber lain dari buku dan media massa yang juga
membahas psikologi, pendidikan, dan lain sebagainya tidak ketinggalan pula kami
jadikan referensi. Dengan semua itu, kami dapat menyusun visi dan misi keluarga
kami, serta juga merancang tindakan-tindakan konkret yang mesti kami ambil.
Terutama, dan khususnya yang akan saya paparkan dalam tulisan ini, dalam hal membentuk
karakter dan moral anak kami agar menjadi pribadi yang unggul. Dan kami
menyadari, perihal menjadi pribadi unggul sama sekali tidak dapat dilepaskan
dari jiwa kepemimpinan. Maka, saya setuju ketika "Nutrisi untuk Bangsa"
menekankan hal pembentukan anak menjadi pemimpin.
Sebagaimana sudah saya katakan di atas, saya
mudah sekali menuai pujian atas kegemilangan anak saya, yang belum tentu ada
andil saya di dalamnya akibat sangat longgarnya "kewajiban" yang dikenakan
masyarakat kepada para ayah atas pendidikan anaknya, tapi tidak demikian dengan
isteri saya selaku ibu. Oleh sebab itu, yang saya tonjolkan ke depan sebagai
pelaku utama adalah isteri saya. Beberapa hal harus dikerjakan bersama-sama
oleh isteri saya dan saya sendiri. Namun, beberapa lagi dibagi-bagi di antara kami
berdua, layaknya pembagian tugas antara Pak Jokowi dengan Pak Ahok. Pembagian
ini berdasarkan pertimbangan bahwa ada hal yang lebih optimal bila dikerjakan
oleh ibu daripada oleh ayah, dan ada juga hal yang sebaliknya, lebih optimal
dilakoni ayah dibandingkan oleh sang ibu, meskipun memang tidak ada salahnya
juga jika siapa saja, baik ayah maupun ibu, melakukannya. Nanti akan lebih
jelas saya rincikan. Yang juga tak kalah penting, kami sepakat untuk melakukan
semua ini kepada anak laki-laki dan juga anak perempuan. Tidak ada pembedaan.
Karena, kaum wanita pun manusia, jadi, sama saja dengan pria, secara intrinsik
memiliki potensi kepemimpinan yang tidak akan berarti dan menjadi apa-apa
apabila tidak digali, dibakar, ditempa, diasah, dipoles, dan dibentuk dengan
benar.
1. Isteri
saya nanti akan menghormati keberadaan anak kami sebagai seorang pribadi
manusia seutuhnya. Begitu pula saya.
Secara eksplisit, bisa dipastikan, semua
orangtua akan berkata gamblang bahwa mereka jelas mengakui kalau anak mereka itu
memang seorang manusia utuh. Namun, dalam prakteknya, pemikiran sebagian besar
orangtua dicerminkan jelas dari perlakuannya terhadap sang anak, yakni bahwa
sebetulnya orangtua, dengan seribu-satu alasan, tidak mengakui anak mereka
sebagai individu manusia yang sepenuhnya terpisah dan berbeda dari orangtuanya.
Orangtua, terutama ibu, secara naluriah, sangat bertendensi memandang anaknya
sebagai bagian dari dirinya, bukan sebagai pribadi yang benar-benar terpisah
dan berbeda. Dan hal itu tercermin jelas dari perlakuan terhadap anak. Setelah
berusia 6 tahun, semestinya seorang anak sudah mulai belajar bertanggung jawab
atas dirinya sendiri. Tapi kenyataannya? Banyak yang bahkan hingga mulai
beranjak dewasa pun belum mampu. Hal ini diakibatkan orangtua yang terus-menerus
mengurusi urusan pribadi sang anak.Anak mendapat PR dan tugas dari guru di
sekolah, orangtua yang sibuk mengerjakan, sementara sang anak asyik saja
bermain. Buku-buku dan perlengkapan belajar untuk bersekolah keesokan hari
diurus oleh orangtua, anak sama sekali tidak tahu apa-apa karena memang dia
tidak mau tahu-menahu akibat memang dibiasakan manja, tidak memikirkan
urusannya sendiri. Alasan orangtua melakukan itu amatlah klasik. Karena sayang.
Ya... sayang pada diri mereka sendiri, sebenarnya, bukan pada anaknya...! Saya
tahu, ini terdengar kejam dan sok tahu. Kejam, saya agak setuju. Sok tahu, saya
sama sekali tidak sependapat. Karena, saya pun harus jujur pada diri sendiri
ketika menjumpai kesimpulan tersebut.... Kita, orangtua, tidak mau merasa
sedih bilamana anak kita sampai kenapa-kenapa akibat tidak mengerjakan PR. Kita
tidak sudi ada kerepotan melintasi mata kita karena melihat si buyung atau
si upik yang pontang-panting menyiapkan peralatan sekolahnya. Kita tidak
tahan merasakan panasnya kuping kita yang mendengar desah nafas kecapekan
anak-anak saat sedang sibuk belajar dan bekerja keras menangani segala urusan
pribadi mereka sendiri.... Coba perhatikan baik-baik kalimat-kalimat tersebut. Bukankah
semuanya bernada egoistis?
Maka, saya tidak mau diri dan isteri saya
nanti seperti itu. Kami berkomitmen untuk melakukan yang sebaliknya. Anak-anak
akan kami perlakukan sebagai manusia seutuhnya, pribadi yang punya hak dan
kewajiban penuh sebagai manusia untuk bertanggung jawab atas pribadi dan urusan
pribadinya sendiri. Kami sungguh paham, prakteknya tidaklah sesederhana dan
segampang mengatakan atau menuliskannya dalam teori. Tapi, bukankah tidak ada
kemuliaan tanpa pengorbanan, dan bahwa semakin besar pengorbanan yang kita
bayarkan maka akan semakin besar pula kemuliaan yang kita peroleh? Lagipula,
hal itu juga sudah tentu merupakan bahan pembelajaran dari kami selaku orangtua
buat anak-anak kami, sehingga mereka pun bisa mengerti arti besar dari
pengorbanan dalam perjuangan.
Kesimpulannya, seseorang tidak mungkin dapat
menjadi pemimpin jika tidak bertanggung jawab, sebab tanggung jawab adalah
salah satu elemen utama kepemimpinan. Di dalam tanggung jawab, ada disiplin,
kemandirian, dan kepercayaan diri, yang semuanya juga merupakan unsur-unsur
esensial dari kepemimpinan. Dan takkan mungkin kita mampu bertanggung jawab
atas banyak orang dan hal-hal yang besar bilamana kita belum sanggup
bertanggung jawab atas diri kita sendiri untuk hal-hal yang paling sepele.
Juga, kemuliaan seorang pemimpin bergantung penuh pada dedikasinya: kian besar
pengorbanan dan pengabdiannya terhadap tugas dan orang-orang yang dipimpinnya,
kian tinggi juga kemuliaan yang dipancarkannya. Maka, supaya anak kami dapat
menjadi pemimpin yang hebat, sang ibu akan memperlengkapinya sedini mungkin
dengan "pelatihan-pelatihan" tersebut. Dan saya, ayahnya, pasti setia turut
melakukan hal yang sama bersama sang ibu.
2. Isteri
saya kelak akan melimpahi anak kami dengan segala energi positif, serta sebisa
mungkin menghindari kata "jangan". Saya juga.
Sekarang ini, istilah "energi positif" tambah
banyak dipakai sehubungan bertambahnya kebutuhan akan "komoditas" satu ini di
tengah situasi dunia dan kehidupan yang makin lama makin terasa mengancam dan
mengimpit. Beberapa energi positif yang dapat saya sebutkan di antaranya adalah
optimisme, penyikapan secara positif, dan sukacita. Banyak sekali hasil yang
bisa kita petik dari pengembangan energi positif. Tapi, semua hasil itu dapat
saya kelompokkan menjadi 3 karakter, yaitu spirit yang berdeterminasi tinggi,
jiwa yang sangat kreatif-inovatif-inisiatif, dan wawasan yang mahaluas. Spirit
yang berdeterminasi tinggi membuat seseorang menghilangkan kata "menyerah"
dalam kamusnya, juga memiliki daya dobrak yang kuat sekali. Jiwa yang sangat
kreatif-inovatif-inisiatif menjadi kekuatan yang tak tertahankan untuk membuat
perubahan demi perubahan, pengembangan demi pengembangan, kemajuan demi
kemajuan, tanpa henti. Wawasan yang mahaluas menjadikan kita dapat melihat
sesuatu dengan pandangan "mata elang", dari atas, artinya: menyeluruh dan tak
terhalangi, sehingga tidak berpikir secara parsial dan tidak akan mengambil
kesimpulan maupun keputusan berdasarkan pertimbangan yang tidak/kurang matang.
Daya dobrak yang tinggi untuk membuat segala perubahan dan kemajuan tanpa henti
yang dilakukan melalui sebuah keputusan yang bijaksana hasil dari penginderaan
yang luas dan pemikiran yang matang itulah yang menjadi ciri khas kepemimpinan
dan insan pemimpin besar! Nah, itulah alasan mengapa isteri saya merasa wajib menebarkan
energi positif sepekat mungkin ke atmosfer kehidupan keluarga kami, istimewanya
kehidupan pribadi anak kami. Dia ingin selalu menciptakan tawa dan senyum di
dalam keluarga, dimulai dari dirinya sendiri dan saya, ditujukan terutama bagi
anak kami. Isteri saya juga mau selalu ingat untuk menyikapi segala hal dan
kejadian secara positif, menghindari segala respon yang negatif. Tujuannya agar
itu menjadi contoh dan pembiasaan di dalam keluarga kami supaya anak kami pun
lama-kelamaan hanya terbiasa berespon dan bersikap positif pula dalam
menghadapi orang, situasi, dan keadaan yang bagaimanapun buruk dan sulitnya.
Dan yang pasti, isteri saya juga akan selalu mau ingat untuk bersikap optimis
terhadap masalah dan kesukaran sebesar apapun. Jadi, anak kami pun akan
memiliki jiwa optimisme yang sama. Saya, suaminya, tentu akan proaktif bergerak
beriringan mengembangbiakkan semua energi positif itu dengan sang ibu dari anak
kami.
Tapi, kami juga menyadari sesuatu. Energi
positif butuh latar belakang dan kondisi pendukung. Itulah yang menjadi fungsi
dari keberanian dan kebebasan. Seseorang akan sangat sukar menyerap, apalagi
mengembangkan sendiri, energi positif bagi diri dan lingkungannya jikalau ia
cenderung memiliki jiwa penakut dan terkungkung. Lagian, bagaimana mungkin pula
kita sanggup mendobrak dan melakukan perubahan kalau kita sendiri takut serta
ragu dalam bertindak dan diri kita sendiri masih belum bebas secara
mental-spiritual? Dan bagaimana juga kita mau menjadi kreatif dan inovatif
serta menjadi orang yang senantiasa memegang inisiatif apabila pikiran dan
wawasan kita masih kita penjarakan serta tidak berani memikirkan dan mengimajinasikan
hal-hal di luar kelaziman yang kita kenal dan zona nyaman kita? Saya kira,
tidak ada pemimpin hebat yang penakut, peragu, pemalu, dan peminder, yang betah
lama-lama mengurung jiwanya dalam tembok imajiner yang diciptakannya sendiri.
Karena itu, isteri saya bertekad hendak membuang jauh-jauh tindakan
menakut-nakuti terhadap anak kami. Dia tidak mau mengulang kesalahan para
orangtua Indonesia pada umumnya, yang, entah kenapa, gemar menakut-nakuti
anak-anaknya dengan ancaman hantu atau makhluk jahat lainnya bila si anak tidak
mau makan, atau hobi menceritakan cerita-cerita seram dan horor serta
pesimistis kepada anak-anaknya untuk "menghibur" dan "dongeng sebelum tidur"
ketimbang cerita-cerita yang motivatif. Jangan salah kira. Menurut saya, bisa
saja dalam sebuah cerita, tokohnya adalah makhluk halus/makhluk astral, tapi
dikemas menjadi cerita yang sangat bernilai moral tinggi serta sarat
pendidikan, semacam Casper. Di samping itu, isteri saya pun sudah berniat
menjauhkan penggunaan larangan dan kata "jangan" bila berbicara kepada anak
kami. Menurut kami, memberitahukan bahaya atau sesuatu yang tidak baik kepada
anak kita tidak harus dengan cara melarang, tapi adalah berkali-kali lipat
lebih baik apabila dilakukan dengan cara memberitahukan, menyarankan,
menganjurkan, dan boleh juga sedikit mendesak (asal tidak memaksa) untuk
mengambil tindakan lain. Misalnya, daripada berkata: "Jangan lari-lari! Nanti
jatuh!", adalah puluhan kali lebih bermanfaat kata-kata seperti: "Hati-hati ya,
Nak! Jalan yang pelan saja, lebih enak buat kakimu, lho!". Selain itu, hemat
kami, semakin banyak kita melarang anak, semakin menyempit pula keberanian,
daya imajinasi, daya inovasi, dan kreativitasnya, sebab, anak-anak butuh ruang
seluas-luasnya untuk mengeksplorasi dunia Tuhan yang mahaluas yang sarat dengan
berbagai kemungkinan dan hal-hal tak terduga ini. Dan saya, sebagai suami dan
ayah yang baik, tentu saja bergerak bersama-sama isteri saya dalam menanamkan
semua keberanian dan kebebasan bagi anak kami.
3. Isteri
saya akan mengembangkan cinta kasih kepada saya, suaminya. Saya akan melakukan
yang sama terhadapnya pada saat yang sama. Lalu kami berdua akan mengembangkan
cinta kasih kami itu kepada anak kami.
Saya dan calon isteri saya sepakat untuk
membarakan cinta kasih di antara kami berdua secara lebih hebat lagi
berkali-kali ganda setelah kami menikah. Dan api cinta itu akan terus lebih kami
kobarkan seiring perjalanan waktu.
Yang akan kami lakukan untuk merealisasikan
itu adalah sebagai berikut:
a. Isteri saya akan terus membiasakan diri memberikan
sentuhan, senyuman, pelukan, kecupan, dan pujian yang tulus dan hangat kepada
saya, sebagaimana saya melakukannya juga terhadap dirinya.
b. Isteri saya akan menjaga komitmen untuk
selalu menyediakan hati, kehadiran, dan telinga buat curhatan dan keluh-kesah
serta beban pikiran saya, sebagaimana saya terus setia melakukannya juga untuknya.
c. Isteri saya akan tetap menjaga intonasi dan
siratan kalimat ucapannya terhadap saya supaya senantiasa hangat (tidak dingin
dan juga tidak panas), sekalipun saat itu sedang menyampaikan suatu koreksi
atau kritik halus, dan kondisinya sedang tegang. Dan saya pasti secara
berbarengan juga melakukan penghormatan yang sama untuk isteri saya.
d. Isteri saya akan menjaga agar nama dan
reputasi saya tetap baik di hadapan semua orang, termasuk di depan anak dan
keluarga besar kami, namun tanpa berbohong dan menebar kepalsuan-kemunafikan,
seperti halnya saya juga melakukan semua itu sepenuh hati untuk membela nama
dan reputasi baiknya.
e. Isteri saya akan melakukan poin a. sampai d.
di atas terhadap anak kami juga. Saya pun melakukan hal yang sama pada saat
yang sama.
Mengapa kami berdua, saya dan isteri saya, melakukannya
terhadap satu sama lain terlebih dahulu baru kemudian mengaplikasikannya juga
terhadap anak kami? Ada beberapa alasan.
Pertama, kepemimpinan juga adalah soal
kepedulian yang tanpa pamrih, dan kepedulian yang semacam itu hanya bias didapatkan
dari cinta kasih. Tanpa kasih, kepedulian hanya akan menjadi alat untuk
memanipulasi orang atau pihak lain manapun untuk mendapatkan kepentingan kita
sendiri. Jadi, ada agenda terselubung di baliknya, yang biasa disebut "pamrih",
yang hampir selalu berbobot lebih besar ketimbang perbuatan baik dan kepedulian
kita sendiri. Namun, dengan kasih, kita akan melakukan segala kebaikan, perhatian,
dan kepedulian terhadap orang lain dengan tujuan semata-mata agar obyek kasih
kita itu mendapatkan kebaikan dan terpenuhi kepentingannya.
Kedua, melakukan terlebih dahulu terhadap
pasangan kami sendiri satu sama lain merupakan pemberian contoh yang tidak
memerlukan lagi lebih banyak saran ataupun nasehat verbal terhadap anak kami.
Ketiga, tidak akan mungkin isteri saya dan
saya sendiri akan tetap konsisten melakukan pencontohan tersebut apabila kami
sendiri tidak terbiasa melakukannya. Kalau kami tidak terbiasa, maka akan
kelihatan bahwa kami berpura-pura, tidak tulus dalam menerapkan pola hidup
penuh cinta kasih satu sama lain. Jika anak kami mengetahuinya, dan anak-anak memang
pandai mendeteksi hal-hal sesensitif itu, ia tentu tidak akan mengindahkan
contoh-contoh yang kami berikan. Bagaimanapun, kepemimpinan juga adalah soal
kekonsistenan. Tidak akan ada kepemimpinan yang hebat dan langgeng tanpa
konsistensi antara kata dengan perbuatan dan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan
yang lain dari sang pemimpin.
4. Isteri
saya kelak akan memperkenalkan anak kami kepada orientasi, tatanan, sensitivitas,
dan kerendahan hati, sementara pada saat bersamaan, saya akan menajamkan karisma,
kemampuan manajerial, dingin kepala, dan kemantapan hati.
Manusia adalah makhluk sosial. Sudah semestinya
setiap orang belajar beradaptasi dengan lingkungannya, menghargai adat dan
budaya dari masyarakat di mana ia tinggal, serta mengembangkan rasa saling
menghormati kepada sesama manusia, terutama yang tinggal dalam lingkung yang
sama. Dengan kata lain, kita, manusia, wajib berorientasi terhadap situasi dan
kondisi lingkungan sejak awal sekali. Lebih lanjut, kita juga harus belajar
tunduk terhadap aturan yang berlaku di lingkungan kita. Seluruh pranata dan
norma wajib kita junjung tinggi. Belajar menaklukkan diri terhadap tatanan
adalah keniscayaan bagi kita selaku makhluk sosial. Untuk itu, kita perlu
memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Sebab, bila tidak, kita, paling parah,
akan dipandang menderita anti-sosial (dianggap sebagai "psikopat"), atau paling
ringan, mungkin dianggap menderita autisme, bilamana kita tidak atau kurang
mengindahkan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat di mana kita berada
dan tinggal! Dan melatih kepekaan agar tetap menghormati orang lain dan
kepentingan serta aturan umum memerlukan pula sikap kerendahan hati, kemauan
untuk memandang orang lain lebih utama daripada diri sendiri.
Orientasi, tatanan, sensitivitas, dan
kerendahan hati itu harus sejak dini sekali ditanamkan menjadi atmosfer jiwa
seorang anak. Ini bukan hanya akan membentuknya menjadi manusia yang disenangi
banyak orang, akan tetapi juga justru mampu membentuknya lebih cepat menjadi
seorang pemimpin, dan ketika sudah menjadi pemimpin, ia akan menjadi pemimpin
yang baik dan dicintai. Sebab, seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang
dulu (bahkan sampai sekarang dan seterusnya!) merupakan "pengikut" dan "hamba"
yang baik.
Itulah yang hendak diperkenalkan oleh isteri
saya kepada anak kami kelak semenjak awal. Memang, saya pun bisa melakukannya,
tapi semua itu akan jauh lebih efektif bilamana diterapkan secara dominan oleh
seorang ibu. Femininitas lebih dekat dengan orientasi terhadap lingkungan,
penundukan diri terhadap tatanan yang berlaku, kepekaan terhadap orang lain dan
lingkungan, serta kerendahan hati untuk bersedia terus dibentuk. Lagipula, masih
tetap berkaitan dengan unsur femininitas di dalam diri perempuan, ibu-ibu jauh
lebih efektif menerapkan aturan dalam kehidupan anaknya, melatih anaknya
menyesuaikan diri, mengasah kepekaan sang anak, serta menaklukkan egoisme dan arogansi
yang mengancam untuk bertumbuh subur dalam diri anak.
Di waktu bersamaan, kepemimpinan juga
membutuhkan karisma diri yang tinggi sebagai pemimpin, kemampuan manajerial dan
organisatorial yang mumpuni, kepala dingin yang fokus dan amat tidak mudah
terpengaruh dalam melihat permasalahan dan mengambil keputusan, serta
kemantapan dan militansi hati yang kokoh dalam memegang kebenaran sehingga sangat
tidak gampang menjadi plin-plan oleh perubahan sefluktuatif apapun.
Itulah tugas saya sebagai ayah bagi anak-anak
saya! Dan saat saya melakukannya, apa yang diperbuat isteri saya sudah cukup
mengompensasinya agar tidak terjadi ekses dalam diri anak kami akibat terlalu
sadar akan harga diri, terlalu percaya diri, terlalu terbiasa mengatur tanpa
pernah merasakan diatur, dan menjadi fanatik (bukan militan) akan hal apapun.
5.Isteri
saya nanti akan mengembangkan rasa aman, sementara saya sendiri menumbuhkan "sense
of crisis" dalam diri anak kami.
Kita sudah maklum, jika seseorang terdesak,
semua potensi dirinya akan keluar. Setiap puing kreativitas sekecil apapun akan
mencuat ke permukaan. Kita tidak pernah menyangka dan terpikir bahwa kita akan
sanggup mengerjakan “anu” saat sedang berada dalam kondisi normal, tapi ketika
kita berada dalam situasi kritis, kita terkaget-kaget, kita mampu melakukan hal
tersebut, bahkan dengan sangat baik.
Krisis sangat berguna meningkatkan kualitas. Terutama
kepemimpinan. Seorang pemimpin yang hebat adalah orang yang terbiasa
menciptakan "sense of crisis" di dalam dirinya demi hasil yang optimal. Dan
itulah yang akan saya, sebagai ayah, terapkan terhadap anak kami.
Akan tetapi, "sense of crisis" akan sangat
berbahaya terhadap kesehatan dan kehidupan mental bahkan spiritual manusia
apabila tidak diimbangi dengan keteduhan dan rasa aman yang dapat dikembangkan
orang tersebut sendiri di dalam hatinya. Untuk itulah, isteri saya, sebagai
ibu, berkat kualitas femininitas dan keibuan yang melekat padanya, mengemban
kewajiban untuk mengimplementasikan rasa aman tersebut dalam diri anak kami.
6. Isteri
saya akan mengembangkan kemampuan berinterospeksi, sementara saya menumbuhkan
kemampuan menginspeksi dalam diri anak kami.
Terakhir, seorang pemimpin memerlukan pula secara
seimbang kemampuan untuk menginspeksi (memeriksa kondisi yang terdapat di
dalam segala hal selain dirinya sendiri) dan kemampuan untuk berinterospeksi
(memeriksa kondisi yang terdapat di dalam diri sendiri semata-mata, bukan kondisi
apapun di dalam hal di luar diri).
Memiliki kemampuan menginspeksi saja tanpa
mempunyai kemampuan berinterospeksi akan mengakibatkan sang pemimpin menjadi diktator
dan tiran, sangat egois dan munafik akibat tidak mampu melihat kelemahannya
sendiri. Tapi sebaliknya, hanya mampu terus berinterospeksi tanpa mampu sama sekali menginspeksi akan
menyebabkan si pemimpin menjadi lemah, tidak berpendirian, bahkan hanya menjadi
boneka saja dari pihak lain atau dari anak buahnya sendiri.
Dan adalah tugas isteri saya sebagai perempuan
dengan femininitasnya untuk melatih anak kami berinterospeksi, sementara saya
dengan maskulinitas saya membekali sang anak pada waktu bersamaan untuk
menginspeksi lingkungannya.
Kesimpulan dari semua yang hendak calon isteri
saya dan saya lakukan bagi anak kami adalah bahwa kami hendak membentuk anak
kami menjadi pemimpin yang benar, sejati, dan luar biasa. Pada dasarnya,
pemimpin bukanlah bos. Pemimpin juga bukanlah juragan. Pemimpin adalah penunjuk
jalan. Orang seperti itu mestilah melihat tujuan yang pasti (visi). Untuk dapat
melihat tujuan, dia juga harus menguasai medan sehingga dapat mengetahui jalan
yang paling tepat, efisien, efektif, dan relatif paling aman untuk mencapai
tujuan tersebut, serta juga menguasai benar cara menempuh jalan itu (misi). Dan
jikalau memang tidak ada jalan menuju tujuan, sang pemimpin adalah orang yang
mampu membuat dan membuka/merintis jalan baru yang optimal. Namun, yang juga
dibutuhkan seseorang agar dapat menjadi pemimpin adalah kemampuan untuk meyakinkan
orang lain bahwa tujuan yang divisikannya itu adalah tujuan yang benar dan
jalan yang dimisikannya itu adalah jalan yang benar. Apa gunanya juga memiliki
visi dan misi yang jelas dan benar namun tidak ada orang yang mau mengikuti? Dan
terakhir, untuk dapat disebut sebagai pemimpin, orang tersebut juga mampu
menjamin dirinya sendiri dan pengikutnya selamat tiba di tujuan tanpa
kekurangan suatu apapun. Rintangan dan bahaya sebesar apapun tidak akan
berdampakkan kerugian bagi siapapun yang ada di dalam kepemimpinannya, kendati
semua itu menimbulkan sakit dan penderitaan tak terperi seperti apapun. Semua kepedihan
akibat pencobaan dan ujian selama perjalanan tidak akan berarti apa-apa dibandingkan
nilai yang amat berharga dari pelajaran sepanjang perjalanan dan kemuliaan dari
tujuan yang dicapai. Pemimpin wajib memastikan terjadinya hal tersebut.
Maka itu, kami ingin anak kami menjadi
mandiri, bertanggung jawab, bijaksana, rendah hati, dan menjadi seberkualitas
hal-hal yang sudah saya tuliskan di atas.
Kami bertekad bukan hanya tidak memberikan
ikan, namun kami juga tidak mau memberikan kail dan jalanya. Yang mau kami
perbuat adalah selain mengajarkan dan terus melatih anak kami menangkap ikan
dengan jala dan kail hingga benar-benar piawai, juga melatih sang anak agar
pandai mendapatkan cara-cara untuk dapat memperoleh dan memiliki kail dan jala
yang diperlukannya dengan cara-cara yang benar dan halal.
Dan isteri sayalah yang layak pertama-tama menerima
bintang penghargaan saat semua itu berhasil, saat ia menjadi ibu dari pemimpin
hebat!