Selasa, 31 Desember 2013

Menjadi Canggih, Irit, dan Advance Bersama Honda CB150R Streetfire

 

Sepeda motor dengan kopling manual itu punya arti spesial dan tempat khusus di hati saya. Ini murni subyektif. Secara obyektif, saya menilai, semua genre motor memiliki keistimewaan dan keunggulan sendiri-sendiri.

Motor berkopling otomatis, atau lebih tepatnya: berkopling non-manual, yang dulu, zaman saya kecil dan masih sekolah, terkenal dengan nama "motor bebek", memberikan kepraktisan dan kemudahan bagi pengendara. Ditambah lagi dengan bobotnya yang relatif paling ringan dari semua genre, motor jenis ini jelas sangat memudahkan pengguna sewaktu berjalan dan berhenti. Selain tidak perlu buang banyak konsentrasi saat dalam perjalanan buat atur keseimbangan antara kopling dengan gas, rem, dan persneling lagi, karena koplingnya sudah diatur "dari sono-nya" supaya otomatis bekerja saat berpindah gigi, kaki kita pun jadi lebih nyaman saat berhenti ketika jalanan macet, atau waktu di lampu merah, atau saat keluar-masuk tempat parkir karena beban yang harus ditahan tidak seberat motor-motor jenis lain. Apalagi, mengingat konsumsi bahan bakarnya yang sangat irit. Sudahlah, buat banyak kalangan, yang memiliki motor sekadar sebagai alat transportasi cepat dan praktis semata, "bebek" memang merupakan pilihan yang paling pas.

Sedangkan motor skutermatik, yang sampai sekarang, konon, masih menjadi primadona, mampu "mempertahankan tahta" hingga sejauh ini karena kadar kemudahan pemakaiannya yang lebih tinggi lagi, sekalipun dari segi bobot masih kalah dari motor bebek. Tidak usahnya pindah-pindah gigi ketika di jalan rupa-rupanya masih dipandang sebagai keistimewaan besar bagi sebagian besar konsumen.

Nah, sekarang, apa kelebihan motor berkopling manual, selain lebih berat bobotnya, lebih besar ukurannya, dan lebih besar tangki bensinnya? Saya akan menjelaskannya dengan memakai contoh aktualnya langsung, yaitu salah satu motor berkopling manual itu sendiri. Dan yang saya anggap paling mumpuni sebagai representatif adalah motor Honda CB150R Streetfire.

Mengapa harus CB150R? Karena tagline-nya tepat sekali menggambarkan pandangan saya akan motor manual.


Ayo, saya ajak kita sama-sama lihat apa saja yang CB150R Streetfire punya sampai-sampai Honda berani pasang jargon "canggih, irit, dan advance" begitu!

Kita lihat tampilan luarnya dulu. Bodi CB150R Streetfire dibentuk dari rangka berdesain terbaru Truss Frame atau Trellis. Desain ini khusus dibentuk untuk menunjang keoptimalan kerja mesin dan memaksimalkan fungsi suspensinya. Alhasil, kita akan merasakan kenyamanan saat menungganginya, karena mantap, stabil, namun tetap lincah bermanuver.

Suspensinya sendiri berteknologi ProLink. Suspensi tipe ini sangat adaptif terhadap segala jenis medan. Jadi, manfaatnya buat pengendara adalah kenyamanan pula, berhubung guncangan yang terasa lembut pada jok, sehingga tidak membuat kita sakit pinggang dan nyeri bokong.

Sekarang kita tinjau mesinnya. Motor Honda CB150R ini memiliki mesin DOHC 4-langkah yang berkapasitas 150 cc dan berteknologi PGM-FI (Programmed-Fuel Injection) dengan silinder 4-katup. Mesin seperti ini menghasilkan performa yang memuaskan, akselerasi yang mulus dan responsif, efisiensi bahan bakar (1 liter bensin untuk 22 km), serta emisi gas buang yang rendah sehingga ramah lingkungan.

Ditambah lagi dengan radiator yang dilengkapi kipas elektrik otomatis. Jadi, dapat menyesuaikan dengan temperatur mesin, serta juga menjaga suhu itu agar tetap stabil, tidak menjadi panas secara ekstrem. Maka, keawetan mesin menjadi terjaga pula.

Memang pantas saja CB150R Streetfire menyandang predikat sebagai motor yang canggih, irit, dan advance. Penggunaan teknologi yang serba terkini menyebabkannya layak disebut sebagai "canggih". Dengan rasio bahan bakar : jarak tempuh yang 1 : 22, plus juga dengan mesin yang tahan lama, dan kadar polusi yang rendah, kata "irit" jelas pantas dikenakan. Apakah motor ini juga layak menyandang gelar "advance"? Berlevel tinggi dan maju dalam pelbagai bidang? Tentu! Motor ini bukan berada dalam kelas sembarangan. Desainnya dirancang sedemikian rupa dengan memperhitungkan segala aspek secara luas menyeluruh dan jauh ke depan. Itulah advance!

Apa hubungannya CB150R Streetfire sebagai motor canggih, irit, dan advance dengan penilaian saya akan motor berkopling manual secara umum?

Pertama, karena memang begitulah motor berkopling manual: lebih canggih dan advance ketimbang motor jenis lainnya, serta seharusnya tak kalah irit dengan motor berkopling otomatis dan skutermatik. Kedua, berkaitan erat dengan alasan pertama barusan, karena motor berkopling manual adalah bagi pengendara yang canggih, irit, dan advance pula.

Saya adalah orang yang sangat menjunjung kreativitas, inovasi, kebaruan, kemajuan, progresivitas, dan kemutakhiran, tapi sekaligus juga amat menghormati efisiensi, efektivitas, dan kelestarian. Saya tidak mau ketinggalan keduanya. Karena itulah, motor berkopling manual, umumnya, dan CB150R Streetfire, khususnya, begitu cocok dengan kepribadian dan selera saya.

Kecanggihan dan ke-advance-an motor manual tidak hanya diukur dari teknologi terapan yang dikenakannya saja. Sebab, motor jenis lain pun dapat dengan mudah menggunakan aplikasi berteknologi sama. Tidak ada uniknya. Justru sesuatu yang dianggap sebagai "batu sandungan" dan kelemahan motor manuallah yang malah merupakan kunci keunggulannya, yang membuatnya lebih canggih dan advance ketimbang motor otomatis dan skutermatik. Yaitu ke-manual-annya! Secara teknologi, sebagaimana saya bilang tadi, sifat manual ini sendiri tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap canggih/advance atau tidaknya motor berkopling manual. Keunggulannya baru terlihat dari dampaknya terhadap manusia penggunanya.

Saya punya kesimpulan yang ada dasar kuatnya, yakni bahwa kita, manusia, terpengaruh-mempengaruhi dengan apapun yang berinteraksi secara intensif dengan diri kita, baik itu manusia maupun non-manusia (hewan, tumbuhan, dan materi). Saya pakai blog sebagai contoh, berhubung yang sedang saya tulis dan yang sedang Anda baca ini adalah sebuah blog. Ini yang saya maksud: ketika saya berinteraksi intensif dengan blog saya ini, maka salah satu atau kedua-duanya dari 2 hal ini yang akan terjadi; pertama, blog ini akan menggambarkan siapa saya ini sejatinya, maksudnya, saya mempengaruhi blog ini; dan, kedua, saking seringnya saya membaca ulang blog ini, maka lama-kelamaan, saya akan mengadaptasi jiwa dari blog ini, jadi sekiranya blog ini isinya melulu mellow, saya pun sedikit demi sedikit bakal menjadi orang yang mellow, dengan begitu, berarti blog inilah yang mempengaruhi diri saya.

Hal yang sama pun berlaku bagi sepeda motor. Pilihan kita akan jenis motor tertentu sangat mungkin dipengaruhi keadaan diri kita yang sebenarnya, baik selera, gaya hidup, sampai filosofi yang dianut. Tapi, kalaupun pilihan kita bukan ditentukan karena itu, kelak suatu saat, setelah kita memakai motor itu dalam waktu yang cukup lama dan sering, apalagi jika kita sayang betul pada motor tersebut dan kerap "berinteraksi" dengannya, maka karakter dari motor bersangkutan pasti akan menempel pada kita, sehingga cepat atau lambat akan menjadi karakter diri kita sendiri juga.

Dari satu sisi, mungkin betul motor berkopling manual itu ribet, menyusahkan. Namun, dari sisi lain, jelas, justru karena itulah, menggunakan motor jenis ini membutuhkan skill dan kemahiran yang lebih dibandingkan mengendarai motor bebek dan skutermatik. Artinya, pengguna motor manual pasti adalah pengendara motor yang cukup canggih keterampilannya memanuverkan si "kuda besi", dan juga memiliki tingkat kecakapan yang cukup advance untuk dapat menaklukkan sang kendaraan sekaligus medan yang ditempuh. Seandainyapun pada awal-awal pemakaian ia belum menjadi pengendara seperti itu, nanti setelah "jam terbang"-nya tinggi niscaya pribadi tersebut akan menjadi pengendara yang demikian.

Kesimpulannya, motor berkopling manual, teristimewa Honda CB150R Streetfire, pasti akan dipilih oleh pengendara yang, dan/atau pasti akan membentuk seseorang yang menungganginya secara intensif menjadi pengendara motor dan manusia yang, canggih dan advance!

Dan khusus untuk kasus CB150R, ada 2 hal yang menarik. Pertama, seperti tadi sudah saya sebutkan, motor manual Honda berkelas sportbike ini juga menyebut dirinya "irit". Kedua, Honda mengklaim, CB150R Streetfire ini adalah bagi mereka yang menyukai tantangan. Ini menarik! Mengapa? Karena, memang, adalah sebuah tantangan untuk tetap bisa mempertahankan dimensi "irit", yakni efisiensi-efektivitas, berikut kelestarian dari segi lingkungan, dalam atmosfer segala yang serba canggih dan advance, mengingat kecanggihan dan karakter advance itu dekat sekali dengan teknologi tinggi yang mahal, keglamoran penampilan, dan biaya tinggi untuk perawatan agar tetap awet!

Maka, pengguna yang memilih CB150R Streetfire sebagai kendaraannya adalah orang yang sudah memiliki, atau berkeputusan untuk memiliki, karakter pribadi yang canggih, irit, dan advance dalam banyak hal (seperti dalam hal integritas pribadi, determinasi, kedisiplinan, etos kerja, dan enduransi), serta menyukai tantangan pula agar selanjutnya dapat lebih canggih dan advance (serta juga "irit") lagi! Kebanyakan orang barangkali akan membayangkan eksekutif muda, politisi, dan kaum profesional ketika disebutkan karakter-karakter yang sedemikian. Saya tidak. Di benak saya, justru yang terlintas adalah para personel TNI yang menjaga perbatasan, aparat kepolisian hutan, dan anggota kesatuan anti-teror TNI-Polri. Mereka adalah orang-orang yang paling gamblang menggambarkan karakter canggih dan advance, serta juga "irit" dalam arti efisien dan efektif dalam setiap tindakan dan kinerja. Untuk mereka, alangkah tepat sekali diberikan CB150R Streetfire ini sebagai kendaraan dinas resmi untuk menjalankan tugas, yang pasti mengandung seribu tantangan yang serba canggih dan advance juga! Gabungan keduanya pasti akan menghasilkan kehebatan besar, yang amat besar gunanya bagi keutuhan, kewibawaan, martabat, dan kedaulatan negara kita!

Jumat, 13 Desember 2013

ASUS Fonepad Tablet 7 Inci dengan Fungsi Telepon

Gaya hidup zaman sekarang menuntut kita untuk bijak dalam mengatur irama dan pola kegiatan sehari-hari. Sebab, bila tidak, kita akan kewalahan sendiri. Pasalnya, dengan kian derasnya arus informasi dan komunikasi seiring akselerasi perkembangan teknologi yang semakin meningkat dari hari ke hari, selain memang aksesibilitas makin mudah dan peluang baru makin banyak terbuka, namun, di sisi lain, kebutuhan akan sarana-prasarana telekomunikasi dan informasi pun pasti tambah mendesak. Kian variatif gaya komunikasi dan pencarian informasi kita, kian banyak juga alat atau sarana (gadget) yang perlu kita miliki. Hal ini tentu tidak efisien. Selain bawaan kita jadi semakin berat dan membuat ribet, tentu lebih banyak juga energi listrik yang kita konsumsi, sebuah contoh gaya hidup yang kurang ramah lingkungan.

Tapi keadaan tersebut tidak akan terjadi seandainya kita dapat memperoleh segala macam informasi yang kita butuhkan dan, karenanya, menikmati bantuan besar bagi kelancaran pekerjaan kita, sekaligus bisa berkomunikasi tanpa hambatan, hanya dengan satu alat saja.

Dan memang ada alat semacam itu. ASUS Fonepad!

ASUS Fonepad adalah sebuah komputer tablet yang sekaligus juga mempunyai fungsi layaknya telepon selular.



Umumnya, komputer tablet mengandalkan mode WiFi untuk dapat terhubung dengan jaringan internet. Masalahnya di Indonesia adalah ketersediaan WiFi masih terbatas, hanya ada di tempat-tempat tertentu. Sehingga, kita tidak bebas mengakses internet di sembarang tempat. Berbeda dengan ASUS Fonepad, yang menyediakan pula fitur 3G. Dengan fitur 3G ini, kita dapat menggunakan jaringan nirkabel dari operator selular untuk mengakses internet.

Barangkali, sebagian kita pernah berpikir, karena fitur 3G itu disediakan jaringan selular, sudah tentu untuk mengoperasikan fitur tersebut kita harus menggunakan kartu yang disediakan operator selular; kalau begitu, kenapa komputer tablet yang menggunakan fitur 3G tidak sekalian saja bisa difungsikan juga sebagai telepon selular, sehingga kita bisa sekalian memakainya untuk menelepon, juga menerima dan mengirim SMS serta MMS? Nah, ASUS Fonepad menjawab dan menyediakan semua itu! Jadi, tablet keluaran ASUS ini juga dapat difungsikan sebagaimana sebuah telepon pintar/smartphone. Apalagi, kenyamanan bertelepon juga ditunjang oleh teknologi built-in noise cancelling yang membuat suara menjadi lebih jernih dan jelas di telinga lawan bicara kita. Bisa menggunakan Bluetooth headset pula, berhubung tablet ini dilengkapi juga dengan fasilitas Bluetooth.

Secara tampilan luar saja, ASUS Fonepad ini sudah menarik. Besar layarnya 7 inci, sehingga kita tidak akan sakit mata menatap layar akibat saking kecilnya tulisan, namun juga tidak bakal kesulitan memegang sewaktu menelepon karena memang pas di genggaman, tidak terlalu besar. Casing-nya berbahan aluminium dengan desain metalik yang tersedia dalam 2 warna, Titanium Grey dan Champagne Gold, jadi sangat elegan dan berkelas. Apalagi, desain tersebut juga dirancang minimalis dan rapi karena tidak mengumbar banyak port atau konektor di tepi-tepinya selain untuk micro-USB dan audio jack (headphone/mic-in), sebab slot untuk micro-SD dan SIM-Card terdapat di dalam, di balik penutup belakang pada sebelah atasnya.

Layar LED 7 inci 10-finger multi-touch itu juga mendukung video beresolusi HD (1280x800), jadi kita akan lebih asyik menonton, bermain game, dan bermultimedia. Apalagi, ASUS Fonepad ini dilengkapi juga dengan panel IPS, sehingga tampilan layar akan tetap terlihat tajam dan terang walaupun kita menatapnya dari sudut pandang hingga 178 derajat. Berkaitan juga dengan video, tablet ini juga memiliki 2 kamera. Satu di depan, sebesar 1,2 MP. Satu lagi di belakang, sebesar 3 MP, yang auto-focus dan mampu merekam video dengan resolusi HD 720p. Sementara itu, audionya juga tak kalah keren karena memanfaatkan teknologi ASUS SonicMaster dan juga software teknologi audio pemenang penghargaan Maxx Audio.

Soal kinerja, tablet ini dipersenjatai prosesor Intel Atom Z2420 Lexington yang berkecepatan 1,2 GHz dan mempunyai fitur HyperThreading. ASUS Fonepad adalah tablet 7 inci pertama di dunia yang memakai prosesor tersebut. Memorinya sebesar 1 GB. Sistem operasi yang digunakan adalah Android 4.1 Jelly Bean. Dengan demikian, tablet ASUS ini handal dalam soal kecepatan dan penanganan data.

Tablet ini juga menyediakan penyimpanan sebesar 8 GB atau 32 GB. Kapasitas itu juga dapat diekspansi hingga 32 GB lagi dengan menggunakan micro-SD. Ditambah lagi dengan fasilitas penyimpanan online berbasis cloud ASUS Webstorage Space sebesar 5 GB yang dapat digunakan tanpa batas waktu, alias selamanya. Kita tidak perlu kuatir kekurangan ruang untuk menyimpan koleksi video, foto, dan musik kita. Termasuk juga untuk data pekerjaan kita. Khusus untuk yang terakhir ini, kita lebih dipermudah lagi, sebab media penyimpanan cloud ASUS itu juga punya fitur Webstorage Office, sehingga kita bisa membuka, membuat, mengedit, dan men-share dokumen Microsoft Word, Excel, dan PowerPoint secara online dari ASUS Fonepad tersebut tanpa perlu menginstalasi software Microsoft Office lagi.

Dengan fungsi tablet merangkap telepon selular seperti itu, apakah baterainya tidak jadi boros? Pertanyaan yang bagus. Dan jawabannya adalah: tidak. Baterai 4270 mAh dari Fonepad ini sanggup bertahan 9,5 jam saat digunakan untuk memutar video beresolusi HD 720p non-stop, dan 31 jam untuk bertelepon di jaringan 3G.

Bagaimana mengenai harganya? Tidak perlu kuatir. Harga tablet yang 8 GB adalah Rp2.499.000. Sedangkan yang kapasitas penyimpanannya 32 GB dibandrol dengan harga Rp3.699.000. Terjangkau, bukan?

Melihat semua kapabilitas dan keistimewaan di atas, ASUS Fonepad lekat dengan berbagai versi akan perpaduan 2 kekuatan, ditinjau dari berbagai aspek, seperti yang bisa kita dengar sendiri dari keterangan sang talent di video advertorial ASUS Fonepad berikut ini. (Di video ini, kita juga bisa mendapatkan visualisasi kehebatan-kehebatan tablet ASUS ini untuk memperjelas apa yang sudah kita simak di atas.)


Ya! ASUS Fonepad bukan sekadar perpaduan tablet dengan telepon selular saja, namun juga perpaduan moda komunikasi gaya lama (telepon) dengan yang gaya baru (komputer tablet). Tablet ASUS ini juga memadukan kekuatan dan ketahanan dalam kinerjanya. Dan berbagai perpaduan lainnya, sebagaimana bisa kita saksikan sendiri dari video di atas. Ditambah satu perpaduan lagi, seperti yang tersirat pada awal-awal tulisan ini, yakni perpaduan efisiensi dengan availabilitas (ketersediaan, atau kondisi serba-lengkap).

Senin, 21 Oktober 2013

Isteriku Kelak Menjadi Ibu Pemimpin



#LombaBlogNUB

Tidak dapat dipungkiri, peran seorang ibu memang sangat besar sekali bagi proses tumbuh-kembang dan pembentukan masa depan anak. Memang sudah menjadi anggapan umum yang rupa-rupanya dianut oleh semua bangsa di seluruh dunia bahwa perempuan kebagian tugas dan tanggung jawab untuk menata keluarga, tidak peduli apakah ia, perempuan bersangkutan, juga bekerja mencari penghasilan dan berkarier di luar rumah ataukah secara penuh-waktu bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Saya seorang laki-laki. Saya pun belum menikah. Namun, suatu saat nanti ketika saya menikah, dapat dipastikan pundak isteri saya juga takkan luput dari "beban terhormat" tersebut. Baik-buruknya keadaan keluarga, beres-kacaunya kondisi sang kepala keluarga dan anak-anak, semuanya seolah ditentukan oleh kinerja sang nyonya dan ibu rumah tangga. Makanya, saya sering mendengar pepatah "Di balik kesuksesan seorang pria, terdapat seorang wanita". Dan makna senada juga berlaku buat kegemilangan hari depan anak-anak.

Secara pribadi, saya pasti akan bangga sekali apabila nanti isteri saya menjadi tokoh penentu di balik kebesaran saya dan anak-anak saya. Akan tetapi, meski begitu, ada juga sedikit ganjalan dalam pikiran saya. Tetap saja ada yang tidak benar menurut pemandangan saya.

Ini terlebih berkaitan dengan soal tumbuh-kembang anak-anak ke depannya, seperti yang tadi saya singgung. Sungguh mudah bagi saya sebagai ayah untuk mengklaim pengakuan dari semua orang juga bilamana anak kami menjadi orang yang hebat, seberapapun besarnya kemungkinan bagi isteri saya sebagai ibu untuk terlebih dulu menerima penghormatan tersebut. Tapi sedihnya, hal itu juga berlaku sebaliknya, alangkah mudahnya saya melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai ayah jikalau anak saya melakukan hal-hal yang jahat, dan hampir pasti isteri sayalah yang lebih dulu menjadi "kambing hitam" dan dipandang lebih besar "dosanya"!

Saya akui, mungkin memang lebih mungkin anak menjadi hebat karena ibunya saja yang becus sementara ayahnya tidak, ketimbang karena hanya ayahnya yang becus sedangkan ibunya tidak. Jujur saja, saya belum pernah melakukan riset tentang hal itu dan belum pernah membaca dan mendengar ada riset seperti itu, tapi, secara nalar berdasarkan pengalaman saya, memang sangat mungkin seperti itulah yang terjadi. Namun, saya merasa tidak adil kalau salah satu pihak lebih diuntungkan sedangkan pihak lain posisinya lebih rawan karena merupakan "calon kuat sebagai tumbal" secara demikian!

Karena itu, saya sejak dini sudah berkomitmen dengan calon isteri saya bahwa baik kemuliaan maupun tanggung jawab harus kami terima dan emban bersama-sama dengan porsi yang sama. Buat saya, suami adalah pemimpin, bukan atasan, dan isteri adalah penyokong, bukan bawahan. Anak yang kelak dianugerahkan ke dalam keluarga kami adalah anak kami berdua. Jadi, tanggung jawab kami berdua terhadap si anak adalah sama. Jika saya berhak atas penghargaan yang sama dengan yang diberikan kepada isteri saya atas kehebatan anak kami, maka mengapa saya tidak memikul konsekuensi yang sama dengan isteri saya untuk membenahi ketidakbenaran anak kami? Anak itu jelas adalah anak saya juga, jadi kenapa seluruh beban untuk mendidik dan membentuknya harus ditaruh lebih banyak, atau bahkan seluruhnya, di bahu isteri saya?

Kami berdua banyak membekali diri. Pengalaman orang-orangtua kami sendiri dan juga para kerabat dalam membina keluarga sudah banyak kami kaji. Sumber-sumber lain dari buku dan media massa yang juga membahas psikologi, pendidikan, dan lain sebagainya tidak ketinggalan pula kami jadikan referensi. Dengan semua itu, kami dapat menyusun visi dan misi keluarga kami, serta juga merancang tindakan-tindakan konkret yang mesti kami ambil. Terutama, dan khususnya yang akan saya paparkan dalam tulisan ini, dalam hal membentuk karakter dan moral anak kami agar menjadi pribadi yang unggul. Dan kami menyadari, perihal menjadi pribadi unggul sama sekali tidak dapat dilepaskan dari jiwa kepemimpinan. Maka, saya setuju ketika "Nutrisi untuk Bangsa" menekankan hal pembentukan anak menjadi pemimpin.

Sebagaimana sudah saya katakan di atas, saya mudah sekali menuai pujian atas kegemilangan anak saya, yang belum tentu ada andil saya di dalamnya akibat sangat longgarnya "kewajiban" yang dikenakan masyarakat kepada para ayah atas pendidikan anaknya, tapi tidak demikian dengan isteri saya selaku ibu. Oleh sebab itu, yang saya tonjolkan ke depan sebagai pelaku utama adalah isteri saya. Beberapa hal harus dikerjakan bersama-sama oleh isteri saya dan saya sendiri. Namun, beberapa lagi dibagi-bagi di antara kami berdua, layaknya pembagian tugas antara Pak Jokowi dengan Pak Ahok. Pembagian ini berdasarkan pertimbangan bahwa ada hal yang lebih optimal bila dikerjakan oleh ibu daripada oleh ayah, dan ada juga hal yang sebaliknya, lebih optimal dilakoni ayah dibandingkan oleh sang ibu, meskipun memang tidak ada salahnya juga jika siapa saja, baik ayah maupun ibu, melakukannya. Nanti akan lebih jelas saya rincikan. Yang juga tak kalah penting, kami sepakat untuk melakukan semua ini kepada anak laki-laki dan juga anak perempuan. Tidak ada pembedaan. Karena, kaum wanita pun manusia, jadi, sama saja dengan pria, secara intrinsik memiliki potensi kepemimpinan yang tidak akan berarti dan menjadi apa-apa apabila tidak digali, dibakar, ditempa, diasah, dipoles, dan dibentuk dengan benar.

1. Isteri saya nanti akan menghormati keberadaan anak kami sebagai seorang pribadi manusia seutuhnya. Begitu pula saya.
Secara eksplisit, bisa dipastikan, semua orangtua akan berkata gamblang bahwa mereka jelas mengakui kalau anak mereka itu memang seorang manusia utuh. Namun, dalam prakteknya, pemikiran sebagian besar orangtua dicerminkan jelas dari perlakuannya terhadap sang anak, yakni bahwa sebetulnya orangtua, dengan seribu-satu alasan, tidak mengakui anak mereka sebagai individu manusia yang sepenuhnya terpisah dan berbeda dari orangtuanya. Orangtua, terutama ibu, secara naluriah, sangat bertendensi memandang anaknya sebagai bagian dari dirinya, bukan sebagai pribadi yang benar-benar terpisah dan berbeda. Dan hal itu tercermin jelas dari perlakuan terhadap anak. Setelah berusia 6 tahun, semestinya seorang anak sudah mulai belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tapi kenyataannya? Banyak yang bahkan hingga mulai beranjak dewasa pun belum mampu. Hal ini diakibatkan orangtua yang terus-menerus mengurusi urusan pribadi sang anak.Anak mendapat PR dan tugas dari guru di sekolah, orangtua yang sibuk mengerjakan, sementara sang anak asyik saja bermain. Buku-buku dan perlengkapan belajar untuk bersekolah keesokan hari diurus oleh orangtua, anak sama sekali tidak tahu apa-apa karena memang dia tidak mau tahu-menahu akibat memang dibiasakan manja, tidak memikirkan urusannya sendiri. Alasan orangtua melakukan itu amatlah klasik. Karena sayang. Ya... sayang pada diri mereka sendiri, sebenarnya, bukan pada anaknya...! Saya tahu, ini terdengar kejam dan sok tahu. Kejam, saya agak setuju. Sok tahu, saya sama sekali tidak sependapat. Karena, saya pun harus jujur pada diri sendiri ketika menjumpai kesimpulan tersebut.... Kita, orangtua, tidak mau merasa sedih bilamana anak kita sampai kenapa-kenapa akibat tidak mengerjakan PR. Kita tidak sudi ada kerepotan melintasi mata kita karena melihat si buyung atau si upik yang pontang-panting menyiapkan peralatan sekolahnya. Kita tidak tahan merasakan panasnya kuping kita yang mendengar desah nafas kecapekan anak-anak saat sedang sibuk belajar dan bekerja keras menangani segala urusan pribadi mereka sendiri.... Coba perhatikan baik-baik kalimat-kalimat tersebut. Bukankah semuanya bernada egoistis?
Maka, saya tidak mau diri dan isteri saya nanti seperti itu. Kami berkomitmen untuk melakukan yang sebaliknya. Anak-anak akan kami perlakukan sebagai manusia seutuhnya, pribadi yang punya hak dan kewajiban penuh sebagai manusia untuk bertanggung jawab atas pribadi dan urusan pribadinya sendiri. Kami sungguh paham, prakteknya tidaklah sesederhana dan segampang mengatakan atau menuliskannya dalam teori. Tapi, bukankah tidak ada kemuliaan tanpa pengorbanan, dan bahwa semakin besar pengorbanan yang kita bayarkan maka akan semakin besar pula kemuliaan yang kita peroleh? Lagipula, hal itu juga sudah tentu merupakan bahan pembelajaran dari kami selaku orangtua buat anak-anak kami, sehingga mereka pun bisa mengerti arti besar dari pengorbanan dalam perjuangan.
Kesimpulannya, seseorang tidak mungkin dapat menjadi pemimpin jika tidak bertanggung jawab, sebab tanggung jawab adalah salah satu elemen utama kepemimpinan. Di dalam tanggung jawab, ada disiplin, kemandirian, dan kepercayaan diri, yang semuanya juga merupakan unsur-unsur esensial dari kepemimpinan. Dan takkan mungkin kita mampu bertanggung jawab atas banyak orang dan hal-hal yang besar bilamana kita belum sanggup bertanggung jawab atas diri kita sendiri untuk hal-hal yang paling sepele. Juga, kemuliaan seorang pemimpin bergantung penuh pada dedikasinya: kian besar pengorbanan dan pengabdiannya terhadap tugas dan orang-orang yang dipimpinnya, kian tinggi juga kemuliaan yang dipancarkannya. Maka, supaya anak kami dapat menjadi pemimpin yang hebat, sang ibu akan memperlengkapinya sedini mungkin dengan "pelatihan-pelatihan" tersebut. Dan saya, ayahnya, pasti setia turut melakukan hal yang sama bersama sang ibu.

2. Isteri saya kelak akan melimpahi anak kami dengan segala energi positif, serta sebisa mungkin menghindari kata "jangan". Saya juga.
Sekarang ini, istilah "energi positif" tambah banyak dipakai sehubungan bertambahnya kebutuhan akan "komoditas" satu ini di tengah situasi dunia dan kehidupan yang makin lama makin terasa mengancam dan mengimpit. Beberapa energi positif yang dapat saya sebutkan di antaranya adalah optimisme, penyikapan secara positif, dan sukacita. Banyak sekali hasil yang bisa kita petik dari pengembangan energi positif. Tapi, semua hasil itu dapat saya kelompokkan menjadi 3 karakter, yaitu spirit yang berdeterminasi tinggi, jiwa yang sangat kreatif-inovatif-inisiatif, dan wawasan yang mahaluas. Spirit yang berdeterminasi tinggi membuat seseorang menghilangkan kata "menyerah" dalam kamusnya, juga memiliki daya dobrak yang kuat sekali. Jiwa yang sangat kreatif-inovatif-inisiatif menjadi kekuatan yang tak tertahankan untuk membuat perubahan demi perubahan, pengembangan demi pengembangan, kemajuan demi kemajuan, tanpa henti. Wawasan yang mahaluas menjadikan kita dapat melihat sesuatu dengan pandangan "mata elang", dari atas, artinya: menyeluruh dan tak terhalangi, sehingga tidak berpikir secara parsial dan tidak akan mengambil kesimpulan maupun keputusan berdasarkan pertimbangan yang tidak/kurang matang. Daya dobrak yang tinggi untuk membuat segala perubahan dan kemajuan tanpa henti yang dilakukan melalui sebuah keputusan yang bijaksana hasil dari penginderaan yang luas dan pemikiran yang matang itulah yang menjadi ciri khas kepemimpinan dan insan pemimpin besar! Nah, itulah alasan mengapa isteri saya merasa wajib menebarkan energi positif sepekat mungkin ke atmosfer kehidupan keluarga kami, istimewanya kehidupan pribadi anak kami. Dia ingin selalu menciptakan tawa dan senyum di dalam keluarga, dimulai dari dirinya sendiri dan saya, ditujukan terutama bagi anak kami. Isteri saya juga mau selalu ingat untuk menyikapi segala hal dan kejadian secara positif, menghindari segala respon yang negatif. Tujuannya agar itu menjadi contoh dan pembiasaan di dalam keluarga kami supaya anak kami pun lama-kelamaan hanya terbiasa berespon dan bersikap positif pula dalam menghadapi orang, situasi, dan keadaan yang bagaimanapun buruk dan sulitnya. Dan yang pasti, isteri saya juga akan selalu mau ingat untuk bersikap optimis terhadap masalah dan kesukaran sebesar apapun. Jadi, anak kami pun akan memiliki jiwa optimisme yang sama. Saya, suaminya, tentu akan proaktif bergerak beriringan mengembangbiakkan semua energi positif itu dengan sang ibu dari anak kami.
Tapi, kami juga menyadari sesuatu. Energi positif butuh latar belakang dan kondisi pendukung. Itulah yang menjadi fungsi dari keberanian dan kebebasan. Seseorang akan sangat sukar menyerap, apalagi mengembangkan sendiri, energi positif bagi diri dan lingkungannya jikalau ia cenderung memiliki jiwa penakut dan terkungkung. Lagian, bagaimana mungkin pula kita sanggup mendobrak dan melakukan perubahan kalau kita sendiri takut serta ragu dalam bertindak dan diri kita sendiri masih belum bebas secara mental-spiritual? Dan bagaimana juga kita mau menjadi kreatif dan inovatif serta menjadi orang yang senantiasa memegang inisiatif apabila pikiran dan wawasan kita masih kita penjarakan serta tidak berani memikirkan dan mengimajinasikan hal-hal di luar kelaziman yang kita kenal dan zona nyaman kita? Saya kira, tidak ada pemimpin hebat yang penakut, peragu, pemalu, dan peminder, yang betah lama-lama mengurung jiwanya dalam tembok imajiner yang diciptakannya sendiri. Karena itu, isteri saya bertekad hendak membuang jauh-jauh tindakan menakut-nakuti terhadap anak kami. Dia tidak mau mengulang kesalahan para orangtua Indonesia pada umumnya, yang, entah kenapa, gemar menakut-nakuti anak-anaknya dengan ancaman hantu atau makhluk jahat lainnya bila si anak tidak mau makan, atau hobi menceritakan cerita-cerita seram dan horor serta pesimistis kepada anak-anaknya untuk "menghibur" dan "dongeng sebelum tidur" ketimbang cerita-cerita yang motivatif. Jangan salah kira. Menurut saya, bisa saja dalam sebuah cerita, tokohnya adalah makhluk halus/makhluk astral, tapi dikemas menjadi cerita yang sangat bernilai moral tinggi serta sarat pendidikan, semacam Casper. Di samping itu, isteri saya pun sudah berniat menjauhkan penggunaan larangan dan kata "jangan" bila berbicara kepada anak kami. Menurut kami, memberitahukan bahaya atau sesuatu yang tidak baik kepada anak kita tidak harus dengan cara melarang, tapi adalah berkali-kali lipat lebih baik apabila dilakukan dengan cara memberitahukan, menyarankan, menganjurkan, dan boleh juga sedikit mendesak (asal tidak memaksa) untuk mengambil tindakan lain. Misalnya, daripada berkata: "Jangan lari-lari! Nanti jatuh!", adalah puluhan kali lebih bermanfaat kata-kata seperti: "Hati-hati ya, Nak! Jalan yang pelan saja, lebih enak buat kakimu, lho!". Selain itu, hemat kami, semakin banyak kita melarang anak, semakin menyempit pula keberanian, daya imajinasi, daya inovasi, dan kreativitasnya, sebab, anak-anak butuh ruang seluas-luasnya untuk mengeksplorasi dunia Tuhan yang mahaluas yang sarat dengan berbagai kemungkinan dan hal-hal tak terduga ini. Dan saya, sebagai suami dan ayah yang baik, tentu saja bergerak bersama-sama isteri saya dalam menanamkan semua keberanian dan kebebasan bagi anak kami.

3. Isteri saya akan mengembangkan cinta kasih kepada saya, suaminya. Saya akan melakukan yang sama terhadapnya pada saat yang sama. Lalu kami berdua akan mengembangkan cinta kasih kami itu kepada anak kami.
Saya dan calon isteri saya sepakat untuk membarakan cinta kasih di antara kami berdua secara lebih hebat lagi berkali-kali ganda setelah kami menikah. Dan api cinta itu akan terus lebih kami kobarkan seiring perjalanan waktu.
Yang akan kami lakukan untuk merealisasikan itu adalah sebagai berikut:
a. Isteri saya akan terus membiasakan diri memberikan sentuhan, senyuman, pelukan, kecupan, dan pujian yang tulus dan hangat kepada saya, sebagaimana saya melakukannya juga terhadap dirinya.
b. Isteri saya akan menjaga komitmen untuk selalu menyediakan hati, kehadiran, dan telinga buat curhatan dan keluh-kesah serta beban pikiran saya, sebagaimana saya terus setia melakukannya juga untuknya.
c. Isteri saya akan tetap menjaga intonasi dan siratan kalimat ucapannya terhadap saya supaya senantiasa hangat (tidak dingin dan juga tidak panas), sekalipun saat itu sedang menyampaikan suatu koreksi atau kritik halus, dan kondisinya sedang tegang. Dan saya pasti secara berbarengan juga melakukan penghormatan yang sama untuk isteri saya.
d. Isteri saya akan menjaga agar nama dan reputasi saya tetap baik di hadapan semua orang, termasuk di depan anak dan keluarga besar kami, namun tanpa berbohong dan menebar kepalsuan-kemunafikan, seperti halnya saya juga melakukan semua itu sepenuh hati untuk membela nama dan reputasi baiknya.
e. Isteri saya akan melakukan poin a. sampai d. di atas terhadap anak kami juga. Saya pun melakukan hal yang sama pada saat yang sama.
Mengapa kami berdua, saya dan isteri saya, melakukannya terhadap satu sama lain terlebih dahulu baru kemudian mengaplikasikannya juga terhadap anak kami? Ada beberapa alasan.
Pertama, kepemimpinan juga adalah soal kepedulian yang tanpa pamrih, dan kepedulian yang semacam itu hanya bias didapatkan dari cinta kasih. Tanpa kasih, kepedulian hanya akan menjadi alat untuk memanipulasi orang atau pihak lain manapun untuk mendapatkan kepentingan kita sendiri. Jadi, ada agenda terselubung di baliknya, yang biasa disebut "pamrih", yang hampir selalu berbobot lebih besar ketimbang perbuatan baik dan kepedulian kita sendiri. Namun, dengan kasih, kita akan melakukan segala kebaikan, perhatian, dan kepedulian terhadap orang lain dengan tujuan semata-mata agar obyek kasih kita itu mendapatkan kebaikan dan terpenuhi kepentingannya.
Kedua, melakukan terlebih dahulu terhadap pasangan kami sendiri satu sama lain merupakan pemberian contoh yang tidak memerlukan lagi lebih banyak saran ataupun nasehat verbal terhadap anak kami.
Ketiga, tidak akan mungkin isteri saya dan saya sendiri akan tetap konsisten melakukan pencontohan tersebut apabila kami sendiri tidak terbiasa melakukannya. Kalau kami tidak terbiasa, maka akan kelihatan bahwa kami berpura-pura, tidak tulus dalam menerapkan pola hidup penuh cinta kasih satu sama lain. Jika anak kami mengetahuinya, dan anak-anak memang pandai mendeteksi hal-hal sesensitif itu, ia tentu tidak akan mengindahkan contoh-contoh yang kami berikan. Bagaimanapun, kepemimpinan juga adalah soal kekonsistenan. Tidak akan ada kepemimpinan yang hebat dan langgeng tanpa konsistensi antara kata dengan perbuatan dan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain dari sang pemimpin.

4. Isteri saya kelak akan memperkenalkan anak kami kepada orientasi, tatanan, sensitivitas, dan kerendahan hati, sementara pada saat bersamaan, saya akan menajamkan karisma, kemampuan manajerial, dingin kepala, dan kemantapan hati.
Manusia adalah makhluk sosial. Sudah semestinya setiap orang belajar beradaptasi dengan lingkungannya, menghargai adat dan budaya dari masyarakat di mana ia tinggal, serta mengembangkan rasa saling menghormati kepada sesama manusia, terutama yang tinggal dalam lingkung yang sama. Dengan kata lain, kita, manusia, wajib berorientasi terhadap situasi dan kondisi lingkungan sejak awal sekali. Lebih lanjut, kita juga harus belajar tunduk terhadap aturan yang berlaku di lingkungan kita. Seluruh pranata dan norma wajib kita junjung tinggi. Belajar menaklukkan diri terhadap tatanan adalah keniscayaan bagi kita selaku makhluk sosial. Untuk itu, kita perlu memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Sebab, bila tidak, kita, paling parah, akan dipandang menderita anti-sosial (dianggap sebagai "psikopat"), atau paling ringan, mungkin dianggap menderita autisme, bilamana kita tidak atau kurang mengindahkan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat di mana kita berada dan tinggal! Dan melatih kepekaan agar tetap menghormati orang lain dan kepentingan serta aturan umum memerlukan pula sikap kerendahan hati, kemauan untuk memandang orang lain lebih utama daripada diri sendiri.
Orientasi, tatanan, sensitivitas, dan kerendahan hati itu harus sejak dini sekali ditanamkan menjadi atmosfer jiwa seorang anak. Ini bukan hanya akan membentuknya menjadi manusia yang disenangi banyak orang, akan tetapi juga justru mampu membentuknya lebih cepat menjadi seorang pemimpin, dan ketika sudah menjadi pemimpin, ia akan menjadi pemimpin yang baik dan dicintai. Sebab, seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang dulu (bahkan sampai sekarang dan seterusnya!) merupakan "pengikut" dan "hamba" yang baik.
Itulah yang hendak diperkenalkan oleh isteri saya kepada anak kami kelak semenjak awal. Memang, saya pun bisa melakukannya, tapi semua itu akan jauh lebih efektif bilamana diterapkan secara dominan oleh seorang ibu. Femininitas lebih dekat dengan orientasi terhadap lingkungan, penundukan diri terhadap tatanan yang berlaku, kepekaan terhadap orang lain dan lingkungan, serta kerendahan hati untuk bersedia terus dibentuk. Lagipula, masih tetap berkaitan dengan unsur femininitas di dalam diri perempuan, ibu-ibu jauh lebih efektif menerapkan aturan dalam kehidupan anaknya, melatih anaknya menyesuaikan diri, mengasah kepekaan sang anak, serta menaklukkan egoisme dan arogansi yang mengancam untuk bertumbuh subur dalam diri anak.
Di waktu bersamaan, kepemimpinan juga membutuhkan karisma diri yang tinggi sebagai pemimpin, kemampuan manajerial dan organisatorial yang mumpuni, kepala dingin yang fokus dan amat tidak mudah terpengaruh dalam melihat permasalahan dan mengambil keputusan, serta kemantapan dan militansi hati yang kokoh dalam memegang kebenaran sehingga sangat tidak gampang menjadi plin-plan oleh perubahan sefluktuatif apapun.
Itulah tugas saya sebagai ayah bagi anak-anak saya! Dan saat saya melakukannya, apa yang diperbuat isteri saya sudah cukup mengompensasinya agar tidak terjadi ekses dalam diri anak kami akibat terlalu sadar akan harga diri, terlalu percaya diri, terlalu terbiasa mengatur tanpa pernah merasakan diatur, dan menjadi fanatik (bukan militan) akan hal apapun.

5.Isteri saya nanti akan mengembangkan rasa aman, sementara saya sendiri menumbuhkan "sense of crisis" dalam diri anak kami.
Kita sudah maklum, jika seseorang terdesak, semua potensi dirinya akan keluar. Setiap puing kreativitas sekecil apapun akan mencuat ke permukaan. Kita tidak pernah menyangka dan terpikir bahwa kita akan sanggup mengerjakan “anu” saat sedang berada dalam kondisi normal, tapi ketika kita berada dalam situasi kritis, kita terkaget-kaget, kita mampu melakukan hal tersebut, bahkan dengan sangat baik.
Krisis sangat berguna meningkatkan kualitas. Terutama kepemimpinan. Seorang pemimpin yang hebat adalah orang yang terbiasa menciptakan "sense of crisis" di dalam dirinya demi hasil yang optimal. Dan itulah yang akan saya, sebagai ayah, terapkan terhadap anak kami.
Akan tetapi, "sense of crisis" akan sangat berbahaya terhadap kesehatan dan kehidupan mental bahkan spiritual manusia apabila tidak diimbangi dengan keteduhan dan rasa aman yang dapat dikembangkan orang tersebut sendiri di dalam hatinya. Untuk itulah, isteri saya, sebagai ibu, berkat kualitas femininitas dan keibuan yang melekat padanya, mengemban kewajiban untuk mengimplementasikan rasa aman tersebut dalam diri anak kami.

6. Isteri saya akan mengembangkan kemampuan berinterospeksi, sementara saya menumbuhkan kemampuan menginspeksi dalam diri anak kami.
Terakhir, seorang pemimpin memerlukan pula secara seimbang kemampuan untuk menginspeksi (memeriksa kondisi yang terdapat di dalam segala hal selain dirinya sendiri) dan kemampuan untuk berinterospeksi (memeriksa kondisi yang terdapat di dalam diri sendiri semata-mata, bukan kondisi apapun di dalam hal di luar diri).
Memiliki kemampuan menginspeksi saja tanpa mempunyai kemampuan berinterospeksi akan mengakibatkan sang pemimpin menjadi diktator dan tiran, sangat egois dan munafik akibat tidak mampu melihat kelemahannya sendiri. Tapi sebaliknya, hanya mampu terus berinterospeksi tanpa  mampu sama sekali menginspeksi akan menyebabkan si pemimpin menjadi lemah, tidak berpendirian, bahkan hanya menjadi boneka saja dari pihak lain atau dari anak buahnya sendiri.
Dan adalah tugas isteri saya sebagai perempuan dengan femininitasnya untuk melatih anak kami berinterospeksi, sementara saya dengan maskulinitas saya membekali sang anak pada waktu bersamaan untuk menginspeksi lingkungannya.

Kesimpulan dari semua yang hendak calon isteri saya dan saya lakukan bagi anak kami adalah bahwa kami hendak membentuk anak kami menjadi pemimpin yang benar, sejati, dan luar biasa. Pada dasarnya, pemimpin bukanlah bos. Pemimpin juga bukanlah juragan. Pemimpin adalah penunjuk jalan. Orang seperti itu mestilah melihat tujuan yang pasti (visi). Untuk dapat melihat tujuan, dia juga harus menguasai medan sehingga dapat mengetahui jalan yang paling tepat, efisien, efektif, dan relatif paling aman untuk mencapai tujuan tersebut, serta juga menguasai benar cara menempuh jalan itu (misi). Dan jikalau memang tidak ada jalan menuju tujuan, sang pemimpin adalah orang yang mampu membuat dan membuka/merintis jalan baru yang optimal. Namun, yang juga dibutuhkan seseorang agar dapat menjadi pemimpin adalah kemampuan untuk meyakinkan orang lain bahwa tujuan yang divisikannya itu adalah tujuan yang benar dan jalan yang dimisikannya itu adalah jalan yang benar. Apa gunanya juga memiliki visi dan misi yang jelas dan benar namun tidak ada orang yang mau mengikuti? Dan terakhir, untuk dapat disebut sebagai pemimpin, orang tersebut juga mampu menjamin dirinya sendiri dan pengikutnya selamat tiba di tujuan tanpa kekurangan suatu apapun. Rintangan dan bahaya sebesar apapun tidak akan berdampakkan kerugian bagi siapapun yang ada di dalam kepemimpinannya, kendati semua itu menimbulkan sakit dan penderitaan tak terperi seperti apapun. Semua kepedihan akibat pencobaan dan ujian selama perjalanan tidak akan berarti apa-apa dibandingkan nilai yang amat berharga dari pelajaran sepanjang perjalanan dan kemuliaan dari tujuan yang dicapai. Pemimpin wajib memastikan terjadinya hal tersebut.
Maka itu, kami ingin anak kami menjadi mandiri, bertanggung jawab, bijaksana, rendah hati, dan menjadi seberkualitas hal-hal yang sudah saya tuliskan di atas.
Kami bertekad bukan hanya tidak memberikan ikan, namun kami juga tidak mau memberikan kail dan jalanya. Yang mau kami perbuat adalah selain mengajarkan dan terus melatih anak kami menangkap ikan dengan jala dan kail hingga benar-benar piawai, juga melatih sang anak agar pandai mendapatkan cara-cara untuk dapat memperoleh dan memiliki kail dan jala yang diperlukannya dengan cara-cara yang benar dan halal.
Dan isteri sayalah yang layak pertama-tama menerima bintang penghargaan saat semua itu berhasil, saat ia menjadi ibu dari pemimpin hebat!

Minggu, 14 Juli 2013

Ngopi Enak dengan Hot Mug Peri Gigi Shop

Saya penggila kopi. Teh juga sih. Tapi jauh lebih suka kopi. Nah, menyeduh kopi itu paling bagus dengan air mendidih. Tapi sebaiknya kita tidak langsung meminumnya. Selain pasti bibir dan lidah kita akan terbakar, rasanya juga belum optimal, karena kopi tersebut, baik dicampur gula maupun tidak, butuh waktu beberapa lama agar rasanya sempurna. Harus didiamkan dulu. Dalam dunia kuliner, pendiaman itu istilah kerennya resting. Jadi, minuman kopi itu mencapai tingkat kenikmatan paling pol memang saat suhunya sudah sedikit turun beberapa derajat Celsius.

Masalahnya, berapa lamakah waktu resting tersebut? Pada suhu berapa optimalnya? Masak mesti pakai termometer segala?! Yah, memang hal itu relatif, tergantung volume minuman kopi itu, rasio kepekatan (perbandingan kopi dengan air), bahan yang menjadi wadah, kadar gula atau susu serta juga krim yang ditambahkan, dan sebagainya. Untuk beberapa orang yang memang sudah sehari-harinya minum kopi, apalagi yang membuat sendiri, naluri berbicara sendiri. Jadi, secara insting, sudah bisa mendeteksi kapan saatnya kopi sudah bisa mulai dinikmati. Tapi lain halnya dengan orang-orang yang baru mencoba atau hanya sekali-kali saja minum kopi. Sebagian besar dari mereka pasti akan menunggu suhu kopinya turun dulu karena saking panasnya. Tapi ada juga beberapa orang, entah karena sudah tidak sabar, terburu-buru, atau karena alasan lain, yang kepinginnya langsung saja mereguk kopi yang baru saja diseduh itu. Yang manapun, keduanya tetap saja masih awam dalam menentukan pada saat kapan kopi tersebut benar-benar sudah optimal kenikmatannya.

Meski begitu, bagi saya dan para pecandu kopi lain pun, adalah lebih baik untuk mengetahui secara lebih pasti timing keoptimalan kopi tersebut. Apalagi untuk para pemula. Nah, baru-baru ini, saya menjumpai cara untuk memastikan hal itu!

Peri Gigi Shop punya satu produk yang sangat unik yang namanya Hot Mug. Mug yang tingginya 9 cm dan berdiameter 8 cm ini warna dasar bagian luarnya hitam. Namun, begitu dituangkan air panas atau cairan panas lain, warna hitam itu akan menghilang, lalu tampillah warna dasar lain yang bermotif! Yang tak kalah uniknya, warna dasar lain dan motifnya itu bisa kita pilih dan tentukan sesuai selera, bahkan kita juga bisa memesan motif berupa tulisan, gambar, dan foto, lho! Jadi, kalau kita mau sedikit narsis, yah, tinggal order saja!


Warna hitam permukaan luar Hot Mug berubah tatkala dituangkan air panas (Sumber: http://www.perigigishop.com/product.php?id=153)

 
Permukaan Hot Mug berubah total sesudah air panas penuh (Sumber: http://www.perigigishop.com/product.php?id=153)
Nah, bagian yang akan saya sebutkan berikut ini yang paling hebat, sekaligus yang saya bilang menjadi cara memastikan keoptimalan rasa kopi! Ketika cairan pengisi Hot Mug tersebut (air, kopi, teh, atau lainnya lagi) suhunya turun, warna hitam pun berangsur-angsur muncul kembali. Semakin dingin temperaturnya, makin jelas warna hitamnya. Dan pada waktu temperaturnya sudah sama dengan suhu kamar/ruangan (sekitar 26 sampai 28 derajat Celsius), warna hitam tersebut secara total sempurna menutupi kembali permukaan luar mug. Canggih ‘kan?!
 
Tahap-tahap perubahan warna permukaan Hot Mug (Sumber: http://www.perigigishop.com/product.php?id=153)

Jadi, kalau saya menggunakan Hot Mug yang harganya Rp70.000 per item tersebut, saya akan mulai minum kopi saya bilamana nuansa gelap dari warna hitam sudah nyata di permukaan mug, namun warna dasar dan motifnya masih cukup terlihat jelas, belum menjadi samar-samar. Sebab, itulah kira-kira momen yang paling pas!

Selain itu, bisa dibayangkan juga ‘kan, bagaimana kagetnya tamu, teman, pacar, suami, isteri, saudara, atau siapapun yang kita suguhi kopi, atau teh, atau susu, atau minuman panas apapun ketika dia melihat gambar/foto diri kita atau gambar/foto apapun itu, mungkin bersamaan juga dengan tulisan-tulisan unik yang kita buat (misalnya: “Yang Minum Ini Dapat Pahala!”), tahu-tahu muncul waktu air panas dimasukkan ke dalam mug, dan kemudian perlahan-lahan digantikan lagi oleh warna hitam! Lucu tapi sekaligus membanggakan ‘kan?!

Mungkin ada yang penasaran, bagaimana mendapatkan Hot Mug tersebut? Dan kemungkinan besar ada juga yang bertanya, apa sih Peri Gigi Shop itu? Tenang! Ini saya baru mau kasih tahu.

Peri Gigi Shop itu toko online yang menjual barang-barang serba unik, baik yang ready stock (desainnya sudah baku, tinggal beli saja), maupun yang custom (bisa dipesan desainnya sesuai keinginan konsumen), serta juga yang berupa suvenir (ini juga bisa diatur desainnya menurut selera kita). Langsung saja lihat semua produknya di situsnya: http://www.perigigishop.com/, atau klik saja link-link yang saya berikan! Pantang rugi deh! Malah, Anda-anda bisa ngiler berat buat pesan! Seperti saya!

Eh, bagaimana pesannya? Nah, buat pesan Hot Mug atau produk-produk Peri Gigi Shop lainnya, kita bisa melakukan beberapa cara. Bisa dengan memesan langsung dari situs Peri Gigi Shop-nya, yang tentu saja mesti diawali dengan register dan kemudian login dulu. Atau, bisa juga lewat email, SMS, dan BBM. Setelah melakukan transfer pembayaran, tinggal tunggu deh, barang akan diantar via paket ke rumah kita. Tapi jangan lupa, berikan deskripsi desain dan alamat pengiriman yang jelas biar kita sendiri puas karena barang tiba cepat tanpa kesasar ke mana-mana dulu dan sesuai dengan yang kita mau!

Sekarang saja saya sudah bisa membayangkan nih enaknya ngopi pakai Hot Mug dari Peri Gigi Shop...!

Minggu, 30 Juni 2013

Motivator dan Pembicara Umum, Itulah Aku!

Selain sebagai penulis, sebagaimana yang saya tulis dalam artikel sebelum ini, saya juga punya passion sebagai motivator dan pembicara umum (public speaker).

Apa??!! Si pertapa antisosial itu kepingin jadi motivator?! Public speaker pula??!! Orang-orang yang sangat mengenal saya atau yang sudah membaca tulisan saya sebelumnya itu pasti akan terkaget-kaget dan berkata seperti itu.

Tidak mengapa. Semua orang boleh menilai kalau passion saya itu sama sekali nggak nyambung dengan pembawaan dan tabiat saya. Tapi itulah kenyataannya.

Barangkali, orang-orang berkata yang senada juga terhadap Vernon. Mungkin, ketika pria yang bekerja sebagai asisten dari Tiesto, Superstar-DJ yang hebat itu, menceritakan passion-nya untuk bisa menjadi DJ hebat sama seperti bosnya, banyak teman dan orang-orang lain yang mendengarnya yang tertawa mengejek. Bahkan mengecam. Dan memang itu sudah terjadi. Dalam video advertorial Acer Aspire P3 Hybrid Ultrabook (dapat ditonton di Youtube: http://www.youtube.com/watch?v=7zK-E9th8uQ), atasan Vernon yang lain, seorang wanita yang sepertinya adalah pengelola event organizer, dengan tajam dan pedas berkata kepadanya: “Vernon!! Quit dreaming! Start working!”, manakala asisten Tiesto itu sedang mencoba setting-an musik ala DJ-nya yang terdapat di dalam Acer Aspire P3-nya, dan memainkan musiknya keras-keras pada arena yang nantinya akan dipakai untuk pertunjukan Tiesto.

Tapi, orang tahu apa?! Betul, saya ini penyendiri, penyepi, penggemar keheningan, dan penggila konsentrasi tinggi. Namun, saya sama sekali bukanlah seorang antisosial! Saya banyak mengerti dan memahami seluk-beluk manusia dan kehidupan. Bukan cuma secara teori, sebagaimana yang tertulis dalam buku-buku teks mahasiswa Psikologi. Akan tetapi juga secara realita.

Saya juga sebenarnya berbakat sebagai konselor. Entah kenapa, biarpun semua teman tahu saya ini pendiam dan tidak pernah bergabung di satu gengpun, tapi mereka selalu mencari saya bilamana punya persoalan. Apapun itu. Siapapun dia. Bukan hanya teman, kakak-kakak, dan kerabat dekat saja, tapi semua orang yang kenal dengan saya, entah kenal dekat ataukah kenal sepintas. Menurut beberapa dari mereka, ada dorongan yang mereka sendiri tidak mengerti, yaitu dorongan untuk menceritakan masalah mereka kepada saya, berat maupun ringan masalah tersebut. Dan mereka juga merasakan rasa nyaman yang sama sulit dimengertinya tiap kali curhat dengan saya. Pula, mereka mengalami kelegaan yang juga nyaris mustahil dimengerti saban kali saya keluarkan kata-kata, apakah itu sekadar komentar, ataukah berupa kata-kata peneguhan hati, nasehat, penghiburan, dan lain sebagainya.

Kemudian, ketika saya menuliskan tulisan-tulisan yang sifatnya opinis-argumentatif, banyak sekali orang yang berkomentar bahwa mereka mendapat banyak pencerahan dari tulisan saya. Apalagi kalau tulisan itu bersifat memotivasi, menginspirasi, atau yang sejenis itu.

Akan tetapi, bukan hanya dalam media tulisan. Dalam media lisan pun saya mendapati diri cukup piawai dalam memotivasi, menginspirasi, dan menguatkan semangat. Biarpun saya pendiam dan bahkan sebetulnya secara fisik-audio kurang layak berbicara di muka umum, berhubung saya ini cedal dan juga suara saya terdengar seperti serak dan tertahan di leher sehingga tidak keluar di mulut, namun saya sangat handal dalam berdebat, beradu argumentasi, memberikan penjelasan, mendeskripsikan, mengilustrasikan, memberi pengajaran dan pemahaman, serta bahkan berpidato dan berkhotbah.

Passion saya sebagai motivator-konselor dan pembicara umum ini memang baru beberapa tahun terakhir ini saja saya punyai. Berbeda dengan hasrat terpendam di bidang sastra dan tulis-menulis. Itu karena kesadaran saya akan hal itu memang baru muncul ke permukaan beberapa tahun belakangan.

Banyak sekali pola hidup, paradigma, pola pikir, dan cara pandang di dunia ini yang saya dapati salah. Terutama di negeri kita tercinta, Indonesia, ini. Dan kebanyakan, kesalahan-kesalahan tersebut diikuti juga dengan permasalahan, kesulitan, dan bahkan penderitaan, yang, sedihnya, justru tidak disadari oleh para pelakunya sendiri dan oleh hampir semua orang. Saya mengenali kesalahan-kesalahan tersebut, sehingga pada saat yang sama, saya juga mengenali apa yang seharusnya berlaku dan kebenaran apa yang semestinya dianut sebagai pola hidup, paradigma, dan cara pandang manusia. Saya dapat mempertahankan apa yang saya pegang tersebut. Saya mampu mengemukakan argumentasi yang takkan dapat terbantahkan oleh siapapun mengenai kebenaran itu. Dan pada waktu bersamaan, saya juga sangat rindu menyebarluaskannya agar semua orang tahu, dan saya pun sanggup mengajarkannya hingga semua mengerti dan memahami kebenaran. Untuk itu dan semenjak itulah saya tersadar dan termotivasi untuk menjadi motivator dan public speaker (bila berhadapan dengan orang banyak maupun secara pribadi dengan satu orang) yang sekaligus merupakan konselor (bila secara khusus menghadapi hanya satu orang saja secara pribadi).

Dan saya yakin, saya akan sukses, dalam arti: akan banyak orang yang berubah hidupnya setelah menerima pemaparan saran, motivasi, pengajaran hikmat, dan nasehat dari saya.

Tapi itu tidak mudah. Saya butuh perjuangan dan kerja keras yang luar biasa. Saya juga harus berdedikasi tinggi dan memiliki tekad yang tak terpatahkan. Saya membutuhkan semua itu sebagai alat dan sarana latihan. Dan, selain itu, saya juga jelas memerlukan dukungan teknologi bagi pelatihan saya sekarang dan pekerjaan saya nanti.

Pasalnya, saya membutuhkan banyak sekali informasi teraktual. Dan saya harus meng-update semua itu setiap hari, sebab, semuanya itulah bahan yang menjadi bekal bagi saya supaya isi pembicaraan dan tulisan saya selalu nyambung dengan peradaban dan zaman, sembari tetap menjaga diri untuk tetap tidak terkontaminasi oleh paham-paham yang kian menyimpang dari kebenaran dan makin menyesatkan pola pikir kita ke arah yang lebih ngawur lagi. Untuk mendapatkan semua itu, tidak bisa lagi saya hanya mengandalkan informasi dari sumber-sumber pers saja, baik dari media cetak maupun media elektronik audio-visual. Saya butuh informasi dan data dari sumber-sumber lain via internet. Namun, bagaimana saya bisa mengakses semua itu dengan cepat bila saya tidak dilengkapi dengan perangkat/gadget yang memang mendukung teknologi komunikasi-informasi termutakhir?

Agaknya, apa yang dimiliki Vernon harus juga saya miliki. Acer Aspire P3 Hybrid Ultrabook! Ya, ultrabook yang ringan, tablet yang sekaligus juga menjadi laptop...! Memang ideal...!

Untuk kebutuhan public speaking pun Acer Aspire P3 dapat diandalkan. Terutama ketika saya harus mempresentasikan bahan pembicaraan saya secara multimedia. Pembuatan desain ilustrasi dan penyinkronannya dengan sistem audio pun akan menjadi sangat ideal. Karena, orang akan bisa jauh lebih diyakinkan bilamana diiringi dengan persuasi pada otak kanan mereka lewat media gambar dan musik.

Kalau sudah begitu, saya hanya berdoa, kiranya karunia yang dianugerahkan dan misi yang diembankan kepada saya melalui passion ini dapat berbuah manis. Semanis kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan umat manusia...!

My Hidden Passion: Be A Great Writter!

Ketika ulangan umum, ujian semester, ujian kelulusan, atau ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, selalu di bagian terakhir soal, kami mendapati instruksi untuk mengarang. Sejak SD sampai SMA, saya menjumpai hal yang sama. Dan setiap kali pula saya merasa bergairah dan berbahagia. Bahkan, saking sudah rutinnya, sebelum hari-H ulangan Bahasa Indonesia tiba pun saya sudah merasa excited, karena sudah tahu, sudah pasti bakal ada mengarang.

Dan bukan cuma pada saat-saat itu saja. Sekolah tempat saya menimba ilmu dari SD hingga SMA adalah sekolah yang sama, berada di bawah naungan yayasan yang sama. Jadi, metode penyampaian pelajaran oleh para gurunya pun secara garis besar sama. Dan salah satu kesamaan itu adalah adanya jam pelajaran terpisah antara Bahasa Indonesia dengan Mengarang, walaupun sebetulnya Mengarang termasuk bagian dari mata pelajaran atau bidang studi Bahasa Indonesia sehingga nilainya pun diintegrasikan dengan nilai yang didapat dari Bahasa Indonesia. Namun, karena pengaturannya begitu, maka Mengarang pun ada ulangan hariannya sendiri, ada tugas harian dan pekerjaan rumah (PR) sendiri. Artinya, saya dan teman-teman kerap menjumpai ulangan dan tugas mengarang, belum lagi ulangan dan tugas menulis cerpen dan puisi yang diberikan oleh guru Bahasa Indonesia juga.

Dan setiap kali menjumpai tugas dan ulangan mengarang, menulis puisi dan puisi, ataupun yang seperti itu, yang bersifat dan bernuansa tulis-menulis, saya selalu gembira!

Kegembiraan itu tentu bukannya tanpa alasan. Pertama, saya berkepribadian introvert, penyendiri, senang kesunyian, tidak suka keramaian, dan cenderung sulit mengekspresikan isi hati secara lisan dan gestur. Kedua, saat saya menulis, saya menemukan jiwa saya, sebab dengan menulis, saya jadi bisa dengan bebas melepaskan semua ekspresi pikiran, pemikiran, perasaan, emosi, ambisi, cita-cita, harapan, dan apa saja yang lain yang ada dalam jiwa. Karena terpapar dan tertumpah luas dan banyak sekali dalam tulisan, maka jelas saja saya sendiri jadi dapat melihat sendiri apa sebenarnya yang ada sebagai pengisi jiwa saya. Bahkan, saya bisa pula mengenali bentuk jiwa saya.

Dan bentuk itu adalah bentuk seorang penulis!

Karena itu, selama masa-masa sekolah itu, saya selalu menjadi murid yang memegang rekor tulisan karangan terpanjang dalam sejarah sekolah kami. Sebelum saya, belum pernah ada murid yang mampu menulis karangan sepanjang saya dalam ulangan-ulangan Bahasa Indonesia, baik ulangan reguler, ulangan umum, ujian semesteran, ujian akhir kelulusan, maupun ujian nasional (dulu, waktu zaman saya, namanya masih EBTANAS = Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Entah di tahun-tahun sesudah saya, saya belum pernah mengeceknya. Yang sampai sekarang saya belum mengerti juga, bagaimana saya bisa melakukan itu? Dari mana saya mendapat energi untuk menulis sepanjang itu dalam waktu yang relatif sangat singkat? Dari mana saya memperoleh ide-idenya, apalagi dalam waktu sesingkat itu, mengingat tidak satupun karangan saya yang kontennya tidak berbobot alias asal ngecap? Bagaimana saya bisa menulis secepat itu (ingat, ulangan itu dikerjakan dengan tangan lho, menulis dengan tulisan tangan, bukan dengan mesin tik, bukan pula dengan komputer, apalagi laptop karena waktu itu belum ada, malahan komputer PC pun masih terhitung barang mewah!)?...

Kesadaran akan jiwa kepenulisan saya, yang dibuktikan dari hasrat besar dan bakat mumpuni dalam bidang tulis-menulis, itu semakin diperkuat sewaktu saya mendapati fakta lain. Saya mendapati diri saya ini juga amat sangat mencintai penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar berdasarkan ejaan yang disempurnakan (EYD), baik secara lisan maupun (dan apalagi) dalam tulisan. Saya selalu jengkel tiap kali mendapati orang tidak korek dalam berbahasa Indonesia, terutama pada tulisan. Sensitif sekali saya dalam hal itu, seperti hidung anjing. Kalau baca buku, atau majalah, atau koran, atau apapun bacaan itu, tanpa sengaja mencari-cari pun mata saya pasti tersandung pada kesalahan ejaan atau jenis-jenis kesalahan berbahasa lainnya. Saya toleran terhadap kesalahan penulisan yang disebabkan oleh selip jari, yang berakibat kesalahan ketik atau tulis. Itu bukanlah kesengajaan, sesuatu yang berada di luar niat. Tapi kalau menyangkut kesalahan-kesalahan dalam hal ejaan, bentuk kalimat, penempatan tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan sebagainya yang berkaitan dengan persoalan tatabahasa semacam itu, saya kesulitan menolerir. Saya tidak bisa terima kalau mendapati orang Indonesia, apalagi seorang pemimpin atau seorang yang mengaku cinta Indonesia, yang tidak mau-mau juga belajar dan melatih diri berbahasa Indonesia secara baik dan benar.

Dan masalah kian melebar seiring tahun. Bukan hanya terhadap bahasa Indonesia saja saya begitu. Setelah menguasai bahasa Inggris pun saya menuntut kesempurnaan yang serupa. Dari orang lain iya, dari diri saya sendiri apalagi!

Jangan salah sangka! Saya juga tidak begitu suka kalau orang terlalu baku dan kaku dalam berbahasa. Saya pun tidak nyaman mendengar dan berada di dekat-dekat orang yang gaya bicara dan bahasanya normatif-formal. Saya pun tidak akan mau membaca tulisan-tulisan yang terlampau berbunga-bunga bahasanya, terkesan dibikin-bikin dan lebay, khususnya kalau tulisan itu secara mencolok sekali terkesan sengaja di-teknis-teknis-kan, di-ilmiah-ilmiah-kan, dengan kalimat-kalimat yang ngejlimet tapi tidak jelas maksud dan poinnya.

Pembawaan saya itu menyadarkan saya lebih jauh bahwa saya memang terlahir dan ditempatkan di dunia ini untuk menjadi penulis.

Akan tetapi, sayang, selama bertahun-tahun saya melupakannya...!

Selepas sekolah, memasuki masa kuliah, saya mulai menghadapi kerasnya kehidupan dan dunia nyata. Banyak hal yang memikat saya, sehingga fokus saya akan jatidiri kian tersimpang jauh. Banyak kesulitan dan masalah yang saya hadapi, yang berimbas pada semakin bertumbuhnya dorongan dalam diri saya untuk menjalani hidup secara praktis saja, mengerjakan apapun demi uang dan terpenuhinya kebutuhan (atau sebetulnya: keinginan?), sehingga membawa saya kian jauh dari jalan hidup saya yang seharusnya.

Hingga beberapa tahun yang lalu....

Karena beberapa alasan, yang tidak bisa saya sampaikan kepada orang lain karena terlalu bersifat pribadi dan karena saya ingin menyimpannya untuk diri sendiri saja, akhirnya saya tersadar, lalu memaksa diri kembali ke jalan saya sendiri, jalan yang sudah ditetapkan untuk saya seorang saja. Sejak hari penyadaran itu sampai sekarang, saya merintis kehidupan dan karier sebagai penulis. Dan bukan sekadar penulis biasa-biasa.

Seorang yang mempunyai dan ditempatkan dalam jalan hidup sebagai penulis sudah pasti adalah juga seorang kutu buku yang tidak kenyang-kenyang dan takkan pernah puas. Demikian juga saya. Dan saya tumbuh, berkembang, dan besar dengan buku-buku dan bacaan-bacaan berat yang ditulis oleh berbagai pengarang dari Indonesia dan seluruh dunia. Terutama karya-karya sastra, filsafat, dan teologi. Bukan cuma mendapati kenyataan bahwa saya menyukai penulis-penulis dan tulisan-tulisan yang demikian, namun saya juga jadi menyadari bahwa saya sangat terdorong dan termotivasi untuk menjadi orang yang sedemikian dengan tulisan-tulisan yang sedemikian pula!

Ya! Saya ingin menjadi penulis besar berkaliber dunia, dengan karya-karya yang monumental dan takkan lekang oleh masa juga, pastinya...!

Orang yang mendengar atau membaca klaim saya ini kemungkinan besar akan banyak yang mencibir. Saya maklum, ada beberapa alasan untuk itu. Tapi, yang paling kuat adalah alasan yang satu ini, alasan klasik yang berbunyi: “Kamu itu orang Indonesia! Jangan mimpilah untuk bisa bersaing dengan orang-orang luar, apalagi yang berasal dari dunia Barat! Kamu, mau jadi penulis terkenal dunia?! Ngaca dong, orang Indonesia!! Kita itu inferior! Kita tidak selevel dengan orang-orang dari negara-negara lain! Mereka itu hebat-hebat! Yaaa, mungkin ada jugalah satu-dua orang Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer yang bisa menembus dunia mereka. Dan mungkin juga Bung Karno. Tapi itu Pak Pram, Pak! Itu Bung Karno, Bung! Kamu siapa?!”

Saya tidak peduli! Apa bedanya orang Indonesia dengan orang-orang lain di seluruh dunia? Kita semua sama-sama manusia, toh?! Yang membedakan hanyalah tempat tinggal, bahasa, warna kulit, dan apapun yang bersifat fisik saja. Tapi tidak dalam hal harkat, martabat, dan kemampuan mental! Yang menahan kita dari kesamaan dengan orang-orang luar negeri adalah pemikiran kita sendiri! Selain itu, tidak ada!!

Itu sudah dibuktikan oleh Vernon. Dia adalah asisten Tiesto, Superstar-DJ yang terkenal sebagai DJ nomor 1 di dunia. Tapi, dalam video advertorial Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook (dapat dilihat di link Youtube ini: http://www.youtube.com/watch?v=7zK-E9th8uQ), sang asisten sama sekali tidak terlihat minder. Dia malah pe-de (percaya diri) sekali merancang musik-musik pada komputer ultrabook Acer Aspire-P3 Hybrid miliknya, layaknya DJ sebagaimana bosnya sendiri, lalu, pada saat rehearsal, memutarnya di DJ-table yang nantinya akan digunakan Tiesto untuk show spektakulernya. Terlihat sekali, passion Vernon juga begitu besar dalam dunia yang digeluti Tiesto, barangkali sama besarnya dengan passion sang atasan sendiri. Dan hasrat dan gairah Vernon itu akhirnya menemukan momennya yang tepat.

Ketika Tiesto terjebak di dalam bola raksasa plastik, yang semula sebenarnya dimaksudkan sebagai atraksi tambahan, sang Super-DJ secara kilat memberi instruksi lewat wireless radio-communication kepada Vernon supaya menolongnya. Vernon mengartikannya sebagai perintah untuk mengambilalih meja DJ. Dan diapun dengan cekatan menyiapkan Acer Aspire-P3-nya, memasang set yang sudah dirancangnya, kemudian bertindak sebagai DJ. Dan sukses! Musik dan atraksinya justru sedikit lebih hebat menggairahkan floor daripada Tiesto sendiri! Dan saat kemudian Tiesto kembali, dengan isyarat tangan, sang DJ mengajak floor menyambut Vernon. Dan mereka berdua pun harmonis sekali sebagai Duo-DJ!

Apa yang dibuktikan oleh Vernon dalam video tersebut adalah bahwa passion kita yang tersembunyi seharusnya tidak boleh dibiarkan terus tersembunyi. Karena hal itu ibarat menyimpan api dalam lipatan baju. Kita sendiri akan terbakar dan mati kalau terus berbuat itu. Passion itu wajib kita ekspresikan. Tidak usah pedulikan pendapat orang. Jikalau dalam hati, kita dibekali passion akan suatu bidang, itu berarti kita juga dibekali dengan bakat dan kemampuan yang mumpuni untuk bidang tersebut.

Tapi itu tidak instan! Kita semua tahu, kerja keras, dedikasi, determinasi, dan fokus kita harus benar-benar tinggi, berkualitas, dan teruji. Semakin hebat semua itu diuji, semakin keras kita harus berjuang untuk meraihnya, semakin berat tantangan dan rintangan yang kita hadapi, maka pasti akan semakin hebat pula mutu kita asal saja kita terus tekun dan membuang jauh-jauh kata menyerah dari perbendaharaan pikiran kita.

Namun, bukan cuma itu saja. Kita pun perlu menguasai teknologi mutakhir, khususnya yang berkaitan dengan bidang yang kita hasrati. Seperti Vernon yang amat terbantu oleh teknologi Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook, kita juga akan mendapatkan cara yang cepat dan mudah (tapi sama sekali tidak instan!) untuk lebih cepat dan mudah juga mencapai impian kita bilamana kita menggunakan teknologi yang tepat.

Dalam hal saya, saya jelas memerlukan sekali teknologi. Dulu, saya menulis dengan tulisan tangan dan dengan cara mengetik memakai mesin tik. Sekarang, saya pakai komputer. Dan saya merasakan hal tersebut, yakni lebih cepat dan mudah menuju kondisi yang saya idam-idamkan. Akan tetapi, teknologi terus berkembang. Apalagi di bidang informasi dan komunikasi. Konsekuensinya, perangkat elektronik pendukung, atau gadget, pun harus menyesuaikan. Sehingga, saya tidak bisa lebih lama lagi mengandalkan komputer saya yang sudah berusia lebih dari satu dasawarsa. Saya membutuhkan gadget yang lebih mendukung teknologi terkini. Lagipula, seperti saya sudah bilang di atas, sebagai seorang penyendiri yang menggemari keheningan, saya ingin bisa menulis sembari menyendiri di manapun dan kapanpun. Tidak terpaku pada satu tempat, sebagaimana selama ini saya alami dengan menggunakan PC-desktop tua saya. Ya jelas, saya butuh laptop! Tapi laptop tersebut, selain tentu saja harus canggih dan serba mendukung pekerjaan saya, juga mesti nyaman dibawa-bawa dan digunakan. Karena itu, saya memimpikan mempunyai Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook juga, seperti Vernon. Saya yakin, Acer Aspire-P3 yang ideal itu pasti bisa mendukung saya lebih cepat lagi tiba di kondisi ideal impian saya! Dengan harddisk SSD yang sangat cepat diakses dan berkapasitas cukup besar, Acer P3 sangat cocok sebagai wadah data-data tulisan saya, yang memang tidak besar-besar ukurannya namun perlu sering-sering di-save di kala penulisannya. Baterainya yang tahan lama pun sesuai banget buat saya bawa-bawa ke taman umum atau daerah-daerah pegunungan kalau saya mau menyepi sambil menulis, jadi saya tak perlu sebentar-sebentar cari soket untuk mengisi baterai.

Maka, jangan kalian heran kalau nanti kalian melihat buku-buku saya beredar di seluruh dunia, lalu kalian juga melihat, mendengar, atau membaca berita bahwa saya menerima Penghargaan Nobel Bidang Kesusasteraan!