Minggu, 30 Juni 2013

My Hidden Passion: Be A Great Writter!

Ketika ulangan umum, ujian semester, ujian kelulusan, atau ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia tiba, selalu di bagian terakhir soal, kami mendapati instruksi untuk mengarang. Sejak SD sampai SMA, saya menjumpai hal yang sama. Dan setiap kali pula saya merasa bergairah dan berbahagia. Bahkan, saking sudah rutinnya, sebelum hari-H ulangan Bahasa Indonesia tiba pun saya sudah merasa excited, karena sudah tahu, sudah pasti bakal ada mengarang.

Dan bukan cuma pada saat-saat itu saja. Sekolah tempat saya menimba ilmu dari SD hingga SMA adalah sekolah yang sama, berada di bawah naungan yayasan yang sama. Jadi, metode penyampaian pelajaran oleh para gurunya pun secara garis besar sama. Dan salah satu kesamaan itu adalah adanya jam pelajaran terpisah antara Bahasa Indonesia dengan Mengarang, walaupun sebetulnya Mengarang termasuk bagian dari mata pelajaran atau bidang studi Bahasa Indonesia sehingga nilainya pun diintegrasikan dengan nilai yang didapat dari Bahasa Indonesia. Namun, karena pengaturannya begitu, maka Mengarang pun ada ulangan hariannya sendiri, ada tugas harian dan pekerjaan rumah (PR) sendiri. Artinya, saya dan teman-teman kerap menjumpai ulangan dan tugas mengarang, belum lagi ulangan dan tugas menulis cerpen dan puisi yang diberikan oleh guru Bahasa Indonesia juga.

Dan setiap kali menjumpai tugas dan ulangan mengarang, menulis puisi dan puisi, ataupun yang seperti itu, yang bersifat dan bernuansa tulis-menulis, saya selalu gembira!

Kegembiraan itu tentu bukannya tanpa alasan. Pertama, saya berkepribadian introvert, penyendiri, senang kesunyian, tidak suka keramaian, dan cenderung sulit mengekspresikan isi hati secara lisan dan gestur. Kedua, saat saya menulis, saya menemukan jiwa saya, sebab dengan menulis, saya jadi bisa dengan bebas melepaskan semua ekspresi pikiran, pemikiran, perasaan, emosi, ambisi, cita-cita, harapan, dan apa saja yang lain yang ada dalam jiwa. Karena terpapar dan tertumpah luas dan banyak sekali dalam tulisan, maka jelas saja saya sendiri jadi dapat melihat sendiri apa sebenarnya yang ada sebagai pengisi jiwa saya. Bahkan, saya bisa pula mengenali bentuk jiwa saya.

Dan bentuk itu adalah bentuk seorang penulis!

Karena itu, selama masa-masa sekolah itu, saya selalu menjadi murid yang memegang rekor tulisan karangan terpanjang dalam sejarah sekolah kami. Sebelum saya, belum pernah ada murid yang mampu menulis karangan sepanjang saya dalam ulangan-ulangan Bahasa Indonesia, baik ulangan reguler, ulangan umum, ujian semesteran, ujian akhir kelulusan, maupun ujian nasional (dulu, waktu zaman saya, namanya masih EBTANAS = Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Entah di tahun-tahun sesudah saya, saya belum pernah mengeceknya. Yang sampai sekarang saya belum mengerti juga, bagaimana saya bisa melakukan itu? Dari mana saya mendapat energi untuk menulis sepanjang itu dalam waktu yang relatif sangat singkat? Dari mana saya memperoleh ide-idenya, apalagi dalam waktu sesingkat itu, mengingat tidak satupun karangan saya yang kontennya tidak berbobot alias asal ngecap? Bagaimana saya bisa menulis secepat itu (ingat, ulangan itu dikerjakan dengan tangan lho, menulis dengan tulisan tangan, bukan dengan mesin tik, bukan pula dengan komputer, apalagi laptop karena waktu itu belum ada, malahan komputer PC pun masih terhitung barang mewah!)?...

Kesadaran akan jiwa kepenulisan saya, yang dibuktikan dari hasrat besar dan bakat mumpuni dalam bidang tulis-menulis, itu semakin diperkuat sewaktu saya mendapati fakta lain. Saya mendapati diri saya ini juga amat sangat mencintai penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar berdasarkan ejaan yang disempurnakan (EYD), baik secara lisan maupun (dan apalagi) dalam tulisan. Saya selalu jengkel tiap kali mendapati orang tidak korek dalam berbahasa Indonesia, terutama pada tulisan. Sensitif sekali saya dalam hal itu, seperti hidung anjing. Kalau baca buku, atau majalah, atau koran, atau apapun bacaan itu, tanpa sengaja mencari-cari pun mata saya pasti tersandung pada kesalahan ejaan atau jenis-jenis kesalahan berbahasa lainnya. Saya toleran terhadap kesalahan penulisan yang disebabkan oleh selip jari, yang berakibat kesalahan ketik atau tulis. Itu bukanlah kesengajaan, sesuatu yang berada di luar niat. Tapi kalau menyangkut kesalahan-kesalahan dalam hal ejaan, bentuk kalimat, penempatan tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan sebagainya yang berkaitan dengan persoalan tatabahasa semacam itu, saya kesulitan menolerir. Saya tidak bisa terima kalau mendapati orang Indonesia, apalagi seorang pemimpin atau seorang yang mengaku cinta Indonesia, yang tidak mau-mau juga belajar dan melatih diri berbahasa Indonesia secara baik dan benar.

Dan masalah kian melebar seiring tahun. Bukan hanya terhadap bahasa Indonesia saja saya begitu. Setelah menguasai bahasa Inggris pun saya menuntut kesempurnaan yang serupa. Dari orang lain iya, dari diri saya sendiri apalagi!

Jangan salah sangka! Saya juga tidak begitu suka kalau orang terlalu baku dan kaku dalam berbahasa. Saya pun tidak nyaman mendengar dan berada di dekat-dekat orang yang gaya bicara dan bahasanya normatif-formal. Saya pun tidak akan mau membaca tulisan-tulisan yang terlampau berbunga-bunga bahasanya, terkesan dibikin-bikin dan lebay, khususnya kalau tulisan itu secara mencolok sekali terkesan sengaja di-teknis-teknis-kan, di-ilmiah-ilmiah-kan, dengan kalimat-kalimat yang ngejlimet tapi tidak jelas maksud dan poinnya.

Pembawaan saya itu menyadarkan saya lebih jauh bahwa saya memang terlahir dan ditempatkan di dunia ini untuk menjadi penulis.

Akan tetapi, sayang, selama bertahun-tahun saya melupakannya...!

Selepas sekolah, memasuki masa kuliah, saya mulai menghadapi kerasnya kehidupan dan dunia nyata. Banyak hal yang memikat saya, sehingga fokus saya akan jatidiri kian tersimpang jauh. Banyak kesulitan dan masalah yang saya hadapi, yang berimbas pada semakin bertumbuhnya dorongan dalam diri saya untuk menjalani hidup secara praktis saja, mengerjakan apapun demi uang dan terpenuhinya kebutuhan (atau sebetulnya: keinginan?), sehingga membawa saya kian jauh dari jalan hidup saya yang seharusnya.

Hingga beberapa tahun yang lalu....

Karena beberapa alasan, yang tidak bisa saya sampaikan kepada orang lain karena terlalu bersifat pribadi dan karena saya ingin menyimpannya untuk diri sendiri saja, akhirnya saya tersadar, lalu memaksa diri kembali ke jalan saya sendiri, jalan yang sudah ditetapkan untuk saya seorang saja. Sejak hari penyadaran itu sampai sekarang, saya merintis kehidupan dan karier sebagai penulis. Dan bukan sekadar penulis biasa-biasa.

Seorang yang mempunyai dan ditempatkan dalam jalan hidup sebagai penulis sudah pasti adalah juga seorang kutu buku yang tidak kenyang-kenyang dan takkan pernah puas. Demikian juga saya. Dan saya tumbuh, berkembang, dan besar dengan buku-buku dan bacaan-bacaan berat yang ditulis oleh berbagai pengarang dari Indonesia dan seluruh dunia. Terutama karya-karya sastra, filsafat, dan teologi. Bukan cuma mendapati kenyataan bahwa saya menyukai penulis-penulis dan tulisan-tulisan yang demikian, namun saya juga jadi menyadari bahwa saya sangat terdorong dan termotivasi untuk menjadi orang yang sedemikian dengan tulisan-tulisan yang sedemikian pula!

Ya! Saya ingin menjadi penulis besar berkaliber dunia, dengan karya-karya yang monumental dan takkan lekang oleh masa juga, pastinya...!

Orang yang mendengar atau membaca klaim saya ini kemungkinan besar akan banyak yang mencibir. Saya maklum, ada beberapa alasan untuk itu. Tapi, yang paling kuat adalah alasan yang satu ini, alasan klasik yang berbunyi: “Kamu itu orang Indonesia! Jangan mimpilah untuk bisa bersaing dengan orang-orang luar, apalagi yang berasal dari dunia Barat! Kamu, mau jadi penulis terkenal dunia?! Ngaca dong, orang Indonesia!! Kita itu inferior! Kita tidak selevel dengan orang-orang dari negara-negara lain! Mereka itu hebat-hebat! Yaaa, mungkin ada jugalah satu-dua orang Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer yang bisa menembus dunia mereka. Dan mungkin juga Bung Karno. Tapi itu Pak Pram, Pak! Itu Bung Karno, Bung! Kamu siapa?!”

Saya tidak peduli! Apa bedanya orang Indonesia dengan orang-orang lain di seluruh dunia? Kita semua sama-sama manusia, toh?! Yang membedakan hanyalah tempat tinggal, bahasa, warna kulit, dan apapun yang bersifat fisik saja. Tapi tidak dalam hal harkat, martabat, dan kemampuan mental! Yang menahan kita dari kesamaan dengan orang-orang luar negeri adalah pemikiran kita sendiri! Selain itu, tidak ada!!

Itu sudah dibuktikan oleh Vernon. Dia adalah asisten Tiesto, Superstar-DJ yang terkenal sebagai DJ nomor 1 di dunia. Tapi, dalam video advertorial Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook (dapat dilihat di link Youtube ini: http://www.youtube.com/watch?v=7zK-E9th8uQ), sang asisten sama sekali tidak terlihat minder. Dia malah pe-de (percaya diri) sekali merancang musik-musik pada komputer ultrabook Acer Aspire-P3 Hybrid miliknya, layaknya DJ sebagaimana bosnya sendiri, lalu, pada saat rehearsal, memutarnya di DJ-table yang nantinya akan digunakan Tiesto untuk show spektakulernya. Terlihat sekali, passion Vernon juga begitu besar dalam dunia yang digeluti Tiesto, barangkali sama besarnya dengan passion sang atasan sendiri. Dan hasrat dan gairah Vernon itu akhirnya menemukan momennya yang tepat.

Ketika Tiesto terjebak di dalam bola raksasa plastik, yang semula sebenarnya dimaksudkan sebagai atraksi tambahan, sang Super-DJ secara kilat memberi instruksi lewat wireless radio-communication kepada Vernon supaya menolongnya. Vernon mengartikannya sebagai perintah untuk mengambilalih meja DJ. Dan diapun dengan cekatan menyiapkan Acer Aspire-P3-nya, memasang set yang sudah dirancangnya, kemudian bertindak sebagai DJ. Dan sukses! Musik dan atraksinya justru sedikit lebih hebat menggairahkan floor daripada Tiesto sendiri! Dan saat kemudian Tiesto kembali, dengan isyarat tangan, sang DJ mengajak floor menyambut Vernon. Dan mereka berdua pun harmonis sekali sebagai Duo-DJ!

Apa yang dibuktikan oleh Vernon dalam video tersebut adalah bahwa passion kita yang tersembunyi seharusnya tidak boleh dibiarkan terus tersembunyi. Karena hal itu ibarat menyimpan api dalam lipatan baju. Kita sendiri akan terbakar dan mati kalau terus berbuat itu. Passion itu wajib kita ekspresikan. Tidak usah pedulikan pendapat orang. Jikalau dalam hati, kita dibekali passion akan suatu bidang, itu berarti kita juga dibekali dengan bakat dan kemampuan yang mumpuni untuk bidang tersebut.

Tapi itu tidak instan! Kita semua tahu, kerja keras, dedikasi, determinasi, dan fokus kita harus benar-benar tinggi, berkualitas, dan teruji. Semakin hebat semua itu diuji, semakin keras kita harus berjuang untuk meraihnya, semakin berat tantangan dan rintangan yang kita hadapi, maka pasti akan semakin hebat pula mutu kita asal saja kita terus tekun dan membuang jauh-jauh kata menyerah dari perbendaharaan pikiran kita.

Namun, bukan cuma itu saja. Kita pun perlu menguasai teknologi mutakhir, khususnya yang berkaitan dengan bidang yang kita hasrati. Seperti Vernon yang amat terbantu oleh teknologi Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook, kita juga akan mendapatkan cara yang cepat dan mudah (tapi sama sekali tidak instan!) untuk lebih cepat dan mudah juga mencapai impian kita bilamana kita menggunakan teknologi yang tepat.

Dalam hal saya, saya jelas memerlukan sekali teknologi. Dulu, saya menulis dengan tulisan tangan dan dengan cara mengetik memakai mesin tik. Sekarang, saya pakai komputer. Dan saya merasakan hal tersebut, yakni lebih cepat dan mudah menuju kondisi yang saya idam-idamkan. Akan tetapi, teknologi terus berkembang. Apalagi di bidang informasi dan komunikasi. Konsekuensinya, perangkat elektronik pendukung, atau gadget, pun harus menyesuaikan. Sehingga, saya tidak bisa lebih lama lagi mengandalkan komputer saya yang sudah berusia lebih dari satu dasawarsa. Saya membutuhkan gadget yang lebih mendukung teknologi terkini. Lagipula, seperti saya sudah bilang di atas, sebagai seorang penyendiri yang menggemari keheningan, saya ingin bisa menulis sembari menyendiri di manapun dan kapanpun. Tidak terpaku pada satu tempat, sebagaimana selama ini saya alami dengan menggunakan PC-desktop tua saya. Ya jelas, saya butuh laptop! Tapi laptop tersebut, selain tentu saja harus canggih dan serba mendukung pekerjaan saya, juga mesti nyaman dibawa-bawa dan digunakan. Karena itu, saya memimpikan mempunyai Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook juga, seperti Vernon. Saya yakin, Acer Aspire-P3 yang ideal itu pasti bisa mendukung saya lebih cepat lagi tiba di kondisi ideal impian saya! Dengan harddisk SSD yang sangat cepat diakses dan berkapasitas cukup besar, Acer P3 sangat cocok sebagai wadah data-data tulisan saya, yang memang tidak besar-besar ukurannya namun perlu sering-sering di-save di kala penulisannya. Baterainya yang tahan lama pun sesuai banget buat saya bawa-bawa ke taman umum atau daerah-daerah pegunungan kalau saya mau menyepi sambil menulis, jadi saya tak perlu sebentar-sebentar cari soket untuk mengisi baterai.

Maka, jangan kalian heran kalau nanti kalian melihat buku-buku saya beredar di seluruh dunia, lalu kalian juga melihat, mendengar, atau membaca berita bahwa saya menerima Penghargaan Nobel Bidang Kesusasteraan!

Tidak ada komentar: