Ketika ulangan
umum, ujian semester, ujian kelulusan, atau ujian nasional mata pelajaran
Bahasa Indonesia tiba, selalu di bagian terakhir soal, kami mendapati instruksi
untuk mengarang. Sejak SD sampai SMA, saya menjumpai hal yang sama. Dan setiap
kali pula saya merasa bergairah dan berbahagia. Bahkan, saking sudah rutinnya, sebelum
hari-H ulangan Bahasa Indonesia tiba pun saya sudah merasa excited, karena sudah tahu, sudah pasti bakal ada mengarang.
Dan bukan cuma pada
saat-saat itu saja. Sekolah tempat saya menimba ilmu dari SD hingga SMA adalah
sekolah yang sama, berada di bawah naungan yayasan yang sama. Jadi, metode
penyampaian pelajaran oleh para gurunya pun secara garis besar sama. Dan salah
satu kesamaan itu adalah adanya jam pelajaran terpisah antara Bahasa Indonesia
dengan Mengarang, walaupun sebetulnya Mengarang termasuk bagian dari mata
pelajaran atau bidang studi Bahasa Indonesia sehingga nilainya pun
diintegrasikan dengan nilai yang didapat dari Bahasa Indonesia. Namun, karena
pengaturannya begitu, maka Mengarang pun ada ulangan hariannya sendiri, ada
tugas harian dan pekerjaan rumah (PR) sendiri. Artinya, saya dan teman-teman
kerap menjumpai ulangan dan tugas mengarang, belum lagi ulangan dan tugas
menulis cerpen dan puisi yang diberikan oleh guru Bahasa Indonesia juga.
Dan setiap kali
menjumpai tugas dan ulangan mengarang, menulis puisi dan puisi, ataupun yang
seperti itu, yang bersifat dan bernuansa tulis-menulis, saya selalu gembira!
Kegembiraan itu tentu
bukannya tanpa alasan. Pertama, saya berkepribadian introvert, penyendiri,
senang kesunyian, tidak suka keramaian, dan cenderung sulit mengekspresikan isi
hati secara lisan dan gestur. Kedua, saat saya menulis, saya menemukan jiwa
saya, sebab dengan menulis, saya jadi bisa dengan bebas melepaskan semua
ekspresi pikiran, pemikiran, perasaan, emosi, ambisi, cita-cita, harapan, dan
apa saja yang lain yang ada dalam jiwa. Karena terpapar dan tertumpah luas dan
banyak sekali dalam tulisan, maka jelas saja saya sendiri jadi dapat melihat
sendiri apa sebenarnya yang ada sebagai pengisi jiwa saya. Bahkan, saya bisa
pula mengenali bentuk jiwa saya.
Dan bentuk itu
adalah bentuk seorang penulis!
Karena itu, selama
masa-masa sekolah itu, saya selalu menjadi murid yang memegang rekor tulisan
karangan terpanjang dalam sejarah sekolah kami. Sebelum saya, belum pernah ada
murid yang mampu menulis karangan sepanjang saya dalam ulangan-ulangan Bahasa
Indonesia, baik ulangan reguler, ulangan umum, ujian semesteran, ujian akhir
kelulusan, maupun ujian nasional (dulu, waktu zaman saya, namanya masih EBTANAS
= Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Entah di tahun-tahun sesudah saya,
saya belum pernah mengeceknya. Yang sampai sekarang saya belum mengerti juga,
bagaimana saya bisa melakukan itu? Dari mana saya mendapat energi untuk menulis
sepanjang itu dalam waktu yang relatif sangat singkat? Dari mana saya
memperoleh ide-idenya, apalagi dalam waktu sesingkat itu, mengingat tidak
satupun karangan saya yang kontennya tidak berbobot alias asal ngecap? Bagaimana saya bisa menulis
secepat itu (ingat, ulangan itu dikerjakan dengan tangan lho, menulis dengan
tulisan tangan, bukan dengan mesin tik, bukan pula dengan komputer, apalagi laptop
karena waktu itu belum ada, malahan komputer PC pun masih terhitung barang
mewah!)?...
Kesadaran akan
jiwa kepenulisan saya, yang dibuktikan dari hasrat besar dan bakat mumpuni
dalam bidang tulis-menulis, itu semakin diperkuat sewaktu saya mendapati fakta
lain. Saya mendapati diri saya ini juga amat sangat mencintai penggunaan bahasa
Indonesia secara baik dan benar berdasarkan ejaan yang disempurnakan (EYD),
baik secara lisan maupun (dan apalagi) dalam tulisan. Saya selalu jengkel tiap
kali mendapati orang tidak korek dalam berbahasa Indonesia, terutama pada
tulisan. Sensitif sekali saya dalam hal itu, seperti hidung anjing. Kalau baca
buku, atau majalah, atau koran, atau apapun bacaan itu, tanpa sengaja
mencari-cari pun mata saya pasti tersandung pada kesalahan ejaan atau
jenis-jenis kesalahan berbahasa lainnya. Saya toleran terhadap kesalahan
penulisan yang disebabkan oleh selip jari, yang berakibat kesalahan ketik atau
tulis. Itu bukanlah kesengajaan, sesuatu yang berada di luar niat. Tapi kalau
menyangkut kesalahan-kesalahan dalam hal ejaan, bentuk kalimat, penempatan
tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan sebagainya yang berkaitan dengan
persoalan tatabahasa semacam itu, saya kesulitan menolerir. Saya tidak bisa
terima kalau mendapati orang Indonesia, apalagi seorang pemimpin atau seorang
yang mengaku cinta Indonesia, yang tidak mau-mau juga belajar dan melatih diri
berbahasa Indonesia secara baik dan benar.
Dan masalah kian
melebar seiring tahun. Bukan hanya terhadap bahasa Indonesia saja saya begitu.
Setelah menguasai bahasa Inggris pun saya menuntut kesempurnaan yang serupa.
Dari orang lain iya, dari diri saya sendiri apalagi!
Jangan salah
sangka! Saya juga tidak begitu suka kalau orang terlalu baku dan kaku dalam
berbahasa. Saya pun tidak nyaman mendengar dan berada di dekat-dekat orang yang
gaya bicara dan bahasanya normatif-formal. Saya pun tidak akan mau membaca
tulisan-tulisan yang terlampau berbunga-bunga bahasanya, terkesan dibikin-bikin
dan lebay, khususnya kalau tulisan
itu secara mencolok sekali terkesan sengaja di-teknis-teknis-kan,
di-ilmiah-ilmiah-kan, dengan kalimat-kalimat yang ngejlimet tapi tidak jelas maksud dan poinnya.
Pembawaan saya
itu menyadarkan saya lebih jauh bahwa saya memang terlahir dan ditempatkan di
dunia ini untuk menjadi penulis.
Akan tetapi,
sayang, selama bertahun-tahun saya melupakannya...!
Selepas sekolah,
memasuki masa kuliah, saya mulai menghadapi kerasnya kehidupan dan dunia nyata.
Banyak hal yang memikat saya, sehingga fokus saya akan jatidiri kian tersimpang
jauh. Banyak kesulitan dan masalah yang saya hadapi, yang berimbas pada semakin
bertumbuhnya dorongan dalam diri saya untuk menjalani hidup secara praktis
saja, mengerjakan apapun demi uang dan terpenuhinya kebutuhan (atau sebetulnya:
keinginan?), sehingga membawa saya kian jauh dari jalan hidup saya yang
seharusnya.
Hingga beberapa
tahun yang lalu....
Karena beberapa
alasan, yang tidak bisa saya sampaikan kepada orang lain karena terlalu
bersifat pribadi dan karena saya ingin menyimpannya untuk diri sendiri saja, akhirnya
saya tersadar, lalu memaksa diri kembali ke jalan saya sendiri, jalan yang
sudah ditetapkan untuk saya seorang saja. Sejak hari penyadaran itu sampai
sekarang, saya merintis kehidupan dan karier sebagai penulis. Dan bukan sekadar
penulis biasa-biasa.
Seorang yang
mempunyai dan ditempatkan dalam jalan hidup sebagai penulis sudah pasti adalah
juga seorang kutu buku yang tidak kenyang-kenyang dan takkan pernah puas.
Demikian juga saya. Dan saya tumbuh, berkembang, dan besar dengan buku-buku dan
bacaan-bacaan berat yang ditulis oleh
berbagai pengarang dari Indonesia dan seluruh dunia. Terutama karya-karya sastra,
filsafat, dan teologi. Bukan cuma mendapati kenyataan bahwa saya menyukai
penulis-penulis dan tulisan-tulisan yang demikian, namun saya juga jadi
menyadari bahwa saya sangat terdorong dan termotivasi untuk menjadi orang yang
sedemikian dengan tulisan-tulisan yang sedemikian pula!
Ya! Saya ingin
menjadi penulis besar berkaliber dunia, dengan karya-karya yang monumental dan
takkan lekang oleh masa juga, pastinya...!
Orang yang
mendengar atau membaca klaim saya ini kemungkinan besar akan banyak yang
mencibir. Saya maklum, ada beberapa alasan untuk itu. Tapi, yang paling kuat
adalah alasan yang satu ini, alasan klasik yang berbunyi: “Kamu itu orang
Indonesia! Jangan mimpilah untuk bisa bersaing dengan orang-orang luar, apalagi
yang berasal dari dunia Barat! Kamu, mau jadi penulis terkenal dunia?! Ngaca dong, orang Indonesia!! Kita itu
inferior! Kita tidak selevel dengan orang-orang dari negara-negara lain! Mereka
itu hebat-hebat! Yaaa, mungkin ada jugalah satu-dua orang Indonesia seperti
Pramoedya Ananta Toer yang bisa menembus dunia mereka. Dan mungkin juga Bung
Karno. Tapi itu Pak Pram, Pak! Itu Bung Karno, Bung! Kamu siapa?!”
Saya tidak
peduli! Apa bedanya orang Indonesia dengan orang-orang lain di seluruh dunia?
Kita semua sama-sama manusia, toh?! Yang membedakan hanyalah tempat tinggal,
bahasa, warna kulit, dan apapun yang bersifat fisik saja. Tapi tidak dalam hal
harkat, martabat, dan kemampuan mental! Yang menahan kita dari kesamaan dengan
orang-orang luar negeri adalah pemikiran kita sendiri! Selain itu, tidak ada!!
Itu sudah
dibuktikan oleh Vernon. Dia adalah asisten Tiesto, Superstar-DJ yang terkenal
sebagai DJ nomor 1 di dunia. Tapi, dalam video advertorial Acer Aspire-P3
Hybrid Ultrabook (dapat dilihat di link Youtube ini: http://www.youtube.com/watch?v=7zK-E9th8uQ),
sang asisten sama sekali tidak terlihat minder. Dia malah pe-de (percaya diri) sekali merancang musik-musik pada komputer ultrabook Acer Aspire-P3 Hybrid
miliknya, layaknya DJ sebagaimana bosnya sendiri, lalu, pada saat rehearsal, memutarnya di DJ-table yang nantinya akan digunakan
Tiesto untuk show spektakulernya.
Terlihat sekali, passion Vernon juga
begitu besar dalam dunia yang digeluti Tiesto, barangkali sama besarnya dengan passion sang atasan sendiri. Dan hasrat
dan gairah Vernon itu akhirnya menemukan momennya yang tepat.
Ketika Tiesto
terjebak di dalam bola raksasa plastik, yang semula sebenarnya dimaksudkan
sebagai atraksi tambahan, sang Super-DJ secara kilat memberi instruksi lewat wireless radio-communication kepada
Vernon supaya menolongnya. Vernon mengartikannya sebagai perintah untuk
mengambilalih meja DJ. Dan diapun dengan cekatan menyiapkan Acer Aspire-P3-nya,
memasang set yang sudah dirancangnya, kemudian bertindak sebagai DJ. Dan
sukses! Musik dan atraksinya justru sedikit lebih hebat menggairahkan floor daripada Tiesto sendiri! Dan saat
kemudian Tiesto kembali, dengan isyarat tangan, sang DJ mengajak floor menyambut Vernon. Dan mereka
berdua pun harmonis sekali sebagai Duo-DJ!
Apa yang
dibuktikan oleh Vernon dalam video tersebut adalah bahwa passion kita yang tersembunyi seharusnya tidak boleh dibiarkan
terus tersembunyi. Karena hal itu ibarat menyimpan api dalam lipatan baju. Kita
sendiri akan terbakar dan mati kalau terus berbuat itu. Passion itu wajib kita ekspresikan. Tidak usah pedulikan pendapat
orang. Jikalau dalam hati, kita dibekali passion
akan suatu bidang, itu berarti kita juga dibekali dengan bakat dan kemampuan
yang mumpuni untuk bidang tersebut.
Tapi itu tidak
instan! Kita semua tahu, kerja keras, dedikasi, determinasi, dan fokus kita
harus benar-benar tinggi, berkualitas, dan teruji. Semakin hebat semua itu
diuji, semakin keras kita harus berjuang untuk meraihnya, semakin berat
tantangan dan rintangan yang kita hadapi, maka pasti akan semakin hebat pula
mutu kita asal saja kita terus tekun dan membuang jauh-jauh kata menyerah dari perbendaharaan pikiran
kita.
Namun, bukan cuma
itu saja. Kita pun perlu menguasai teknologi mutakhir, khususnya yang berkaitan
dengan bidang yang kita hasrati. Seperti Vernon yang amat terbantu oleh
teknologi Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook, kita juga akan mendapatkan cara yang
cepat dan mudah (tapi sama sekali tidak instan!) untuk lebih cepat dan mudah
juga mencapai impian kita bilamana kita menggunakan teknologi yang tepat.
Dalam hal saya,
saya jelas memerlukan sekali teknologi. Dulu, saya menulis dengan tulisan
tangan dan dengan cara mengetik memakai mesin tik. Sekarang, saya pakai
komputer. Dan saya merasakan hal tersebut, yakni lebih cepat dan mudah menuju
kondisi yang saya idam-idamkan. Akan tetapi, teknologi terus berkembang.
Apalagi di bidang informasi dan komunikasi. Konsekuensinya, perangkat
elektronik pendukung, atau gadget,
pun harus menyesuaikan. Sehingga, saya tidak bisa lebih lama lagi mengandalkan
komputer saya yang sudah berusia lebih dari satu dasawarsa. Saya membutuhkan gadget yang lebih mendukung teknologi
terkini. Lagipula, seperti saya sudah bilang di atas, sebagai seorang
penyendiri yang menggemari keheningan, saya ingin bisa menulis sembari
menyendiri di manapun dan kapanpun. Tidak terpaku pada satu tempat, sebagaimana
selama ini saya alami dengan menggunakan PC-desktop tua saya. Ya jelas, saya
butuh laptop! Tapi laptop tersebut, selain tentu saja harus canggih dan serba
mendukung pekerjaan saya, juga mesti nyaman dibawa-bawa dan digunakan. Karena
itu, saya memimpikan mempunyai Acer Aspire-P3 Hybrid Ultrabook juga, seperti
Vernon. Saya yakin, Acer Aspire-P3 yang ideal itu pasti bisa mendukung saya
lebih cepat lagi tiba di kondisi ideal impian saya! Dengan harddisk SSD yang sangat cepat diakses dan berkapasitas cukup
besar, Acer P3 sangat cocok sebagai wadah data-data tulisan saya, yang memang
tidak besar-besar ukurannya namun perlu sering-sering di-save di kala penulisannya. Baterainya yang tahan lama pun sesuai
banget buat saya bawa-bawa ke taman umum atau daerah-daerah pegunungan kalau
saya mau menyepi sambil menulis, jadi saya tak perlu sebentar-sebentar cari
soket untuk mengisi baterai.
Maka, jangan
kalian heran kalau nanti kalian melihat buku-buku saya beredar di seluruh
dunia, lalu kalian juga melihat, mendengar, atau membaca berita bahwa saya
menerima Penghargaan Nobel Bidang Kesusasteraan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar