Kita semua
kepingin yang terbaik. Kita mau punya hidup yang terbaik. Kita ingin menjadikan
diri kita sebagai yang terbaik. Kita mendambakan yang terbaik untuk orang-orang
terkasih. Dan kita pun memimpikan lingkungan yang terbaik.
Begitu pula
dengan kesehatan. Kita semua tentu ingin senantiasa dalam keadaan sehat. Tapi
kita juga tidak dapat memprediksi kapan penyakit akan menyerang. Dan bila itu
terjadi, kita berupaya dengan segala cara yang mampu kita pikirkan dan lakukan
supaya kita sesegera mungkin sembuh.
Untuk itu, kita
mencari pengobatan yang terbaik, yang paling berkualitas. Memang, banyak sekali
ragam terapi penyembuhan sekarang ini. Namun, tetap saja, porsi terbesar masih
didominasi oleh terapi dengan pengonsumsian obat. Dan dari semua jenis obat,
pilihan paling utama masih jatuh pada obat-obatan medikal. Orang pada umumnya
menyebutnya juga sebagai obat-obatan kimiawi.
Obat jenis
tersebut ada dua kelompok, yaitu obat paten dan obat generik. Belakangan, dunia
medis dan farmasi Indonesia mulai memperkenalkan obat generik yang dinamakan Obat Generik Berlogo (OGB). Penamaan tersebut berdasarkan pencantuman logo pada
kemasan atau strip obat, logo yang berupa lingkaran yang terbentuk dari
garis-garis paralel horisontal berwarna hijau, dengan tulisan "GENERIK" di
tengah-tengah lingkaran tersebut, sebagaimana tampak di bawah ini.
Sudah menjadi
anggapan umum, agaknya, bahwa obat paten dinilai lebih bagus ketimbang obat
generik. Anggapan tersebut sejatinya berangkat dari pra-asumsi yang masih
sangat banyak dianut di kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia, yakni "harga/uang tidak bohong"; maksudnya, semakin mahal sesuatu, semakin tinggi
pula kualitasnya. Bukan hanya pasen yang masih memegang teguh pra-asumsi
tersebut, namun para dokter pun demikian. Dalam kebanyakan kasus. Sedangkan
dalam kasus-kasus "khusus", alasan dan latar belakang penyebab dokter keukeuh mempreskripsikan obat paten pun masih
tetap bernuansa finansial.
Pra-asumsi
tersebut menggiring proses kesembuhan ke arah fenomena "Efek Plasebo". Selain
ketepatan pemberian jenis dan dosis obat, faktor yang juga sangat berperan,
yang malah bisa dikatakan lebih besar peranannya, dalam penyembuhan adalah
energi positif yang dikeluarkan dari dalam diri pasen sendiri. Karena begitu
besar keyakinan sang pasen akan keampuhan obat paten, tubuhnya sendiri
mengerahkan segenap kekuatan untuk bahu-membahu berjuang melawan penyakit,
tanpa disadari orangnya sendiri. Itulah yang menyebabkannya cepat pulih.
Menariknya, setelah itu, terjadi efek bola salju: keyakinannya pada obat paten
jadi bertambah; dan keyakinan itu ia ceritakan kepada orang lain, yang kemudian
juga menambah keyakinan sang pendengar pada kemanjuran obat paten.
Seandainya para
pasen tahu bahwasanya kualitas dan khasiat obat generik tidak berbeda dengan
obat paten, sudah pasti mereka akan memilih obat generik karena jauh lebih
murah. Masalahnya, pengaruh pra-asumsi pada mekanisme mental manusia, termasuk
dalam hal menentukan pilihan, bagaikan cengkeraman raksasa pada tikus. Sekali
pra-asumsi bahwa yang mahal pasti lebih baik itu menguasai pemikiran, akan
terus-menerus kuat dorongan pada telunjuk untuk jatuh pada obat paten setiap
kali waktunya untuk memilih obat tiba, biarpun orang tersebut sudah benar-benar
tahu kualitas sebenarnya dari obat generik. Dan itu terbukti pada diri sebagian
dokter yang tetap menuliskan obat paten pada carik resepnya.
Keunggulan obat
generik sebenarnya bukan hanya dalam hal kesetaraan mutunya dengan obat paten
saja. Khusus di Indonesia, dengan adanya OGB, obat generik menjadi jauh lebih
terjamin. Sebab, OGB ini bukan obat sembarangan. Pemerintah sudah menetapkan
pembakuan atau pematokan perusahaan farmasi mana saja yang memproduksinya, standar
produksinya, dan juga harga eceran tertingginya. Dengan demikian, peredarannya
menjadi sangat terpantau dan terawasi. Di samping itu, implikasi lain dari
adanya standardisasi produksi adalah terjaminnya kehalalan obat OGB tersebut. Singkatnya:
OGB relatif jauh lebih rendah tingkat kerentanan terhadap ancaman pemalsuan,
halal, dan murah. Sangat berani jika mau ditandingkan dengan obat paten, yang
sebagian besar diproduksi perusahaan farmasi asing yang tidak terikat
pertimbangan halal-tidak halal, yang sukar terpantau peredarannya, dan mahal. Karena
itu, dapat disimpulkan, obat generik yang tergabung dalam golongan OGB ini jauh
lebih mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi penggunanya.
Pertanyaannya,
kembali, bagaimana segala keunggulan OGB tersebut dapat memberi pengaruh pada
pilihan terhadapnya bagi orang-orang yang sudah terikat kuat oleh pra-asumsi
mereka sendiri sehingga tetap saja memilih obat paten? Hanya satu cara.
Kontinuitas. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, termasuk kepada para
dokter, harus dilakukan secara kontinu, terus-menerus tanpa putus. Hanya
kekuatan kontinuitas/pengulangan yang tak henti-hentilah yang dapat mengurangi
dan bahkan memutuskan pengaruh pra-asumsi terhadap tindakan. Witing tresno jalaran soko kulino. Timbul
cinta karena kebiasaan. Lihat saja bagaimana iklan dapat membelokkan selera
orang dari satu produk kepada produk yang diiklankan. Dan simak saja betapa
hebatnya latihan yang terus-menerus sehingga dapat membentuk refleks gerakan
pada atlet, terutama atlet beladiri. Apalagi jika pengulangan itu dilakukan
dengan frekuensi dan amplitudo yang tinggi. Semakin kerap sosialisasi dan
edukasi, dan semakin tegas ditandaskan semua keunggulan, semakin cepat orang
menjadi lebih sadar untuk memilih OGB. Iklan-iklan di semua media massa, baik
cetak maupun elektronik dan juga internet, harus lebih digencarkan. Penyuluhan
umum mendadak di rumah-rumah sakit, posyandu-posyandu, apotek-apotek, dan
klinik-klinik seyogyanya diadakan secara rutin, dan lebih baik lagi jika
frekuensinya lebih dekat dan sering. Simposium dan seminar juga perlu diadakan
lebih sering dan lebih kontinu, sebab ini penting untuk menggugah kesadaran
para dokter dan juga orang-orang dari kalangan menengah ke atas. Banner, flyer, dan brosur juga perlu dipasang lebih banyak di tempat-tempat
umum seperti halte dan terminal bus dan busway, stasiun keretaapi, bandara,
pelabuhan, pujasera, mal, selain tentunya di fasilitas kesehatan.
Dan dalam hal
memilih OGB ini, saya sendiri sudah membuktikan keampuhan kontinuitas tersebut
dalam beberapa kasus. Salah satunya, sekaligus pertama-tamanya, adalah terhadap
diri saya sendiri. Saya jarang sekali sakit. Kalau kebetulan saya sedang tidak
sehat dan terpaksa harus minum obat, setiap kali membeli obat, saya keras-keras
mengingatkan diri sendiri akan keunggulan-keunggulan OGB seperti yang tertulis
di atas. Kepada orangtua, keluarga, dan orang-orang tercinta lainnya pun saya
melakukan hal yang sama. Awal-awalnya memang masih ada resistensi. Ibu,
kekasih, saudara-saudara, dan sahabat-sahabat saya tetap "membandel" dengan
obat patennya. Namun, karena saya terus-menerus omongkan kepada mereka kualitas
OGB yang sama dengan obat paten berikut keuntungan-keuntungan yang akan didapat
bila memilih obat tersebut, lama-lama mereka pun akhirnya terpengaruh.
Sekarang, mereka sudah sering memilih OGB.
Dengan segala
keunggulan tersebut, dan dengan didukung kontinuitas sosialisasi dan edukasinya
kepada masyarakat, OGB dapat disebut sebagai solusi sehat hidup masyarakat
berkualitas. Pertama-tama, OGB yang mutunya bagus, aman, dan murah sudah jelas
menjadi solusi yang berkualitas bagi kesehatan hidup masyarakat. Akan tetapi,
sebagai hasilnya, sehat yang didapatkan pun adalah sehat yang berkualitas juga,
karena bahan-bahan dan proses produksi obatnya yang aman dan halal. Kesehatan
yang sedemikian sudah pasti akan meningkatkan pula kualitas hidup masyarakat.
Dan akhirnya, masyarakat dengan kualitas hidup yang baik dapat terwujud menjadi
masyarakat yang berkualitas pula, apalagi dengan lebih meningkatnya kekuatan
finansial karena dapat ditekannya beban pengeluaran untuk pengobatan menjadi
serendah mungkin hasil dari murahnya OGB.