Senin, 14 April 2014

Inspirasi Kesetiaan bersama Cap Kaki Tiga


Setia. Siapa yang masih begitu? Manusia zaman sekarang sukar mengindahkan arti komitmen. Kesetiaan dan kata "setia" bagai barang langka. Kita menjadi manusia yang jauh lebih cepat jenuh dan bosan akhir-akhir ini. Kesenangan sendiri atau hedonisme menjadi dewa. Sehingga bertahan pada seseorang dan sesuatu yang sudah kita pilih dan yang padanya kita ikatkan diri kita sendiri dulu adalah pembuang-buangan waktu saja. Segera saja kita "pindah ke lain hati" ketika sudah tidak cocok lagi, dalil yang paling sering kita kumandangkan sebagai alasan.

Manfaat. Ini juga telah sering pergi dan jarang ditemui belakangan ini. Bagaimana mungkin kita bisa memberi manfaat bagi orang lain, sedangkan untuk setia saja kita tidak mau?

Kesetiaan berbuahkan manfaat. Itu niscaya dan pasti! Kita simak cerita salah seorang anggota keluarga besar saya berikut ini.

Adik perempuan nenek saya telah tiada sejak dua dasawarsa silam. Namun, kisah kesetiaannya menjadi buah bibir dan teladan bagi keluarga besar kami sampai dengan saat ini. Oma Ong, begitu kami para cucu dan cucu-keponakannya biasa memanggil beliau, menikah pada usia muda. Enam belas tahun. Dijodohkan, sebagaimana lazimnya masyarakat kita melakukannya pada anak-anak gadis yang sudah beranjak puber dalam keluarga mereka, sesuai tradisi khas era awal-awal abad ke-20 yang lalu, terutama mereka yang berketurunan Tionghoa. Seorang putera saudagar keturunan Tionghoa dari Cilincing-lah pria yang beruntung mendapatkan Oma Ong yang saat itu masih sangat muda dan teramat cantik. Memasuki usia ke-2 pernikahan mereka, suami Oma Ong kepincut pada perempuan lain. Tanpa menghiraukan perasaan nenek-bibi saya dan puteri mereka yang ketika itu belum juga berumur 1 tahun, lelaki tersebut membawa selingkuhannya itu tinggal di rumah mereka!

Kontan, seluruh keluarga besar kami berang tak kepalang! Bagaimana tidak? Selama perjalanan perkawinan yang masih seumur jagung itu, bukannya memberi nafkah, suami Oma Ong justru memeras harta-benda Oma Ong, yang Oma dapatkan dari berbagai sumber, entah itu berupa harta yang diturunkan dari ibunya (nenek buyut saya), atau perhiasan hadiah perkawinan dari keluarga besar, atau juga uang yang didapat tiap bulan dari bagi hasil keuntungan bisnis keluarga besar ayahnya (kakek buyut saya). Padahal, sang suami berasal dari keluarga yang lebih kaya lagi. Tapi, pria tersebut memang tidak pernah mau bekerja. Dipercayakan banyak toko dari ayahnya, malah habis dalam waktu tak terlalu lama untuk modalnya berjudi, mabuk-mabukan, dan main perempuan.

Satu hal yang mungkin masih bisa dikatakan sebagai "untungnya" bagi Oma adalah bahwa sang suami tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Oma Ong, juga pada anak mereka. Namun, siapapun bisa membayangkan, itu tidaklah mengurangi rasa sakit hati bilamana kita ada di posisi Oma Ong.

Akan tetapi, berhubung rumah yang ditempati keluarga baru tersebut adalah pemberian orangtua sang suami, atas nama si suami pula, maka, tanpa menunggu diusir terlebih dahulu, Oma Ong berinisiatif pergi dari situ. Belakangan, sang oma bercerita kepada kami, keluarganya, alasan angkat kakinya beliau waktu itu sama sekali bukanlah lantaran sakit hati telah disewenang-wenangi dan diduakan. Melainkan supaya anak mereka, tante saya, yang pada waktu itu masih bayi, tidak terkotori mata dan hatinya oleh kemaksiatan yang terjadi di sekitarnya.

Oma Ong bersama tante saya yang masih kecil itu tinggal di sebuah kamar kontrakan kecil, tak jauh dari rumahnya semula bersama si suami. Kenapa? Karena, supaya memudahkan Oma Ong bolak-balik dari kontrakannya ke rumah suaminya itu. Pasalnya, Oma Ong tetap melayani kebutuhan pokok suaminya tiap hari! Ya makanannya, ya pakaiannya, ya kebersihan rumah itu juga. Bahkan, maaf kata, juga dalam urusan kebutuhan biologis sang suami! Dan yang membuat keluarga nenek saya tidak habis pikir (dan bahkan banyak yang mengamuk dan mengata-ngatai Oma Ong!) adalah ini: bukan cuma makanan dan pakaian suaminya saja, tapi Oma Ong juga menyediakan makan bagi wanita selingkuhan dan peliharaan sang suami itu, serta mencucikan bajunya juga! Banyak tahun kemudian, tak lama menjelang akhir hidupnya yang luar biasa, Oma Ong menerangkan, semua itu dilakukannya tidak lain adalah untuk mengikuti keyakinan imannya, di mana Oma percaya, kejahatan haruslah diimbangi dengan kebaikan dan kebenaran. Jadi, harus setimbang dan setimpal. Ada kejahatan menimpa kita, kebaikan sebesar itulah yang jadi balasan kita. Begitu prinsip Oma Ong sejak muda!

Apakah dengan melakukan seperti itu, lantas sang suami jadi serta-merta sadar dari kelakuannya, begitu pula dengan perempuan selingkuhannya? Sama sekali tidak! Yang ada malah perempuan piaraan sang suami itu justru semakin berani kurang ajar pada Oma Ong! Kian lama, Oma Ong kian seperti budak dalam pemandangannya! Walaupun sang suami tidak seperti itu, akan tetapi, mencegah selingkuhannya agar tidak kurang ajar pada isterinya sendiri pun tidak. Memang, kesan saya pribadi, begitu juga pendapat semua saudara saya, suami Oma itu tipe lelaki yang lembeknya bukan main tapi juga sekaligus liciknya minta ampun. Kami hampir yakin, laki-laki itu tidak pernah menceraikan Oma Ong karena memang merasakan manfaat yang besar dari perbuatan-perbuatan baik dan setia isterinya itu. Lagian, tiap bulan tetap ia minta jatah duit dari sang isteri, seperti sudah tidak punya rasa malu lagi! Maka, kalau dia menceraikan Oma, dari mana sumber keuangannya untuk hidup dan menghidupi selingkuhannya sehari-hari? Dan siapa yang mengurus makan, minum, pakaian, dan kebersihan tempat tinggalnya?

Tiga puluh tahun kemudian. Sang isteri masih setia melayani. Ditambah pula dengan anak perempuan semata-wayang mereka, tante saya. Perempuan selingkuhan itu sudah lama meninggalkan pria itu. Tak tahu apa penyebabnya, suatu pagi, laki-laki itu ambruk di kamar mandi. Darah segar termuntah dalam jumlah besar dari mulut dan hidungnya. Stroke. Dan dalam beberapa hari saja, dia lumpuh total dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Dan Oma Ong bersama Tante Mey, puteri beliau satu-satunya itu, makin giat dan setia melayani suami dan ayah mereka.

Dan inilah manfaat yang paling jelas dari kesetiaan Oma Ong beserta Tante Mey. Pertobatan! Satu jiwa terselamatkan, kembali berdamai dengan Tuhannya, dirinya sendiri, dan isteri-anaknya. Dua minggu mengalami keadaan tak berdaya total semacam itu, sang suami akhirnya pecah tangisnya. Dia sangat terguncang oleh kesetiaan tulus dari isteri dan anaknya. Kesetiaan yang jauh lebih tangguh ketimbang pengkhianatannya! Lelaki itu mengaku kalah. Dia mengaku salah. Menyadari bahwa semua yang diperbuatnya selama hampir empat dekade itu adalah dosa yang luar biasa besar dan keji. Tapi semua dapat diampuni. Kasih dan setia selalu jauh lebih besar daripada kejahatan dan pengkhianatan.

Dalam damai pria itu berpulang, tepat sebulan kemudian. Penuh pengampunan. Bersih dari segala kesalahan dan penyesalan. Ditebus oleh "setia", dalam berkorban maupun dalam menahan nyeri, dalam janji suci pernikahan maupun dalam menjaga rasa hormat sang anak pada ayahnya. Sebuah manfaat bahkan sudah dapat diamati jauh sebelumnya. Ya itu tadi, bukan hanya rasa hormat pada orangtua yang terjaga, namun segala kemuliaan akhlak jadinya dimiliki oleh Tante Mey, berkat teladan kesetiaan dan pendidikan penuh kasih dari ibunya.

Memang, sekali lagi, kesetiaan itu jelas memberi manfaat besar. Seperti halnya Larutan Cap Kaki Tiga, yang begitu setia melayani Indonesia. Kompetitor datang dan pergi. Jegalan dan hambatan tak putus-putus hari demi hari. Namun, ketahanan dalam komitmen, alias kesetiaan, tidak pernah sia-sia. Selama 75 tahun, pasti sudah jutaan rakyat Indonesia (bahkan bukan tak mungkin, ribuan orang asing juga) yang telah merasakan manfaat Larutan Cap Kaki Tiga sebagai pengobat dan pencegah panas dalam.

Cap Kaki Tiga dan Oma Ong menjadi bukti bahwa kesetiaan bukan hanya memberi manfaat bagi orang atau pihak lain yang diperlakukan dengan setia oleh pihak yang setia itu saja, akan tetapi, si setia itu sendiri pun mendapatkan manfaat yang tak terhingga besarnya! Selain nama besar yang amat terpercaya, kualitas rasa dan keampuhan Cap Kaki Tiga pun jauh lebih hebat daripada sebelumnya, terus meningkat dan makin terasa oleh konsumen.

Karena itu, setialah! Karena pahala besar berupa manfaat tak terkira akan kita rasakan bagi diri kita sendiri juga, di samping bagi dunia di sekeliling kita juga!

Tidak ada komentar: