Setia. Siapa
yang masih begitu? Manusia zaman sekarang sukar mengindahkan arti komitmen. Kesetiaan
dan kata "setia" bagai barang langka.
Kita menjadi manusia yang jauh lebih cepat jenuh dan bosan akhir-akhir ini. Kesenangan
sendiri atau hedonisme menjadi dewa. Sehingga bertahan pada seseorang dan
sesuatu yang sudah kita pilih dan yang padanya kita ikatkan diri kita sendiri
dulu adalah pembuang-buangan waktu saja. Segera saja kita "pindah ke lain hati" ketika sudah tidak cocok lagi, dalil yang paling sering kita kumandangkan
sebagai alasan.
Manfaat. Ini
juga telah sering pergi dan jarang ditemui belakangan ini. Bagaimana mungkin
kita bisa memberi manfaat bagi orang
lain, sedangkan untuk setia saja kita
tidak mau?
Kesetiaan berbuahkan manfaat. Itu niscaya dan pasti! Kita simak
cerita salah seorang anggota keluarga besar saya berikut ini.
Adik perempuan nenek saya telah tiada sejak dua
dasawarsa silam. Namun, kisah kesetiaannya menjadi buah bibir dan teladan bagi
keluarga besar kami sampai dengan saat ini. Oma Ong, begitu kami para cucu dan
cucu-keponakannya biasa memanggil beliau, menikah pada usia muda. Enam belas
tahun. Dijodohkan, sebagaimana lazimnya masyarakat kita melakukannya pada
anak-anak gadis yang sudah beranjak puber dalam keluarga mereka, sesuai tradisi
khas era awal-awal abad ke-20 yang lalu, terutama mereka yang berketurunan
Tionghoa. Seorang putera saudagar keturunan Tionghoa dari Cilincing-lah pria
yang beruntung mendapatkan Oma Ong yang saat itu masih sangat muda dan teramat
cantik. Memasuki usia ke-2 pernikahan mereka, suami Oma Ong kepincut pada
perempuan lain. Tanpa menghiraukan perasaan nenek-bibi saya dan puteri mereka
yang ketika itu belum juga berumur 1 tahun, lelaki tersebut membawa selingkuhannya
itu tinggal di rumah mereka!
Kontan, seluruh keluarga besar kami berang tak
kepalang! Bagaimana tidak? Selama perjalanan perkawinan yang masih seumur
jagung itu, bukannya memberi nafkah, suami Oma Ong justru memeras harta-benda
Oma Ong, yang Oma dapatkan dari berbagai sumber, entah itu berupa harta yang
diturunkan dari ibunya (nenek buyut saya), atau perhiasan hadiah perkawinan
dari keluarga besar, atau juga uang yang didapat tiap bulan dari bagi hasil keuntungan
bisnis keluarga besar ayahnya (kakek buyut saya). Padahal, sang suami berasal
dari keluarga yang lebih kaya lagi. Tapi, pria tersebut memang tidak pernah mau
bekerja. Dipercayakan banyak toko dari ayahnya, malah habis dalam waktu tak
terlalu lama untuk modalnya berjudi, mabuk-mabukan, dan main perempuan.
Satu hal yang mungkin masih bisa dikatakan sebagai "untungnya" bagi Oma adalah bahwa sang suami tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Oma
Ong, juga pada anak mereka. Namun, siapapun bisa membayangkan, itu tidaklah
mengurangi rasa sakit hati bilamana kita ada di posisi Oma Ong.
Akan tetapi, berhubung rumah yang ditempati keluarga
baru tersebut adalah pemberian orangtua sang suami, atas nama si suami pula,
maka, tanpa menunggu diusir terlebih dahulu, Oma Ong berinisiatif pergi dari situ.
Belakangan, sang oma bercerita kepada kami, keluarganya, alasan angkat kakinya
beliau waktu itu sama sekali bukanlah lantaran sakit hati telah
disewenang-wenangi dan diduakan. Melainkan supaya anak mereka, tante saya, yang
pada waktu itu masih bayi, tidak terkotori mata dan hatinya oleh kemaksiatan
yang terjadi di sekitarnya.
Oma Ong bersama tante saya yang masih kecil itu
tinggal di sebuah kamar kontrakan kecil, tak jauh dari rumahnya semula bersama
si suami. Kenapa? Karena, supaya memudahkan Oma Ong bolak-balik dari
kontrakannya ke rumah suaminya itu. Pasalnya, Oma Ong tetap melayani kebutuhan
pokok suaminya tiap hari! Ya makanannya, ya pakaiannya, ya kebersihan rumah itu
juga. Bahkan, maaf kata, juga dalam urusan kebutuhan biologis sang suami! Dan yang
membuat keluarga nenek saya tidak habis pikir (dan bahkan banyak yang mengamuk
dan mengata-ngatai Oma Ong!) adalah ini: bukan cuma makanan dan pakaian
suaminya saja, tapi Oma Ong juga menyediakan makan bagi wanita selingkuhan dan
peliharaan sang suami itu, serta mencucikan bajunya juga! Banyak tahun
kemudian, tak lama menjelang akhir hidupnya yang luar biasa, Oma Ong
menerangkan, semua itu dilakukannya tidak lain adalah untuk mengikuti keyakinan
imannya, di mana Oma percaya, kejahatan haruslah diimbangi dengan kebaikan dan
kebenaran. Jadi, harus setimbang dan setimpal. Ada kejahatan menimpa kita,
kebaikan sebesar itulah yang jadi balasan kita. Begitu prinsip Oma Ong sejak
muda!
Apakah dengan melakukan seperti itu, lantas sang suami
jadi serta-merta sadar dari kelakuannya, begitu pula dengan perempuan
selingkuhannya? Sama sekali tidak! Yang ada malah perempuan piaraan sang suami
itu justru semakin berani kurang ajar pada Oma Ong! Kian lama, Oma Ong kian
seperti budak dalam pemandangannya! Walaupun sang suami tidak seperti itu, akan
tetapi, mencegah selingkuhannya agar tidak kurang ajar pada isterinya sendiri
pun tidak. Memang, kesan saya pribadi, begitu juga pendapat semua saudara saya,
suami Oma itu tipe lelaki yang lembeknya bukan main tapi juga sekaligus
liciknya minta ampun. Kami hampir yakin, laki-laki itu tidak pernah menceraikan
Oma Ong karena memang merasakan manfaat
yang besar dari perbuatan-perbuatan baik dan setia isterinya itu. Lagian, tiap bulan
tetap ia minta jatah duit dari sang isteri, seperti sudah tidak punya rasa malu
lagi! Maka, kalau dia menceraikan Oma, dari mana sumber keuangannya untuk hidup
dan menghidupi selingkuhannya sehari-hari? Dan siapa yang mengurus makan,
minum, pakaian, dan kebersihan tempat tinggalnya?
Tiga puluh tahun kemudian. Sang isteri masih setia melayani. Ditambah pula dengan
anak perempuan semata-wayang mereka, tante saya. Perempuan selingkuhan itu
sudah lama meninggalkan pria itu. Tak tahu apa penyebabnya, suatu pagi,
laki-laki itu ambruk di kamar mandi. Darah segar termuntah dalam jumlah besar
dari mulut dan hidungnya. Stroke. Dan dalam beberapa hari saja, dia lumpuh
total dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Dan Oma Ong bersama Tante Mey, puteri beliau
satu-satunya itu, makin giat dan setia
melayani suami dan ayah mereka.
Dan inilah manfaat
yang paling jelas dari kesetiaan Oma Ong beserta Tante Mey. Pertobatan! Satu jiwa
terselamatkan, kembali berdamai dengan Tuhannya, dirinya sendiri, dan
isteri-anaknya. Dua minggu mengalami keadaan tak berdaya total semacam itu,
sang suami akhirnya pecah tangisnya. Dia sangat terguncang oleh kesetiaan tulus
dari isteri dan anaknya. Kesetiaan yang jauh lebih tangguh ketimbang
pengkhianatannya! Lelaki itu mengaku kalah. Dia mengaku salah. Menyadari bahwa
semua yang diperbuatnya selama hampir empat dekade itu adalah dosa yang luar
biasa besar dan keji. Tapi semua dapat diampuni. Kasih dan setia selalu jauh lebih besar daripada
kejahatan dan pengkhianatan.
Dalam damai pria itu berpulang, tepat sebulan
kemudian. Penuh pengampunan. Bersih dari segala kesalahan dan penyesalan. Ditebus
oleh "setia", dalam berkorban maupun
dalam menahan nyeri, dalam janji suci pernikahan maupun dalam menjaga rasa
hormat sang anak pada ayahnya. Sebuah manfaat
bahkan sudah dapat diamati jauh sebelumnya. Ya itu tadi, bukan hanya rasa
hormat pada orangtua yang terjaga, namun segala kemuliaan akhlak jadinya
dimiliki oleh Tante Mey, berkat teladan kesetiaan dan pendidikan penuh kasih
dari ibunya.
Memang, sekali lagi, kesetiaan itu jelas memberi manfaat besar. Seperti halnya Larutan Cap Kaki Tiga, yang begitu setia
melayani Indonesia. Kompetitor datang dan pergi. Jegalan dan hambatan tak
putus-putus hari demi hari. Namun, ketahanan dalam komitmen, alias kesetiaan,
tidak pernah sia-sia. Selama 75 tahun, pasti sudah jutaan rakyat Indonesia (bahkan
bukan tak mungkin, ribuan orang asing juga) yang telah merasakan manfaat Larutan Cap Kaki Tiga sebagai pengobat dan
pencegah panas dalam.
Cap Kaki Tiga
dan Oma Ong menjadi bukti bahwa kesetiaan bukan hanya memberi manfaat bagi orang atau pihak lain yang
diperlakukan dengan setia oleh pihak
yang setia itu saja, akan tetapi, si setia itu sendiri pun mendapatkan manfaat yang tak terhingga besarnya! Selain
nama besar yang amat terpercaya, kualitas rasa dan keampuhan Cap Kaki Tiga pun jauh lebih hebat
daripada sebelumnya, terus meningkat dan makin terasa oleh konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar