Kita semua pasti
setuju, kenaikan harga-harga bahan pokok yang terjadi setiap menjelang
hari-hari besar dan hari-hari raya keagamaan, semisal bulan Ramadhan, Idul
Fitri, Natal, dan Tahun Baru, adalah sesuatu yang tidak benar, tidak sehat, dan
tidak beres. Dan tanpa perlu sekolah tinggi-tinggi pun, semua dari kita sudah
bisa menyimpulkan, keadaan semacam itu memberikan pengaruh yang luar-biasa buruk
bagi perekonomian, mikro maupun makro. Cuma, masalahnya, mayoritas dari kita
pun pasti kurang atau bahkan sama-sekali tidak paham apa penyebabnya, mengapa
selalu berulang, serta bagaimana agar untuk seterusnya tidak terjadi-terjadi
lagi. Padahal, ironisnya, banyak dari kita justru menjadi bagian dari penyebab fenomena
yang telah kronis tersebut. Kita menjadi bagian dari ketidakberesan. Dan yang
lebih ironis lagi, barangkali selama seumur hidup, beberapa di antara kita tak
pernah menyadari hal itu.
Umpamanya, kalau
kita adalah pedagang yang berjualan sayur-mayur dan bumbu dapur di pasar,
kenaikan harga-harga komoditas kebutuhan pokok yang kita jual tersebut pasti
terjadi pada momen-momen seperti yang disebutkan di atas, dan kita sendiri sebetulnya
menderita karenanya. Sangat mungkin, kita sudah lama tahu bahwa kenaikan harga
tersebut terjadi karena ulah para pemain besar di sektor penyuplaian bahan
kebutuhan pokok, seperti tengkulak, agen, distributor, dan importir. Memang,
selaku pedagang eceran yang berada di ujung paling akhir rantai distribusi,
kita sendiri tidak berdaya dan tidak punya kuasa dalam menentukan dan
mengendalikan harga. Dan kita sendiri sering dan banyak menderita kerugian
karenanya. Namun, tetap saja kita adalah penjual, yang berarti, mau-tidak-mau kita
akan menaikkan pula harga produk dagangan yang kita jual kepada konsumen. Itu
kenyataannya. Sekalipun hampir semua dari kita sendiri benar-benar sangat
terpaksa, tidak suka, tidak senang, dan tidak rela terhadap kenaikan harga itu,
faktanya, kita tetap adalah bagian darinya. Dengan kata lain, walaupun
sama-sekali tanpa daya untuk menolak, kita tetap menjadi bagian dari sebuah
kebusukan dan kejahatan.
Seperti yang
disingkapkan di atas, biarpun hingga saat ini masih sulit sekali dibuktikan dengan
terang, terutama secara hukum, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir
semua kejadian kenaikan harga disebabkan karena adanya kartelisasi. Kendati
tetap samar-samar dan hanya baunya saja yang terendus, mafia atau sindikat
perdagangan itu ada, terdiri dari para kelas kakap di wilayah distribusi bahan
pokok, sebagaimana disinggung tadi. Nah, salah satu faktor paling utama yang
membuat para mafia pelaku kartelisasi penyaluran komoditas kebutuhan pokok
tersebut sukar dan bahkan hampir mustahil dideteksi ialah karena seluruh
transaksi mereka menggunakan uang tunai. Mereka membeli dari petani secara
tunai. Dalam bertransaksi antar-mereka sendiri, juga secara tunai. Dan saat
mereka menjualnya kepada penjual eceran, mereka pun hanya mau menerima
pembayaran secara tunai. Jadi, setelah semua komoditas berada di tangan
pedagang eceran di pasar, jejak para mafia itu pun lenyap dalam sekejap.
Namun, cerita
seperti itu takkan bisa terjadi apabila seluruh transaksi di sektor penyaluran
seluruh bahan kebutuhan pokok dijalankan secara non-tunai. Sistem non-tunai
berbasiskan data elektronik dengan teknologi digital. Dan di dalam sistem data
elektronik dan digital, setiap tahapan transaksi meninggalkan jejak yang
permanen. Kapanpun ada yang mau melihat dan menganalisanya, misalnya para
penegak hukum, mereka tinggal melacak saja jejak-jejak tersebut.
Jadi, apa yang
seharusnya dilakukan? Mengingat besarnya peran sistem non-tunai bagi kesehatan
perdagangan dan perekonomian nasional, terutama yang begitu terasa bagi
kalangan rakyat berekonomi menengah ke bawah, Negara perlu menggenjot
akselerasi peningkatan optimalisasi sistem non-tunai, baik kuantitas maupun
kualitasnya.
Secara kuantitas,
ada dua aspek yang harus ditingkatkan terkait sistem non-tunai. Pertama, harus
lebih banyak jumlah orang dan kelompok masyarakat yang menggunakan non-tunai
dalam melakukan kegiatan keuangan. Kedua, harus lebih banyak lagi sektor yang
dirambah, terutama sektor-sektor yang dijalankan rakyat kecil seperti petani,
nelayan, pedagang pasar, tukang sayur, penjaja makanan keliling, dan penjual
kiosan/warungan.
Secara kualitas, juga
ada dua aspek yang mesti diperbagus. Pertama, sistem non-tunai perlu terus-menerus
dijadikan lebih sederhana prosedurnya dan lebih murah biayanya, baik untuk akses
perolehan maupun dalam eksekusi pengaplikasian. Kedua, pendekatan dan pelayanan
semua pihak yang terlibat pengadaan dan operasional sistem ini terhadap
masyarakat perlu pula terus ditingkatkan separipurna dan semenyeluruh mungkin.
Dalam rangka
menarik semakin banyak individu dan pihak di kalangan masyarakat untuk lebih
memanfaatkan sistem non-tunai, Negara harus jauh lebih gencar dan kreatif
melakukan promosi, kampanye, dan edukasi. Selaku pemangku otoritas keuangan di
Indonesia, apalagi sebagai pemrakarsa dan eksekutor “Gerakan Nasional Non-Tunai”
(G.N.N.T.), Bank Indonesia (B.I.) seyogyanya melakukan semua usaha promosi,
kampanye, dan edukasi tersebut “dari atas” terlebih dulu, baru kemudian “ke
bawah”. Maksudnya, justru lembaga-lembaga dan para pejabat negara serta semua
pihak yang berurusan dengan penyelenggaraan negara (contohnya, partai-partai
politik berikut semua elit dan kadernya) yang pertama-tama B.I. “garap”. B.I.
perlu mendorong dan mendesak semua lembaga negara, pejabat negara, partai
politik, dan yang lainnya itu untuk menerapkan sistem non-tunai dalam instansi
maupun kehidupan pribadi masing-masing.
Bilamana semua
yang memegang kepemimpinan di negeri ini bukan hanya sudah memahami melainkan
juga telah benar-benar mengimplementasikan sendiri sistem non-tunai, dan saat
semua elemen kepemimpinan negara telah satu hati dan tindakan dalam
menyukseskan G.N.N.T., barulah bisa dikatakan bahwa Negara benar-benar bergerak
memasyarakatkan sistem non-tunai. Bukan hanya B.I. semata. Dengan kondisi
seperti itu, maka penyebarluasan sistem ini ke kalangan masyarakat akan jauh
lebih cepat serta lebih efisien dan efektif. Sebab, dengan men-“non-tunai”-kan
para pemimpin dan lembaga negara tersebut, B.I. pun sebenarnya telah “merekrut”
mereka dalam kerja semesta terkait penyuksesan sistem non-tunai ini.
Pasalnya, banyak
hal baik yang digagas dan diinisiasi di negeri ini menjadi putus di tengah
jalan, atau bahkan sudah berhenti sebelum mulai dijalankan, cuma gara-gara
tidak adanya pemahaman yang sama antara satu lembaga dengan lembaga lain,
antara satu kementerian dengan kementerian lain, juga antara satu pejabat
dengan pejabat lain. Bukan hanya kekompakan dan kesatuan visi-misi yang
defisit, satu kerangka kerja yang sama yang harusnya menjadi acuan/pedoman
tunggal bersama pun sering tidak ada. Dan itu terjadi dalam G.N.N.T. pula.
Mengapa G.N.N.T. seolah berjalan seperti siput sehingga pemasyarakatan
non-tunai lama suksesnya, penyebab nomor satunya ya itu tadi: para petinggi
lain di negeri ini enggan terlibat, tidak mau tahu, bahkan bukan tidak mungkin
malah menjadi penghambat. Terutama oknum-oknum korup di kalangan pejabat dan
petinggi, yang tentu merasa terancam karena rahasia serta keamanan dan
kenyamanan usahanya memperkaya diri dan kalangan sendiri yang selama ini mereka
lakukan pasti akan dirusak total oleh keberadaan sistem non-tunai. Namun,
apabila para pejabat selebihnya, yang tetap bersih dan kuat berkomitmen
memajukan bangsa, mau bersatu dengan B.I. menyukseskan G.N.N.T. demi sehatnya
perekonomian nasional, maka para oknum jahat itu pasti akan kalah. Bahkan,
keberhasilan penerapan sistem non-tunai akan menyingkirkan mereka pula dari
tampuk-tampuk kepemimpinan di negeri kita ini.
Selanjutnya, dunia
perbankan harus terlibat penuh dalam memasifkan pengadaan semua sarana
non-tunai. Mesin Anjungan Tunai Mandiri/Automatic
Teller Machine (A.T.M.) perlu diperbanyak dan penyebarannya harus hingga ke
seluruh pelosok dan penjuru negeri. Begitu pula alat pembaca kartu kredit dan
kartu debit serta alat pembaca kartu chip
uang elektronik. Dan, terutama, kantor-kantor cabang, cabang pembantu, dan kas,
serta layanan perbankan keliling yang harus diadakan sampai ke daerah terpencil
sekalipun. Dengan demikian, masyarakat di pedesaan, pegunungan, pedalaman,
pesisir, dan bahkan yang tinggal di pulau-pulau kecil pun dapat terlayani
perbankan, sehingga cepat atau lambat, mereka pun bisa mengenal dan menikmati
pula sistem non-tunai.
Prioritas perlu
diterapkan pada para petani, peternak, nelayan, pengrajin, seniman, dan
kalangan-kalangan lain yang bekerja sebagai produsen pertama dari segala
komoditas. Demikian juga bagi para pedagang pasar serta pedagang lain yang
berskala kecil dan mikro. Sebab, ketika komoditas mereka harganya melambung di
pasaran, mereka bukan hanya hampir tidak pernah menikmati hasil dari mahalnya harga
tersebut namun, ironisnya, justru menjadi korban juga dari kondisi mahal itu.
Misalnya, petani dan pedagang beras bukan hanya sama-sekali tak pernah
menangguk untung ketika beras naik di pasaran nasional, tetapi, konyolnya,
justru mereka dan keluarganya sendiri pun menjadi golongan masyarakat yang
paling menderita akibat beras mahal. Dengan terdongkraknya pengenalan para
petani, nelayan, pedagang, dan mereka semua yang lain itu akan perbankan dan
sistem keuangan non-tunai, mereka pun akan lebih mudah diajak sebagai penyedia
sistem pembayaran non-tunai. B.I. dan perbankan harus menyediakan secara
cuma-cuma bagi mereka alat-alat pembaca kartu. Tujuannya, supaya mereka bisa menjual
dan membeli padi, ternak, daging potong, ikan, kain batik, kain tenun ikat, patung,
pahatan, dan apapun produk itu secara non-tunai.
Nah, untuk hal
ini, Negara perlu hadir untuk menjamin kepastian hal tersebut. Negara harus
menemukan, menciptakan, dan kemudian menerapkan sistem yang dapat memastikan
agar semua petani, peternak, nelayan, pedagang pasar, dan yang lainnya itu
hanya melakukan pembelian maupun penjualan secara non-tunai. Dengan begitu,
jika ada tengkulak atau agen yang mencoba-coba menipu para produsen tingkat
hulu itu dengan memberikan pembayaran yang rendah, untuk kemudian menjual
kembali dengan harga berpuluh-puluh kali lipat, atau yang hendak mencoba-coba
untuk memonopoli pembelian semua produk, mereka akan dapat terdeteksi dengan
mudah. Dan masyarakat sebagai konsumen pun menjadi jauh lebih terjamin haknya
karena produk yang mereka beli itu terlacak sumbernya hingga ke paling hulu.
Sebagai tambahan, tentu saja pada para agen, tengkulak, pengepul, dan
pihak-pihak distributor lainnya yang bergerak di penyaluran bahan-bahan
kebutuhan pokok pun harus Negara berlakukan kewajiban memakai transaksi
non-tunai. Jadi, selain menyediakan semua media non-tunai bagi mereka, Negara
pun mesti mendesain dan menerapkan dengan ketat sistem yang mengharuskan para
distributor itu bertransaksi dengan cara non-tunai.
Namun, selain
multiplikasi massal ketersediaan sarana non-tunai, yang juga harus dilakukan
perbankan ialah penghapusan semua biaya di dalam sistem non-tunai. Sebab,
sekarang ini, untuk mendapatkan uang elektronik berbasis chip dalam kartu, kita dikenakan biaya sekitar Rp25.000,00
per-kartu chip. Transfer antar-bank
juga kena biaya Rp5.000,00. Pembuatan kartu A.T.M., baik pembuatan baru maupun
penggantian, dikenakan pula biaya Rp10.000,00. Dan biaya-biaya lainnya lagi.
Kesemuanya itu perlu dihapuskan sama-sekali. Dan bukan hanya biaya, prosedur
yang tak perlu pun harus dieliminir. Sebab, orang tidak mau memakai sistem
non-tunai bukan saja karena media dan sarananya tidak tersedia di daerah
tempat-tinggalnya, namun juga lantaran prosedur perolehan dan operasionalnya
dianggap memusingkan. Lebih-lebih, kalau sudah harus berhadapan dengan syarat
dan ketentuan yang hampir semua kalimatnya sukar dimengerti, poinnya sangat
banyak, dipenuhi istilah-istilah yang seolah dari dunia lain, lalu ditulis atau
dicetak dengan huruf yang teramat kecil-kecil pula, sehingga membuat orang
terdidik sekalipun cenderung malas membacanya.
Jika semua
pemangkasan itu tidak bisa sekaligus menjadi tiada sama sekali, barangkali bisa
dengan menguranginya secara berangsur-angsur. Karena, ini akan meniadakan beberapa
alasan paling utama yang menyebabkan orang malas bertransaksi secara non-tunai.
Apalagi, mereka yang sekarang ini masih betul-betul asing terhadap sistem
non-tunai, semisal para petani, nelayan, pedagang pasar, dan yang lain-lain
lagi, termasuk masyarakat yang tinggal di pedesaan, pesisir, dan wilayah
terpencil, yang hampir semuanya berekonomi lemah dan berpendidikan rendah.
Padahal, jumlah mereka sangat besar dan amat tersebar di seluruh Nusantara.
Sehingga, bila mereka mengalami keuntungan dari sistem non-tunai karena tidak
lagi menjadi korban paling utama dari praktek kartelisasi para mafia,
kesejahteraan mereka akan meningkat signifikan sekali. Dengan demikian,
produktivitas mereka pun niscaya meningkat juga. Dan, hasil akhirnya adalah
kondisi perdagangan dan perekonomian Indonesia yang jauh lebih sehat, karena
tidak lagi dirongrong oleh pemerasan para mafia perdagangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar