Kamis, 15 Desember 2016

Mengoptimalkan Gerakan Nasional Non-Tunai untuk Menyehatkan Perekonomian

Kita semua pasti setuju, kenaikan harga-harga bahan pokok yang terjadi setiap menjelang hari-hari besar dan hari-hari raya keagamaan, semisal bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, adalah sesuatu yang tidak benar, tidak sehat, dan tidak beres. Dan tanpa perlu sekolah tinggi-tinggi pun, semua dari kita sudah bisa menyimpulkan, keadaan semacam itu memberikan pengaruh yang luar-biasa buruk bagi perekonomian, mikro maupun makro. Cuma, masalahnya, mayoritas dari kita pun pasti kurang atau bahkan sama-sekali tidak paham apa penyebabnya, mengapa selalu berulang, serta bagaimana agar untuk seterusnya tidak terjadi-terjadi lagi. Padahal, ironisnya, banyak dari kita justru menjadi bagian dari penyebab fenomena yang telah kronis tersebut. Kita menjadi bagian dari ketidakberesan. Dan yang lebih ironis lagi, barangkali selama seumur hidup, beberapa di antara kita tak pernah menyadari hal itu.

Umpamanya, kalau kita adalah pedagang yang berjualan sayur-mayur dan bumbu dapur di pasar, kenaikan harga-harga komoditas kebutuhan pokok yang kita jual tersebut pasti terjadi pada momen-momen seperti yang disebutkan di atas, dan kita sendiri sebetulnya menderita karenanya. Sangat mungkin, kita sudah lama tahu bahwa kenaikan harga tersebut terjadi karena ulah para pemain besar di sektor penyuplaian bahan kebutuhan pokok, seperti tengkulak, agen, distributor, dan importir. Memang, selaku pedagang eceran yang berada di ujung paling akhir rantai distribusi, kita sendiri tidak berdaya dan tidak punya kuasa dalam menentukan dan mengendalikan harga. Dan kita sendiri sering dan banyak menderita kerugian karenanya. Namun, tetap saja kita adalah penjual, yang berarti, mau-tidak-mau kita akan menaikkan pula harga produk dagangan yang kita jual kepada konsumen. Itu kenyataannya. Sekalipun hampir semua dari kita sendiri benar-benar sangat terpaksa, tidak suka, tidak senang, dan tidak rela terhadap kenaikan harga itu, faktanya, kita tetap adalah bagian darinya. Dengan kata lain, walaupun sama-sekali tanpa daya untuk menolak, kita tetap menjadi bagian dari sebuah kebusukan dan kejahatan.

Seperti yang disingkapkan di atas, biarpun hingga saat ini masih sulit sekali dibuktikan dengan terang, terutama secara hukum, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua kejadian kenaikan harga disebabkan karena adanya kartelisasi. Kendati tetap samar-samar dan hanya baunya saja yang terendus, mafia atau sindikat perdagangan itu ada, terdiri dari para kelas kakap di wilayah distribusi bahan pokok, sebagaimana disinggung tadi. Nah, salah satu faktor paling utama yang membuat para mafia pelaku kartelisasi penyaluran komoditas kebutuhan pokok tersebut sukar dan bahkan hampir mustahil dideteksi ialah karena seluruh transaksi mereka menggunakan uang tunai. Mereka membeli dari petani secara tunai. Dalam bertransaksi antar-mereka sendiri, juga secara tunai. Dan saat mereka menjualnya kepada penjual eceran, mereka pun hanya mau menerima pembayaran secara tunai. Jadi, setelah semua komoditas berada di tangan pedagang eceran di pasar, jejak para mafia itu pun lenyap dalam sekejap.

Namun, cerita seperti itu takkan bisa terjadi apabila seluruh transaksi di sektor penyaluran seluruh bahan kebutuhan pokok dijalankan secara non-tunai. Sistem non-tunai berbasiskan data elektronik dengan teknologi digital. Dan di dalam sistem data elektronik dan digital, setiap tahapan transaksi meninggalkan jejak yang permanen. Kapanpun ada yang mau melihat dan menganalisanya, misalnya para penegak hukum, mereka tinggal melacak saja jejak-jejak tersebut.

Jadi, apa yang seharusnya dilakukan? Mengingat besarnya peran sistem non-tunai bagi kesehatan perdagangan dan perekonomian nasional, terutama yang begitu terasa bagi kalangan rakyat berekonomi menengah ke bawah, Negara perlu menggenjot akselerasi peningkatan optimalisasi sistem non-tunai, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Secara kuantitas, ada dua aspek yang harus ditingkatkan terkait sistem non-tunai. Pertama, harus lebih banyak jumlah orang dan kelompok masyarakat yang menggunakan non-tunai dalam melakukan kegiatan keuangan. Kedua, harus lebih banyak lagi sektor yang dirambah, terutama sektor-sektor yang dijalankan rakyat kecil seperti petani, nelayan, pedagang pasar, tukang sayur, penjaja makanan keliling, dan penjual kiosan/warungan.

Secara kualitas, juga ada dua aspek yang mesti diperbagus. Pertama, sistem non-tunai perlu terus-menerus dijadikan lebih sederhana prosedurnya dan lebih murah biayanya, baik untuk akses perolehan maupun dalam eksekusi pengaplikasian. Kedua, pendekatan dan pelayanan semua pihak yang terlibat pengadaan dan operasional sistem ini terhadap masyarakat perlu pula terus ditingkatkan separipurna dan semenyeluruh mungkin.

Dalam rangka menarik semakin banyak individu dan pihak di kalangan masyarakat untuk lebih memanfaatkan sistem non-tunai, Negara harus jauh lebih gencar dan kreatif melakukan promosi, kampanye, dan edukasi. Selaku pemangku otoritas keuangan di Indonesia, apalagi sebagai pemrakarsa dan eksekutor “Gerakan Nasional Non-Tunai” (G.N.N.T.), Bank Indonesia (B.I.) seyogyanya melakukan semua usaha promosi, kampanye, dan edukasi tersebut “dari atas” terlebih dulu, baru kemudian “ke bawah”. Maksudnya, justru lembaga-lembaga dan para pejabat negara serta semua pihak yang berurusan dengan penyelenggaraan negara (contohnya, partai-partai politik berikut semua elit dan kadernya) yang pertama-tama B.I. “garap”. B.I. perlu mendorong dan mendesak semua lembaga negara, pejabat negara, partai politik, dan yang lainnya itu untuk menerapkan sistem non-tunai dalam instansi maupun kehidupan pribadi masing-masing.

Bilamana semua yang memegang kepemimpinan di negeri ini bukan hanya sudah memahami melainkan juga telah benar-benar mengimplementasikan sendiri sistem non-tunai, dan saat semua elemen kepemimpinan negara telah satu hati dan tindakan dalam menyukseskan G.N.N.T., barulah bisa dikatakan bahwa Negara benar-benar bergerak memasyarakatkan sistem non-tunai. Bukan hanya B.I. semata. Dengan kondisi seperti itu, maka penyebarluasan sistem ini ke kalangan masyarakat akan jauh lebih cepat serta lebih efisien dan efektif. Sebab, dengan men-“non-tunai”-kan para pemimpin dan lembaga negara tersebut, B.I. pun sebenarnya telah “merekrut” mereka dalam kerja semesta terkait penyuksesan sistem non-tunai ini.

Pasalnya, banyak hal baik yang digagas dan diinisiasi di negeri ini menjadi putus di tengah jalan, atau bahkan sudah berhenti sebelum mulai dijalankan, cuma gara-gara tidak adanya pemahaman yang sama antara satu lembaga dengan lembaga lain, antara satu kementerian dengan kementerian lain, juga antara satu pejabat dengan pejabat lain. Bukan hanya kekompakan dan kesatuan visi-misi yang defisit, satu kerangka kerja yang sama yang harusnya menjadi acuan/pedoman tunggal bersama pun sering tidak ada. Dan itu terjadi dalam G.N.N.T. pula. Mengapa G.N.N.T. seolah berjalan seperti siput sehingga pemasyarakatan non-tunai lama suksesnya, penyebab nomor satunya ya itu tadi: para petinggi lain di negeri ini enggan terlibat, tidak mau tahu, bahkan bukan tidak mungkin malah menjadi penghambat. Terutama oknum-oknum korup di kalangan pejabat dan petinggi, yang tentu merasa terancam karena rahasia serta keamanan dan kenyamanan usahanya memperkaya diri dan kalangan sendiri yang selama ini mereka lakukan pasti akan dirusak total oleh keberadaan sistem non-tunai. Namun, apabila para pejabat selebihnya, yang tetap bersih dan kuat berkomitmen memajukan bangsa, mau bersatu dengan B.I. menyukseskan G.N.N.T. demi sehatnya perekonomian nasional, maka para oknum jahat itu pasti akan kalah. Bahkan, keberhasilan penerapan sistem non-tunai akan menyingkirkan mereka pula dari tampuk-tampuk kepemimpinan di negeri kita ini.

Selanjutnya, dunia perbankan harus terlibat penuh dalam memasifkan pengadaan semua sarana non-tunai. Mesin Anjungan Tunai Mandiri/Automatic Teller Machine (A.T.M.) perlu diperbanyak dan penyebarannya harus hingga ke seluruh pelosok dan penjuru negeri. Begitu pula alat pembaca kartu kredit dan kartu debit serta alat pembaca kartu chip uang elektronik. Dan, terutama, kantor-kantor cabang, cabang pembantu, dan kas, serta layanan perbankan keliling yang harus diadakan sampai ke daerah terpencil sekalipun. Dengan demikian, masyarakat di pedesaan, pegunungan, pedalaman, pesisir, dan bahkan yang tinggal di pulau-pulau kecil pun dapat terlayani perbankan, sehingga cepat atau lambat, mereka pun bisa mengenal dan menikmati pula sistem non-tunai.

Prioritas perlu diterapkan pada para petani, peternak, nelayan, pengrajin, seniman, dan kalangan-kalangan lain yang bekerja sebagai produsen pertama dari segala komoditas. Demikian juga bagi para pedagang pasar serta pedagang lain yang berskala kecil dan mikro. Sebab, ketika komoditas mereka harganya melambung di pasaran, mereka bukan hanya hampir tidak pernah menikmati hasil dari mahalnya harga tersebut namun, ironisnya, justru menjadi korban juga dari kondisi mahal itu. Misalnya, petani dan pedagang beras bukan hanya sama-sekali tak pernah menangguk untung ketika beras naik di pasaran nasional, tetapi, konyolnya, justru mereka dan keluarganya sendiri pun menjadi golongan masyarakat yang paling menderita akibat beras mahal. Dengan terdongkraknya pengenalan para petani, nelayan, pedagang, dan mereka semua yang lain itu akan perbankan dan sistem keuangan non-tunai, mereka pun akan lebih mudah diajak sebagai penyedia sistem pembayaran non-tunai. B.I. dan perbankan harus menyediakan secara cuma-cuma bagi mereka alat-alat pembaca kartu. Tujuannya, supaya mereka bisa menjual dan membeli padi, ternak, daging potong, ikan, kain batik, kain tenun ikat, patung, pahatan, dan apapun produk itu secara non-tunai.

Nah, untuk hal ini, Negara perlu hadir untuk menjamin kepastian hal tersebut. Negara harus menemukan, menciptakan, dan kemudian menerapkan sistem yang dapat memastikan agar semua petani, peternak, nelayan, pedagang pasar, dan yang lainnya itu hanya melakukan pembelian maupun penjualan secara non-tunai. Dengan begitu, jika ada tengkulak atau agen yang mencoba-coba menipu para produsen tingkat hulu itu dengan memberikan pembayaran yang rendah, untuk kemudian menjual kembali dengan harga berpuluh-puluh kali lipat, atau yang hendak mencoba-coba untuk memonopoli pembelian semua produk, mereka akan dapat terdeteksi dengan mudah. Dan masyarakat sebagai konsumen pun menjadi jauh lebih terjamin haknya karena produk yang mereka beli itu terlacak sumbernya hingga ke paling hulu. Sebagai tambahan, tentu saja pada para agen, tengkulak, pengepul, dan pihak-pihak distributor lainnya yang bergerak di penyaluran bahan-bahan kebutuhan pokok pun harus Negara berlakukan kewajiban memakai transaksi non-tunai. Jadi, selain menyediakan semua media non-tunai bagi mereka, Negara pun mesti mendesain dan menerapkan dengan ketat sistem yang mengharuskan para distributor itu bertransaksi dengan cara non-tunai.

Namun, selain multiplikasi massal ketersediaan sarana non-tunai, yang juga harus dilakukan perbankan ialah penghapusan semua biaya di dalam sistem non-tunai. Sebab, sekarang ini, untuk mendapatkan uang elektronik berbasis chip dalam kartu, kita dikenakan biaya sekitar Rp25.000,00 per-kartu chip. Transfer antar-bank juga kena biaya Rp5.000,00. Pembuatan kartu A.T.M., baik pembuatan baru maupun penggantian, dikenakan pula biaya Rp10.000,00. Dan biaya-biaya lainnya lagi. Kesemuanya itu perlu dihapuskan sama-sekali. Dan bukan hanya biaya, prosedur yang tak perlu pun harus dieliminir. Sebab, orang tidak mau memakai sistem non-tunai bukan saja karena media dan sarananya tidak tersedia di daerah tempat-tinggalnya, namun juga lantaran prosedur perolehan dan operasionalnya dianggap memusingkan. Lebih-lebih, kalau sudah harus berhadapan dengan syarat dan ketentuan yang hampir semua kalimatnya sukar dimengerti, poinnya sangat banyak, dipenuhi istilah-istilah yang seolah dari dunia lain, lalu ditulis atau dicetak dengan huruf yang teramat kecil-kecil pula, sehingga membuat orang terdidik sekalipun cenderung malas membacanya.

Jika semua pemangkasan itu tidak bisa sekaligus menjadi tiada sama sekali, barangkali bisa dengan menguranginya secara berangsur-angsur. Karena, ini akan meniadakan beberapa alasan paling utama yang menyebabkan orang malas bertransaksi secara non-tunai. Apalagi, mereka yang sekarang ini masih betul-betul asing terhadap sistem non-tunai, semisal para petani, nelayan, pedagang pasar, dan yang lain-lain lagi, termasuk masyarakat yang tinggal di pedesaan, pesisir, dan wilayah terpencil, yang hampir semuanya berekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Padahal, jumlah mereka sangat besar dan amat tersebar di seluruh Nusantara. Sehingga, bila mereka mengalami keuntungan dari sistem non-tunai karena tidak lagi menjadi korban paling utama dari praktek kartelisasi para mafia, kesejahteraan mereka akan meningkat signifikan sekali. Dengan demikian, produktivitas mereka pun niscaya meningkat juga. Dan, hasil akhirnya adalah kondisi perdagangan dan perekonomian Indonesia yang jauh lebih sehat, karena tidak lagi dirongrong oleh pemerasan para mafia perdagangan.

Tidak ada komentar: