Beat Blog Writing Contest
Media massa ―cetak dan elektronik― berperan besar sebagai sumber informasi masyarakat. Perannya yang juga tak kalah besar adalah sebagai corong koreksi, penyuara kebenaran dan keadilan.
Bukan hanya dunia penyiaran, tapi dunia literatur pun punya andil yang sama pentingnya. Ditinjau dari satu sudut, bidang literatur ―yang meliputi penerbitan, percetakan, distributor, serta penjualan buku dan/atau media tulis lainnya― dapat dikategorikan sebagai media massa juga, kendati tidak bergerak dalam lingkup penyiaran komersial-profesional.
Sorotan kali ini hanya difokuskan pada media cetak dan dunia pustaka/literatur. Selain disebabkan perannya yang besar dalam publikasi, edukasi, informasi, dan globalisasi, topik ini juga lahir dari keprihatinan akan adanya ambiguitas dan hipokrasi publik.
Selaku pemain penting di bidang-bidang tersebut di atas, media cetak dan dunia pustaka sangat vital mencerahkan wawasan dan membentuk paradigma. Termasuk di antaranya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan alam, pembentukan pola-pola pikir berwawasan ekologis hijau, serta juga aplikasi praktis teknologi penghijauan dan ramah lingkungan.
Informasi tersebut sangat sering juga diselipi pesan penekanan atas inisiatif pihak media dan literatur sendiri yang mendorong masyarakat untuk menerapkan pola hidup dan pola kerja yang “hijau”, alias bertendensi memperbaiki kondisi lingkungan, dalam rangka mencegah Global Warming dan Efek Rumah Kaca, juga menggalakkan Go-Green Movement.
Itu sangat baik. Namun timbul pertanyaan: bagaimana dengan media cetak dan dunia pustaka sendiri, apakah sudah melakukan apa yang disarankannya sendiri dengan begitu gencar itu? Apakah dunia literatur sudah menerapkan pola usaha yang “hijau”? Seyogyanya, sebagai “vokalis”, dunia literatur-lah yang justru harus memelopori dan meneladaninya terlebih dahulu.
Kenyataannya? Mirisnya, harus kita jawab: tidak! Tidak perlu terlalu banyak bukti. Sebesar apa pun suatu pencapaian, semuanya diawali cukup hanya dengan satu langkah kecil dan sederhana. Demikian pula, untuk membuktikan dirinya sudah bergerak melakukan apa yang digencarkannya sendiri, dunia pustaka cukup melakukan satu tindakan nyata saja. Namun tragis dan memilukan, satu tindakan itu pun belum dikerjakan. Bahkan pelaku literatur berkaliber paling besar, yang semestinya menjadi pionir utama, malah dengan lantang mengumumkan kebijakan yang sama sekali bertolak-belakang dengan wawasan “hijau”.
Apa yang dimaksud? Ini: masih banyak pelaku pustaka yang menerapkan kebijakan menerima masukan naskah hanya dalam bentuk hardcopy, alias tercetak di atas kertas. Seperti yang baru saja disebut, para pelaku literatur ―seperti penerbit buku― berskala paling besarlah justru yang tegas-tegas menekankan keharusan itu bagi para penulis yang ingin mengirimkan naskahnya. Mereka tidak bersedia menerima naskah dalam bentuk email.
Naskah yang dikirim dalam bentuk hardcopy tentu saja menggunakan kertas. Dari mana kertas berasal? Tentu saja, dari kayu. Dan dari mana kayu didapat? Jelas, dari pohon. Dan kita tahu betul, pepohonan adalah kunci dari semua upaya menghijaukan bumi. Jadi, pelak sekali, meminta penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hardcopy amat berperan dalam penebangan pohon.
Pada zaman pasca-modern sekarang, teknologi sudah sedemikian maju, termasuk teknologi informasi dan data. Lalu-lintas data berbasis internet sudah marak, bukan hanya di negara-negara maju, tapi juga sudah cukup lama merambah negara berkembang seperti Indonesia. Kini, banyak penulis lebih menyukai cara pengiriman naskah melalui email. Dan preverensi mereka memang dapat dimengerti dan sehat. Cara tersebut jelas relatif lebih ramah lingkungan dan “hijau”. Sementara itu, cara pengiriman konvensional dengan menggunakan kertas juga tidak praktis dan membutuhkan ongkos yang lebih mahal. Kita harus mencetak tulisan dengan printer ―yang tinta/toner-nya tentu tidak murah―, harus membeli amplop, dan mengirimnya via pos ―yang dengan semakin jauhnya jarak, semakin mahal pula biaya pengiriman/perangkonya.
Mengapa masih banyak saja penerbit dan pelaku pustaka lain yang masih mensyaratkan pengiriman hardcopy untuk naskah? Alasan terutama dan yang paling sering dipakai adalah kepraktisan: pihak redaksi mengaku suka repot bila membaca naskah yang dikirim melalui fasilitas attachment email. Kantor penerbit raksasa yang hanya memiliki satu-dua PC yang terhubung dengan internet tanpa memasang jaringan LAN sukar sekali dibayangkan. Yang sangat cocok dengan kebesaran nama penerbit itu adalah sebuah kantor redaksi dengan ruangan besar sarat dengan meja kerja bersekat-sekat, di mana pada tiap meja terpasang satu set komputer canggih, lengkap dengan fasilitas internet yang mumpuni, yang dipasangi jaringan LAN pula, sehingga tiap-tiap redaktur bekerja dengan satu PC khusus untuknya. Dengan demikian, alasan penerbit di atas sulit diterima. Kalangan dunia pustaka seperti itu sebaiknya mau mengubah kebijakan mereka, dengan mau menerima naskah melalui email. Jargon “Go-Green” yang mereka sendiri publikasikan itu perlu digunakan sebagai motivasi. Selain itu, pihak pelaku literatur dan penulis sama-sama untung, karena naskah cepat masuk, hanya dalam hitungan detik, daripada harus tetap mengandalkan jasa pos yang memerlukan paling sedikit satu hari penuh ―itu pun kalau jarak si pengirim dekat atau satu kota dengan redaksi.
Di sisi lain, beberapa media dan pelaku pustaka lain sudah menerapkan prosedur-prosedur berwawasan “hijau” dalam metode usaha mereka. Semuanya sama: menyangkut penghematan penggunaan kertas.
Selain mau menerima naskah yang dikirim lewat email, tiga bentuk kegiatan kerja lain dari media cetak dan dunia pustaka yang penting bagi kelestarian lingkungan adalah e-book, koran online, dan ―yang paling mutakhir― penerbitan online.
Dengan e-book, orang tidak perlu repot-repot keluar rumah pergi ke toko buku untuk mencari buku-buku berkualitas. Bahkan, dengan semakin merakyatnya teknologi, khususnya teknologi seluler, anak-anak sekolah di pedesaan pun dapat memperoleh buku-buku elektronik secara mudah, murah, bahkan gratis. Dan itu semua tanpa proses pencetakan sama sekali. Jadi, sama sekali tidak menggunakan kertas.
Koran online merupakan solusi jitu, selain untuk kalangan eksekutif yang sibuk dan tidak sempat membeli dan membaca koran edisi cetak, juga bagi penghematan penggunaan kertas. Dengan isi yang sama dengan edisi cetaknya, koran-koran online menjadi jawaban juga bagi orang-orang di daerah-daerah yang tidak tercakup dalam wilayah peredaran edisi cetak koran tersebut tapi ingin mengakses berita yang dirasa dibutuhkan.
Penerbitan buku online merupakan terobosan yang terbilang masih amat baru di Indonesia. Pencarian, pemesanan, dan pembelian buku tidak dilakukan secara biasa, dengan mengunjungi toko buku atau pameran, melainkan secara online via internet. Para penulis juga terhindar dari birokrasi pihak-pihak penerbit yang kadang terasa mempersulit dan memperlambat, karena karya mereka pasti terbit dengan hanya mengunggah naskah mereka melalui internet. Memang, penerbit online tetap mencetak buku yang dipesan konsumennya. Namun proses pencetakan seperti itu justru efektif, karena terhindar dari pemborosan kertas akibat kurang larisnya sebuah buku yang sudah telanjur dicetak ribuan eksemplar.
Akhir kata, di samping sebagai refleksi bagi kita semua agar kita sendiri konsekuen dan konsisten antara kenyataan diri sendiri dengan pernyataan, tulisan ini juga dimaksudkan untuk menggugah kesadaran semua pihak agar menyadari bahwa penggunaan kertas dan lain-lain lagi, seperti korek api kayu, yang kita pikir sepele, ternyata berdampak luas secara ekologis. Produk-produk tersebut, bagaimanapun, menggunakan pohon sebagai sumber bahan mentah. Padahal, kita semua paham, pepohonan adalah paru-paru dunia. Bisa dikatakan, semua usaha kita untuk melestarikan alam dan mengembalikan keasrian bumi pasti terkait dengan pohon. Sudah saatnya kita mengurangi akselerasi dan ekstensifikasi penebangannya. Salah satunya dengan menghemat penggunaan produk-produk yang dihasilkannya. Dan dunia pustaka bukan hanya bisa, tapi sebenarnya punya kewajiban menjadi pelopor langkah-langkah menghijaukan bumi tersebut. Kalau mau.