Sabtu, 12 Februari 2011

Tak Ada Kemajuan Tanpa Pembelajaran

promo visi
Tulisan ini diikutsertakan dalam Kontes Ngeblog Inspiratif Visimaya dengan tema “Peranan Informasi dan Pengetahuan dalam Memberi Inspirasi Kemajuan Bangsa”
Keluarga bahagia
Manusia mempunyai pembawaan ingin senantiasa maju, berkembang, menjadi lebih baik di hari-hari mendatang ketimbang hari-hari kemarin. Setiap orangtua yang baik pasti mau anak-anaknya memiliki masa depan cerah, mempunyai kehidupan yang lebih baik daripada diri mereka sendiri. Dalam rangka itu, kita melakukan berbagai upaya terbaik kita agar kemajuan tersebut menjadi kenyataan, bukan hanya untuk generasi penerus, tapi untuk diri kita sendiri juga.

Kemajuan material
Kemajuan dan perkembangan sering kita ukur secara materi saja. Jika penghasilan kita meningkat, harta-benda bertambah, rumah jadi lebih besar dan bagus, mobil dan motor di garasi bertambah jumlahnya dan mewahnya, kita bisa makan makanan enak sesuka kita, anak-anak kita bersekolah di sekolah mahal, maka kita merasa kita sudah maju. Itu sebenarnya sah-sah saja, tapi tidak cukup. Pengukuran kemajuan seperti itu merupakan pengukuran secara luar saja, bukan pengukuran substansial. Lalu, bagaimana pengukuran kemajuan yang substansial itu? Apa yang harus diukur?

Kita bukanlah makhluk lahiriah saja. Esensi manusia adalah kesatuan seimbang antara tubuh dan jiwa, jasmaniah dan rohaniah, material dan spiritual. Selain aspek-aspek fisik, segala sesuatu seyogyanya juga harus dilihat secara non-fisik. Demikian pula soal kemajuan. Selain kemajuan dalam bidang yang material di atas, kemajuan dalam segi mental-spiritual juga harus dicapai. Barulah setelah itu kita bisa benar-benar dikatakan “maju”.

Sekarang, apa tolok-ukur kemajuan di bidang kejiwaan dan kerohanian? Jiwa dan rohani yang maju —atau dengan kata lain: dewasa― diukur dengan lima parameter:
1.  penilaian yang objektif, sehat, dan menyeluruh terhadap berbagai hal
2.  perspektif yang sehat terhadap permasalahan yang dihadapi
3.  kemampuan berespon dengan proporsional terhadap permasalahan tersebut
4.  kemampuan beradaptasi secara cepat dan tepat terhadap perubahan
5.  kemampuan menerima keanekaragaman dan perbedaan, serta kemampuan meresponinya secara sehat dan akurat.

Semua parameter tersebut harus terpenuhi sebagai kriteria kemajuan mental yang melengkapi kemajuan fisik kita, supaya kemajuan pribadi kita secara keseluruhan menjadi lengkap.

Lalu, bagaimana kita bisa maju dengan semua kriteria itu? Jawabannya sederhana: dengan memperbesar daya akomodasi/daya tampung mental kita. Memperbesar daya akomodasi/daya tampung mental mempunyai istilah lain, yaitu meluaskan wawasan, atau mengubah paradigma/pola pikir, atau mengasah pikiran.

Selanjutnya, bagaimana cara memperbesar daya akomodasi mental, atau meluaskan wawasan, atau mengubah paradigma, atau mengasah pikiran? Jawaban ini pun sederhana: dengan mendayagunakan salah satu instrumen terpenting, yaitu informasi, baik dalam bentuk pendidikan, pelatihan, ilmu pengetahuan, berita, opini, pengalaman, maupun observasi.

Peranan informasi sebagai stimulans kemajuan jiwa (pikiran, emosi, dan perilaku) kita benar-benar signifikan. Untuk melihat peran menentukan dari informasi, kita cuma perlu menengok kepada dampak-dampak dari pengabaian pentingnya informasi maupun dampak-dampak dari penghargaan terhadapnya.

Contoh paling aktual dari dampak pengabaian peran vital informasi terhadap kemajuan (tulisan ini dibuat tanggal 12 Februari 2011) adalah insiden mengerikan sekaligus memilukan di Temanggung, Jawa Tengah, dan Cikeusik, Banten. Kedua insiden itu terkait soal keagamaan. Insiden Cikeusik adalah mengenai polemik sesat/tidaknya mazhab Ahmadiyah. Sedangkan insiden Temanggung berkaitan dengan anggapan adanya pelecehan agama.

Di Cikeusik, pada 6 Februari 2011, massa melakukan penyerangan terhadap pusat-pusat kegiatan Ahmadiyah, yang memakan tiga korban jiwa. Banyak versi cerita tentang kejadian sesungguhnya. Di sini, saya tidak akan membahas versi mana yang benar, apakah orang-orang Ahmadiyah yang terlebih dulu menantang, ataukah penduduk setempat yang disinyalir sudah merencanakan penyerangan itu. Yang hendak saya soroti adalah penyebab pertama dan utama insiden tersebut, yakni kekerdilan mental, sempitnya wawasan, fatalnya kesalahan paradigma; dan semua itu sangat berhubungan dengan ketidakmauan untuk memperoleh informasi, penafian pentingnya informasi bagi kemajuan jiwa. Mengapa demikian? Saya akan membahasnya sekaligus nanti setelah saya singgung dulu secara singkat insiden yang satu lagi: insiden Temanggung.

Kerusuhan terkait agama
Insiden Temanggung 8 Februari 2011 terjadi karena massa tidak puas terhadap keputusan hakim Pengadilan Negeri Temanggung yang hanya memvonis lima tahun penjara kepada terdakwa kasus penistaan agama, Antonius Richmond Bawengan, yang kemudian berbuntut menjadi kerusuhan disertai pembakaran tempat-tempat ibadah.

Kedua kejadian itu bukanlah yang pertama yang terjadi di negeri ini. Kerusuhan terkait agama sudah banyak terjadi sejak dulu. Mengapa itu terus saja terjadi? Satu jawaban yang paling mungkin: karena kita tidak belajar. Kita secara sadar menolak menarik hikmah dari sejarah. Kerusuhan terkait agama tidak hanya sering terjadi di negeri kita, namun juga sejak zaman dahulu sudah memaraki sejarah dunia. Inilah contoh akibat tragis pengabaian informasi. Inilah contoh konsekuensi mahal keengganan mengolah informasi berharga (meski kelam) itu dalam proses mental kita. Jika saja kita semua mau sedikit saja bersusah-payah merenungkan dan menarik hikmah dari sejarah gelap konflik keagamaan dunia dan negeri kita sendiri, kita akan sudah lama menyadari bahwa keanekaragaman dan perbedaan mesti diterima, bukan untuk dipertengkarkan. Kita juga pasti sudah dari dulu paham, penghinaan yang begitu menyakiti bagian sesensitif apa pun dari diri kita pantas disikapi dengan kepala dingin, pengendalian diri, dan kesabaran ekstra, supaya tidak terjadi hal-hal yang lebih destruktif,  yang malah akan menjadi efek domino akibat pembalasan sakit hati dan dendam dari pihak-pihak yang diserang.

Jadi, kita lihat, pengabaian informasi bisa berakibat fatal: kemandegan pertumbuhan jiwa. Dan, pada gilirannya, kemandegan itu perlahan menjadi kemunduran dan kemerosotan, yang akhirnya menjadi keadaan dekaden yang menyedihkan, yang memakan banyak korban material dan jiwa.

Beralih dari kisah kusam tentang kemerosotan yang disebabkan paling banyak oleh pengabaian informasi, kini kita akan memperhatikan dampak sebaliknya: konstruktifnya hasil dari kemajuan jiwa, yang sebagian terbesarnya merupakan hasil dari penghargaan terhadap informasi dan pengolahannya secara benar.

Pada zaman penjajahan Belanda, di Indonesia menyebar satu penyakit aneh, di mana penderitanya menderita sakit otot dan bengkak-bengkak, terutama pada daerah tungkai. Penyakit ini telah lama dideteksi di seluruh dunia, dan orang menyebutnya “beri-beri”. Suatu saat, pemerintah kolonial Hindia Belanda menugaskan seorang dokter untuk mengadakan penelitian tentang beri-beri, berhubung saat itu belum ada obat untuk penyakit ini. Bertahun-tahun tanpa keberhasilan membuat dokter ini nyaris frustasi, karena dalam bidang penelitian penyakit lain, ia berhasil. Namun satu hari, terjadi kejadian yang ditemuinya secara “kebetulan”. Kejadian itu kemudian menjadi informasi penting baginya. Pada hari itu, ia melihat bahwa ayam-ayam yang dipelihara di kompleks laboratoriumnya menderita gejala-gejala yang sama dengan beri-beri. Setelah memastikan bahwa mereka memang menderita beri-beri, sang dokter lantas menindaklanjuti informasi tersebut. Dia terus menggali informasi lain. Akhirnya, ia tahu, ayam-ayam itu belum lama berselang diganti makanannya, dari beras yang tidak dikelupasi kulit arinya dengan beras yang sudah dikelupasi. Informasi ini ditanggapi cepat. Ia melakukan percobaan. Ayam-ayam itu kembali ia beri makan beras-beras yang tidak dikelupasi. Hasilnya, ayam-ayam itu sembuh dari beri-beri. Dari penemuan tersebut, sang dokter kemudian mengeluarkan postulat bahwa dalam kulit ari beras terdapat zat yang sangat esensial bagi sistem saraf perifer. Penemuan tersebut akhirnya membuahkan Penghargaan Nobel Bidang Kedokteran pada tahun 1929 baginya. Selain itu, penemuan tersebut merupakan cikal-bakal penamaan bagi zat yang sangat vital bagi sel-sel tubuh, yaitu “vitamin”. Zat yang ditemukan sang dokter itu sendiri kelak dikenal sebagai vitamin B1 (thiamin), zat yang perlu bagi saraf, sebab ketiadaannya dapat mengakibatkan penyakit beri-beri tadi. Sang dokter adalah Christiaan Eijkman, yang namanya diabadikan dalam Lembaga Biologi Molekular Eijkman (Lembaga Eijkman) di Jakarta, dan juga menjadi nama jalan di Bandung.
Christiaan Eijkman (1858 – 1930)


Jadi, informasi yang dimanfaatkan dengan semestinya akan menghasilkan sesuatu yang besar, suatu pengetahuan baru yang amat berguna, dan suatu kemajuan yang begitu menentukan nasib umat manusia di seluruh dunia.

Akan tetapi, apakah semua informasi pasti menghasilkan kemajuan? Tidak. Semua informasi yang kita dapatkan dari mana pun dalam bentuk apa pun pertama-tama harus kita terima dulu tanpa prasangka. Selanjutnya, informasi itu kita gabungkan dengan informasi-informasi lain yang secara logis berkaitan dengannya. Kemudian, kita harus mengelola semua informasi itu sebagai data, menguji dan melakukan verifikasi secara berulang-ulang, serta mengambil kesimpulan yang tepat dan akurat. Jika informasi yang kita terima ternyata menyesatkan, kita jangan terburu-buru membuangnya. Informasi sampah itu pun sebenarnya bisa berguna. Paling tidak, dari informasi yang tidak benar, akan timbul apa yang benar.

Media informasi
Akhir kata, informasi dan pengetahuan apa pun sesungguhnya amat berperan dalam proses pembelajaran kita. Dari kemauan kita berlelah-lelah ikut dalam proses itu, kemajuan pun akan niscaya bisa kita capai, secara mental maupun fisik. Karena itu, janganlah kita jemu-jemu mencari informasi. Apalagi pada zaman globalisasi dan informasi sekarang ini, informasi dengan mudah kita dapatkan. Seribu satu macam media tersedia, mulai dari televisi, radio, koran, majalah, baliho iklan, hingga multimedia dan internet. Segala sarana dan prasarana informasi pun sudah sangat marak dan bukan lagi menjadi kemewahan. Telepon genggam dan perangkat komputer dari yang kecil sampai yang kompleks sudah semakin murah. Semua sudah serba terjangkau. Jadi, kalau kita masih saja belum maju, itu karena keengganan kita sendiri mengakses informasi, atau ketidakpedulian kita akan informasi yang kita terima, atau pula bisa karena kita terburu-buru mengambil kesimpulan dari informasi yang masih mentah dan sedikit.

Tidak ada komentar: