Selasa, 15 Februari 2011

Bagaimana Gerakan Bebas Asap Rokok di Ruang Publik Bisa Sukses?


Beat Blog Writing Contest

Hawa begitu pengap. Cuaca tidak menentu lagi beberapa dasawarsa ini. Bahkan tahun lalu, praktis nyaris sama sekali tidak ada kemarau. Sebaliknya, pada akhir tahun kemarin sampai awal tahun ini, saat harusnya hujan memusim, kemarau malah yang suka melesak dominasi hari-hari. Untuk Bandung, itu menyebabkan perubahan suhu yang cukup ekstrem. Kalau siang sampai sore bisa panas sekali, tapi malam sampai menjelang fajar itu bukan main dinginnya. Bagaimana tidak beria-ria itu virus flu?

Di tengah terik kemarau ini aku menanti angkot yang lama sekali muncul. Aneh, siang-siang begini biasanya angkot ke jurusan yang kutuju banyak. Ini, sudah hampir lima menit belum ada satu pun yang nongol.

Ah, itu dia, akhirnya! Sini, Pir, saya mau naik! Ya, gitu!

Untung, jalanan lancar. Aku sih tidak terburu-buru. Memang aku pergi bukan untuk urusan resmi. Tapi enak juga kalau lalu-lintas tidak macet. Hati jadi tidak kesal.

Aduh! Siapa yang merokok nih? Ih, si Bapak di bangku seberang, ternyata! Mana rokoknya kretek, baru dinyalakan pula! Wah, kalau dia mau isap sampai habis, kapan selesainya? Mudah-mudahan dia cepat turun. Sumpek ini angkot oleh asap rokoknya, soalnya!

Nah, nah! Benar-benar “tepat waktu” sudah! Tadi jalanan lancar. Tapi sekarang, pas asap rokok mengawang, malah tersendat arus lalu-lintas ini. Benar-benar “pas waktunya”!

Asap itu seolah-olah betah bercokol, berkeliaran kian kemari tanpa ada angin yang cukup kencang mengusirnya keluar. Beda dengan tadi ketika angkot berjalan cukup laju. Biarpun semua jendela terpentang lebar-lebar penuh, tetap saja tak ada angin yang mengembus masuk. Asap makin keras tawa ejekannya. Dua wanita penumpang sudah mulai mengibas-ngibas sambil menutup hidung dan mulut. Dua pria penumpang lain selain aku dan “sang pelaku” juga sudah menyiratkan kesal di wajah. Yah, setidaknya, begitu menurut pandanganku. Aku tidak bisa menerka bagaimana perasaan si sopir. Dia membelakangi kami, jadi sukar kulihat ekspresinya. Biasanya sih, para sopir cuek-bebek saja. Toh hampir semua mereka pun perokok.

Aku sendiri, jelas, bukan main jengkel! Beberapa tahun lalu, aku juga perokok. Tapi waktu itu, aku tak pernah sekali pun merokok di tempat umum, apalagi di angkot. Sebab aku tahu, menghirup asap buangan yang dikeluarkan rokok isapan orang bukan seperti mengisap rokok langsung. Apalagi kalau si perokok itu habis makan petai atau jengkol! Semerbaknya, wah, maut!

Setelah berhenti merokok, lebih-lebih, benci sekali aku pada asap rokok orang. Tidak heran, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Itu demi melindungi orang-orang bukan perokok dari menjadi perokok pasif, kasus yang lebih berbahaya secara kesehatan daripada si perokok aktifnya sendiri.

Nah, begitu dong, lancar lagi jalanan ini! Nah, ini baru sip, angin merangsak kencang ke dalam angkot! Tapi aku masih gusar, si Bapak tidak turun-turun juga! Ya sudah, toh aku juga sebentar lagi turun. Yah, tahan-tahan sajalah, lima-sepuluh menit ini.

Walau begitu, aku dongkol juga. Sangat tergoda aku untuk berbuat sesuatu. Sembari menunggu tak sabar munculnya mal tempat aku janjian dengan pacarku untuk nonton, aku sempat teringat pada apa yang baru-baru ini kubaca. Masih segar dalam ingatanku. Tunggu! O ya, ini dia: Peraturan Daerah (Perda) K3 Kota Bandung tahun 2005! Kalau tidak salah, berarti betul... eh, bukan! Kalau tidak salah, pasalnya itu Pasal 47. Ayatnya,... sebentar.... Oh, ayat (2)! Ya, benar, ayat (2), di poin a. itu! Isinya.... O ya, isinya itu kira-kira tentang Penyidik Pemkot Bandung berwenang menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana pelanggaran Perda K3 itu!

Nah, rasakan saja kau, Pak! Coba saja kalau aku adukan Bapak pada Pemkot, kalau Bapak itu merokok di tempat umum! Karena ‘kan Bapak sudah melanggar..., eh, melanggar.... Pasal berapa ya? Aduh, kenapa sih ini otak? Biasanya kayak ensiklopedia berjalan! Barangkali sekarang karena terkontaminasi jengkel, jadi macet dia. Tunggu, tunggu...! Mmm.... Ah, ini: Pasal 23 ayat (1)! Ya, ya! Itu ‘kan isinya kurang lebih menyebutkan bahwa kawasan tanpa rokok itu meliputi tempat umum, rumah sakit, kantor, sekolah atau kampus, tempat bermain anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Nah, ‘kan, ada ‘kan dibilang angkot! ‘Kan angkot juga termasuk angkutan umum?

“Hahahahahaha!”

Eh, eh! Siapa tuh yang ketawa keras-keras??... Lho? Tidak ada?!

“Hahahahahaha!!”

Lha, makin keras nih yang ketawa!? Tapi, sebentar!... Kenapa sepertinya muncul dari kepalaku?? Waduh!! Apa aku ini sedang mengalami halusinasi dengar??! Wah, jangan deh! Amit-amit!! Masak, ganteng-keren begini gelo??! Apa kata dunia?? Tak ada, bukan?

“Hahahahahaha!!!”

Astaganagaularliongbarongsai!!!

I... i... itu...! Itu...!! Itu... as... asap...!? Asap itu... asap itu...!! Asap itu tertawa?!! Dia yang tertawa!!!

“Hahahaha! Anak tolol! Hahahahahaha!!!”

“Hehh!!!...” hardikku tidak jadi berlanjut. Semua pada menengok ke arahku. Pasangan-pasangan mata itu menunjukkan keterkejutan, bingung melihatku keras-keras menyergah sembari melihat ke atas. Aku tahu, pikir mereka pasti: “Kasihan! Kasep-kasep gelo!” Hahh!! Sembarangan!!! Tidak! Itu cuma halusinasi! Tapi... ya ampun!! Halusinasi lagi??! Jangan-jangan...!? Apa benar aku ini si kasep gelo??!

Itu... itu mal-nya! “Kiri!” Hadduuhh!! Hampir saja kelewat! Gara-gara halusinasi!

Lho... lho!? Itu...! Asap itu...?! Dia juga ikut turun menyusulku!!? Waduh!... Sabar, sabar! Bayar angkot dulu! Jangan hiraukan dia dulu!!

Nah, nah!?? Dia buntuti aku terus!! Gimana nih?? Mana sudah di pelataran mal lagi aku?!

Ah!! Lari saja! Cabuuu...utt!! Peduli amat orang-orang pada bingung lihat aku lari kencang! Eh, ke mana nih?? Ke tempat parkir sini saja barangkali ya? Mumpung tak ada orang nih!

Sengaja aku berbalik mendadak. “Hayoo!! Mau apa kamu??! Siapa kamu, ikuti aku terus?? Setan apa sih kamu?!!”

“Hahahaha!! Mau setan apa kek, yang penting, aku geli lihat kamu! Hahahahahaha!! Tepatnya itu, hahaha! Lihat pikiranmu itu! Hahaha!”

“Memang kenapa pikiranku??!!”

“Mau adukan Bapak yang mengembusku?? Hahaha!”

“Iya!! Memangnya kenapa?!”

“Kamu tahu namanya? Di mana rumahnya? Kerjanya apa, di mana?”

Eh... eh... iya! Siapa itu Bapak ya???

“Hihihihi! Terus, kamu mau adukan ke Pemkot kalau si Bapak merokok di angkot, di tempat umum, melanggar Perda K3. Kamu pikir, orang-orang Pemkot bakal gubris aduanmu??”

“Iya dong!! ‘Kan memang peraturannya begitu!!”

“Hohohoho!! Anak lugu, polos kamu! Masak, anak kuliahan kayak kamu nggak sadar gimana keadaan bangsamu ini? Peraturan ya tinggal peraturan! Prinsip bangsamu ‘kan semua orang juga sudah pada tahu: ‘Peraturan ada untuk dilanggar’! Hehehe!”

Ah, tak sudi aku komentari kata-katanya barusan!

“Merokok di angkot! Bah! Itu ‘kan lumrah, Bro!”

Cih!! Sok gaul nih asap!? Biar saja, mau ngoceh apa lagi dia?!

“Sudahlah, Bro! Jangan sok-sok idealis lah! Aku diembus-embus di angkot kek, di rumah sakit kek, di sekolah kek, di kuburan kek, sudah biasa! Oh, iya! Kamu dulu ‘kan juga suka mengembus-embus aku? Mumpung kita ada di mal nih, di tempat umum, coba saja! Ayolah! Nggak kangen sama nikmatnya mengembus-embuskan aku?? Tes saja deh! Paling parah juga kamu ditegor Satpam, disuruh matikan rokok. Nggak akan ada tuh yang bakal adukan kamu ke Pemkot!”

Mau aku gila kek, mau berhalusinasi kek, omongan si asap barusan memang ada benarnya ya?!!

“Ya jelas benar lah!!”

“Tapi....” Lho, kenapa kujawab dengan gaya sok diskusi serius sambil sok mikir gini?? Bah! Biar saja!! “Tapi, tetap saja, keadaan itu tidak beres, tidak benar. Justru sikon seperti ini yang harus dibereskan.” Yeee! Kenapa sekarang aku jadi sok kontemplasi begini?!

“Sudah! Jangan buang-buang waktu merenung segala! Pakai mau ubah sikon pula lagi! Begini saja, setuju saja pada omonganku barusan. Terus, nggak usah lagi pusing-pusing pikirin soal K3-K3 segala. Janji deh, sekarang juga aku segera pergi dari kamu dan nggak akan datang ganggu-ganggu kamu lagi dan baca-baca pikiranmu lagi. Asal, kamu setuju saja aku tetap bebas berada di mana pun orang yang mengembuskanku mau. Gimana? Deal?”

“Mmm... oke, deal!”

“Nah, gitu dong! ‘Kan jadinya kita semua sama-sama enak, nggak saling usil, nggak ada yang repot! Aman ‘kan? Oke, kalau begitu, aku cabut dulu ya!”

Dia beranjak cepat.

“Tunggu!!!”

Syukurlah, si asap mendengar! Dia sudah mau membelok ke atas, ke langit, tapi mendengar teriakku memanggil, dia berhenti juga.

“Ada apa lagi sih?? Bikin kaget orang, eh, asap saja! Kenapa?”

“Ngngng... gini, Sap! Boleh aku panggil ‘Sap’ ‘kan? Biar akrab! Demi masa lalu! Hehehe!”

“Iya, iya lah, terserah! Terus?”

“Santai aja lagi, Sap! Buru-buru amat?”

“Ya buru-buru lah! Kau tidak lihat nih, aku sudah mulai pudar begini?! Tugasku sudah mau selesai, aku harus berbaur dengan udara kembali! Cepat, ngomong, kenapa?!!”

“Oke, oke. Aku cuma minta tolong ditemani sebentar ke mal. Tunggu, tunggu!! Sebentaaaar saja! Kamu bertengger saja di pundakku biar nggak terlepas ke udara. Ayo, buruan!”

Meski sudah jauh melemah, dia beranjak juga ke pundakku, lalu bertaut erat.

“Mau apa sih kamu? Pakai ajak-ajak aku segala?? Aku sudah lemas sekali nih!”

“Sabar, Sobat! Kamu nggak lihat, ini juga aku sudah setengah lari? Aku cuma kepingin ditemani saja waktu menunggu pacarku.”

“Wah! Itu pasti lama, Bro! Aku cabut saja ya?!”

“Eh, eh, tunggu!! Nggak kok, sebentar! Janji deh, dalam semenit pacarku tak muncul, kamu boleh pergi. Tapi tunggu aba-abaku ya kalau pergi.”

“Terserah kamu saja! Yang penting: cepat!!”

“Iya, iya!”

Mana ya? Ke mana sih itu orang??... Ah! Ah!! Pucuk di cinta, ulam pun tiba!!!

“Lho? Lho??... Bro!?... Bro!!... Brooo!!!”

Dan suara si asap pun lenyap dengan cepat, seiring suara batuk keras seorang pemuda seumuranku, tapi yang (tentunya!) tidak setampan dan sekeren diriku.

“Yang? Kenapa lari-lari gitu??”

Duuuhhh!!! Kaget!! Kirain siapa yang menepuk pundakku?! Ternyata pacarku! “Aku cari-cari kamu, Sayang!”

“Tapi kenapa lari-lari segala?? Carinya biasa aja, kali!?”

“Soalnya aku sudah kangen banget, Yang!”

“Ooo, Ayang!!”

Huhuiiyy!! Kena dia sama rayuan mautku! Nggak tahu saja dia apa yang barusan terjadi! Kalian juga ‘kan? Ya sudah, kuceritakan! Tapi untuk kalian saja ya! Janji, kalian jangan cerita dulu sama pacarku, nanti aku saja yang cerita, oke? Deal?

Jadi begini. Tadi itu, waktu si asap sudah mau cabut ke langit, otakku yang memang brilyan ini, dengan kecepatan cahaya, merencanakan suatu siasat. Karena si asap bisa membaca pikiran, aku tak berani melakukannya saat dia masih di dekatku. Nah, siasatku itu adalah: aku mau membawanya masuk ke tempat umum ini, ke mal ini, kemudian hendak kubawa dia supaya terhirup oleh orang yang tidak tahu aturan, orang yang masih saja merokok di tempat umum macam mal ini. Lalu, kutemukan juga orang seperti itu. Ia sedang asyik merokok sembari berjalan pelan, melihat-lihat apa entahlah. Kudekati cepat-cepat sebelum si asap yang bertengger di bahuku melenyap. Begitu sudah dekat sekali, kupasang posisi badanku sedemikian rupa agar hidung atau mulut pria muda itu dekat sekali dengan si asap penguntitku. Dan, terjadilah persis seperti rencanaku: si asap dengan cepat terhirup sang pemuda. Tamatlah riwayat si penguntit! Tahu rasa juga si perokok tak tahu adat!

Nah, karena kini sudah tidak terganggu si asap pembaca pikiran itu, aku juga sedang merencanakan sesuatu. Mau tahu apa? Begini:

Aku ingin menulis di blog-ku tentang strategi menyukseskan gerakan bebas asap rokok di ruang publik dan tempat umum. Simpel saja. Poin-poinku hanya dua. Pertama, kuusulkan bagaimana jika klausul “kawasan tanpa merokok” dalam ayat (1) Pasal 23 Perda K3 Kota Bandung itu diubah menjadi “kawasan merokok sebebas-bebasnya asal tanpa asap”. Kenapa? Karena orang cenderung terdorong untuk melanggar bila aturannya bernada larangan. Tapi kalau aturan itu bernada pembolehan bersyarat, mungkin akan beda keadaannya. Jadi, siapa yang merokok dengan mengeluarkan asap, itulah yang melanggar peraturan. Biar mikir tuh para perokok sembarangan! Mudah-mudahan, Pemkot Bandung, juga pemda-pemda lain, dan bahkan pemerintah pusat, membaca usulku ini, dan mau mempertimbangkannya. Kedua, aku mau ajak para sesama korban yang menjadi “perokok pasif”, daripada ragu-ragu sepertiku kalau mau menegur dan mengadukan pelaku pelanggaran Perda K3 soal merokok di angkot dan tempat-tempat umum lainnya, bagaimana kalau kita siapkan “senjata penangkal”? Apa senjata itu? Kipas angin mini! Memang keluar sedikit modal dan agak repot membawa-bawanya, tapi demi kesehatan kita dan orang-orang tercinta kita serta juga orang di sebelah-sebelah kita yang juga terganggu, “worthed” lah! Caranya, saat ada yang merokok di angkot atau di tempat umum, daripada buka jendela, apalagi kalau pas hujan, nyalakan saja kipas mini itu. Nyalakan pada kecepatan maksimum. Arahkan di samping muka kita, agak menyerong sedemikian rupa, sehingga anginnya sedikit menyentuh wajah kita tapi juga mampu mengarahkan asap rokok ke arah muka si perokok sendiri. Saya yakin, si perokok bandel itu takkan berani marah, karena dalam hati kecilnya sebetulnya orang-orang seperti itu mengerti, asap mereka mengganggu orang lain; dengan kata lain, ada rasa bersalah dan suara menuduh juga dalam diri mereka, meskipun memang kemungkinan besar sangat kecil dan berusaha dia redam kuat-kuat. Karena itu, mereka pasti takkan berani memprotes kita. Mau pakai alasan apa mereka protes? Tindakan kita mengganggunya merokok? Kalau mereka benar-benar protes begitu, mereka pasti bisa mengira bahwa orang-orang akan pikir mereka gila. Dan tak ada orang yang mau dianggap gila, bahkan orang gila beneran sekalipun.

Wuidihhh! Sok serius banget ya aku?!

Nah, pada kalian sudah kubocorkan rencanaku! Tapi tetap janji ya, kalian tidak bilang-bilang sama pacarku! Nanti biar aku saja yang cerita padanya. Deal?

2 komentar:

Diah mengatakan...

Yuk kita buat setiap hari tanpa tembakau (dan rokok, tentu saja) Check this out: http://asabunga.blogspot.com/2010/05/hari-tanpa-tembakau-sedunia.html

Disabilitas dan Pandangan Masyarakat Mengenainya mengatakan...

Baca juga tulisan saya mengenai disabilitas dan pandangan masyarakat:

"Disabilitas dan Pandangan Masyarakat Mengenainya" (http://samueledward.blogdetik.com/disabilitas-dan-pandangan-masyarakat-mengenainya/)