Kita, manusia, memiliki kemampuan menyesuaikan diri atau
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Termasuk terhadap perubahan iklim.
Proses adaptasi kita terhadap perubahan iklim bervariasi
dari segi kurun waktu dan tahapan, tergantung dari banyak faktor, seperti
budaya dan pola pikir masyarakat tempat kita tinggal. Ada masyarakat yang dapat
beradaptasi dalam waktu singkat, hanya memerlukan satu-dua tahun saja, tapi ada
yang membutuhkan waktu sampai satu dasawarsa atau lebih. Ada populasi yang cuma
melakukan beberapa kali uji coba saja sudah bisa menemukan pola hidup yang
cocok dengan iklim yang sudah berubah, namun di tempat lain, populasinya
mungkin harus melewati puluhan tahapan coba-coba sebelum akhirnya dapat
beradaptasi sempurna.
Proses adaptasi itu sendiri pun berbeda-beda antara satu
kelompok masyarakat dengan kelompok lain. Masing-masing disesuaikan selain
dengan budaya dan pola pikir ekslusif masyarakatnya sendiri, juga dengan
kondisi alam dan iklim di wilayah tempat masyarakat itu tinggal, serta, yang
tak kalah penting, juga dengan corak, nuansa, dan dinamika perubahan iklim di
tiap-tiap wilayah, yang pastinya juga berlainan. Orang-orang yang tinggal di
daerah tropis tentu akan beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan cara yang
berbeda dengan orang yang tinggal di daerah subtropis. Dan walaupun sama-sama
tinggal di wilayah beriklim tropis, orang Indonesia kemungkinan besar akan
memiliki gaya adaptasi yang lain dengan orang Brasil, misalnya.
Tapi, mengapa iklim bisa berubah? Iklim tidak mungkin
berubah dengan sendirinya. Yang paling bertanggungjawab atas perubahan iklim
adalah kita sendiri, manusia. Perilaku kitalah yang paling dominan mengakibatkan
iklim berubah, baik itu perilaku kita secara langsung terhadap alam maupun
perilaku kita dalam aspek lain yang secara tidak langsung mempengaruhi keadaan
alam.
Hanya dalam kurun waktu kurang-lebih satu abad, yaitu sejak
akhir abad ke-19, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang
akselerasinya puluhan kali lebih besar ketimbang ribuan tahun peradaban manusia
sebelumnya sejak manusia ada. Ini tentu patut disyukuri. Namun, masalahnya, sekaligus
menariknya, eskalasi perkembangan iptek berbanding lurus pula dengan tingkat
kerusakan alam dan lingkungan. Juga hanya dalam kurun waktu yang sama, terjadi
perubahan ekosistem, biosfer, litosfer, dan hidrosfer dengan tingkat percepatan
yang setara dengan perkembangan iptek. Belum pernah terjadi dalam sejarah
manusia muka bumi berubah se-ekstrem satu abad lebih belakangan ini. Dan
perubahan itulah yang tentunya mengakibatkan iklim ikut berubah.
Jika perilaku kita adalah faktor yang paling menentukan bagi
perubahan iklim, dan dari sekian banyak cara kita dalam beradaptasi terhadap
perubahan iklim, tentu tidak sedikit yang menggunakan iptek, maka patut
dipikirkan, apakah perilaku kita dalam hal beradaptasi itu pun bisa menimbulkan
dampak pula terhadap alam? Dengan kata lain, apakah prosedur-prosedur perilaku
dalam cara kita beradaptasi itu akan pula menstimulus iklim untuk berubah
kembali pada suatu saat?
Terhadap pertanyaan ini, kita harus berani menjawab: ya!
Coba kita lihat contoh sederhana berikut:
Sewaktu udara semakin bertambah panas dan sinar matahari
seolah terasa lebih menyengat, kita jadi makin banyak menggunakan pendingin
ruangan (AC, air conditioner), entah itu di rumah, atau di mobil, atau di mana
saja. Dan kita semua sudah tahu bahwa AC menggunakan freon, dan bahwa freon
(CFC, chloro-fluoro-chloride) adalah “biang keladi” menipisnya lapisan ozon
atmosfer, dan bahwa penipisan lapisan ozon itu mengakibatkan “efek rumah kaca”,
dan bahwa “efek rumah kaca” itu menyebabkan pemanasan global, dan bahwa....
Kita sudah tahu bagaimana “ending”-nya. Ujung-ujungnya: perubahan iklim.
Itu baru satu contoh. Masih banyak lagi contoh yang bisa digali kalau kita mau sedikit meluangkan waktu untuk merenungkan hal ini.
Lalu bagaimana? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Tentu saja
kita harus mengupayakan kebalikannya, yakni melakukan cara-cara beradaptasi
yang tidak akan menimbulkan perubahan iklim selanjutnya. Tapi barangkali ada
yang lebih baik lagi. Bagaimana kalau kita beradaptasi dengan cara yang justru
menghasilkan perubahan iklim yang lebih kondusif, yang lebih baik, atau paling
tidak, kembali pada iklim yang “normal”, maksudnya, iklim yang seperti
sediakala sebelum berubah akibat kerusakan alam dan lingkungan?
Apakah itu mungkin? Bisa saja! Harus, malahan! Kenapa? Sebab, perubahan iklim yang sudah terjadi sekarang ini, selain bersifat destruktif, juga bertendesi degradatif. Artinya, cenderung semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Jikalau kita mendiamkan, atau bersikap pasif saja, atau bahkan yang lebih buruk: terus melakukan cara-cara adaptasi yang lebih mendorong kerusakan terjadi lebih cepat, maka saya tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita di kemudian hari.
Bayangkan ini:
- Menghadapi cuaca yang kian lama kian gerah, kita menemukan
sebuah alat dengan bahan-bahan berikut segala kelengkapannya yang dapat
meringankan ketidaknyamanan kita namun sekaligus juga, secara pelan tapi pasti,
mempengaruhi kondisi lapisan ozon atmosfer sehingga terus memulih.
- Menanggulangi badai hebat yang semakin merajalela di
berbagai belahan bumi yang disebabkan makin tidak menentunya putaran angin akibat
bertambah besarnya kesenjangan perbedaan tekanan udara di bawah atmosfer, kita
akhirnya mampu menemukan cara adaptasi yang selain dapat melindungi kita dari kerusakan
badai tapi sekaligus juga bisa memicu sebuah reaksi antar-unsur di udara yang memperkecil
kesenjangan perbedaan tekanan.
Bukankah kita terangsang untuk membayangkan contoh-contoh “indah”
lain lagi?
Apakah itu mungkin? Bisa saja! Harus, malahan! Kenapa? Sebab, perubahan iklim yang sudah terjadi sekarang ini, selain bersifat destruktif, juga bertendesi degradatif. Artinya, cenderung semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Jikalau kita mendiamkan, atau bersikap pasif saja, atau bahkan yang lebih buruk: terus melakukan cara-cara adaptasi yang lebih mendorong kerusakan terjadi lebih cepat, maka saya tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita di kemudian hari.
Keharusan nan darurat ini berlaku bagi semua kelompok
masyarakat manusia di seluruh dunia, tanpa terkecuali, tidak peduli apapun dan
bagaimanapun gaya adaptasinya. Tidak bisa cuma satu-dua kelompok masyarakat
saja yang mengupayakan perubahan iklim ke arah yang lebih baik itu. Pula, di
tiap kelompok masyarakat, harus semua anggota dari seluruh elemen dan lapisan
terlibat. Ya pemerintah, ya rakyat. Ya pengusaha, ya buruh. Ya kaum
intelektual, ya kaum rohaniwan. Semuanya.
Untuk itu, adalah sangat baik jika ada satu organisasi atau
lembaga yang berfungsi menyatukan visi dari semua kelompok masyarakat di dunia
demi merealisasikan misi idealistis melahirkan perubahan iklim yang baik.
Contohnya Oxfam. Oxfam adalah konfederasi internasional dari tujuh belas
organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan
global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan
akibat kemiskinan. Dengan cakupan yang sudah luas, Oxfam cukup mumpuni sebagai
lembaga yang demikian.
Tapi yang juga amat penting dan perlu kita camkan, perubahan
yang sedemikan mendesak itu haruslah dimulai dari diri kita sendiri mulai dari
sekarang juga. Tidak benar jika kita bisa menyuruh-nyuruh orang lain, terutama
pemerintah, namun diri kita sendiri tidak melakukan apa-apa untuk mulai
memikirkan cara-cara yang efektif bagi terwujudnya perubahan iklim tersebut.
Dan sampai kapan lagi kita mau menunda-nunda idealisme ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar