Sabtu, 02 Maret 2013

Adaptasi terhadap Perubahan untuk Perubahan


Kita, manusia, memiliki kemampuan menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Termasuk terhadap perubahan iklim.

Proses adaptasi kita terhadap perubahan iklim bervariasi dari segi kurun waktu dan tahapan, tergantung dari banyak faktor, seperti budaya dan pola pikir masyarakat tempat kita tinggal. Ada masyarakat yang dapat beradaptasi dalam waktu singkat, hanya memerlukan satu-dua tahun saja, tapi ada yang membutuhkan waktu sampai satu dasawarsa atau lebih. Ada populasi yang cuma melakukan beberapa kali uji coba saja sudah bisa menemukan pola hidup yang cocok dengan iklim yang sudah berubah, namun di tempat lain, populasinya mungkin harus melewati puluhan tahapan coba-coba sebelum akhirnya dapat beradaptasi sempurna.

Proses adaptasi itu sendiri pun berbeda-beda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain. Masing-masing disesuaikan selain dengan budaya dan pola pikir ekslusif masyarakatnya sendiri, juga dengan kondisi alam dan iklim di wilayah tempat masyarakat itu tinggal, serta, yang tak kalah penting, juga dengan corak, nuansa, dan dinamika perubahan iklim di tiap-tiap wilayah, yang pastinya juga berlainan. Orang-orang yang tinggal di daerah tropis tentu akan beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan cara yang berbeda dengan orang yang tinggal di daerah subtropis. Dan walaupun sama-sama tinggal di wilayah beriklim tropis, orang Indonesia kemungkinan besar akan memiliki gaya adaptasi yang lain dengan orang Brasil, misalnya.

Tapi, mengapa iklim bisa berubah? Iklim tidak mungkin berubah dengan sendirinya. Yang paling bertanggungjawab atas perubahan iklim adalah kita sendiri, manusia. Perilaku kitalah yang paling dominan mengakibatkan iklim berubah, baik itu perilaku kita secara langsung terhadap alam maupun perilaku kita dalam aspek lain yang secara tidak langsung mempengaruhi keadaan alam.

Hanya dalam kurun waktu kurang-lebih satu abad, yaitu sejak akhir abad ke-19, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang akselerasinya puluhan kali lebih besar ketimbang ribuan tahun peradaban manusia sebelumnya sejak manusia ada. Ini tentu patut disyukuri. Namun, masalahnya, sekaligus menariknya, eskalasi perkembangan iptek berbanding lurus pula dengan tingkat kerusakan alam dan lingkungan. Juga hanya dalam kurun waktu yang sama, terjadi perubahan ekosistem, biosfer, litosfer, dan hidrosfer dengan tingkat percepatan yang setara dengan perkembangan iptek. Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia muka bumi berubah se-ekstrem satu abad lebih belakangan ini. Dan perubahan itulah yang tentunya mengakibatkan iklim ikut berubah.

Jika perilaku kita adalah faktor yang paling menentukan bagi perubahan iklim, dan dari sekian banyak cara kita dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, tentu tidak sedikit yang menggunakan iptek, maka patut dipikirkan, apakah perilaku kita dalam hal beradaptasi itu pun bisa menimbulkan dampak pula terhadap alam? Dengan kata lain, apakah prosedur-prosedur perilaku dalam cara kita beradaptasi itu akan pula menstimulus iklim untuk berubah kembali pada suatu saat?

Terhadap pertanyaan ini, kita harus berani menjawab: ya!

Coba kita lihat contoh sederhana berikut:
Sewaktu udara semakin bertambah panas dan sinar matahari seolah terasa lebih menyengat, kita jadi makin banyak menggunakan pendingin ruangan (AC, air conditioner), entah itu di rumah, atau di mobil, atau di mana saja. Dan kita semua sudah tahu bahwa AC menggunakan freon, dan bahwa freon (CFC, chloro-fluoro-chloride) adalah “biang keladi” menipisnya lapisan ozon atmosfer, dan bahwa penipisan lapisan ozon itu mengakibatkan “efek rumah kaca”, dan bahwa “efek rumah kaca” itu menyebabkan pemanasan global, dan bahwa.... Kita sudah tahu bagaimana “ending”-nya. Ujung-ujungnya: perubahan iklim.

Itu baru satu contoh. Masih banyak lagi contoh yang bisa digali kalau kita mau sedikit meluangkan waktu untuk merenungkan hal ini.

Lalu bagaimana? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Tentu saja kita harus mengupayakan kebalikannya, yakni melakukan cara-cara beradaptasi yang tidak akan menimbulkan perubahan iklim selanjutnya. Tapi barangkali ada yang lebih baik lagi. Bagaimana kalau kita beradaptasi dengan cara yang justru menghasilkan perubahan iklim yang lebih kondusif, yang lebih baik, atau paling tidak, kembali pada iklim yang “normal”, maksudnya, iklim yang seperti sediakala sebelum berubah akibat kerusakan alam dan lingkungan?

Bayangkan ini:
- Menghadapi cuaca yang kian lama kian gerah, kita menemukan sebuah alat dengan bahan-bahan berikut segala kelengkapannya yang dapat meringankan ketidaknyamanan kita namun sekaligus juga, secara pelan tapi pasti, mempengaruhi kondisi lapisan ozon atmosfer sehingga terus memulih.
- Menanggulangi badai hebat yang semakin merajalela di berbagai belahan bumi yang disebabkan makin tidak menentunya putaran angin akibat bertambah besarnya kesenjangan perbedaan tekanan udara di bawah atmosfer, kita akhirnya mampu menemukan cara adaptasi yang selain dapat melindungi kita dari kerusakan badai tapi sekaligus juga bisa memicu sebuah reaksi antar-unsur di udara yang memperkecil kesenjangan perbedaan tekanan.

Bukankah kita terangsang untuk membayangkan contoh-contoh “indah” lain lagi?

Apakah itu mungkin? Bisa saja! Harus, malahan! Kenapa? Sebab, perubahan iklim yang sudah terjadi sekarang ini, selain bersifat destruktif, juga bertendesi degradatif. Artinya, cenderung semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Jikalau kita mendiamkan, atau bersikap pasif saja, atau bahkan yang lebih buruk: terus melakukan cara-cara adaptasi yang lebih mendorong kerusakan terjadi lebih cepat, maka saya tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita di kemudian hari.

Keharusan nan darurat ini berlaku bagi semua kelompok masyarakat manusia di seluruh dunia, tanpa terkecuali, tidak peduli apapun dan bagaimanapun gaya adaptasinya. Tidak bisa cuma satu-dua kelompok masyarakat saja yang mengupayakan perubahan iklim ke arah yang lebih baik itu. Pula, di tiap kelompok masyarakat, harus semua anggota dari seluruh elemen dan lapisan terlibat. Ya pemerintah, ya rakyat. Ya pengusaha, ya buruh. Ya kaum intelektual, ya kaum rohaniwan. Semuanya.

Untuk itu, adalah sangat baik jika ada satu organisasi atau lembaga yang berfungsi menyatukan visi dari semua kelompok masyarakat di dunia demi merealisasikan misi idealistis melahirkan perubahan iklim yang baik. Contohnya Oxfam. Oxfam adalah konfederasi internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Dengan cakupan yang sudah luas, Oxfam cukup mumpuni sebagai lembaga yang demikian.

Tapi yang juga amat penting dan perlu kita camkan, perubahan yang sedemikan mendesak itu haruslah dimulai dari diri kita sendiri mulai dari sekarang juga. Tidak benar jika kita bisa menyuruh-nyuruh orang lain, terutama pemerintah, namun diri kita sendiri tidak melakukan apa-apa untuk mulai memikirkan cara-cara yang efektif bagi terwujudnya perubahan iklim tersebut. Dan sampai kapan lagi kita mau menunda-nunda idealisme ini?

Tidak ada komentar: