"Kartunet Kampanye Aksesibilitas tanpa Batas". Misi Kartunet
yang bekerja sama dengan ASEAN Blogger Community dan didukung operator selular, XL Axiata, ini sungguh mulia, betul
nggak? Semua orang memang punya hak yang sama. Termasuk untuk akses ke mana-mana.
"Semua orang" ya semua orang. Tua kek, muda kek, lelaki kek,
perempuan kek, orang dewasa kek, anak-anak kek. Termasuk orang dengan
disabilitas juga dong, ya kan! Mereka tuh manusia lho! Sama dengan orang-orang
yang komplet-plet alat-alat tubuhnya, fungsi anggota badannya, juga mentalnya.
Bukannya lantaran mereka punya kelengkapan tubuh dan fungsi yang beda dari
kita, terus mereka jadi "setengah orang", apalagi sampai jadi "bukan manusia".
Ih, jauh-jauhin deh paradigma kayak gitu! Memang kita mau diperlakukan beda?
Nggak 'kan?! Nah, mereka juga. Makanya, kita kudu punya pola pikir yang
memandang mereka sama saja dengan orang-orang lain.
Terus, "akses ke mana-mana". "Ke mana-mana" ya ke mana-mana.
Maksudnya, masuk ke ruang publik manapun, ke tempat umum mana saja. Terutama
yang memang jadi hak semua orang. Jalan raya, pedestrian (trotoar, istilah
umumnya mah!), zebra cross, jembatan
penyeberangan. Sarana angkutan umum, kayak bus, kereta-api, pesawat terbang,
dan kapal laut. Terus juga prasarana angkutan, seperti halte, terminal, stasiun
kereta, bandara, dan pelabuhan. Juga pasar (baik tradisional atau juga
swalayan), rumah sakit, puskesmas, dan yang lain-lain. Pokoknya, semua
fasilitas umum.
Yang namanya "akses", bukan cuma "boleh" masuk, pakai, numpang,
atau naik doang. Nggak, nggak sebatas itu melulu pengertiannya! "Akses" itu
mencakup juga "hak" yang lebih luas. Ya hak untuk dapatkan pelayanan semaksimal
dan seoptimal mungkin, hak untuk nikmati semua kegunaan atau manfaat yang
memang dimaksudkan dari alat atau tempat yang disediakan, tanpa "disunat" alias "terkorupsi" sedikit pun, alias hak buat mendapatkan optimalnya semua
fasilitas, juga hak atas keamanan dan kenyamanan menyeluruh selama lagi pakai
alat-alat atau tempat-tempat itu.
Wah, banyak maunya tuh! Barangkali, banyak orang pikir begitu.
Oh, kagak lah! 'Kan semua yang disediakan itu namanya saja "fasilitas umum".
Jadi, ya sudah hak semua orang buat "memiliki" semua fasilitas itu. Dan memang
semua orang punya hak penuh untuk menggunakan semuanya. Malah, bukan cuma
orang-orang yang jadi warganegara atau warga kota tempat fasilitas itu ada saja.
Orang-orang yang bukan warganegara atau warga kota pun punya hak yang sama lho!
Kalau nggak, namanya jadi bukan "fasilitas umum" dong, tapi mesti diganti jadi "fasilitas khusus warga"! Aneh 'kan?! Nah, terus, berhubung yang disediakan dan
yang punya hak "pakai bin menikmati" fasilitas itu adalah orang, manusia, ya
jelas lah, harus konsekuen! Manusia atau orang itu punya hak. Dan hak yang
paling tinggi itu namanya hak asasi. Nggak ada siapapun atau apapun yang punya
hak untuk mengurangi sedikitpun hak dan hak asasi orang lain! Kecuali Tuhan,
pastinya! So, semua fasilitas itu
kudu dijaga, biar semuanya berfungsi optimal, plus juga bermartabat. 'Kan yang
pakainya itu manusia, dan manusia itu punya martabat. Jadi, barang-barang dan
pelayanan yang kita terima juga harus bermartabat, supaya klop, iya 'kan? Kita
semua mau ‘kan diperlakukan layak kayak begitu? Soalnya, kita semua, manusia
siapapun, memang berhak atas keoptimalan fungsi, kinerja, sampai
keindahan-kenyamanan seluruh fasilitas dan layanan publik. Kita semua ya kita
semua. Sekali lagi, tanpa kecuali lho!
Sayang tapinya ya, kenyataan beda "bumi dari langit" dengan
idealitas. Di kota Bandung nih, tempat aku tinggal, wah, jalan-jalannya mirip
di bulan: banyak lobang, Kawan! Aku juga sering ke Jakarta, karena orangtuaku
tinggal di sana. Apalagi, Sob! Yah, pasti kalian semua sudah pada tahu lah,
gimana Jakarta itu. Belum lagi, di kedua kota itu, di trotoarnya banyak lobang
yang di bawahnya itu got. Sebagian besar got atau saluran air itu cukup dalam.
Mungkin lebih dari 1 meter. Lagian, yah, kalian tahu dong, mana ada yang
namanya got itu airnya bersih! Penuh sampah dan (maaf ya!) kotoran manusia dan
binatang iya! Nah, lobang-lobang itu nggak dikasih tutup. Bayangkan, apa nggak
bahaya tuh?! Di Jakarta sih aku belum pernah mengalami celaka karena
lobang-lobang itu. Tapi di Bandung sini, pernah tuh, waktu pertama kali datang,
aku jatuh gara-gara lobang. Bukan di trotoar sih, tapi di jalan. Tapi lobang
itu memang posisinya pas menempel di trotoar. Jadi, kalau pejalan kaki tidak
melihatnya, apalagi kalau tertutup genangan air, bisa-bisa kayak aku, kena
celaka! Untungnya (nah, inilah hebatnya orang Indonesia! Semua masih punya sisi "untung", hehe...!), itu bukan lobang yang di bawahnya got, tapi "cuma" jalanan
bocel alias sompal. Tapi, tetap saja, "kawah"-"kawah" mini kayak gitu sangat
mencelakakan. Aku bersyukur, waktu itu aku cuma jatuh ringan, jadi cuma kena
lecet-lecet sedikit doang di tangan dan lutut. Waktu itu kejadiannya malam.
Memang pas musim hujan juga, jadi lobang itu tertutup genangan. Tapi, nah ini
satu masalah lagi, jalan itu gelap sekali, Sob! Nggak ada lampu jalan! Orang
pejalan kaki paling-paling cuma terbantu sama lampu-lampu dari rumah-rumah dan
gedung-gedung di sekitar. Itu juga 'kan samar, karena jauh dan nggak seberapa
besar dayanya. Yah, Bandung itu memang jarang banget ada lampu jalan.
Nah, kurangnya lampu jalan kayak gitu juga mengurangi keoptimalan
fungsi fasilitas umum, iya 'kan? Apalagi, keamanan dan kenyamanan jadi terancam
karenanya. Terus juga, sampah-sampah. Banyak 'kan berceceran di trotoar,
jalanan, angkutan umum, tempat-tempat umum, yang bikin kita jadi merasa tidak
nyaman. Pandangan mata terganggu, nafas dan penciuman terganggu, kulit rasanya
risih, selera makan apalagi. Apalagi, kalau ada sampah kulit pisang atau
kantong plastik licin. Wah, itu juga bahkan bisa bikin celaka kalau terinjak,
iya nggak?! Belum lagi dengan berjibunnya tukang-tukang jualan di sepanjang
trotoar, bahkan yang sampai memakan bahu jalan, dan malah ada pasar yang sampai
meluas ke tengah jalan juga! Aduh, aduh!! Kita merasa hak kita dilanggar ya,
Teman?!
Wah, banyak deh kalau mau disebutkan satu persatu! Perlintasan
rel kereta-api yang nggak ditutup palang dan nggak ada sinyal peringatan, kondisi
kendaraan umum yang sudah nggak layak, sambungan pada lantai jembatan
penyeberangan yang lepas-lepas sehingga bikin "doyot". Dan yang lain-lain lagi.
Nggak enak ya? Tapi, barangkali kita lama-lama jadi kebal juga. Perbaikan yang
nggak kunjung terwujud bikin kita jadi membentuk "kapalan" pada hati. Lama-lama
itu semua kita anggap lumrah. Dan itu betul-betul disayangkan. Karena kita
nggak peduli lagi jadinya. Apatis. Akhirnya, sudah kayak nggak ada lagi orang
yang punya inisiatif buat memperbaiki. Atau, paling nggak, bersuara lah!
Bersuara untuk mengingatkan, bersuara untuk menyadarkan. Ya mengingatkan diri
kita sendiri kalau keadaan-keadaan itu sebetulnya salah, nggak benar, nggak
baik. Ya menyadarkan diri kita sendiri terus kalau kita mestinya nggak jadi
betah dengan semua itu, selalu gerah dan risih, supaya kita jadi ikut mikir,
gimana solusinya.
Aku jadi kebayang, kalau aku dengan anggota dan fungsi tubuh
relatif lengkap saja sudah nggak merasa aman dan nyaman, apalagi
saudara-saudara kita yang menyandang disabilitas ya? Kalau aku yang bisa
melihat saja sudah terancam bahaya dan malah sudah juga kena celaka, gimana
dengan mereka yang punya disabilitas netra ya?
Yah, aku sih nggak mau sampai terjadi apa-apa sama anggota
dan fungsi tubuhku. Ya, siapa juga yang mau kehilangan semua yang berharga itu.
Setuju? Tapi, aku coba tempatkan diriku di posisi kaum disabilitas. Alangkah
nggak tenangnya aku tiap kali mau keluar rumah! Di sana-sini aku terancam
terperosok lobang kalau aku punya disabilitas penglihatan. Jalan di trotoar
hampir pasti tabrak sana tabrak sini. Karena nyaris sudah nggak ada tempat lagi
di trotoar, aku terpaksa jadi jalan di jalan raya. Biarpun di pinggiran, karena
nggak mungkin juga 'kan aku mau jalan ke tengah jalan, tapi tetap saja
berbahaya. Apalagi, bukannya nggak mungkin aku lama-lama melenceng, menjauh
dari pinggir, terus makin lama makin ke tengah. Itu baru jalan biasa. Kalau mau
nyeberang? Lebih susah lagi! Nggak tahu di mana zebra cross. Di mana jembatan penyeberangan, juga bingung carinya.
Kalaupun tahu letaknya, nah, tetap saja, "gimana nyeberangnya?!" Wong kendaraan-kendaraan pada ngebut
gitu! Yang mau bantu sekarang sudah jarang. Lagian, aku nggak boleh bergantung
pada bantuan. Tapi, ya itu tadi, gimana cara mengaksesnya? Mau pakai jembatan
penyeberangan, takutnya nanti sama kayak di jalan, kejeblos lobang, berhubung
banyak lantai jembatan yang rusak dan menganga. Belum kalau masuk terminal atau
bandara atau stasiun atau pelabuhan. Bingung cari loket. Lebih-lebih cari letak
kereta-api atau kapal laut atau gerbang menuju pesawat yang kumaksud. Kalau
tanya-tanya orang, pasti makan banyak waktu juga.
Lalu, kalau aku mengalami disabilitas pendengaran, gimana
juga? Kalau aku lagi jalan kaki di pinggir jalan, berhubung nggak bisa di
trotoar karena habis terpakai lapak-lapak jualan, aku nggak bisa dengar bunyi
klakson dari kendaraan di belakang. Siapa tahu, kendaraan itu ngebut. Karena
aku nggak dengar, aku jadinya nggak menghindar. Padahal, si pengendara pikir,
aku bakal langsung menghindar begitu dia bunyikan klakson, jadi dia tetap saja
tancap gas lurus. Waduh!!! Nggak mau bayangin lebih jauh deh!! Dan kalau aku
misalnya mau naik kereta-api atau pesawat atau kapal laut, bisa-bisa nyaris
selalu aku bakal ketinggalan. Masalahnya, kalau mereka mau berangkat, pasti ada
pengumumannya lewat corong pengeras suara 'kan. Tapi gimana aku bisa tahu, wong aku nggak bisa dengar?!
Kemudian, gimana juga seandainya aku punya disabilitas
daksa? Kalau tungkai-kakiku nggak berfungsi, gimana aku naik jembatan
penyeberangan? Apalagi kalau aku pakai kursi roda. Pakai zebra cross? Bahaya!
Susah sekali di zaman sekarang ini cari orang yang mau sabar menunggu orang
dengan disabilitas daksa menyeberang. Jangankan itu, terhadap orang yang bisa
berjalan normal saja kalau menyeberang nyaris tidak ada yang mau menggubris,
tetap saja larikan kendaraan dengan kencang, tidak mau tunggu sampai si
penyeberang tiba di seberang. Belum lagi kalau naik kendaraan umum. Gimana
caranya aku masuk angkot? Gimana aku bisa naik ke atas bus atau kereta atau
kapal laut? Gimana aku menaiki tangga pesawat? Apalagi kalau aku pakai kursi
roda?! Pintu-pintu kendaraan, apalagi angkot, bus, dan kereta-api, bisa dipastikan
nggak akan muat dilewati kursi roda.
Tapi, kita kudu adil juga, Sob! Ada juga sih fasilitas umum
yang agak mendingan. Di satu-dua lampu merah, baik di Bandung maupun Jakarta,
aku pernah mendapati rambu dan lampu pengatur lalu-lintas yang memberi isyarat
supaya pengendara mengutamakan para penyeberang jalan yang menyandang
disabilitas, meski, yah, sedihnya, kita tahu sendiri 'kan, sedikit banget yang
menaati. Yang mungkin agak mencolok itu toilet-toilet yang ada di tempat-tempat
dan fasilitas-fasilitas umum. Mal-mal, rumah-rumah sakit, hotel-hotel, dan
pesawat sudah banyak melengkapi toiletnya dengan yang bisa diakses penyandang
disabilitas dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya, terutama disabilitas
daksa dan lansia. Bus Trans-Jakarta juga mengisyaratkan supaya kaum penyandang
disabilitas, lansia, dan wanita hamil diprioritaskan buat mendapatkan tempat
duduk, biarpun, sekali lagi, mirisnya, masih sedikit sekali dipatuhi.
Tapi nggak apa-apa! Itu sudah modal yang bagus. Kita mesti
mati-matian berusaha menjaga supaya yang sudah sangat sedikit itu jangan sampai
hilang. Malah, kita kudu berjuang buat meningkatkan lagi. Terus dan terus lagi.
Biar jumlahnya bertambah, jenis-jenisnya juga semakin beragam, dan kualitasnya
juga makin membaik. Dan yang paling penting, bagaimana supaya pelanggaran,
penyalahgunaan, dan penyia-nyiaan terhadap semua kebaikan itu bisa makin
sedikit sampai jadi hilang sama sekali.
Aku membayangkan, di Indonesia ini, bahkan di seluruh dunia,
jalan-jalan raya semuanya mulus, nggak ada lobang-lobang, malahan yang
kasar-kasar dan rigi-rigi sedikit juga nggak ada. Juga semua trotoar begitu.
Mulus plus bebas pedagang dan lapak dagangan, karena semua pedagang jualan di
lokasinya yang khusus, nggak liar dan bertebaran sembarangan. Nggak ada sampah
di manapun, apalagi yang sampai membahayakan pejalan kaki kayak kulit pisang
dan plastik licin. Drainase-drainase berjalan bagus sekali, jadi nggak ada lagi
genangan air pas musim hujan, apalagi banjir. Nggak ada lobang-lobang bekas
galian menganga, semuanya ditutupi rapat-rapat. Lampu-lampu jalan bercahaya
terang banyak berjejer di pinggir jalan-jalan, semuanya berfungsi baik, jadi di
waktu malam, jalan-jalan terang, nggak berbahaya buat dilewati.
Aku juga bayangkan, semua perlintasan rel kereta punya
palang pembatas, sinyalnya berbunyi kencang, ada petugas di semua tempat itu,
dan semua peralatan berfungsi sebagaimana mestinya. Jembatan penyeberangan
mulus lantainya, nggak ada lobang dan celah sedikitpun, bahkan dilengkapi sama
semacam eskalator buat naik-turun. Di semua lampu merah dan zebra cross, ada lampu pengatur
penyeberangan, yang kasih waktu cukup lama buat penyeberang jalan menyeberang
tanpa kudu buru-buru; semua pengendara juga patuh, nggak ada yang nyerobot
waktu orang lagi menyeberang; malah kalau perlu, ada semacam palang yang bisa
otomatis naik dari bawah jalanan waktu lampu lagi menyala hijau untuk
penyeberang, terus turun otomatis juga kembali ke balik aspal pas lampu
penyeberang menyala merah, supaya nggak ada pengendara bandel yang ngeloyor
terus waktu penyeberang lagi dikasih waktu buat menyeberang. Dan di
tempat-tempat penyeberangan itu, bahkan juga di jembatan penyeberangan, ada
pengeras suara yang memberi tanda berupa suara bicara orang atau bunyi sinyal
tertentu, yang menandakan dengan jelas di mana tepatnya tempat penyeberangan
itu, juga memberitahu kapan orang boleh menyeberang, kapan penyeberang harus
menunggu, dan berapa detik lagi kesempatan orang buat menyeberang.
Terus, aku bayangkan lagi, di stasiun-stasiun kereta-api,
terminal-terminal bus, pelabuhan-pelabuhan, dan bandara-bandara ada banyak
papan digital, yang menyala terang dengan tulisan besar-besar yang memberitahu
kalau ada bus, kereta, kapal, atau pesawat yang mau berangkat, berapa menit
lagi berangkatnya, dan di mana naiknya. Selain itu, berbarengan dengan
munculnya tulisan itu, ada juga suara lewat pengeras suara di dekat papan
digital itu, yang kata-katanya pas sama dengan tulisan yang ada di papan
digital. Tangga menuju pesawat dan kapal laut juga dilengkapi semacam
eskalator, atau juga elevator (lift), dan pintu-pintu pesawat dan kapal dibuat
dua kali lebih lebar supaya kursi roda bisa masuk.
Wah!! Aku baru membayangkan beberapa saja. Barangkali ada di
antara kalian yang bisa tambahkan? Coba, kalau yang aku bayangkan itu saja bisa
benar-benar jadi kenyataan! Betapa jauh lebih aman dan nyamannya kita! Terutama
saudara-saudara kita yang menyandang disabilitas! Penyandang disabilitas netra
bisa tahu di mana tempat penyeberangan dan bisa menyeberang dengan aman. Juga
bisa naik kendaraan apapun tanpa takut. Penyandang disabilitas rungu nggak
bakalan terlambat atau ketinggalan kendaraan. Penyandang disabilitas daksa dan
kaum lansia juga bisa mengakses jembatan penyeberangan dan tangga kapal/pesawat
dengan gampang, juga bisa menyeberang dengan tenang. Pokoknya, banyak membantu
deh! Apalagi, dengan tambahan-tambahan dari ide kalian!
Semua itu bukan idealisme kosong lho! Bukan utopia juga.
Semua itu membumi kok! Nggak mustahil. Yang penting, kitanya ada niat dan kemauan
apa kagak. Kita semuanya, tanpa kecuali, mau ikut berperan dan berpartisipasi
mewujudkan itu apa nggak. Toh, itu semua 'kan buat kita-kita juga, juga buat semua
orangtua, saudara, sanak-famili, teman, orang terdekat, pacar, suami, isteri, dan
siapapun juga yang kita kasihi, yang mungkin punya disabilitas. Caranya? Yang
terutama, kita kudu ikut jaga dan rawat baik-baik fasilitas umum. Peduli lah,
tapi jangan terlalu sedikit juga pedulinya. Apalagi sampai ikut-ikutan merusak,
wah, kita wajib mengharamkan itu! Kalau kita lihat ada yang mulai rusak, mulai
nggak optimal fungsi dan tampilannya, kita laporkan ke dinas terkait. Tapi
kalau kita sendiri bisa tangani, kita punya kemampuan, kenapa nggak langsung
saja kita yang perbaiki, iya 'kan? Terus juga, kita mesti peduli sama sesama.
Terutama pada kaum dengan disabilitas dan lansia. Bantu mereka menyeberang kek,
bantu kasih tahu kek kalau kita tahu ada penyandang disabilitas rungu yang lagi
menunggu pesawat dan ternyata pesawatnya sudah mau berangkat. Ya, yang semacam
itulah. Kemudian, kalau kita berjualan, kita kudu cari tempat yang memang
dimaksudkan buat jualan. Jangan deh kepikiran buat jualan di trotoar, karena
selain itu melanggar peraturan, melanggar hak orang lain, keselamatan kita
sendiri juga jadi terancam lho, iya 'kan? Dan kalau kita punya wewenang, kita
jadi pejabat, bikin deh semua fasilitas yang keren, yang bukan cuma berfungsi
normal saja, tapi juga bermartabat, semaksimal mungkin kasih kemudahan dan
kenyamanan buat orang banyak. 'Kan kita juga yang nikmati, betul? Bukan pakai
uang kita sendiri ini toh? Jadi, kenapa keberatan? Juga buat bikin anggaran
perbaikan, itu kudu tuh. Kita, yang punya jabatan dan kekuasaan, wajib punya planning bukan cuma buat bikin atau beli
sesuatu fasilitas, tapi juga buat pemeliharaannya. Juga harus rajin banget
ngecek ke lapangan, bagaimana kondisi fasilitas, soalnya kita mesti pastikan
semua itu tetap optimal fungsi dan estetikanya.
Pokoknya, kesimpulannya, kita semua harus ikut ambil peran
dan bagian. Sekali lagi, ini 'kan buat kita sendiri dan para kekasih kita, juga
buat sesama kita, manusia, iya 'kan? Dengan menulis kayak gini, ikut Kartunet
kampanye aksesibilitas tanpa batas bersama ASEAN Blogger Community dan XL Axiata lewat tulisan kayak gini,
berarti kita juga sudah ikut ambil satu peran. Kalau bisa sih, lebih lagi
sumbangsih kita. Supaya semua orang, tanpa satupun terkecuali, penyandang
disabilitas atau bukan, bisa menikmati "menjadi manusia", istilah kerennya,
lewat kondisi aksesibilitas tanpa batas itu. Amin!!!
Aku mau. Kamu??
2 komentar:
mantap reviewnya sob.. kita harus dukung terus aksesibilitas tanpa batas...
silakan baca juga artikel saya tentang ultrabook terbaru :)
Posting Komentar