Mengapa semua tanya kuserahkan pada kehampaan?
Aku yang tersuruk tak mau lagi terpuruk!
Hijaunya luka kutanya:
Kapankah engkau berhenti berdendang?
Nanah itu sontak merekahkan rengutan,
Tak senang rianya menyiksaku terhadang.
Tapi aku tak menyerah dalam pasrah:
Kutarik semua rengkuhan pedih sampai menjerit,
Jerit yang berakhir dalam ketakpedihan.
Gemintang dalam ujung minggu
Menceritakan nostalgi yang tak kuingin dekap;
Sejelas mentari kemarin pagi mengejekku,
Begitu mereka juga coba meremas duka-sesalku.
Namun sudah kuputuskan:
Takkan kembali aku pada hidup nun jauh dari segala yang benar!
Tetapi kuakui segan:
Malangku tetap menetap, mengendap kalap dalam ratap,
Dalam nasib yang oleng,
Terhadap esok nan balau bagi pandang.
Tapi aku tidak ingin menggurah pasrah!
Sudah cukup!
Tiada arti hari lalu terus kupelihara.
Saatku telah tiba untuk mendirikan kembali laguku,
Lagu yang menghidupi hari-hari depanku
Dalam aroma kepatuhan pada pemilikku.
Sang tuan tak ingin kukembali pada kesia-siaan,
Pun tidak pada ketelanjuran.
Untuk itu aku mereguk kekuatannya
Untuk mengayuh kembali hasratku
Yang terkoyak empasan kenyataan;
Dan sedih 'kan kutepis,
Sesal kusiksa hingga ia menyesal;
Dan keceriaan 'kan kupanggil.
Jika dia tak menyahut,
Pasti kuseret dalam jemputku merengkuh
Agar dia tak lagi berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar