Selasa, 26 Oktober 2010

Surat Rindu untuk Papa

Papa tersayang,

Apa kabar Papa di sana? Saya yakin, Papa tetap berjaya, Papa tidak akan mungkin tergoyahkan, karena Papa punya kekuasaan & kekuatan yang tiada tara, yang tak satupun sanggup menyamai. Kalau saya, sebagaimana Papa tahu, sedang gundah.

Berbagai kebodohan saya lakukan selama ini; dan sekarang saya menuai akibatnya. Segala waktu & momen berharga saya sia-siakan. Hidup ini saya penuhi dengan kekosongan semata. Malah, saya tetap berkanjang dalam kenajisan, padahal saya sudah berjanji berkali-kali untuk menuruti nasehat Papa, tidak mau mengecewakan Papa; tapi, Papa sendiri tahu, betapa saya setiap kali segera saja melupakan janji-janji itu dan kembali membuat Papa bersedih, marah, murka; sehingga, yah, beginilah keadaan saya: terpuruk dalam penyesalan dan kesesakan.

Saya tahu, saya jarang menghubungi Papa. Setiap kali saya menghubungi Papa itu pasti hanya karena saya dalam kesulitan, seperti sekarang ini. Sebenarnya saya malu menyurati Papa lagi. Anak durhaka saya ini. Anak tidak tahu diri. Rasanya saya sudah tidak pantas lagi disebut anak Papa.

Papa sudah sedemikian baik mengadopsi saya, memberi status paling terhormat sebagai anak Papa, melenyapkan kehinaan keadaan saya yang dulu sudah tanpa pengharapan karena menjadi yatim-piatu yang malang; ditambah lagi Papa sudah membebaskan saya dari perbudakan para penjahat yang dulu sempat bertahun-tahun menguasai seluruh hidup & keberadaan saya.

Papa tunjukkan kejeniusan Papa, Papa demonstrasikan kemurahan & cinta kasih Papa, malah Papa tidak segan-segan mengorbankan perasaan Papa sendiri, karena saat itu, demi untuk membebaskanku dari jerat tanpa ampun kaum penjahat itu, Papa mengutus Abang, anak kandung Papa sendiri satu-satunya.

Sebagai penguasa negeri, Papa menghendaki lenyapnya semua yang jahat dari negeri ini. Dan karena aku ketika itu termasuk dalam komplotan musuh negeri, musuh Papa, meski itu di luar keinginanku sendiri, maka otomatis aku pun terhitung sebagai musuh Papa. Tapi entah bagaimana, Papa yang membenci kejahatan, justru menyayangi saya! Papa tidak ingin melenyapkan saya. Bahkan, Papa ingin saya menjadi anak Papa.

Saya tidak mengerti waktu itu, dan sampai sekarang pun masih tidak mengerti, apa yang membuat Papa sayang pada saya. Saya sudah kadung jahat, Papa, akibat dari lahir saya sudah dalam penguasaan sang bandit. Tapi Papa tetap berkeraskepala, menginginkan saya. Papa tidak bisa mengorbankan integritas Papa sebagai hakim & pembuat hukum negeri. Karena itu, Papa tidak mungkin melepas para kriminal. Jadi, seharusnya saya mati di tangan Papa, demi menegakkan kebenaran & keadilan.

Tapi, di situlah saya terkagum-kagum pada ide brilian Papa, tapi sekaligus terharu. Bagaimana tidak? Untuk mengatasi dilema itu, Papa mengorbankan Abang! Dalam pengadilan, Abang mengakui semua kejahatan saya, sedangkan kesempurnaan moral dan kesetiaan Abang diperhitungkan sebagai milik saya. Konsekuensinya, Abang-lah yang harus dihukum mati, membayar utang keadilan Papa!

Sebegitu cintanya Papa pada saya. Dan betapa luar biasa terkejut saya, kala mendengar bahwa apa yang Papa lakukan terhadap saya itu Papa lakukan juga pada jutaan penduduk negeri yang lain, karena ternyata, seluruh negeri sudah dikuasai oleh para penjahat.

Oh, Papa, Papa!!! Mengapa Papa mau melakukan itu? Bukan karena aku meragukan cinta kasih Papa saya bertanya, melainkan karena saya tidak pernah berhenti terheran-heran. Sebaliknya, rasa syukur & terimakasih saya tidak akan pernah berhenti untuk Papa dan untuk Abang, anak tersayang Papa.

Dan saya lebih bersyukur lagi, karena ternyata Abang hidup lagi!

Ya, Papa dan Abang-ku yang tak pernah berhenti membuat kejutan, kalian tak pernah berhenti melakukan keajaiban, membuat kami-kami ini, yang telah kalian angkat menjadi anggota keluarga, terkagum-kagum!

Tapi, Papa, justru karena itu saya sekarang diliputi rasa bersalah. Status saya terhormat, di mata hukum saya tidak bercacat berkat pengorbanan Abang yang sudah jadi tumbal. Semua yang Papa punya Papa limpahkan semua sebagai milik saya juga, bahkan diri Papa & Abang pun sudah Papa serahkan. Kapanpun saya butuh Papa & Abang, kalian selalu siaga. Semua fasilitas Papa anugerahkan pada saya. Tapi, setelah semua itu, saya malah balik kembali pada perbuatan-perbuatan yang Papa & Abang benci. Saya kembali berbuat seolah-olah saya masih menjadi anggota komplotan pemberontak itu.

Hati & tangan saya sudah jadi milik kalian, dan Papa amanatkan kembali pada saya supaya saya gunakan untuk melayani Papa & Abang, serta untuk menjadi manfaat buat saudara-saudara yang lain maupun untuk berbelas kasihan pada orang-orang yang masih berada dalam belenggu kaum penjahat. Namun semua saya kotori dengan hal-hal yang menentang kalian, yang kalian sangat benci, seperti percabulan, kemalasan, kesombongan, perzinahan, keegoisan.

Papa juga selalu rindu bercengkerama dengan saya. Tapi saya selalu mengabaikan Papa. Padahal Papa & Abang sudah mewanti-wanti, hanya dengan sebanyak mungkin bercengkerama dengan kalianlah saya mendapat kemampuan menampik semua kejahatan.

Papa, saya menyesal. Masih bisakah saya Papa ampuni? Masih bolehkah saya menghadap dan berbicara pada Papa? Masih layakkah saya meminta kemurahan Papa?

Tapi ke mana lagi saya bisa pergi? Hanya Papa & Abang yang saya punya! Ayah kandung saya sudah lama kembali ke istana Papa; ibu & saudara-saudara kandung saya tak mampu menghibur dan menghapus kesalahan yang bertumpuk ini. Cuma Papa & Abang yang bisa.

Papa, saya tidak akan pernah lupa kata-kata Papa: "Nak, tiap kali kau butuh Papa & Abang, panggil saja. Kami akan segera mendapatkanmu, memelukmu dalam dekapan kami. Dan tiap kali kau berbuat salah, kami akan menghajarmu sampai kau jera. Tapi ingatlah, itu untuk kebaikanmu sendiri, supaya kau belajar hidup selayaknya seorang bangsawan terhormat, penuh jiwa luhur nan kesatria, seperti abang sulungmu, anak kandungku ini. Dan setiap kali kamu kami hajar, ingatlah juga, kami tetap sayang padamu. Kamu tetap anak Papa, adik abangmu. Kau tetap keluarga kami. Jangan lari ya, Sayangku! Jangan pernah tinggalkan kami, karena kami juga takkan pernah meninggalkan & membuangmu. Hanya saja, jangan pernah meremehkan kasih kami!"

Karena itulah sekarang saya menyurati Papa, karena saya percaya kata-kata Papa & Abang.

Inilah diri saya, Papa, Abang. Saya menyerah dalam didikan kalian, sebab saya mengerti, Papa & Abang ingin saya sempurna, sama seperti kesempurnaan kesucian kalian.

Ngomong-ngomong, Papa, kapan saya bisa selamanya bersama Papa? Di sini saya sudah tidak betah. Tapi kalaupun Papa masih menghendaki saya tetap di sini, saya patuh. Saya yakin, Papa tetap mengawasi, menjagai, dan menyertai langkah saya. Tolong, Papa, Abang, saya tidak ingin mengecewakan kalian lagi, saya mau melakukan apa yang kalian perintahkan, karena untuk itulah makna diri saya, dan untuk itulah kalian berkorban.

Sekian dulu surat Ananda, Papa.

Saya akan menghubungi Papa & Abang lagi sesering mungkin.

Terimakasih, Papa, untuk semua kebaikan Papa.



Hormat dan takzim saya untuk Papa

Dalam nama Abang, anak Papa yang terkasih



Samuel Edward

Tidak ada komentar: