Minggu, 10 Oktober 2010

BISNIS RITEL MAKANAN: TULANG PUNGGUNG POTENSIAL PEREKONOMIAN MAKRO DAN MIKRO DI INDONESIA

Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa, termasuk kekayaan bahan pangan. Ditambah lagi, suku, etnis, ras, dan sub-etnis bangsa kita ini begitu beragam, membentuk budaya, kebiasaan, dan selera yang juga amat variatif. Kombinasi dua inventaris itu saja sudah cukup untuk melahirkan kelimpah-ruahan citarasa kuliner. Semua daerah berbagi beberapa ragam bahan makanan dan bumbu yang sama. Tapi masing-masing daerah pun memiliki berbagai bahan dan bumbu yang unik. Alhasil, ada banyak jenis masakan yang hampir mirip di seluruh wilayah Indonesia, namun lebih banyak lagi yang khas bagi tiap daerah. Belum lagi, bila kita mencoba dengan teliti, masakan-masakan yang dikenal di semua daerah itu ternyata tidak benar-benar mirip. Ini dikarenakan tiap suku, etnis, dan ras memiliki selera yang berbeda-beda. Nasi goreng, contohnya, dikenal di seluruh pelosok tanah air. Tapi bandingkan saja nasi goreng di tanah Pasundan dengan nasi goreng di ranah Minang. Pasti rasanya tidak akan sama. Perbedaan falsafah, budaya, adat, dan kebiasaan ternyata mutlak berpengaruh terhadap pemilihan serta penyiapan bahan dan bumbu, cara mengolah, hingga penyajian makanan. Untuk lebih memperjelas lagi betapa tak terhingganya kekayaan kuliner bangsa kita, satu kelompok masyarakat, ambil contoh: kampung, dengan kampung lain, yang masih berada dalam wilayah yang sama, dari suku atau etnis yang sama, yang masih memegang adat, kepercayaan, dan budaya yang sama, ternyata dapat memiliki cara penyikapan terhadap makanan yang berbeda! Lebih jauh lagi, dalam kampung yang sama, pada suku dan etnis yang sama, untuk satu jenis masakan yang sama pula, ternyata cara memasak dan penyajian pada satu keluarga sangat mungkin berbeda dengan keluarga lain! Ini bukan mengada-ada. Mudah sekali kita lakukan percobaan. Pilihlah satu tetangga yang satu suku dengan Anda. Bersepakatlah untuk pada hari yang sama memasak sayur asem. Lalu, saling mencobalah sayur asem Anda itu dengan punya mereka. Dan Anda akan tahu apa yang dimaksud. Jadi, betapa sesungguhnya kuliner itu merupakan potensi perekonomian yang sangat besar bagi bangsa kita! Negeri kita bukan hanya surga bagi para penikmat kuliner; negeri kita juga adalah surga bagi pengusaha kuliner.

Akan tetapi, sayangnya, kenyataan tidak sejalan dengan ekspektasi dan perhitungan di atas kertas. Memang, bisnis ritel makanan amat menjanjikan. Tapi, untuk dapat dikatakan optimal, masih terlampau jauh. Banyak sekali faktornya. Dari yang bersifat non-teknis, sampai yang sangat teknis; yang bersifat pribadi, hingga yang kolektif-komunal; yang bersifat praktis, hingga yang birokratis; yang bersifat situasional, sampai yang operasional.

Kita akan mengupas faktor-faktor itu satu per satu terlebih dahulu. Setelah itu, baru kita akan coba cari pemecahannya.

Pertama-tama, faktor-faktor kendala tersebut dapat kita masukkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas faktor-faktor non-teknis, pribadi, praktis, dan situasional. Sedangkan kelompok kedua berisi sisanya: yang teknis, kolektif-komunal, birokratis, dan operasional. Penggolongan dalam dua kelompok itu disebabkan faktor-faktor yang dimasukkan dalam satu kelompok itu saling bertumpang-tindih dan mirip satu dengan yang lain, sehingga sukar sekali dibedakan, mana yang non-teknis, mana yang pribadi, mana yang praktis, dan mana yang situasional dalam kelompok yang satu, serta mana yang teknis, mana yang kolektif-komunal, mana yang birokratis, dan mana yang operasional di kelompok lain.

Kita mulai dari kelompok pertama. Sudah begitu pelak, bangsa kita memiliki etos kerja yang buruk. Kita juga memiliki sedikit saja porsi jiwa bersaing. Masyarakat kita kurang berdaya juang tinggi. Sungguh kombinasi yang tidak ekonomis, tidak kondusif untuk bisnis! Ini diperparah dengan tidak adanya visi dan motivasi yang jelas; kalau pun ada, komitmen yang kuat dan ketekunan yang teguh untuk mewujudkannya tidak dimiliki. Kita juga masih menderita kurang disiplin yang kronis, kurang menghargai waktu dan kesempatan, rasa inferioritas yang tidak pada tempatnya, serta kurang inovatif. Cuaca buruk sedikit saja sudah cukup membuat banyak orang malas pergi bekerja. Berdagang, dan usaha apapun, hampir tidak mungkin dari awal sudah langsung lancar, besar, dan sukses. Tapi banyak pedagang yang baru mencoba berdagang beberapa hari, namun tidak laku, sudah menyerah duluan; tidak ada usaha menemukan cara-cara baru, tidak ada tekad untuk terus mencoba dan mencoba lagi. Sering kita dengar, banyak orang menempuh usaha yang justru tidak semestinya dilakukan, yakni mencari jalan pintas untuk meraih sukses, baik yang berbau takhyul maupun yang secara brutal dan vulgar.

Kemudian, pada faktor yang kedua. Kenaikan harga-harga bahan pokok sangat signifikan menyulitkan para pelaku dunia usaha, istimewanya yang bergerak di bidang usaha boga. Di satu sisi, jika harga jual kepada konsumen tidak dinaikkan, keuntungan berkurang banyak, bahkan bisa-bisa malah merugi. Di sisi lain, jika dinaikkan, konsumen akan lari. Prosedur memperoleh perizinan masih jauh berbeda antara teori dengan praktek di lapangan. Berbagai pungutan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sertifikasi halal MUI diharuskan. Namun, prosedur yang diberlakukan LPPOM-MUI terkesan masih terlalu panjang dan berbelit, serta memakan biaya yang tidak sedikit, antara 200 ribu hingga 2 juta rupiah. Kendati Wakil Presiden Boediono, dalam acara pembukaan Indonesia International Halal Business & Food Expo di JCC 23 Juli 2010 yang lalu, meminta semua pihak terkait agar tidak mempersulit proses perolehan sertifikat halal tersebut, dan Ketua MUI, Amidhan, berkomitmen untuk tidak mempersulit dan bahkan untuk menggratiskannya bagi para pelaku UKM, dalam kenyataannya, semua itu nyaris tidak terwujud. Belum lagi banyak peraturan daerah yang dirasa menutup ruang gerak para pedagang makanan eceran. Pedagang kecil sungguh tidak mempunyai kekuatan, dan salah satu sebabnya adalah tidak adanya daya negosiasi akibat tidak adanya asosiasi yang betul-betul representatif.

Sekarang, kita akan pikirkan jalan keluarnya. Langkah pertama yang mendesak adalah perubahan paradigma dan perilaku diri kita sendiri. Tidak ada gunanya menutup-nutupi, dan tidak berguna juga saling menyalahkan antara berbagai pihak. Kita harus cukup berjiwa besar mengakui kesalahan dan kelemahan. Dari situ, kita dapat, dan semestinya, mengambil langkah dari awal kembali. Kita perlu mereorganisasi diri dan pekerjaan kita. Sebagai pengusaha ritel makanan, kita perlu memiliki motivasi dan visi yang jelas terlebih dahulu, apa tujuan kita menempuh usaha tersebut, apa sasaran kita. Adalah kurang sekali jika kita memilih menjadi pengusaha makanan hanya dengan alasan untuk sekadar bertahan hidup. Baik sekali memiliki visi yang sejauh mungkin. Jika kita membuka usaha di bidang kue-kue kering, berangan-anganlah menjadi pengusaha kue kering yang memiliki toko yang besar, yang menjual kue-kue yang unik dan enak, yang tidak dijual di tempat lain, sehingga banyak dicari orang. Miliki mental seorang pengusaha besar. Tanamkan dalam diri kita bahwa kita sama dengan orang lain, tidak lebih rendah. Itulah motivasi yang besar. Dari visi yang tinggi dan motivasi yang besar, kita kemudian bergerak selangkah demi selangkah. Tentukan target jangka pendek, per hari, per minggu, per bulan, dan per tahun, berapa omzet yang hendak dicapai. Lalu atur strategi yang benar dan baik untuk mencapainya. Pikirkan langkah-langkah dengan matang. Tidak perlu tergesa, tapi juga jangan menunda-nunda. Setelah keputusan kita bulat, konkretkan. Setelah berjalan beberapa lama, lakukan evaluasi, apa yang belum secara konsekuen kita jalankan, apa yang sudah kita jalankan tapi belum berhasil, dan apa yang sudah berhasil. Jangan sekali-kali menyerah. Kerugian dan kesalahan itu biasa, namanya juga belajar dan merintis. Yang penting, bagaimana menyikapi dan memperbaikinya, serta selanjutnya berani berinovasi. Ambil langkah dan tindakan yang belum pernah atau jarang terpikirkan orang lain. Kita tidak perlu selalu mengikuti pemikiran umum. Kita harus menjadi diri sendiri. Jika pada umumnya orang di sekitar lingkungan kita menjual gado-gado seharga 5 ribu rupiah, mungkin kita perlu menjualnya seharga 4.900 atau 4.800 rupiah. Kita harus mau bersusah-payah sedikit mengumpulkan receh untuk kembalian, karena biasanya, orang menjual dengan harga bulat untuk memudahkan. Kita tidak usah takut bersaing. Persaingan harus dipandang sebagai tantangan untuk meningkatkan mutu produk dan berinovasi. Tidak ada ruginya meningkatkan terus mutu produk dan pelayanan. Sudah saatnya kita berhenti berpikir bahwa susah-payah kita meningkatkan mutu itu hanya membuat orang lain keenakan. Memang, apa salahnya menyenangkan orang? Bukankah pada akhirnya kita sendiri juga yang akan untung?

Langkah selanjutnya, kita perlu membina relasi dengan para pelaku usaha yang sama dengan kita, khususnya yang dekat-dekat. Dengan kata lain, rangkullah pesaing. Bila para pesaing saling merangkul, bukan kompetisi yang dikorbankan, melainkan konfrontasi. Kita tidak akan, dan tidak semestinya, menghilangkan kompetisi. Kooperasi yang dilakukan hanya bertujuan mengurangi friksi. Dalam kompetisi dimungkinkan kooperasi, yang tulus dan jujur. Setelah itu, alangkah lebih baik jika kita juga membina kerja sama dengan pelaku usaha yang bergerak di bidang makanan yang berbeda dalam area yang sama. Kerja sama itu sangat menguntungkan semua pihak. Orang yang membuka rumah makan mi, bila bekerja sama dengan pedagang minuman dingin di dekatnya, akan memberi kemudahan bagi konsumen, sehingga orang akan tertarik. Selain itu, kerja sama antar-pengusaha ritel makanan akan membangun “bargaining power” yang kuat. Tantangan niscaya lebih mudah dihadapi bila bersama-sama daripada harus dihadapi sendiri-sendiri.

Pada pihak lain, upaya yang sudah dilakukan pihak berwenang sudah cukup baik. Dan, ditinjau dari satu segi, regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah itu adalah demi ketertiban umum, agar semua pihak tenang. Sertifikat halal MUI bertujuan baik, supaya masyarakat konsumen merasa aman mengonsumsi. Jadi, sebenarnya, kebijakan-kebijakan itu adalah upaya mulia melindungi semua pihak. Hanya saja, yang perlu selalu diperhatikan para pemangku wewenang adalah praktek yang dilakukan di lapangan. Sudah bukan rahasia lagi, korupsi dan kolusi sudah mendarah-daging dalam bangsa kita. Selain tiap orang membenahi diri masing-masing untuk mempunyai mental yang benar, pemerintah dan berbagai pihak berwenang lain pun bertanggung jawab melakukan kontrol dan pengaturan.

Sudah ada banyak upaya pemerintah dalam mendongkrak perekonomian mikro dan makro dari sektor kuliner ritel. Sponsor Kementerian Perdagangan terhadap pengusaha kopi, teh, dan produk makanan lain yang terkait dalam mengikuti pameran “Coffee and Tea Show” di Toronto, Kanada, 26-27 September 2010 yang lalu, adalah bukti dukungan yang sangat baik. Dalam pameran tersebut, animo dan antusiasme pengunjung begitu besar terhadap produk-produk boga kita. Itu menjadi ajang promosi yang besar sekali manfaatnya. Prakarsa MUI, sebagaimana sudah disinggung di atas, untuk mempermudah prosedur, bahkan menggratiskan bagi para pelaku UKM, perolehan sertifikat halal patut dihargai. Koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Hukum dan HAM, yang ditekadkan dalam Gelar Teknologi Tepat Guna yang diadakan di Yogyakarta, 22 September 2010 kemarin, untuk membuka Klinik Konsultasi Hak Kekayaan Intelektual dalam rangka memudahkan masyarakat umum dan para pengusaha, termasuk pengusaha ritel makanan, memperoleh informasi dan penyadaran tentang pentingnya mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual mereka, serta juga untuk memudahkan masyarakat dalam mendaftarkannya, merupakan upaya terpuji.

Langkah lebih maju harus diambil, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak pengusaha makanan. Sebagai usulan, saya berpendapat, alangkah lebih baik lagi bilamana pemerintah dan para pihak berwenang lain lebih menghargai kemauan pengusaha untuk berusaha dan bersikap kooperatif. Penghargaan itu dapat direalisasikan, antara lain, dengan cara ikut mempromosikan komoditi makanan ritel. MUI dapat menggencarkan pemberitaan melalui berbagai media secara luas dan intensif, pengusaha-pengusaha makanan ritel mana saja yang sudah mendapatkan sertifikat halal; tidak sekadar mempublikasikannya secara pasif dalam situs resmi dan arsip MUI saja, di mana hanya sedikit saja pihak mengakses. Demikian juga Kemendagri dan Kemenhukam bagi para pengusaha yang telah terdaftar hak patennya. Pemerintah daerah dan Direktorat Pajak juga dapat mempromosikan pengusaha-pengusaha ritel makanan yang taat membayar retribusi dan pajak, sehingga berjasa dalam meningkatkan PAD. Promosi-promosi tersebut jelas akan menaikkan pamor dan citra pengusaha makanan ritel di mata masyarakat. Dan bila itu dilakukan, otomatis para pengusaha akan semakin bersemangat pula bertindak kooperatif dalam menaati peraturan perundangan yang berlaku.

Selain itu, pihak berwenang perlu mengkaji ulang regulasi-regulasi yang masih memberatkan dan mengandung prosedur-prosedur yang rumit. Penyederhanaan sistem pengaturan itu juga harus dilakukan secara total dan radikal. Maksudnya, rancangan, mekanisme, dan pelaksanaannya harus dibuat sedemikian rupa sehingga peraturan tersebut dapat ditelurkan tidak dalam waktu yang lama, prosedurnya lebih dapat langsung dipenuhi oleh para pengusaha ritel makanan, dan dilakukan pengawasan secara lebih ketat dan sistematis; dan semua itu harus lebih terpadu merangkum dan merangkul semua aspek dan pihak. Sebagai contoh, pengusaha kecil memang seyogyanya ditata agar tidak berjualan di sembarang tempat. Namun aspek moral juga harus dipertimbangkan. Kesempatan mereka mencari nafkah tidak seharusnya ditutup hanya dengan alasan menjaga ketertiban. Untuk itu, langkah yang sebaiknya diambil adalah mengumpulkan semua pedagang kecil makanan eceran dan kaki lima, memberikan penyuluhan dan pelatihan yang memadai secara intensif sesuai produk mereka masing-masing, kemudian, pada saat yang bersamaan, menyediakan sebuah lahan yang cukup bagi mereka untuk berjualan, lengkap dengan segala fasilitas yang kelancaran dan ketersediaannya terjamin, seperti air bersih, listrik, penerangan, meja-kursi, perabotan penunjang seperti gerobak atau lainnya, semua secara gratis. Seperti sebuah pujasera, hanya tanpa uang sewa, dan dalam skala besar. Sebagai kompensasi, pemerintah dapat menetapkan peran sebagai pemegang saham. Pemerintah perlu bernegosiasi dengan para pengusaha eceran itu dalam menentukan peran dan wewenangnya (pemerintah) untuk ikut mengelola manajemen keuangan. Sebagai pihak yang berwenang, pemerintah dapat, tanpa mengorbankan mekanisme pasar bebas, mematok harga khusus terhadap bahan-bahan yang diperlukan bagi komoditi yang dijual. Kalau perlu, pemerintah juga punya segala kemampuan untuk mengadakan pasar khusus bagi pengusaha-pengusaha ritel makanan, bahkan bisa juga memberi hak kepada para pengusaha ritel makanan untuk membeli bahan-bahan dari tangan pertama —petani, peternak, importir, dan sebagainya— secara eceran namun tetap dengan harga yang lazimnya diperuntukkan bagi pedagang yang membeli dalam jumlah besar. Tentu, pihak pertama itu tidak perlu menjadi korban. Ada kompensasi-kompensasi tertentu yang bisa mereka raih. Dan itu dapat berupa keringanan cukai dan pajak lainnya. Dalam peran sebagai pemegang saham itu, pemerintah juga dapat berhak memperoleh bagian dari keuntungan. Besaran andil dan prosentase keuntungan dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha. Berapa lama peran itu berlangsung, itu juga perlu disepakati kedua pihak: apakah untuk seterusnya pemerintah berlaku sebagai pemegang saham, ataukah sampai jangka waktu tertentu, atau sampai kembalinya modal pemerintah. Dengan berperan langsung begitu, bila ada pengusaha yang usahanya kendur, pemerintah akan mengetahui dan berhak mendesaknya untuk memacu kembali semangat dan daya kompetisinya. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai pembimbing dan pengayom akan sangat terbukti. Perlu juga disepakati sanksi dan konsekuensi bagi kedua pihak. Dan seharusnya, kesepakatan-kesepakatan tersebut diikat secara hukum. Di situlah keradikalan sistem pengaturan itu menjadi nyata: pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab sampai ke urat nadi operasional. Adapun untuk tempat yang disediakan pemerintah itu, memang ada baiknya pihak pedagang eceran dimintai pendapat mengenai pemilihan lokasi yang tepat; hanya, keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah. Di sinilah tepatnya pertimbangan yang total-menyeluruh itu terimplikasi. Pemerintah dituntut arif menentukan lokasi yang benar-benar bernilai ekonomis tinggi namun tidak merusak ketertiban dan keindahan, malah kalau bisa menambahnya. Jika semuanya tepat dan terencana dengan benar, tempat penjualan makanan terpadu itu akan menjadi daya tarik yang luar biasa sebagai objek wisata kuliner. Dan itu akan menguntungkan baik pengusaha makanan maupun pemerintah.

Dari pihak pengusaha, langkah yang dapat diwujudkan adalah meningkatkan kualitas produk dan pelayanan secara kontinu, melakukan peremajaan dan penyegaran yang inovatif secara simultan, serta menggencarkan promosi secara lebih kreatif. Satu hal yang patut selalu dicamkan, orientasi pengusaha ritel makanan adalah kepuasan konsumen. Pengusaha, bagaimanapun, adalah konsumen juga dalam kesempatan lain. Seyogyanya, pengusaha mampu menempatkan diri di tempat konsumennya. Kepuasan konsumen merupakan sarana promosi gratis, karena sudah terbukti, promosi “mulut ke mulut” yang dilakukan konsumen sangat ampuh mengangkat sebuah produk atau usaha makanan menjadi andalan. Keramahtamahan dan pelayanan yang memuaskan tetap jadi ujung tombak promosi juga. Terkait akan hal itu, ada dua hal yang perlu dihindari: diskriminasi harga dan pelayanan, dan memilih menurunkan kualitas dan kuantitas ketimbang menaikkan harga. Semua orang ingin dihargai dan tidak suka dibeda-bedakan dalam perlakuan. Mengenakan harga yang lebih mahal pada si A daripada pada si B dan lebih baik dalam melayani B daripada A akan menyebabkan A lari dari kita bilamana ia tahu. Konsumen juga tidak suka jika produk yang biasa mereka konsumsi berkurang jumlah dan mutunya. Mereka juga lebih rela merogoh kocek lebih dalam daripada merasa perut dan selera mereka terisi kurang dalam. Perlu disinggung juga satu hal yang cukup penting. PPN yang dibebankan kepada pengusaha selama ini dialihkan kepada konsumen. Dan hal itu memang wajar. Pajak sangat penting sebagai sumber keuangan daerah maupun negara, jadi tidak boleh dihapuskan. Dan pihak konsumen, sebagai pemakai terakhir, juga wajib mengemban tanggung jawab itu. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, ada baiknya pengusaha secara arif memperhalus pengenaannya terhadap konsumen. Kebohongan tetap tidak diperkenankan. Pengusaha tidak usah menggembar-gembor bahwa produk yang dijualnya itu bebas pajak. Namun tidak perlu juga secara mencolok menambahkan PPN dalam pembayaran. PPN dapat dimasukkan sebagai sesuatu yang sudah termasuk dalam harga barang. Tidak merasa ditipu dan juga tidak merasa dibebani itu akan memberikan satu kepuasan bagi konsumen.

Belakangan, media internet dengan situs jejaring sosialnya sudah marak menjadi ajang promosi. Acara-acara kuliner di televisi, berita-berita dan artikel-artikel di media cetak tentang kuliner juga. Itu dapat ditingkatkan. Satu aksi yang dapat ditambahkan dari semua usaha pemasaran itu adalah apa yang saya namakan “bermain frisbee”. Anda tahu, frisbee adalah benda berbentuk cakram berdiameter kira-kira 20 cm, biasa terbuat dari plastik, yang dijadikan mainan bersama anjing, dilemparkan agar anjing tersebut mengejarnya, lalu ia kembalikan kepada kita untuk dilemparkan lagi agar ia kembali dapat menangkapnya, begitu seterusnya. Promosi a la “bermain frisbee” itu menggunakan prinsip yang sama. Tentu saja, saya tidak menyamakan konsumen dengan anjing. Dalam melaksanakan promosi frisbee ini, dibutuhkan kerja sama antara dua atau lebih penjual. Karena inilah yang dilakukan: contohnya, saya adalah penjual gorengan. Saat pembeli datang, saya akan melemparkan pertanyaan atau percakapan umpan kepadanya agar dia akhirnya mengutarakan keinginannya membeli suatu produk makanan yang saya sendiri tidak jual, misalnya cemilan lain seperti kue basah. Saat dia menyatakan hal itu, saya akan mempromosikan kue basah yang Anda jual, sedemikian rupa sampai pembeli itu tertarik dan akhirnya pergi juga membeli kue basah di toko Anda. Dan Anda pun akan melakukan hal serupa dengan tujuan mempromosikan cookies yang dijual di toko si C. Sebaliknya, jika ada orang yang membeli cookies, si C akan mempromosikan kue basah Anda, dan Anda akan mempromosikan gorengan saya. Demikian seterusnya. Satu saja yang perlu jadi modal dalam menjalankan promosi ini: keikhlasan atau ketulusan. Memang ada resikonya. Jika penjual lain itu tidak mempromosikan toko dan produk makanan kita juga, bagaimana? Tidak mengapa. Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun dia, manusia selalu amat menyukai dan terkesan akan kebaikan. Itulah mengapa ketulusan diperlukan, sebab orang juga bisa menilai apakah kebaikan itu kita lakukan dengan tulus atau tidak. Dan kebaikan yang kita sudah lakukan dengan tulus kepada si pembeli dan si penjual yang tidak membalas budi itu akan berbalik menjadi kebaikan kita sendiri. Konsumen yang terkesan itu akan percaya dan senang sering-sering berbelanja pada kita. Dan pasti, dia juga akan bercerita kepada keluarga, teman, dan tetangganya.

Tidak ada komentar: