Jumat, 08 Oktober 2010

MENGANTISIPASI GEMPA DENGAN RUMAH “SELARAS ALAM”

Gempa bumi merupakan salah satu fenomena alam yang “mengerikan” dan “mengancam” bagi umat manusia. Tidak terkecuali bagi kita di Indonesia. Banyak kerugian yang diakibatkannya. Berbagai infrastruktur hancur, sarana dan prasarana rusak. Bukan hanya secara materi, kerugian yang menimpa diri manusia pun banyak terjadi, dan justru itu yang memprihatinkan. Korban jiwa berjatuhan. Tak sedikit orang yang terluka secara fisik, ringan sampai berat. Sehingga, dengan demikian, kondisi psikis para korban juga ikut terganggu. Trauma mental, duka akibat kehilangan orang-orang yang dikasihi, citra diri yang memburuk karena mengalami disfungsi akibat cacat fisik yang dialami, depresi, cemas, dan rasa kehilangan yang pahit atas harta-benda dan jiwa-jiwa para kekasih: semua itu sungguh merupakan kerugian yang lebih tak ternilai daripada kehilangan atau kerusakan materi.

Untuk itu, mengingat masih minimnya kemampuan manusia mengantisipasi datangnya gempa, dan karena mustahil kita dapat mencegah terjadinya, kita harus melakukan antisipasi atas apa yang dapat kita lakukan, yang masih berada dalam jangkauan kemampuan kita. Paling tidak, kita wajib meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkannya. Terutama karena kita tinggal di negara yang rawan gempa, sebab bumi nusantara terletak pada pertemuan tiga lempeng besar bumi, yang rawan pergeseran dan tumbukan satu sama lain.

Sebenarnya, kerugian yang kita alami dari gempa jarang sekali timbul akibat dampak primer, artinya yang disebabkan langsung dari gempa itu sendiri. Salah satu contoh dampak primer gempa adalah merekah atau terbelahnya tanah yang disebabkan pergeseran kulit bumi secara vertikal maupun horisontal sehingga kerak bumi bergerak naik/turun atau membelah. Tapi itu jarang-jarang terjadi. Yang justru jauh lebih sering menimbulkan bahaya dan kerusakan adalah dampak sekundernya. Suatu konstruksi, seperti rumah, gedung perkantoran, jalan, dan jembatan, yang tidak dirancang untuk dapat menyesuaikan diri dengan guncangan, akan mudah rusak dan hancur saat gempa yang cukup kuat terjadi. Kerusakan dan kehancuran konstruksi itu membahayakan segala sesuatu yang ada di bawah naungan, di atasnya, dan di sekitarnya. Itulah dampak sekunder gempa. Bagaimana jika gempa terjadi pada waktu-waktu di mana kita sedang dalam keadaan tidak siap sama sekali untuk lari, misalnya pada waktu tengah malam saat kita sedang tidur? Apa yang dapat kita lakukan untuk mengantisipasi resikonya? Yang paling rasionil dan praktis untuk itu adalah tinggal dalam rumah yang memiliki ketahanan menghadapi guncangan gempa.

Semakin besar tingkat kekerasan materi yang menyusun sebuah bangunan, semakin tinggi kemungkinannya untuk rusak saat gempa terjadi, dan semakin besar pula tingkat kehancuran dan kerusakan yang diakibatkannya pada segala sesuatu di bawah dan di sekitarnya. Bangunan beton jauh lebih berbahaya daripada bangunan kayu. Rumah beratap genteng jauh lebih beresiko daripada rumah beratap rumbia. Bila gempa menyerang, pecahan batu bata, batako, semen, dan genteng yang berat dan keras akan menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar pada semua yang ditimpanya ketimbang kayu, tripleks, atau rumbia.

Karena itu, mengapa kita tidak mulai memikirkan hal tersebut untuk keselamatan jiwa dan harta kita sendiri? Mengapa harus berkorban hanya demi gengsi? Selain berbahaya pada saat gempa, materi-materi keras itu pun pasti jauh lebih mahal. Hal-hal tersebut patut dipertimbangkan bagi kita yang hendak membangun rumah, serta baik juga bagi kita yang sudah memiliki rumah untuk mengubah konstruksinya. Lagipula, keindahan dan kenyamanan sesuatu tidak selalu identik dengan mahal/tidaknya atau bergaya/tidaknya sesuatu itu. Rumah kayu bisa menjadi rumah yang cantik. Rumah beratap rumbia dapat juga menjadi rumah yang nyaman. Semua tergantung dari penataan dan kemauan kita memaksimalkan selera seni dan jiwa estetika dalam merancangnya.

Mengapa kita tidak belajar dari hikmat budaya bangsa kita sendiri? Para leluhur kita agaknya lebih bijak dalam membangun. Mereka menyelaraskan segala aspek hidup mereka dengan alam, termasuk dalam mendirikan tempat tinggal. Identifikasi diri sebagai bagian dari alam inilah yang mendasari pemikiran mereka. Dengan kata lain, pada waktu membangun rumah, mereka melakukannya secara “ramah lingkungan”. Hasilnya, alam pun akan balik berlaku ramah pada mereka. Lihat saja rumah-rumah adat berbagai suku di Indonesia. Rumah-rumah joglo di tanah Jawa, rumah-rumah gadang dan panggung di Sumatera, rumah-rumah kari wari dan tongkonan di daerah-daerah Indonesia bagian timur semuanya memaksimalkan pemakaian bahan-bahan yang relatif lunak dan ringan. Kalau pun mereka menggunakan bahan dari bebatuan, itu sangat minim, paling-paling hanya untuk mengokohkan. Sepertinya, keputusan mereka untuk lebih memilih bahan-bahan itu dalam membangun rumah bukan disebabkan ketidakmampuan teknologi dan ekonomis. Terbukti, banyak bangunan zaman dulu yang terbuat dari batu. Candi-candi, contohnya. Jadi, meski mereka menguasai teknologi konstruksi yang canggih, toh untuk tempat tinggalnya sendiri mereka tetap memilih bahan-bahan yang “selaras alam”.

Sudah waktunya kita memasyarakatkan kepedulian terhadap keselamatan diri dan harta-benda kita pada bangsa ini. Bahkan, sesungguhnya, sudah agak terlambat. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena, di samping kepedulian pada diri sendiri, harta milik, dan orang-orang terkasih, bila kita mulai mengubah paradigma kita dalam membangun rumah dengan kembali berkiblat pada kebijaksanaan adat nenek-moyang kita, kita juga membangun kepedulian pada alam dan lingkungan. Manusia bertanggung jawab memelihara bumi ini terhadap Sang Pencipta dan Pemilik segalanya. Untuk itu, perlu lebih digencarkan promosi penyadaran masyarakat.

Pertama, yang perlu dimengerti adalah hakiki gempa, apa saja akibatnya dan dampaknya, serta di mana posisi kita, manusia, dalam alam yang menggejalakan gempa tersebut. Pembangunan kesadaran ini bisa dilakukan dengan pendidikan dan penyuluhan, baik di daerah-daerah yang rawan gempa maupun di daerah-daerah yang dianggap tidak rawan gempa, karena kita sulit mengetahui kapan dan di mana gempa akan terjadi. Sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi patut mengajarkannya pada para peserta didik, agar generasi muda secara dini “sadar gempa” dan “sadar lingkungan”. Dan bagi elemen masyarakat yang lebih dewasa, penyuluhan perlu lebih digencarkan melalui media-media massa yang ada, seperti radio, televisi, koran, majalah, internet; dapat melalui iklan layanan ataupun artikel/berita khusus. Ajang sosialisasi seperti arisan warga, rapat RT/RW, dan rembuk kampung/desa juga ampuh bila digunakan sebagai media penyuluhan dan pembukaan kesadaran-wawasan masyarakat. Kemudian, penyadaran akan hakiki dan dampak gempa itu harus ditindaklanjuti dengan penyuluhan dan pelatihan tentang langkah-langkah konkret apa yang seharusnya diambil sebagai respon yang perlu bilamana gempa terjadi; salah satunya yang paling urgen adalah pelatihan dalam membangun rumah yang indah dan nyaman namun aman terhadap gempa sebagaimana yang tertulis di atas. Dan hal itu perlu dilaksanakan secara intensif dan holistik. Pelatihan yang separuh-separuh dan asal-asalan tidak akan efektif menumbuhkan kesadaran masyarakat. Terakhir, yang sangat perlu dilakukan adalah percontohan. Perlu dipikirkan adanya proyek perumahan aman gempa. Sebuah kompleks perumahan yang tahan gempa, yang dikelola secara profesional agar menghasilkan bangunan rumah yang kokoh, kuat, tahan lama, dan tahan gempa, tapi yang juga estetis dan terkesan tidak murahan, akan merupakan promosi riil yang menarik. Dalam hal ini, dan juga dalam langkah-langkah penyadaran dan pelatihan sebelumnya, semua lapisan perlu terlibat dan melibatkan diri. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, para pemuka masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, maupun orang awam seyogyanya saling mendahului dalam mengambil prakarsa.

Tidak ada komentar: