Pertanyaan itu bagi saya bodoh sekali. Meski terdengar kasar, saya tidak bermaksud melancarkan penghinaan terhadap siapapun.
Sangat sering kita mendengar pertanyaan tersebut di atas ditanyakan. Umumnya, orang menanyakannya dengan maksud & motivasi baik, ingin menyatakan kerinduan akan kedamaian antarumat beragama.
Tentu, akan naif sekali bila kita memaksudkan pertanyaan tersebut sebagai keinginan untuk menganggap semua agama sama dalam hal hakekat. Semua kita pasti setuju bahwa tiap agama itu unik. Latar belakang timbulnya, ajaran, tata ibadah, serta pernyataan tujuan & makna hidup para pemeluk dari suatu agama jelas berbeda secara fundamental dengan agama lainnya. Lagipula, jika suatu kategori berisi hal-hal yang secara esensial sama, maka dengan sendirinya kategori itu akan menjadi tidak berarti: tidak ada kategori lagi jadinya. Demikian pun bila semua agama pada hakekatnya sama, maka tidak ada lagi yang namanya "agama".
Jadi, apa sebetulnya yang ditanyakan?
Saya akan coba paparkan satu demi satu apa yang saya sebut "arah maksud" pertanyaan itu. Setelah itu, saya akan mengungkapkan argumentasi saya terhadap masing-masing arah, yang akan menjelaskan mengapa saya menyatakan bahwa pertanyaan tersebut bodoh sekali.
Arah-arah maksud pertanyaan "apakah semua agama sama?":
1. Semua agama berasal dari Tuhan yang sama.
Arah maksud ini menyiratkan pengakuan adanya keberadaan yang ilahi, transenden, mahakuasa; yang menciptakan segalanya, memelihara, dan memerintah semua yang diciptakannya; yang dikenal dengan sebutan "Tuhan".
Kemudian, dalam proses berjalannya kehidupan dan dinamika seluruh ciptaan, Tuhan ini melakukan pewahyuan. Namun, pewahyuan itu tidak dinyatakan kepada satu orang/kelompok saja. Beberapa orang/kelompok lain juga menerima pewahyuan. Dan ternyata, isi pewahyuan-pewahyuan itu berbeda satu dengan yang lain. Mengapa demikian, itulah yang menjadi pergumulan orang-orang yang mengikuti alur jenis arah maksud ini.
2. Semua agama beribadah kepada/menyembah Tuhan yang sama.
Mereka yang menganut arah maksud pertama dengan sendirinya pasti menganut juga arah maksud ini. Namun tidak semua yang menganut arah maksud ini mengasumsikan agama mereka berasal dari Tuhan yang sama dengan agama lain.
Perbedaannya, orang-orang yang semata-mata memandang semua agama bermuara pada Tuhan yang sama mengasumsikan tidak adanya pewahyuan. Agama justru dipandang sebagai proses pencarian yang dilakukan manusia akan sesuatu yang ilahi; atau, dengan kata lain, jalan untuk mencapai kesempurnaan tertinggi. Berbagai sebab bisa menjadi alasan mereka untuk melakukan pencarian itu, mulai dari kesimpulan akan adanya sebab utama dari segala keberadaan dan fenomena, sampai keinginan untuk mencari pegangan yang kokoh-tak tergoyahkan di tengah perjalanan kehidupan yang serba kacau & tak pasti.
3. Semua agama mengajarkan nilai kebajikan & kebenaran yang sama.
Para penganut arah maksud pertama & kedua niscaya juga menganut pandangan ini. Tetapi tidak semua pengusung arah maksud ini juga bermaksud mengatakan bahwa agama mereka berasal dari dan/atau menyembah Tuhan yang sama dengan agama lainnya.
Para pemegang arah maksud ini memegang paradigma kerukunan & persatuan. Semua agama tidak mungkin menganjurkan untuk berbuat jahat, demikian pandangan mereka, semua pasti mengajarkan perbuatan baik & penegakan keadilan. Pandangan itu mereka pegang lebih dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari friksi di antara pemeluk berbagai agama daripada oleh sebab-sebab filsafati atau ontologis (pencarian kedalaman hakekat).
4. Semua agama sama-sama benar.
Penganut ketiga arah maksud di atas bisa dipastikan juga setuju pada arah maksud yang terakhir ini. Tapi ada juga pemegang pandangan ini yang tidak menganut salah satu dari arah-arah maksud yang lain.
Sepintas, arah maksud ini mirip dengan arah maksud yang ketiga. Hampir sama dengan para penganut arah maksud ketiga, para penganut arah maksud keempat ini juga mempunyai latar belakang pemikiran yang menginginkan kedamaian antarpemeluk agama. Mereka juga tidak terlalu menghiraukan pemikiran-pemikiran yang terlalu "ngejelimet" soal makna dan hakiki agama. Bedanya, jika mereka yang menganut arah maksud ketiga masih mau mengupayakan jalan tengah -setidaknya, dalam dialog antaragama, atau saling tukar informasi paham-paham teologis di antara pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda-, para penganut arah maksud keempat ini tidak juga memedulikan hal-hal itu. Buat mereka, bagaimana kerukunan dan ketenangan terwujud saja yang menjadi keprihatinan.
Setelah pemaparan di atas, sekarang saya akan coba mengajukan argumentasi untuk membantah arah-arah maksud tersebut.
1. Terhadap arah maksud pertama (Semua agama berasal dari Tuhan yang sama):
Saya setuju dengan arah maksud pertama ini (juga dengan arah maksud kedua, dan dengan -barangkali- arah maksud ketiga dan keempat) dalam hal pernyataan: Tuhan itu ada, dan Dia berpribadi (soal ada/tidaknya Tuhan, serta masalah apakah Tuhan itu berpribadi/tidak, saya berencana membahasnya juga dalam tulisan yang lain).
Tetapi, suatu entitas yang disebut Tuhan harus memiliki integritas dan keutuhan jatidiri tertinggi, sehingga dapat menjadi model ideal untuk integritas dan keutuhan jatidiri manusia. Dari Pribadi dengan tingkat integritas dan keutuhan identitas semahatinggi itu kita dapat mengharapkan tidak adanya ambiguitas (kemenduaan); termasuk dalam hal penurunan wahyu: tidak mungkin Ia mewahyukan perihal sesuatu (eksplisit maupun implisit) kepada seseorang/sekelompok orang, kemudian mewahyukan yang sama sekali berbeda untuk perihal yang sama (eksplisit maupun implisit) kepada orang/kelompok yang lain. Contoh: kepada suatu agama diwahyukan bahwa poligami itu sah-sah saja; sementara untuk agama lain, diisyaratkan wahyu yang melarang poligami sama sekali, kendati Ia, dalam ke-panjangsabaran-Nya, mengizinkan dosa (termasuk poligami) dilakukan. Bagaimana menjelaskan kontradiksi dalam contoh tersebut?
Jika arah maksud pertama ini dipaksakan, maka kita juga harus memilih:
a. menerima suatu tuhan yang plin-plan, atau bermuka dua, atau (parahnya) berniat jahat hendak membingungkan/menyesatkan umat manusia, atau (lebih parah lagi!) gabungan dua atau tiga-tiganya sekaligus dari kondisi-kondisi itu.
Pertanyaan yang harus direnungkan: maukah kita mempunyai tuhan yang seperti itu?
b. meyakini ada banyak tuhan.
Opsi ini jelas akan ditentang para penganut arah maksud pertama. Tapi implikasinya jelas: jika mereka setuju (dan saya yakin demikian) tentang integritas & keutuhan identitas Tuhan, sekaligus menolak opsi pertama di atas, tidak ada pilihan lain, mereka harus mulai berpikir bahwa Tuhan itu tidak mahaesa karena ternyata ada banyak tuhan, mengingat ada banyak sekali perintah-perintah yang saling bertentangan antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Tuhan yang berkontradiksi -dalam hal apapun: tindakan, perkataan, maupun pemikiran- otomatis takkan mampu dan tidak akan pernah pantas untuk menjadi standar apapun, apalagi sebagai standar kebenaran & kebajikan moral. Lantas, di mana kita dapat melabuhkan serta menarik penilaian secara aman atas pelbagai nilai-nilai, moral, keadilan, dan kebenaran? Dengan kata lain, bagaimana kita dapat menilai sesuatu itu secara moral baik, benar, adil, dan berharga, jika tidak ada standarnya? Tuhan yang seperti demikian tidak dapat & tidak pantas menjadi standar moral, dan tuhan yang tidak menjadi standar moral tidak akan pernah boleh menjadi Tuhan, kapan pun dan di mana pun!
Pula, jika memang ada lebih dari satu tuhan, maka kemungkinan yang paling masuk akal adalah tuhan-tuhan itu akan menciptakan dunia-dunia yang berbeda-beda. Tapi realitanya, hanya ada satu dunia yang dikenal (orang mengira ada paling sedikit dua dunia: dunia fisik (dunia kasat mata) yang fana yang kita diami ini, dan dunia roh (dunia tak kasat mata) yang kekal-abadi yang menjadi wilayah Tuhan & makhluk yang kita kenal sebagai malaikat, iblis, setan, jin, dan sebagainya; padahal, sebenarnya keduanya, meski memang dapat & harus dibedakan, berada dalam satu dunia yang sama, hanya memang, karena suatu alasan, kedua keberadaan (yang fisik & yang roh) itu untuk sementara terpisah [ini juga merupakan wacana yang cukup menarik untuk dibahas di kemudian hari]).
Kemudian juga, jika benar ada lebih dari satu tuhan, maka ada juga kemungkinan terdapat perbedaan strata di antara "tuhan"-"tuhan" itu. Jika demikian, bagaimana kita menentukan "tuhan" mana yang lebih tinggi dan "tuhan" mana yang lebih rendah? Jika kita mau melanjutkan pembahasan ini, dengan mengatakan bahwa masalah ranking dalam ketuhanan bukan urusan kita, maka apakah tidak konyol jika ternyata "tuhan" yang agama kita sembah itu ternyata bukan tuhan yang tertinggi?
Lagipula, jika memang ada lebih dari satu tuhan, maka kita mau tidak mau diperhadapkan dengan pertanyaan: "tuhan mana yang menciptakan saya?", "tuhan mana yang menciptakan pohon?", atau "tuhan mana yang memerintahkan untuk menghormati orangtua?", dan pertanyaan-pertanyaan senada lainnya.
Terakhir, jika ada lebih dari satu tuhan, maka, yang jelas, tidak akan ada keunikan dalam ketuhanan. Sedangkan menurut definisinya, yang disebut sebagai "Tuhan" itu adalah sesuatu (pribadi maupun bukan pribadi) yang transenden (berbeda dari segala yang ada sekaligus berada di atas segalanya), dan juga bersifat mahatinggi, mahakuasa, mahahadir, mahakasih, dan sebagainya. Kata "transenden" & imbuhan "maha-" itu saja sudah mengindikasikan keunikan, sesuatu yang tidak (dan tidak boleh) ada duanya. Konsekuensinya, jika ada lebih dari satu tuhan, maka mereka sudah tidak bisa lagi disebut sebagai "tuhan"; dan karena tidak ada di antara "mereka" yang bisa disebut "tuhan", maka berarti tidak ada Tuhan.
Karena kita telah melihat, kemungkinan adanya lebih dari satu tuhan itu terlalu berkontradiksi untuk dapat menjadi kenyataan, kita harus kembali pada kemungkinan a. di atas. Dan kita juga telah melihat, bagaimana tidak dapat terjadinya juga kemungkinan itu.
Betapa terjepitnya pikiran yang berusaha memegang arah maksud pertama ini.
Kesimpulan:
Dengan demikian, arah maksud yang pertama itu jelas tidak logis. Pernyataan "semua agama berasal dari Tuhan yang sama" itu bodoh!
2. Terhadap arah maksud kedua (Semua agama menyembah Tuhan yang sama):
Banyak sungai, meskipun bersumber dari mata air yang berbeda-beda, bermuara ke laut yang sama. Demikian logika mereka yang memeluk arah maksud kedua ini. Pada dirinya sendiri, pernyataan tersebut benar. Namun bila diterapkan untuk pandangan ini, logikanya jadi kacau. Tidak semua sungai di dunia ini bermuara di laut yang sama, pula mengingat ada banyak laut di dunia ini.
Pencarian manusia akan sosok Tuhan niscaya sia-sia saja. Transendensi Tuhan tidak akan mungkin tergapai manusia yang tinggal di dunia, di "bawah sini"; kemahatinggian Tuhan tak terhampiri siapa pun. Untuk menjalin hubungan antara Pribadi yang transenden dan maha- itu dengan manusia, semua inisiatif & usaha harus dilakukan semata-mata oleh Sang Pribadi itu sendiri. Kalau pun ada yang dihasilkan dari proses pencarian manusia itu, seharusnya itu adalah pertanyaan: "Dari mana manusia bisa mendapat ide tentang adanya sosok Ilahi yang disebut Tuhan itu? Mengapa kita semua, dari dasar hati kita yang terdalam, menyadari keilahian? Apa sebabnya manusia begitu terobsesi oleh gagasan akan sumber dari segala sesuatu yang ada, sumber yang adikodrati?" (hal ini pun penting untuk dibahas).
Beberapa agama menyembah Tuhan yang mahaesa (monoteis), sementara beberapa agama meyakini & menyembah banyak tuhan (politeis). Bagaimana menyelaraskan keduanya?
Ada beberapa usaha konyol yang menyebutkan bahwa ajaran-ajaran politeis itu sebenarnya juga (secara implisit & tidak terlalu sering dibahas/dipikirkan) meyakini adanya Tuhan yang mahaesa, yang membawahkan "tuhan"-"tuhan" atau para dewata mereka; padahal kenyataannya, agama-agama politeis itu tidak membahas adanya Tuhan yang mahaesa karena memang konsep itu tidak pernah ada dalam ajaran agama mereka.
Untuk lebih memperumit masalah, saya akan tambahkan fakta adanya ajaran (yang kemudian berkembang menjadi agama) yang ateistik (tidak percaya adanya Tuhan/apa pun yang adikodrati). Betapa lebih tidak mungkinnya mencari celah kesamaan objek penyembahan, bukan?
Kesimpulan:
Arah maksud kedua itu tidak rasional: pernyataan "semua agama menyembah Tuhan yang sama" jelas bodoh!
3. Terhadap arah maksud ketiga (Semua agama nilai kebajikan & kebenaran yang sama):
Saya setuju bila dikatakan bahwa banyak agama yang mengajarkan aspek-aspek yang mirip dalam beberapa bidang moral & kebenaran. Mengutuk pembunuhan sesama manusia, melarang perzinahan, dan melarang mencuri, misalnya, adalah hal-hal umum yang diajarkan sebagian besar, kalau tidak mau/dapat dikatakan "semua", agama.
Tapi yang diisyaratkan oleh arah maksud ini adalah bahwa semua agama mengajarkan nilai-nilai yang seragam; artinya, semua agama berbicara tentang hal yang sama dalam bidang-bidang moral & kebenaran yang sama dan dalam semua aspeknya. Padahal tidak demikian!
Terdapat banyak bidang di mana agama yang satu berbicara tentang bidang itu sedangkan agama lainnya tidak. Contoh: soal reinkarnasi. Beberapa agama membicarakan siklus kehidupan makhluk, khususnya manusia: orang yang selama hidupnya menata hidupnya dengan baik sempurna, maka setelah mati ia akan masuk ke dalam nirwana (suatu hidup dalam keadaan tanpa nafsu, entah di mana); namun jika hidupnya tidak baik, atau baik secara tidak sempurna, hidupnya akan berulang, rohnya akan bereinkarnasi dalam bentuk manusia lain dengan taraf hidup lebih rendah, atau menjadi hewan atau tumbuhan, yang bentuk kehidupannya lebih rendah daripada manusia. Demikianlah siklus itu terus berjalan, begitu paham itu mengatakan. Tapi banyak agama tidak mempunyai paham ini sama sekali.
Agama-agama juga sering mengajarkan aspek-aspek yang sama sekali berbeda untuk satu bidang yang sama. Ambil satu contoh: doa. Ada agama yang menganjurkan berdoa menghadap patung, lukisan, foto, atau apa pun yang merupakan imaji dari objek penyembahannya; sedangkan agama lain justru melarangnya: cara-cara tersebut dianggap sebagai tindakan penyembahan berhala, menduakan Tuhan.
Bagaimana menjelaskan perbedaan tersebut? Belum lagi bila disebutkan bidang-bidang yang lain dan juga aspek-aspek lain dalam satu bidang tertentu, akan makin banyak kita temui perbedaan ajaran antara satu agama dengan lainnya.
Kesimpulan:
Makin jelas, arah maksud yang ketiga ini pun tidak masuk akal. Pernyataan "semua agama mengajarkan nilai kebajikan & kebenaran yang sama" itu bodoh!
4. Terhadap arah maksud keempat (Semua agama sama-sama benar):
Saya tidak akan berpanjang-lebar berargumentasi menentang pemahaman yang satu ini. Pandangan yang terakhir ini diambil entah karena sikap keras kepala dan kemasabodohan mereka yang memegang salah satu atau beberapa sekaligus ketiga arah maksud lainnya -yang meski sudah ditunjukkan kontradiksi arah-arah maksud itu, tetap bersikukuh-, entah pula karena kemalasan berpikir & merenungkan soal-soal seperti ini.
Yang jelas, dari semua arah maksud, yang keempat inilah yang paling bodoh!
Hal-hal yang patut diperhatikan:
1. Sikap toleransi antarumat beragama itu sangat penting. Hal itu melahirkan rasa menghormati yang tulus, dan pada gilirannya, juga menghasilkan kerukunan dalam hidup bermasyarakat. Namun justru karena sebegitu pentingnya toleransi, kita tidak boleh meremehkan pemahaman akan arti toleransi yang sebenarnya, juga kita tidak berhak menjual murah-murah toleransi hanya demi kenyamanan kita dalam arti: kita bersikap toleransi palsu tanpa memahami secara benar arti toleransi yang sejati hanya karena kita tidak ingin/malas/segan/takut mengonfirmasi agama kita sendiri & mengonfrontir keyakinan kita dengan agama lain, yang semua itu kita lakukan hanya supaya kita dihargai & tidak diganggu.
2. Lalu apa arti toleransi sebenarnya? Toleransi dapat didefinisikan sebagai sikap menghormati sesama, apapun pandangan yang mereka anut, demi kebaikan mereka sendiri. Dari definisi itu kita lihat, yang kita toleransi adalah orangnya, bukan paham yang dianutnya. Dan dari definisi itu juga kita lihat, toleransi itu harus didasari untuk mencari kebaikan untuk diri orang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Sehingga, bilamana ada paham-paham yang bertentangan dengan yang kita pegang, kita harus dengan berani menyatakan perbedaan tersebut, tentu dengan sikap hormat & lemah lembut (lihat definisi toleransi). Bilamana ada paham yang jelas kita tahu salah, sedangkan kita tahu (bukan sekadar yakin) bahwa paham kita benar, kita juga harus berani menyatakannya kepada orang yang menganut paham yang salah tersebut; karena jika tidak, maka itu sama saja dengan membiarkan orang lain meluncur di jalan yang licin yang berakhir di jurang tak berdasar, padahal kita tahu kenyataan tentang jalan mencelakakan itu sekaligus tahu jalan mana yang menuju keselamatan.
3. Apakah bisa kita sedemikian gamblang namun tetap meraih kedamaian & kerukunan? Tentu saja! Hanya kedamaian semu yang bisa dihasilkan dari sikap tutup mulut padahal mengetahui kebenaran. Kedamaian & kerukunan yang benar justru harus diawali oleh sikap saling terbuka; berani mengatakan yang benar, dan berbesar hati untuk berpikir kritis kalau-kalau saja pandangan yang kita anut itu salah dan untuk menerima masukan orang yang berbeda agama, adalah dua syarat yang bagai dua sisi uang logam demi tercapainya kerukunan antarumat beragama: salah satu saja ditinggalkan, maka kita harus menanggung resiko mengalami kerukunan palsu (yang kelihatannya damai di luar, tapi sebenarnya di dalam hati membenci), atau mengalami konflik terbuka (akibat keengganan kita memegang teguh kebenaran & menghormati orang).
4. Mungkin ada keberatan yang ditujukan kepada saya: bagaimana saya bisa mengatakan hal-hal tentang menghormati orang, sedangkan dalam tulisan ini saya mengata-ngatai "bodoh" terhadap berbagai arah maksud dari pertanyaan "apakah semua agama sama?"?
Pertama, sebagaimana yang saya tulis di awal, saya tidak mengatai-ngatai orang. Yang saya bilang bodoh itu -seperti dapat dilihat dari berulangkalinya saya tulis di atas- ialah pandangan/arah maksudnya, bukan orangnya.
Kedua, dengan menyatakan demikian, saya membuktikan konsistensi ucapan saya sendiri: saya tidak segan-segan menyatakan apa yang benar dan apa yang salah.
5. Mengatakan "semua agama (dalam salah satu atau beberapa arah maksudnya) itu sama" itulah yang justru melecehkan agama! Tidak mungkin agama A sama dengan agama B. Jika memang keduanya sama (apalagi jika memang semua agama sama), seperti yang saya telah singgung di atas, itu sama saja dengan mengatakan "tidak ada agama". Katakan kepada siapa pun yang memeluk agama apa pun: "agamamu sama dengan agamaku", maka itu berarti kita mengatakan kepadanya: "agamamu itu bukan agama, sama seperti agamaku juga sebenarnya bukan agama". Dan itulah pelecehan terhadap agama.
Pengakuan akan keunikan masing-masing agama harus mendahului sikap toleransi. Tanpa itu, takkan mungkin kita dapat hidup rukun satu sama lain. Dan tanpa jaminan kerukunan yang lahir dari hati tiap orang di antara kita, tidak mungkin pula kita mampu menggapai kebenaran yang sejati.
3 komentar:
jangan menghina agama orang lain! sama halnya dengan Jangan menghita ibu/bapa teman nanti ibu/bapamu balas di hok ditunggu coment bactnya di link artikenya iniina!
Baca juga tulisan saya mengenai disabilitas dan pandangan masyarakat:
"Disabilitas dan Pandangan Masyarakat Mengenainya" (http://samueledward.blogdetik.com/disabilitas-dan-pandangan-masyarakat-mengenainya/)
Posting Komentar