Aroma melati dan kamboja terkekeh riang
Sambut pusara pedih menyeka riwayat tak lagi terkendali
Kupu-kupu sayu melongok ke lembaran ribuan mentari
Tagih janji dari diri yang berdiri kukuh dalam gelimpang kebusukan
Urun angin dalam percakapan bisu
Dan kenangan tergeletak malas sesudah terlalai dalam hari-hari membatu
Usungan telah tiba pagi-pagi
Bawa sang pembohong nan riang selama siang
Namun kabut menyergah parah
Menggunturkan ejekan tak terkira
Kilat bergetar-tergentar
Menggonggonglah tanah
Terkungkung sembrononya penglihatan malam
Rekah sudah pusara itu
Setengah terpaksa menelan jasad berbalur kemiskinan
Ketiadaan yang ia cari
Sarat kejahatan yang ia sua
Maka pusara kian berat hati menganga
Sembari mendendangkan elegi nan palsu
Begitu asyik aku menyaksikan arak-arakan absurd perziarahan terakhir itu
Tanpa sadar
Hidupkulah yang dikubur alam dalam-dalam
Jauh tanpa tersauh
Ke arah ketakterbatasan yang dapat dibayangkan saja pun entah
Biarkan saja alam membenamkan mayat hayatku dalam kelam
Aku rela meski tak juga sadar
Tidak pernah lagi aku menyadar
Semenjak kubiarkan nafsu menyelimuti lamat-lamat
Sejak jam-jam tak terhitung dalam selimut keangkuhan
Mulai dari titik tanpa balik di mana akal sudah tersaput banjir dosa merayu
Hingga jalan-jalan berkilau hijau
Dalam taman yang berbuih-buih oleh kebajikan
Perlahan menghilang-mengelam
Terjerembab-terpendam-terendam
Jadi sekali lagi
Biarkan saja kawan bernasehat
Dan biarkan lawan menyesali sangat
Akan berlalunya masa-masaku
Akan hilangnya kekuatanku
Akan bergemanya ketakutanku
Pada titian keputusan yang jadi sunyi
Bila telah kembali semua pelayat itu
Akulah yang akan jadi pelayat terakhir
Yang menaburkan doa penghinaan
Di atas nisan kenanganku
Di sanalah cabulku menjadi pelacur bagi ulat-ulat
Di situlah iriku mencemburui kelezatan maut melahap silsilahku
Di sanalah angkuhku menepuk dada di depan kegelapan
Di situlah mata serakahku meraup banyak-banyak kenistaan kerajaan setan
Di sanalah lidah rakusku menjilati penuh hasrat dingin hati
Di situlah amarahku bermurka-ria terhadap jiwa dan diri
Di sanalah tangan dan kaki malasku berkapar alpa di atas tungku penghakiman
Jangan
Jangan lepaskan semua ceritera
Akan kupugar semua dahaga
Dan mencerca segala nikmat bahagia
Jangan
Pelayatan ini
Kapankah berakhirnya?
Takkan kukembali
Sebelum semua usai
Dalam keseharianku lagi
Sabtu, 20 November 2010
Tangisan Redup Tersayup
Mengerang hati ini
Mendesah disesah resah
Dambakan bergantinya hari-hari
Dengan lapangnya lega
Dengan alur-alur benak tak tertekan
Dengan kemilau rasa tanpa baluran luka
Dan duka
Serta beban meniada
Terlupakan selamanya
Dari hidup yang tak lagi hampa
Kerontang-melompong tanpa satu menyisa
Aku bosan meniti kekosongan
Aku jengah pada hidup yang kembung oleh kepalsuan
Buang saja segenap adaku ini
Pada makna yang pasti berarti
Namun akankah
Haruskah
Kupupuki terus
Kelumit nir-asa ini?
Berontaklah aku dalam tangisku
Lumpuhkan kelumpuhan nan tiran
Bangkit sambil terseok-seok
Dari kubangan kotoran dan air mata
Dari gulita dan buta
Tuhan-Juruselamat
Bantu aku reguk puas-puas
Getih-nanah-Mu
Salibkan aku
Salibkan munafikku
Salibkan hidup palsuku
Salibkan hati imitasiku
Bunuh aku
Bunuh semua padaku
Pada tiang gantungan-Mu
Tempat Kaucurah hidup sampai cacahan daging-Mu mengurai
Supaya aku hidup lagi
Dengan hidup-Mu semata
Ayahanda Penguasa
Cintai aku
Kumohon
Tuntun aku
Bantun aku
Tolonglah
Kepada pendamaian peluk hangat-Mu
Nan penuh sayang dan mesra
Dan aku pun kembali suci
Siap Kaugarap berkerap-kerap
Tanpa lagi ada noda ganjalan
Di antara kita
Roh Pembimbing
Hentikan aksi jahatku
Lumpuhkan perbuatan nistaku
Bakar hingga mampus
Tindakanku
Kataku
Buah akal dan hasratku
Pada diri-Mu dan para terpilihmu
Pada sesamaku jua
Cengkeram aku
Gagahi aku
Akulah budak-Mu
Ya, Allah
Biarkan tangis ini menyurut
Leraikan dosa ini dari hidup
Redupkan gairahku pada segala yang Kau jijik
Bangkitkan nafsuku
Akan nafas-Mu
Wahai, kekacauan
Tak lagi dan takkan kembali
Engkau memorandakan waktuku dan hidupku
Juga mereka di sekelilingku
Dengan tipumu
Yang gelorakan teriakan dan jeritan pilu
Bahanamu tersayup sudah
Dan akan terbungkam selamanya
Mendesah disesah resah
Dambakan bergantinya hari-hari
Dengan lapangnya lega
Dengan alur-alur benak tak tertekan
Dengan kemilau rasa tanpa baluran luka
Dan duka
Serta beban meniada
Terlupakan selamanya
Dari hidup yang tak lagi hampa
Kerontang-melompong tanpa satu menyisa
Aku bosan meniti kekosongan
Aku jengah pada hidup yang kembung oleh kepalsuan
Buang saja segenap adaku ini
Pada makna yang pasti berarti
Namun akankah
Haruskah
Kupupuki terus
Kelumit nir-asa ini?
Berontaklah aku dalam tangisku
Lumpuhkan kelumpuhan nan tiran
Bangkit sambil terseok-seok
Dari kubangan kotoran dan air mata
Dari gulita dan buta
Tuhan-Juruselamat
Bantu aku reguk puas-puas
Getih-nanah-Mu
Salibkan aku
Salibkan munafikku
Salibkan hidup palsuku
Salibkan hati imitasiku
Bunuh aku
Bunuh semua padaku
Pada tiang gantungan-Mu
Tempat Kaucurah hidup sampai cacahan daging-Mu mengurai
Supaya aku hidup lagi
Dengan hidup-Mu semata
Ayahanda Penguasa
Cintai aku
Kumohon
Tuntun aku
Bantun aku
Tolonglah
Kepada pendamaian peluk hangat-Mu
Nan penuh sayang dan mesra
Dan aku pun kembali suci
Siap Kaugarap berkerap-kerap
Tanpa lagi ada noda ganjalan
Di antara kita
Roh Pembimbing
Hentikan aksi jahatku
Lumpuhkan perbuatan nistaku
Bakar hingga mampus
Tindakanku
Kataku
Buah akal dan hasratku
Pada diri-Mu dan para terpilihmu
Pada sesamaku jua
Cengkeram aku
Gagahi aku
Akulah budak-Mu
Ya, Allah
Biarkan tangis ini menyurut
Leraikan dosa ini dari hidup
Redupkan gairahku pada segala yang Kau jijik
Bangkitkan nafsuku
Akan nafas-Mu
Wahai, kekacauan
Tak lagi dan takkan kembali
Engkau memorandakan waktuku dan hidupku
Juga mereka di sekelilingku
Dengan tipumu
Yang gelorakan teriakan dan jeritan pilu
Bahanamu tersayup sudah
Dan akan terbungkam selamanya
Salah Alamat
Anda pernah mengirim surat, uang, barang, atau apapun, tapi ternyata salah alamat? Dan itu mengakibatkan Anda rugi besar, bahkan berada dalam bahaya? Si Polan pernah. Begini ceritanya.
Suatu hari ia berniat mengirimi saudaranya, si Pandi, uang berikut beberapa barang yang cukup mahal. Maksudnya hendak membantu sang saudara yang kesusahan. Cuma, ada satu masalah. Polan tidak tahu di mana Pandi tinggal. Jadi ia menanyakannya pada saudaranya yang lain, si Ono, yang ia pikir tahu di mana Pandi tinggal. Alih-alih memberitahu, Ono malah menawarkan jasa untuk mengantarkan sendiri.
Jadilah akhirnya Polan menyerahkan urusan itu kepada Ono. Tapi, Polan tidak tahu, Ono itu orang jahat. Bukannya diantarkan ke Pandi, barang-barang dan uang itu ia bawa ke komplotannya untuk dihabiskan sendiri. Sedangkan terhadap Polan, Ono merancang tipuan lain. Ia menulis surat, pura-pura dari Pandi, berisi ucapan terimakasih atas kebaikan Polan, dibumbui sanjungan berlebihan memuji kekayaan Polan. Si Polan tentu saja merasa sangat tersanjung. Akibatnya, ia makin rajin mengirimkan uang dan barang. Makin banyak kirimannya, makin bombastis sanjungan “dari Pandi”. Dan kian mabuk Polan akan pujian, kian enteng pula “bantuan”nya mengalir.
Suatu hari, gembong geng Ono memutuskan, Polan harus segera “dibebaskan dari kekayaannya”. Artinya, para penjahat itu berniat menguras habis-habisan uang dan harta Polan dalam satu tindak perampokan. Malangnya, keberanian Polan tidak sebanding dengan kebijaksanaannya. Ia pasti akan melawan para perampok itu. Tapi mustahil ia sendirian berdaya menghadapi para residivis nekad berbadan besar yang jumlahnya puluhan itu.
Anda tahu, kita semua sebenarnya senasib dengan si Polan. Iblis telah sukses menipu orangtua pertama kita, Adam dan Hawa; dan ia terus melancarkan kebohongan yang sama pada kita.
Memangnya, apa sih tipuan Iblis? Iblis menipu kita dengan cara yang nyaris mirip dengan si Ono: menyampaikan alamat yang salah. Alamat apa? Alamat tujuan semua perbuatan kita. Coba tanyakan orang-orang, dan dirimu sendiri juga: beribadah, menjalankan perintah agama, berbuat baik, beramal sosial, melakukan kebiasaan baik; untuk apa atau untuk siapa itu semua? Jawabannya pasti berkisar hanya pada 2 kemungkinan: “untuk Tuhan”, atau “supaya kita sendiri juga mendapat kebaikan” alias “demi diri sendiri”. Jawaban nomor 2 jelas salah, karena itu bukti keegoisan, bukan kebaikan. Tapi kalau jawabannya nomor 1, “demi Tuhan”, pertanyaan selanjutnya adalah: Tuhan yang mana? Nah, di sinilah kita mulai kelihatan tolol seperti si Polan!
Iblis menanamkan dalam pikiran kita pendapat bahwa semua agama
menyembah Tuhan yang sama. Itu tidak benar! Hanya ada satu jalan yang benar untuk sampai kepada diri-Nya. Lagipula, bukankah kita melakukan amal-ibadah supaya kita hidup bahagia di dunia ini, dan, setelah mati, masuk sorga? Jadi, pada akhirnya, meski kita bilang “demi Tuhan”, sebenarnya ujung-ujungnya tetap “untuk diri sendiri”.
Kesimpulannya, semua tujuan kita itu sesat! Sama sekali kita melenceng dari Tuhan. Dan karena Tuhan itu kehidupan, menyeleweng dari-Nya berarti maut.
Lantas, apakah kita sudah tanpa harapan? Tidak! Tuhan begitu mengasihi manusia, tak rela kita binasa dan terus-terusan jadi korban Iblis. Sebenarnya, dosa adalah “salah sasaran” atau “salah alamat”. Kita akan selalu tersesat karena kita ini manusia berdosa. Kita takkan mampu mengubah sendiri hakekat diri kita. Hanya Pencipta kitalah yang bisa. Itulah yang telah dilakukan-Nya dalam diri Allah Putera yang menjadi manusia Yesus Kristus. Yesus Kristus-lah jalan yang benar menuju Allah yang benar. Dalam kematian-Nya di salib, Ia menebus kita dari ke“salah-alamat”an/dosa kita. Status-Nya sebagai manusia benar dikenakan-Nya kepada kita, dan status “salah sasaran” kita Ia kenakan pada diri-Nya sendiri, sehingga Dialah yang menanggung maut akibat dosa kita. Di atas salib juga Ia telah mengalahkan Iblis, maut, dan dosa. Kebangkitan-Nya kembali dari kematianlah buktinya.
Tidak mau lagi hidupmu “salah alamat”? Ingin amal-ibadah Anda sampai ke Sang Penerima yang benar? Tidak sudi lagi jadi korban penipuan, penjarahan dan pembinasaan Iblis? Bertobatlah dari dosa-dosamu, dan terimalah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat pribadimu! Katakanlah dalam doa kepada-Nya, “Tuhan Yesus, Engkaulah satu-satunya jalan yang benar kepada Allah. Ampuni dosa-dosaku dan selamatkanlah aku. Jadilah Tuhanku dan jadikan aku milik-Mu. Ajari aku menaati Firman-Mu dalam sisa hidupku ini, agar hidupku menyenangkan-Mu dan tidak lagi melakukan hal yang sesat, yang tidak tertuju pada diri-Mu. Demi nama-Mu. Amin.”
(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-23, Agustus 2010, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)
Suatu hari ia berniat mengirimi saudaranya, si Pandi, uang berikut beberapa barang yang cukup mahal. Maksudnya hendak membantu sang saudara yang kesusahan. Cuma, ada satu masalah. Polan tidak tahu di mana Pandi tinggal. Jadi ia menanyakannya pada saudaranya yang lain, si Ono, yang ia pikir tahu di mana Pandi tinggal. Alih-alih memberitahu, Ono malah menawarkan jasa untuk mengantarkan sendiri.
Jadilah akhirnya Polan menyerahkan urusan itu kepada Ono. Tapi, Polan tidak tahu, Ono itu orang jahat. Bukannya diantarkan ke Pandi, barang-barang dan uang itu ia bawa ke komplotannya untuk dihabiskan sendiri. Sedangkan terhadap Polan, Ono merancang tipuan lain. Ia menulis surat, pura-pura dari Pandi, berisi ucapan terimakasih atas kebaikan Polan, dibumbui sanjungan berlebihan memuji kekayaan Polan. Si Polan tentu saja merasa sangat tersanjung. Akibatnya, ia makin rajin mengirimkan uang dan barang. Makin banyak kirimannya, makin bombastis sanjungan “dari Pandi”. Dan kian mabuk Polan akan pujian, kian enteng pula “bantuan”nya mengalir.
Suatu hari, gembong geng Ono memutuskan, Polan harus segera “dibebaskan dari kekayaannya”. Artinya, para penjahat itu berniat menguras habis-habisan uang dan harta Polan dalam satu tindak perampokan. Malangnya, keberanian Polan tidak sebanding dengan kebijaksanaannya. Ia pasti akan melawan para perampok itu. Tapi mustahil ia sendirian berdaya menghadapi para residivis nekad berbadan besar yang jumlahnya puluhan itu.
Anda tahu, kita semua sebenarnya senasib dengan si Polan. Iblis telah sukses menipu orangtua pertama kita, Adam dan Hawa; dan ia terus melancarkan kebohongan yang sama pada kita.
Memangnya, apa sih tipuan Iblis? Iblis menipu kita dengan cara yang nyaris mirip dengan si Ono: menyampaikan alamat yang salah. Alamat apa? Alamat tujuan semua perbuatan kita. Coba tanyakan orang-orang, dan dirimu sendiri juga: beribadah, menjalankan perintah agama, berbuat baik, beramal sosial, melakukan kebiasaan baik; untuk apa atau untuk siapa itu semua? Jawabannya pasti berkisar hanya pada 2 kemungkinan: “untuk Tuhan”, atau “supaya kita sendiri juga mendapat kebaikan” alias “demi diri sendiri”. Jawaban nomor 2 jelas salah, karena itu bukti keegoisan, bukan kebaikan. Tapi kalau jawabannya nomor 1, “demi Tuhan”, pertanyaan selanjutnya adalah: Tuhan yang mana? Nah, di sinilah kita mulai kelihatan tolol seperti si Polan!
Iblis menanamkan dalam pikiran kita pendapat bahwa semua agama
menyembah Tuhan yang sama. Itu tidak benar! Hanya ada satu jalan yang benar untuk sampai kepada diri-Nya. Lagipula, bukankah kita melakukan amal-ibadah supaya kita hidup bahagia di dunia ini, dan, setelah mati, masuk sorga? Jadi, pada akhirnya, meski kita bilang “demi Tuhan”, sebenarnya ujung-ujungnya tetap “untuk diri sendiri”.
Kesimpulannya, semua tujuan kita itu sesat! Sama sekali kita melenceng dari Tuhan. Dan karena Tuhan itu kehidupan, menyeleweng dari-Nya berarti maut.
Lantas, apakah kita sudah tanpa harapan? Tidak! Tuhan begitu mengasihi manusia, tak rela kita binasa dan terus-terusan jadi korban Iblis. Sebenarnya, dosa adalah “salah sasaran” atau “salah alamat”. Kita akan selalu tersesat karena kita ini manusia berdosa. Kita takkan mampu mengubah sendiri hakekat diri kita. Hanya Pencipta kitalah yang bisa. Itulah yang telah dilakukan-Nya dalam diri Allah Putera yang menjadi manusia Yesus Kristus. Yesus Kristus-lah jalan yang benar menuju Allah yang benar. Dalam kematian-Nya di salib, Ia menebus kita dari ke“salah-alamat”an/dosa kita. Status-Nya sebagai manusia benar dikenakan-Nya kepada kita, dan status “salah sasaran” kita Ia kenakan pada diri-Nya sendiri, sehingga Dialah yang menanggung maut akibat dosa kita. Di atas salib juga Ia telah mengalahkan Iblis, maut, dan dosa. Kebangkitan-Nya kembali dari kematianlah buktinya.
Tidak mau lagi hidupmu “salah alamat”? Ingin amal-ibadah Anda sampai ke Sang Penerima yang benar? Tidak sudi lagi jadi korban penipuan, penjarahan dan pembinasaan Iblis? Bertobatlah dari dosa-dosamu, dan terimalah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat pribadimu! Katakanlah dalam doa kepada-Nya, “Tuhan Yesus, Engkaulah satu-satunya jalan yang benar kepada Allah. Ampuni dosa-dosaku dan selamatkanlah aku. Jadilah Tuhanku dan jadikan aku milik-Mu. Ajari aku menaati Firman-Mu dalam sisa hidupku ini, agar hidupku menyenangkan-Mu dan tidak lagi melakukan hal yang sesat, yang tidak tertuju pada diri-Mu. Demi nama-Mu. Amin.”
(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-23, Agustus 2010, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)
Endapan Hati
Betapa ingin kureguk lagi kemenangan itu!
Galau
Tak mau berhenti mengacau
Dengan racau
Di ambang pagi sebelum satu bintang malas berkilau
Bersama kenangan akan ribut burung berkicau
Kekasih tanpa hati lekang sudah menghitamkan jejakku
Namun tetap saja aku berdiang-berdiam di sini
Di tempat di mana dulu ku tak beranjak
Menjemput angan
Mengapa ada kelalaian?
Selain kucinta dan kucipta sendiri
Tiada alasan mampu kuterawang
Sudah lama mengendap ia dalam sanubari ini
Barangkali sudah tak mau lagi digeming
Inilah segala akibat yang kudera pada diriku
Dimasak sampai bonyok
Dalam sejuta pengalaman yang kudirikan
Dalam hidup yang tak mampu membangga
Bahkan untuk bernapas sekalipun
Baunya melambai selamat tinggal tak rela pada keberhasilan
Galau
Tak mau berhenti mengacau
Dengan racau
Di ambang pagi sebelum satu bintang malas berkilau
Bersama kenangan akan ribut burung berkicau
Kekasih tanpa hati lekang sudah menghitamkan jejakku
Namun tetap saja aku berdiang-berdiam di sini
Di tempat di mana dulu ku tak beranjak
Menjemput angan
Mengapa ada kelalaian?
Selain kucinta dan kucipta sendiri
Tiada alasan mampu kuterawang
Sudah lama mengendap ia dalam sanubari ini
Barangkali sudah tak mau lagi digeming
Inilah segala akibat yang kudera pada diriku
Dimasak sampai bonyok
Dalam sejuta pengalaman yang kudirikan
Dalam hidup yang tak mampu membangga
Bahkan untuk bernapas sekalipun
Baunya melambai selamat tinggal tak rela pada keberhasilan
Dalam Langkah-Mu
Kelam daku dulu
Merambah dosa tak jua puas
Nistai-Mu sejadi mauku
Sesamaku adalah sampah dan pijakan nafsu
Engkau pun nyatakan kasih
Juga kuasa
Kelembutan-Mu koyakkan kerasku
Kautikam aku dengan sabda hidup-Mu
Dosaku Kaulumatkan
Semua di atas salib itu
Di atas salib itu
Dalam daging
Dalam nadi-Mu sendiri
Aku telah terjual
Dalam pelukan durjana
Asaku tak berani tengadah
Berkuncup sudah hati
Mati dibuai kenajisan laknatku
Namun amarah-Mu menghanguskan
Belengguku
Dengan tangan nan menggenggam semesta
Kaurenggut aku
Kaudekap aku
Hingga aku megap-megap
Mabuk anugerah-Mu
Milik-Mu semata aku kini
Tak sudi lagi kuberbalik menghamba
Pada terkutuknya hidup lamaku
Namun mengapa kadang hasratku menggairah kembali
Terhadapnya?
Ampuni aku, Tuhanku!
Cengkeram aku
Dan tolong pantang lepaskan!
Ini aku!
Balur aku terus dengan darah suci-Mu
Dengan firman kudus-Mu mandikan aku
Serta Roh-Mu
Biar Ia menguasai penuh seutuh diriku!
Dan kirim aku, ya Junjunganku, Penyelamatku
Dalam langkah-Mu sendiri
Kepada dunia
Supaya mereka kenal Engkau
Allah sebenarnya
Dan nama-Mu mereka takuti
Juga kasih karunia-Mu
Mereka rangkup untuk keselamatan mereka sendiri
(Puisi ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-22, Mei 2010)
Merambah dosa tak jua puas
Nistai-Mu sejadi mauku
Sesamaku adalah sampah dan pijakan nafsu
Engkau pun nyatakan kasih
Juga kuasa
Kelembutan-Mu koyakkan kerasku
Kautikam aku dengan sabda hidup-Mu
Dosaku Kaulumatkan
Semua di atas salib itu
Di atas salib itu
Dalam daging
Dalam nadi-Mu sendiri
Aku telah terjual
Dalam pelukan durjana
Asaku tak berani tengadah
Berkuncup sudah hati
Mati dibuai kenajisan laknatku
Namun amarah-Mu menghanguskan
Belengguku
Dengan tangan nan menggenggam semesta
Kaurenggut aku
Kaudekap aku
Hingga aku megap-megap
Mabuk anugerah-Mu
Milik-Mu semata aku kini
Tak sudi lagi kuberbalik menghamba
Pada terkutuknya hidup lamaku
Namun mengapa kadang hasratku menggairah kembali
Terhadapnya?
Ampuni aku, Tuhanku!
Cengkeram aku
Dan tolong pantang lepaskan!
Ini aku!
Balur aku terus dengan darah suci-Mu
Dengan firman kudus-Mu mandikan aku
Serta Roh-Mu
Biar Ia menguasai penuh seutuh diriku!
Dan kirim aku, ya Junjunganku, Penyelamatku
Dalam langkah-Mu sendiri
Kepada dunia
Supaya mereka kenal Engkau
Allah sebenarnya
Dan nama-Mu mereka takuti
Juga kasih karunia-Mu
Mereka rangkup untuk keselamatan mereka sendiri
(Puisi ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-22, Mei 2010)
Sumur Berlumpur
Tiga anak belasan tahun yang tengah bermain di sebuah tanah lapang menemukan sebuah lubang berukuran cukup besar. Mereka melongok ke dalamnya dibantu sinar dari senter yang dibawa salah satu anak. Dasarnya tidak kelihatan. Hanya terlihat air berwarna kehitaman di bawah sekali, dan lumut di dinding lubang.
“Rupanya ini sumur yang sudah tak terpakai,” kata seorang. Seorang temannya membalas, “Bagaimana kalau kita masuk ke situ? Menurut cerita, dalam sumur seperti ini banyak terdapat harta karun. Kita akan kaya-raya, bisa beli mainan mahal, makanan enak, pokoknya, tidak perlu lagi bersekolah dan bekerja!”
Usul itu berpengaruh pada teman-temannya. Satu per satu masuk. Ternyata sumur itu tidak dalam. Air juga hanya setinggi lutut. Mereka mulai merogoh-rogoh ke bawah, mencari apa yang bisa ditemukan.
Setelah beberapa jam belum menemukan apa-apa, mereka berhenti sejenak. Ada yang aneh! Tahu-tahu air sekarang sudah mencapai pinggang! Dan jarak ke mulut sumur pun bertambah jauh. Mereka juga sadar, yang mereka pijak ternyata lumpur. Dan lumpur itu perlahan terus mengisap mereka lebih dalam. Dengan panik, mereka berusaha memanjat. Namun sia-sia. Lumut dan lumpur membuat dinding sumur sangat licin. Mereka kian jauh terbenam. Semua berteriak-teriak minta tolong.
Tiba-tiba dari atas terdengar seruan, “Tenang! Aku akan menolong kalian!” Tak berapa lama, muncul seseorang dengan membawa beberapa utas tali tambang besar yang ujung satunya kelihatannya diikat di salah satu tempat di luar. Dalam setengah jam, semua anak berhasil dikeluarkan.
Seperti anak-anak itu, kita dengan sengaja menceburkan diri dalam sumur berbahaya yang bernama dosa. Tergoda oleh kenikmatannya, kita tidak memikirkan resikonya. Baru setelah tubuh dan roh kita terkotori lumpurnya, kita sadar telah terjebak. Kita berusaha “membersihkan” diri, namun sia-sia. Untuk keluar darinya pun tidak berdaya. Dan, cepat atau lambat, kita akan tenggelam dan mati dalam dosa-dosa kita.
Tak satu manusia pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari dosa. Tapi harapan bukannya tidak ada. Pertolongan satu-satunya datang dari “atas”, dari Allah sendiri. Anak Allah turun ke dunia menjadi manusia Yesus Kristus untuk mengangkat manusia dari jebakan maut dosa. Dan Yesus bukan hanya mengangkat, melainkan juga membersihkan hati kita dengan melumuri dosa kita pada diri-Nya sendiri. Di atas salib, Ia mencurahkan darah-Nya untuk membersihkan hati nurani kita dan menanggung hukuman Allah yang seharusnya jatuh pada kita. Dan pada akhir zaman nanti, Ia akan datang untuk menjemput umat-Nya, dan memberikan tubuh yang baru, yang suci sama sekali dari dosa.
Apakah Anda menyadari keberdosaan Anda dan berputus-asa karena upaya Anda membersihkan diri melalui agama, ibadah, dan amal ternyata percuma? Terimalah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadimu, dan berdoalah: “Tuhan Yesus, aku orang berdosa. Ampuni aku. Aku tidak mampu membebaskan diri dari dosa-dosaku. Aku menerima-Mu sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Masuklah dan berkuasalah dalam hatiku, dan bersihkanlah terus dengan darah-Mu, agar aku suci seperti Engkau. Demi nama-Mu. Amin.”
(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-22, Mei 2010, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)
“Rupanya ini sumur yang sudah tak terpakai,” kata seorang. Seorang temannya membalas, “Bagaimana kalau kita masuk ke situ? Menurut cerita, dalam sumur seperti ini banyak terdapat harta karun. Kita akan kaya-raya, bisa beli mainan mahal, makanan enak, pokoknya, tidak perlu lagi bersekolah dan bekerja!”
Usul itu berpengaruh pada teman-temannya. Satu per satu masuk. Ternyata sumur itu tidak dalam. Air juga hanya setinggi lutut. Mereka mulai merogoh-rogoh ke bawah, mencari apa yang bisa ditemukan.
Setelah beberapa jam belum menemukan apa-apa, mereka berhenti sejenak. Ada yang aneh! Tahu-tahu air sekarang sudah mencapai pinggang! Dan jarak ke mulut sumur pun bertambah jauh. Mereka juga sadar, yang mereka pijak ternyata lumpur. Dan lumpur itu perlahan terus mengisap mereka lebih dalam. Dengan panik, mereka berusaha memanjat. Namun sia-sia. Lumut dan lumpur membuat dinding sumur sangat licin. Mereka kian jauh terbenam. Semua berteriak-teriak minta tolong.
Tiba-tiba dari atas terdengar seruan, “Tenang! Aku akan menolong kalian!” Tak berapa lama, muncul seseorang dengan membawa beberapa utas tali tambang besar yang ujung satunya kelihatannya diikat di salah satu tempat di luar. Dalam setengah jam, semua anak berhasil dikeluarkan.
Seperti anak-anak itu, kita dengan sengaja menceburkan diri dalam sumur berbahaya yang bernama dosa. Tergoda oleh kenikmatannya, kita tidak memikirkan resikonya. Baru setelah tubuh dan roh kita terkotori lumpurnya, kita sadar telah terjebak. Kita berusaha “membersihkan” diri, namun sia-sia. Untuk keluar darinya pun tidak berdaya. Dan, cepat atau lambat, kita akan tenggelam dan mati dalam dosa-dosa kita.
Tak satu manusia pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari dosa. Tapi harapan bukannya tidak ada. Pertolongan satu-satunya datang dari “atas”, dari Allah sendiri. Anak Allah turun ke dunia menjadi manusia Yesus Kristus untuk mengangkat manusia dari jebakan maut dosa. Dan Yesus bukan hanya mengangkat, melainkan juga membersihkan hati kita dengan melumuri dosa kita pada diri-Nya sendiri. Di atas salib, Ia mencurahkan darah-Nya untuk membersihkan hati nurani kita dan menanggung hukuman Allah yang seharusnya jatuh pada kita. Dan pada akhir zaman nanti, Ia akan datang untuk menjemput umat-Nya, dan memberikan tubuh yang baru, yang suci sama sekali dari dosa.
Apakah Anda menyadari keberdosaan Anda dan berputus-asa karena upaya Anda membersihkan diri melalui agama, ibadah, dan amal ternyata percuma? Terimalah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadimu, dan berdoalah: “Tuhan Yesus, aku orang berdosa. Ampuni aku. Aku tidak mampu membebaskan diri dari dosa-dosaku. Aku menerima-Mu sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Masuklah dan berkuasalah dalam hatiku, dan bersihkanlah terus dengan darah-Mu, agar aku suci seperti Engkau. Demi nama-Mu. Amin.”
(Artikel ini dimuat dalam majalah triwulanan GII Hok Im Tong, Buletin Parousia, edisi ke-22, Mei 2010, dalam rubrik "Jalan Keselamatan", dengan isi yang sudah diedit)
Mucikari
Aku adalah mucikari hidupku sendiri
Kugadai keperawanan imanku
Bahkan sang dara kesayangan
Rohku
Kuobral
Hanya demi sejumput kesenangan
Yang berakhir menjadi bangkai
Di onggok kerajaan gelap
Aku adalah mucikari hatiku sendiri
Menjual jatidiri sudah
Dan derap doaku
Serta nafasnya
Telah kujual
Cuma untuk kepuasan tak berarti
Berujung di dunia penuh sesal
Tanpa tercapai segala apa yang disesal
Aku adalah mucikari diriku sendiri
Tak kupungkiri
Betapa nikmat waktu integritasku dulu
Kucampakkan cuma-cuma
Untuk apa?
Untuk memberi makan nafsuku
Yang terus haus bernafsu
Hingga ia teronggok dan tak satu pun melirik
Dalam kumpulan bau busuk bergerombol
Aku adalah mucikari kemucikarianku sendiri
Karena kini kuinjak-injak
Kuludahi semua itu
Sebab itu semua sudah terburai
Di antara perbendaraan masa lalu
Dan sekarang hidup dan hati dan diriku
Sudah dibeli
Oleh pemilik baru
Yang takkan melacurkanku lagi
Yang telah membeliku mahal-mahal
Membayarku
Dengan nyawanya sendiri
Kugadai keperawanan imanku
Bahkan sang dara kesayangan
Rohku
Kuobral
Hanya demi sejumput kesenangan
Yang berakhir menjadi bangkai
Di onggok kerajaan gelap
Aku adalah mucikari hatiku sendiri
Menjual jatidiri sudah
Dan derap doaku
Serta nafasnya
Telah kujual
Cuma untuk kepuasan tak berarti
Berujung di dunia penuh sesal
Tanpa tercapai segala apa yang disesal
Aku adalah mucikari diriku sendiri
Tak kupungkiri
Betapa nikmat waktu integritasku dulu
Kucampakkan cuma-cuma
Untuk apa?
Untuk memberi makan nafsuku
Yang terus haus bernafsu
Hingga ia teronggok dan tak satu pun melirik
Dalam kumpulan bau busuk bergerombol
Aku adalah mucikari kemucikarianku sendiri
Karena kini kuinjak-injak
Kuludahi semua itu
Sebab itu semua sudah terburai
Di antara perbendaraan masa lalu
Dan sekarang hidup dan hati dan diriku
Sudah dibeli
Oleh pemilik baru
Yang takkan melacurkanku lagi
Yang telah membeliku mahal-mahal
Membayarku
Dengan nyawanya sendiri
Selasa, 26 Oktober 2010
Apakah Semua Agama Sama?
Pertanyaan itu bagi saya bodoh sekali. Meski terdengar kasar, saya tidak bermaksud melancarkan penghinaan terhadap siapapun.
Sangat sering kita mendengar pertanyaan tersebut di atas ditanyakan. Umumnya, orang menanyakannya dengan maksud & motivasi baik, ingin menyatakan kerinduan akan kedamaian antarumat beragama.
Tentu, akan naif sekali bila kita memaksudkan pertanyaan tersebut sebagai keinginan untuk menganggap semua agama sama dalam hal hakekat. Semua kita pasti setuju bahwa tiap agama itu unik. Latar belakang timbulnya, ajaran, tata ibadah, serta pernyataan tujuan & makna hidup para pemeluk dari suatu agama jelas berbeda secara fundamental dengan agama lainnya. Lagipula, jika suatu kategori berisi hal-hal yang secara esensial sama, maka dengan sendirinya kategori itu akan menjadi tidak berarti: tidak ada kategori lagi jadinya. Demikian pun bila semua agama pada hakekatnya sama, maka tidak ada lagi yang namanya "agama".
Jadi, apa sebetulnya yang ditanyakan?
Saya akan coba paparkan satu demi satu apa yang saya sebut "arah maksud" pertanyaan itu. Setelah itu, saya akan mengungkapkan argumentasi saya terhadap masing-masing arah, yang akan menjelaskan mengapa saya menyatakan bahwa pertanyaan tersebut bodoh sekali.
Arah-arah maksud pertanyaan "apakah semua agama sama?":
1. Semua agama berasal dari Tuhan yang sama.
Arah maksud ini menyiratkan pengakuan adanya keberadaan yang ilahi, transenden, mahakuasa; yang menciptakan segalanya, memelihara, dan memerintah semua yang diciptakannya; yang dikenal dengan sebutan "Tuhan".
Kemudian, dalam proses berjalannya kehidupan dan dinamika seluruh ciptaan, Tuhan ini melakukan pewahyuan. Namun, pewahyuan itu tidak dinyatakan kepada satu orang/kelompok saja. Beberapa orang/kelompok lain juga menerima pewahyuan. Dan ternyata, isi pewahyuan-pewahyuan itu berbeda satu dengan yang lain. Mengapa demikian, itulah yang menjadi pergumulan orang-orang yang mengikuti alur jenis arah maksud ini.
2. Semua agama beribadah kepada/menyembah Tuhan yang sama.
Mereka yang menganut arah maksud pertama dengan sendirinya pasti menganut juga arah maksud ini. Namun tidak semua yang menganut arah maksud ini mengasumsikan agama mereka berasal dari Tuhan yang sama dengan agama lain.
Perbedaannya, orang-orang yang semata-mata memandang semua agama bermuara pada Tuhan yang sama mengasumsikan tidak adanya pewahyuan. Agama justru dipandang sebagai proses pencarian yang dilakukan manusia akan sesuatu yang ilahi; atau, dengan kata lain, jalan untuk mencapai kesempurnaan tertinggi. Berbagai sebab bisa menjadi alasan mereka untuk melakukan pencarian itu, mulai dari kesimpulan akan adanya sebab utama dari segala keberadaan dan fenomena, sampai keinginan untuk mencari pegangan yang kokoh-tak tergoyahkan di tengah perjalanan kehidupan yang serba kacau & tak pasti.
3. Semua agama mengajarkan nilai kebajikan & kebenaran yang sama.
Para penganut arah maksud pertama & kedua niscaya juga menganut pandangan ini. Tetapi tidak semua pengusung arah maksud ini juga bermaksud mengatakan bahwa agama mereka berasal dari dan/atau menyembah Tuhan yang sama dengan agama lainnya.
Para pemegang arah maksud ini memegang paradigma kerukunan & persatuan. Semua agama tidak mungkin menganjurkan untuk berbuat jahat, demikian pandangan mereka, semua pasti mengajarkan perbuatan baik & penegakan keadilan. Pandangan itu mereka pegang lebih dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari friksi di antara pemeluk berbagai agama daripada oleh sebab-sebab filsafati atau ontologis (pencarian kedalaman hakekat).
4. Semua agama sama-sama benar.
Penganut ketiga arah maksud di atas bisa dipastikan juga setuju pada arah maksud yang terakhir ini. Tapi ada juga pemegang pandangan ini yang tidak menganut salah satu dari arah-arah maksud yang lain.
Sepintas, arah maksud ini mirip dengan arah maksud yang ketiga. Hampir sama dengan para penganut arah maksud ketiga, para penganut arah maksud keempat ini juga mempunyai latar belakang pemikiran yang menginginkan kedamaian antarpemeluk agama. Mereka juga tidak terlalu menghiraukan pemikiran-pemikiran yang terlalu "ngejelimet" soal makna dan hakiki agama. Bedanya, jika mereka yang menganut arah maksud ketiga masih mau mengupayakan jalan tengah -setidaknya, dalam dialog antaragama, atau saling tukar informasi paham-paham teologis di antara pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda-, para penganut arah maksud keempat ini tidak juga memedulikan hal-hal itu. Buat mereka, bagaimana kerukunan dan ketenangan terwujud saja yang menjadi keprihatinan.
Setelah pemaparan di atas, sekarang saya akan coba mengajukan argumentasi untuk membantah arah-arah maksud tersebut.
1. Terhadap arah maksud pertama (Semua agama berasal dari Tuhan yang sama):
Saya setuju dengan arah maksud pertama ini (juga dengan arah maksud kedua, dan dengan -barangkali- arah maksud ketiga dan keempat) dalam hal pernyataan: Tuhan itu ada, dan Dia berpribadi (soal ada/tidaknya Tuhan, serta masalah apakah Tuhan itu berpribadi/tidak, saya berencana membahasnya juga dalam tulisan yang lain).
Tetapi, suatu entitas yang disebut Tuhan harus memiliki integritas dan keutuhan jatidiri tertinggi, sehingga dapat menjadi model ideal untuk integritas dan keutuhan jatidiri manusia. Dari Pribadi dengan tingkat integritas dan keutuhan identitas semahatinggi itu kita dapat mengharapkan tidak adanya ambiguitas (kemenduaan); termasuk dalam hal penurunan wahyu: tidak mungkin Ia mewahyukan perihal sesuatu (eksplisit maupun implisit) kepada seseorang/sekelompok orang, kemudian mewahyukan yang sama sekali berbeda untuk perihal yang sama (eksplisit maupun implisit) kepada orang/kelompok yang lain. Contoh: kepada suatu agama diwahyukan bahwa poligami itu sah-sah saja; sementara untuk agama lain, diisyaratkan wahyu yang melarang poligami sama sekali, kendati Ia, dalam ke-panjangsabaran-Nya, mengizinkan dosa (termasuk poligami) dilakukan. Bagaimana menjelaskan kontradiksi dalam contoh tersebut?
Jika arah maksud pertama ini dipaksakan, maka kita juga harus memilih:
a. menerima suatu tuhan yang plin-plan, atau bermuka dua, atau (parahnya) berniat jahat hendak membingungkan/menyesatkan umat manusia, atau (lebih parah lagi!) gabungan dua atau tiga-tiganya sekaligus dari kondisi-kondisi itu.
Pertanyaan yang harus direnungkan: maukah kita mempunyai tuhan yang seperti itu?
b. meyakini ada banyak tuhan.
Opsi ini jelas akan ditentang para penganut arah maksud pertama. Tapi implikasinya jelas: jika mereka setuju (dan saya yakin demikian) tentang integritas & keutuhan identitas Tuhan, sekaligus menolak opsi pertama di atas, tidak ada pilihan lain, mereka harus mulai berpikir bahwa Tuhan itu tidak mahaesa karena ternyata ada banyak tuhan, mengingat ada banyak sekali perintah-perintah yang saling bertentangan antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Tuhan yang berkontradiksi -dalam hal apapun: tindakan, perkataan, maupun pemikiran- otomatis takkan mampu dan tidak akan pernah pantas untuk menjadi standar apapun, apalagi sebagai standar kebenaran & kebajikan moral. Lantas, di mana kita dapat melabuhkan serta menarik penilaian secara aman atas pelbagai nilai-nilai, moral, keadilan, dan kebenaran? Dengan kata lain, bagaimana kita dapat menilai sesuatu itu secara moral baik, benar, adil, dan berharga, jika tidak ada standarnya? Tuhan yang seperti demikian tidak dapat & tidak pantas menjadi standar moral, dan tuhan yang tidak menjadi standar moral tidak akan pernah boleh menjadi Tuhan, kapan pun dan di mana pun!
Pula, jika memang ada lebih dari satu tuhan, maka kemungkinan yang paling masuk akal adalah tuhan-tuhan itu akan menciptakan dunia-dunia yang berbeda-beda. Tapi realitanya, hanya ada satu dunia yang dikenal (orang mengira ada paling sedikit dua dunia: dunia fisik (dunia kasat mata) yang fana yang kita diami ini, dan dunia roh (dunia tak kasat mata) yang kekal-abadi yang menjadi wilayah Tuhan & makhluk yang kita kenal sebagai malaikat, iblis, setan, jin, dan sebagainya; padahal, sebenarnya keduanya, meski memang dapat & harus dibedakan, berada dalam satu dunia yang sama, hanya memang, karena suatu alasan, kedua keberadaan (yang fisik & yang roh) itu untuk sementara terpisah [ini juga merupakan wacana yang cukup menarik untuk dibahas di kemudian hari]).
Kemudian juga, jika benar ada lebih dari satu tuhan, maka ada juga kemungkinan terdapat perbedaan strata di antara "tuhan"-"tuhan" itu. Jika demikian, bagaimana kita menentukan "tuhan" mana yang lebih tinggi dan "tuhan" mana yang lebih rendah? Jika kita mau melanjutkan pembahasan ini, dengan mengatakan bahwa masalah ranking dalam ketuhanan bukan urusan kita, maka apakah tidak konyol jika ternyata "tuhan" yang agama kita sembah itu ternyata bukan tuhan yang tertinggi?
Lagipula, jika memang ada lebih dari satu tuhan, maka kita mau tidak mau diperhadapkan dengan pertanyaan: "tuhan mana yang menciptakan saya?", "tuhan mana yang menciptakan pohon?", atau "tuhan mana yang memerintahkan untuk menghormati orangtua?", dan pertanyaan-pertanyaan senada lainnya.
Terakhir, jika ada lebih dari satu tuhan, maka, yang jelas, tidak akan ada keunikan dalam ketuhanan. Sedangkan menurut definisinya, yang disebut sebagai "Tuhan" itu adalah sesuatu (pribadi maupun bukan pribadi) yang transenden (berbeda dari segala yang ada sekaligus berada di atas segalanya), dan juga bersifat mahatinggi, mahakuasa, mahahadir, mahakasih, dan sebagainya. Kata "transenden" & imbuhan "maha-" itu saja sudah mengindikasikan keunikan, sesuatu yang tidak (dan tidak boleh) ada duanya. Konsekuensinya, jika ada lebih dari satu tuhan, maka mereka sudah tidak bisa lagi disebut sebagai "tuhan"; dan karena tidak ada di antara "mereka" yang bisa disebut "tuhan", maka berarti tidak ada Tuhan.
Karena kita telah melihat, kemungkinan adanya lebih dari satu tuhan itu terlalu berkontradiksi untuk dapat menjadi kenyataan, kita harus kembali pada kemungkinan a. di atas. Dan kita juga telah melihat, bagaimana tidak dapat terjadinya juga kemungkinan itu.
Betapa terjepitnya pikiran yang berusaha memegang arah maksud pertama ini.
Kesimpulan:
Dengan demikian, arah maksud yang pertama itu jelas tidak logis. Pernyataan "semua agama berasal dari Tuhan yang sama" itu bodoh!
2. Terhadap arah maksud kedua (Semua agama menyembah Tuhan yang sama):
Banyak sungai, meskipun bersumber dari mata air yang berbeda-beda, bermuara ke laut yang sama. Demikian logika mereka yang memeluk arah maksud kedua ini. Pada dirinya sendiri, pernyataan tersebut benar. Namun bila diterapkan untuk pandangan ini, logikanya jadi kacau. Tidak semua sungai di dunia ini bermuara di laut yang sama, pula mengingat ada banyak laut di dunia ini.
Pencarian manusia akan sosok Tuhan niscaya sia-sia saja. Transendensi Tuhan tidak akan mungkin tergapai manusia yang tinggal di dunia, di "bawah sini"; kemahatinggian Tuhan tak terhampiri siapa pun. Untuk menjalin hubungan antara Pribadi yang transenden dan maha- itu dengan manusia, semua inisiatif & usaha harus dilakukan semata-mata oleh Sang Pribadi itu sendiri. Kalau pun ada yang dihasilkan dari proses pencarian manusia itu, seharusnya itu adalah pertanyaan: "Dari mana manusia bisa mendapat ide tentang adanya sosok Ilahi yang disebut Tuhan itu? Mengapa kita semua, dari dasar hati kita yang terdalam, menyadari keilahian? Apa sebabnya manusia begitu terobsesi oleh gagasan akan sumber dari segala sesuatu yang ada, sumber yang adikodrati?" (hal ini pun penting untuk dibahas).
Beberapa agama menyembah Tuhan yang mahaesa (monoteis), sementara beberapa agama meyakini & menyembah banyak tuhan (politeis). Bagaimana menyelaraskan keduanya?
Ada beberapa usaha konyol yang menyebutkan bahwa ajaran-ajaran politeis itu sebenarnya juga (secara implisit & tidak terlalu sering dibahas/dipikirkan) meyakini adanya Tuhan yang mahaesa, yang membawahkan "tuhan"-"tuhan" atau para dewata mereka; padahal kenyataannya, agama-agama politeis itu tidak membahas adanya Tuhan yang mahaesa karena memang konsep itu tidak pernah ada dalam ajaran agama mereka.
Untuk lebih memperumit masalah, saya akan tambahkan fakta adanya ajaran (yang kemudian berkembang menjadi agama) yang ateistik (tidak percaya adanya Tuhan/apa pun yang adikodrati). Betapa lebih tidak mungkinnya mencari celah kesamaan objek penyembahan, bukan?
Kesimpulan:
Arah maksud kedua itu tidak rasional: pernyataan "semua agama menyembah Tuhan yang sama" jelas bodoh!
3. Terhadap arah maksud ketiga (Semua agama nilai kebajikan & kebenaran yang sama):
Saya setuju bila dikatakan bahwa banyak agama yang mengajarkan aspek-aspek yang mirip dalam beberapa bidang moral & kebenaran. Mengutuk pembunuhan sesama manusia, melarang perzinahan, dan melarang mencuri, misalnya, adalah hal-hal umum yang diajarkan sebagian besar, kalau tidak mau/dapat dikatakan "semua", agama.
Tapi yang diisyaratkan oleh arah maksud ini adalah bahwa semua agama mengajarkan nilai-nilai yang seragam; artinya, semua agama berbicara tentang hal yang sama dalam bidang-bidang moral & kebenaran yang sama dan dalam semua aspeknya. Padahal tidak demikian!
Terdapat banyak bidang di mana agama yang satu berbicara tentang bidang itu sedangkan agama lainnya tidak. Contoh: soal reinkarnasi. Beberapa agama membicarakan siklus kehidupan makhluk, khususnya manusia: orang yang selama hidupnya menata hidupnya dengan baik sempurna, maka setelah mati ia akan masuk ke dalam nirwana (suatu hidup dalam keadaan tanpa nafsu, entah di mana); namun jika hidupnya tidak baik, atau baik secara tidak sempurna, hidupnya akan berulang, rohnya akan bereinkarnasi dalam bentuk manusia lain dengan taraf hidup lebih rendah, atau menjadi hewan atau tumbuhan, yang bentuk kehidupannya lebih rendah daripada manusia. Demikianlah siklus itu terus berjalan, begitu paham itu mengatakan. Tapi banyak agama tidak mempunyai paham ini sama sekali.
Agama-agama juga sering mengajarkan aspek-aspek yang sama sekali berbeda untuk satu bidang yang sama. Ambil satu contoh: doa. Ada agama yang menganjurkan berdoa menghadap patung, lukisan, foto, atau apa pun yang merupakan imaji dari objek penyembahannya; sedangkan agama lain justru melarangnya: cara-cara tersebut dianggap sebagai tindakan penyembahan berhala, menduakan Tuhan.
Bagaimana menjelaskan perbedaan tersebut? Belum lagi bila disebutkan bidang-bidang yang lain dan juga aspek-aspek lain dalam satu bidang tertentu, akan makin banyak kita temui perbedaan ajaran antara satu agama dengan lainnya.
Kesimpulan:
Makin jelas, arah maksud yang ketiga ini pun tidak masuk akal. Pernyataan "semua agama mengajarkan nilai kebajikan & kebenaran yang sama" itu bodoh!
4. Terhadap arah maksud keempat (Semua agama sama-sama benar):
Saya tidak akan berpanjang-lebar berargumentasi menentang pemahaman yang satu ini. Pandangan yang terakhir ini diambil entah karena sikap keras kepala dan kemasabodohan mereka yang memegang salah satu atau beberapa sekaligus ketiga arah maksud lainnya -yang meski sudah ditunjukkan kontradiksi arah-arah maksud itu, tetap bersikukuh-, entah pula karena kemalasan berpikir & merenungkan soal-soal seperti ini.
Yang jelas, dari semua arah maksud, yang keempat inilah yang paling bodoh!
Hal-hal yang patut diperhatikan:
1. Sikap toleransi antarumat beragama itu sangat penting. Hal itu melahirkan rasa menghormati yang tulus, dan pada gilirannya, juga menghasilkan kerukunan dalam hidup bermasyarakat. Namun justru karena sebegitu pentingnya toleransi, kita tidak boleh meremehkan pemahaman akan arti toleransi yang sebenarnya, juga kita tidak berhak menjual murah-murah toleransi hanya demi kenyamanan kita dalam arti: kita bersikap toleransi palsu tanpa memahami secara benar arti toleransi yang sejati hanya karena kita tidak ingin/malas/segan/takut mengonfirmasi agama kita sendiri & mengonfrontir keyakinan kita dengan agama lain, yang semua itu kita lakukan hanya supaya kita dihargai & tidak diganggu.
2. Lalu apa arti toleransi sebenarnya? Toleransi dapat didefinisikan sebagai sikap menghormati sesama, apapun pandangan yang mereka anut, demi kebaikan mereka sendiri. Dari definisi itu kita lihat, yang kita toleransi adalah orangnya, bukan paham yang dianutnya. Dan dari definisi itu juga kita lihat, toleransi itu harus didasari untuk mencari kebaikan untuk diri orang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Sehingga, bilamana ada paham-paham yang bertentangan dengan yang kita pegang, kita harus dengan berani menyatakan perbedaan tersebut, tentu dengan sikap hormat & lemah lembut (lihat definisi toleransi). Bilamana ada paham yang jelas kita tahu salah, sedangkan kita tahu (bukan sekadar yakin) bahwa paham kita benar, kita juga harus berani menyatakannya kepada orang yang menganut paham yang salah tersebut; karena jika tidak, maka itu sama saja dengan membiarkan orang lain meluncur di jalan yang licin yang berakhir di jurang tak berdasar, padahal kita tahu kenyataan tentang jalan mencelakakan itu sekaligus tahu jalan mana yang menuju keselamatan.
3. Apakah bisa kita sedemikian gamblang namun tetap meraih kedamaian & kerukunan? Tentu saja! Hanya kedamaian semu yang bisa dihasilkan dari sikap tutup mulut padahal mengetahui kebenaran. Kedamaian & kerukunan yang benar justru harus diawali oleh sikap saling terbuka; berani mengatakan yang benar, dan berbesar hati untuk berpikir kritis kalau-kalau saja pandangan yang kita anut itu salah dan untuk menerima masukan orang yang berbeda agama, adalah dua syarat yang bagai dua sisi uang logam demi tercapainya kerukunan antarumat beragama: salah satu saja ditinggalkan, maka kita harus menanggung resiko mengalami kerukunan palsu (yang kelihatannya damai di luar, tapi sebenarnya di dalam hati membenci), atau mengalami konflik terbuka (akibat keengganan kita memegang teguh kebenaran & menghormati orang).
4. Mungkin ada keberatan yang ditujukan kepada saya: bagaimana saya bisa mengatakan hal-hal tentang menghormati orang, sedangkan dalam tulisan ini saya mengata-ngatai "bodoh" terhadap berbagai arah maksud dari pertanyaan "apakah semua agama sama?"?
Pertama, sebagaimana yang saya tulis di awal, saya tidak mengatai-ngatai orang. Yang saya bilang bodoh itu -seperti dapat dilihat dari berulangkalinya saya tulis di atas- ialah pandangan/arah maksudnya, bukan orangnya.
Kedua, dengan menyatakan demikian, saya membuktikan konsistensi ucapan saya sendiri: saya tidak segan-segan menyatakan apa yang benar dan apa yang salah.
5. Mengatakan "semua agama (dalam salah satu atau beberapa arah maksudnya) itu sama" itulah yang justru melecehkan agama! Tidak mungkin agama A sama dengan agama B. Jika memang keduanya sama (apalagi jika memang semua agama sama), seperti yang saya telah singgung di atas, itu sama saja dengan mengatakan "tidak ada agama". Katakan kepada siapa pun yang memeluk agama apa pun: "agamamu sama dengan agamaku", maka itu berarti kita mengatakan kepadanya: "agamamu itu bukan agama, sama seperti agamaku juga sebenarnya bukan agama". Dan itulah pelecehan terhadap agama.
Pengakuan akan keunikan masing-masing agama harus mendahului sikap toleransi. Tanpa itu, takkan mungkin kita dapat hidup rukun satu sama lain. Dan tanpa jaminan kerukunan yang lahir dari hati tiap orang di antara kita, tidak mungkin pula kita mampu menggapai kebenaran yang sejati.
Sangat sering kita mendengar pertanyaan tersebut di atas ditanyakan. Umumnya, orang menanyakannya dengan maksud & motivasi baik, ingin menyatakan kerinduan akan kedamaian antarumat beragama.
Tentu, akan naif sekali bila kita memaksudkan pertanyaan tersebut sebagai keinginan untuk menganggap semua agama sama dalam hal hakekat. Semua kita pasti setuju bahwa tiap agama itu unik. Latar belakang timbulnya, ajaran, tata ibadah, serta pernyataan tujuan & makna hidup para pemeluk dari suatu agama jelas berbeda secara fundamental dengan agama lainnya. Lagipula, jika suatu kategori berisi hal-hal yang secara esensial sama, maka dengan sendirinya kategori itu akan menjadi tidak berarti: tidak ada kategori lagi jadinya. Demikian pun bila semua agama pada hakekatnya sama, maka tidak ada lagi yang namanya "agama".
Jadi, apa sebetulnya yang ditanyakan?
Saya akan coba paparkan satu demi satu apa yang saya sebut "arah maksud" pertanyaan itu. Setelah itu, saya akan mengungkapkan argumentasi saya terhadap masing-masing arah, yang akan menjelaskan mengapa saya menyatakan bahwa pertanyaan tersebut bodoh sekali.
Arah-arah maksud pertanyaan "apakah semua agama sama?":
1. Semua agama berasal dari Tuhan yang sama.
Arah maksud ini menyiratkan pengakuan adanya keberadaan yang ilahi, transenden, mahakuasa; yang menciptakan segalanya, memelihara, dan memerintah semua yang diciptakannya; yang dikenal dengan sebutan "Tuhan".
Kemudian, dalam proses berjalannya kehidupan dan dinamika seluruh ciptaan, Tuhan ini melakukan pewahyuan. Namun, pewahyuan itu tidak dinyatakan kepada satu orang/kelompok saja. Beberapa orang/kelompok lain juga menerima pewahyuan. Dan ternyata, isi pewahyuan-pewahyuan itu berbeda satu dengan yang lain. Mengapa demikian, itulah yang menjadi pergumulan orang-orang yang mengikuti alur jenis arah maksud ini.
2. Semua agama beribadah kepada/menyembah Tuhan yang sama.
Mereka yang menganut arah maksud pertama dengan sendirinya pasti menganut juga arah maksud ini. Namun tidak semua yang menganut arah maksud ini mengasumsikan agama mereka berasal dari Tuhan yang sama dengan agama lain.
Perbedaannya, orang-orang yang semata-mata memandang semua agama bermuara pada Tuhan yang sama mengasumsikan tidak adanya pewahyuan. Agama justru dipandang sebagai proses pencarian yang dilakukan manusia akan sesuatu yang ilahi; atau, dengan kata lain, jalan untuk mencapai kesempurnaan tertinggi. Berbagai sebab bisa menjadi alasan mereka untuk melakukan pencarian itu, mulai dari kesimpulan akan adanya sebab utama dari segala keberadaan dan fenomena, sampai keinginan untuk mencari pegangan yang kokoh-tak tergoyahkan di tengah perjalanan kehidupan yang serba kacau & tak pasti.
3. Semua agama mengajarkan nilai kebajikan & kebenaran yang sama.
Para penganut arah maksud pertama & kedua niscaya juga menganut pandangan ini. Tetapi tidak semua pengusung arah maksud ini juga bermaksud mengatakan bahwa agama mereka berasal dari dan/atau menyembah Tuhan yang sama dengan agama lainnya.
Para pemegang arah maksud ini memegang paradigma kerukunan & persatuan. Semua agama tidak mungkin menganjurkan untuk berbuat jahat, demikian pandangan mereka, semua pasti mengajarkan perbuatan baik & penegakan keadilan. Pandangan itu mereka pegang lebih dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari friksi di antara pemeluk berbagai agama daripada oleh sebab-sebab filsafati atau ontologis (pencarian kedalaman hakekat).
4. Semua agama sama-sama benar.
Penganut ketiga arah maksud di atas bisa dipastikan juga setuju pada arah maksud yang terakhir ini. Tapi ada juga pemegang pandangan ini yang tidak menganut salah satu dari arah-arah maksud yang lain.
Sepintas, arah maksud ini mirip dengan arah maksud yang ketiga. Hampir sama dengan para penganut arah maksud ketiga, para penganut arah maksud keempat ini juga mempunyai latar belakang pemikiran yang menginginkan kedamaian antarpemeluk agama. Mereka juga tidak terlalu menghiraukan pemikiran-pemikiran yang terlalu "ngejelimet" soal makna dan hakiki agama. Bedanya, jika mereka yang menganut arah maksud ketiga masih mau mengupayakan jalan tengah -setidaknya, dalam dialog antaragama, atau saling tukar informasi paham-paham teologis di antara pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda-, para penganut arah maksud keempat ini tidak juga memedulikan hal-hal itu. Buat mereka, bagaimana kerukunan dan ketenangan terwujud saja yang menjadi keprihatinan.
Setelah pemaparan di atas, sekarang saya akan coba mengajukan argumentasi untuk membantah arah-arah maksud tersebut.
1. Terhadap arah maksud pertama (Semua agama berasal dari Tuhan yang sama):
Saya setuju dengan arah maksud pertama ini (juga dengan arah maksud kedua, dan dengan -barangkali- arah maksud ketiga dan keempat) dalam hal pernyataan: Tuhan itu ada, dan Dia berpribadi (soal ada/tidaknya Tuhan, serta masalah apakah Tuhan itu berpribadi/tidak, saya berencana membahasnya juga dalam tulisan yang lain).
Tetapi, suatu entitas yang disebut Tuhan harus memiliki integritas dan keutuhan jatidiri tertinggi, sehingga dapat menjadi model ideal untuk integritas dan keutuhan jatidiri manusia. Dari Pribadi dengan tingkat integritas dan keutuhan identitas semahatinggi itu kita dapat mengharapkan tidak adanya ambiguitas (kemenduaan); termasuk dalam hal penurunan wahyu: tidak mungkin Ia mewahyukan perihal sesuatu (eksplisit maupun implisit) kepada seseorang/sekelompok orang, kemudian mewahyukan yang sama sekali berbeda untuk perihal yang sama (eksplisit maupun implisit) kepada orang/kelompok yang lain. Contoh: kepada suatu agama diwahyukan bahwa poligami itu sah-sah saja; sementara untuk agama lain, diisyaratkan wahyu yang melarang poligami sama sekali, kendati Ia, dalam ke-panjangsabaran-Nya, mengizinkan dosa (termasuk poligami) dilakukan. Bagaimana menjelaskan kontradiksi dalam contoh tersebut?
Jika arah maksud pertama ini dipaksakan, maka kita juga harus memilih:
a. menerima suatu tuhan yang plin-plan, atau bermuka dua, atau (parahnya) berniat jahat hendak membingungkan/menyesatkan umat manusia, atau (lebih parah lagi!) gabungan dua atau tiga-tiganya sekaligus dari kondisi-kondisi itu.
Pertanyaan yang harus direnungkan: maukah kita mempunyai tuhan yang seperti itu?
b. meyakini ada banyak tuhan.
Opsi ini jelas akan ditentang para penganut arah maksud pertama. Tapi implikasinya jelas: jika mereka setuju (dan saya yakin demikian) tentang integritas & keutuhan identitas Tuhan, sekaligus menolak opsi pertama di atas, tidak ada pilihan lain, mereka harus mulai berpikir bahwa Tuhan itu tidak mahaesa karena ternyata ada banyak tuhan, mengingat ada banyak sekali perintah-perintah yang saling bertentangan antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Tuhan yang berkontradiksi -dalam hal apapun: tindakan, perkataan, maupun pemikiran- otomatis takkan mampu dan tidak akan pernah pantas untuk menjadi standar apapun, apalagi sebagai standar kebenaran & kebajikan moral. Lantas, di mana kita dapat melabuhkan serta menarik penilaian secara aman atas pelbagai nilai-nilai, moral, keadilan, dan kebenaran? Dengan kata lain, bagaimana kita dapat menilai sesuatu itu secara moral baik, benar, adil, dan berharga, jika tidak ada standarnya? Tuhan yang seperti demikian tidak dapat & tidak pantas menjadi standar moral, dan tuhan yang tidak menjadi standar moral tidak akan pernah boleh menjadi Tuhan, kapan pun dan di mana pun!
Pula, jika memang ada lebih dari satu tuhan, maka kemungkinan yang paling masuk akal adalah tuhan-tuhan itu akan menciptakan dunia-dunia yang berbeda-beda. Tapi realitanya, hanya ada satu dunia yang dikenal (orang mengira ada paling sedikit dua dunia: dunia fisik (dunia kasat mata) yang fana yang kita diami ini, dan dunia roh (dunia tak kasat mata) yang kekal-abadi yang menjadi wilayah Tuhan & makhluk yang kita kenal sebagai malaikat, iblis, setan, jin, dan sebagainya; padahal, sebenarnya keduanya, meski memang dapat & harus dibedakan, berada dalam satu dunia yang sama, hanya memang, karena suatu alasan, kedua keberadaan (yang fisik & yang roh) itu untuk sementara terpisah [ini juga merupakan wacana yang cukup menarik untuk dibahas di kemudian hari]).
Kemudian juga, jika benar ada lebih dari satu tuhan, maka ada juga kemungkinan terdapat perbedaan strata di antara "tuhan"-"tuhan" itu. Jika demikian, bagaimana kita menentukan "tuhan" mana yang lebih tinggi dan "tuhan" mana yang lebih rendah? Jika kita mau melanjutkan pembahasan ini, dengan mengatakan bahwa masalah ranking dalam ketuhanan bukan urusan kita, maka apakah tidak konyol jika ternyata "tuhan" yang agama kita sembah itu ternyata bukan tuhan yang tertinggi?
Lagipula, jika memang ada lebih dari satu tuhan, maka kita mau tidak mau diperhadapkan dengan pertanyaan: "tuhan mana yang menciptakan saya?", "tuhan mana yang menciptakan pohon?", atau "tuhan mana yang memerintahkan untuk menghormati orangtua?", dan pertanyaan-pertanyaan senada lainnya.
Terakhir, jika ada lebih dari satu tuhan, maka, yang jelas, tidak akan ada keunikan dalam ketuhanan. Sedangkan menurut definisinya, yang disebut sebagai "Tuhan" itu adalah sesuatu (pribadi maupun bukan pribadi) yang transenden (berbeda dari segala yang ada sekaligus berada di atas segalanya), dan juga bersifat mahatinggi, mahakuasa, mahahadir, mahakasih, dan sebagainya. Kata "transenden" & imbuhan "maha-" itu saja sudah mengindikasikan keunikan, sesuatu yang tidak (dan tidak boleh) ada duanya. Konsekuensinya, jika ada lebih dari satu tuhan, maka mereka sudah tidak bisa lagi disebut sebagai "tuhan"; dan karena tidak ada di antara "mereka" yang bisa disebut "tuhan", maka berarti tidak ada Tuhan.
Karena kita telah melihat, kemungkinan adanya lebih dari satu tuhan itu terlalu berkontradiksi untuk dapat menjadi kenyataan, kita harus kembali pada kemungkinan a. di atas. Dan kita juga telah melihat, bagaimana tidak dapat terjadinya juga kemungkinan itu.
Betapa terjepitnya pikiran yang berusaha memegang arah maksud pertama ini.
Kesimpulan:
Dengan demikian, arah maksud yang pertama itu jelas tidak logis. Pernyataan "semua agama berasal dari Tuhan yang sama" itu bodoh!
2. Terhadap arah maksud kedua (Semua agama menyembah Tuhan yang sama):
Banyak sungai, meskipun bersumber dari mata air yang berbeda-beda, bermuara ke laut yang sama. Demikian logika mereka yang memeluk arah maksud kedua ini. Pada dirinya sendiri, pernyataan tersebut benar. Namun bila diterapkan untuk pandangan ini, logikanya jadi kacau. Tidak semua sungai di dunia ini bermuara di laut yang sama, pula mengingat ada banyak laut di dunia ini.
Pencarian manusia akan sosok Tuhan niscaya sia-sia saja. Transendensi Tuhan tidak akan mungkin tergapai manusia yang tinggal di dunia, di "bawah sini"; kemahatinggian Tuhan tak terhampiri siapa pun. Untuk menjalin hubungan antara Pribadi yang transenden dan maha- itu dengan manusia, semua inisiatif & usaha harus dilakukan semata-mata oleh Sang Pribadi itu sendiri. Kalau pun ada yang dihasilkan dari proses pencarian manusia itu, seharusnya itu adalah pertanyaan: "Dari mana manusia bisa mendapat ide tentang adanya sosok Ilahi yang disebut Tuhan itu? Mengapa kita semua, dari dasar hati kita yang terdalam, menyadari keilahian? Apa sebabnya manusia begitu terobsesi oleh gagasan akan sumber dari segala sesuatu yang ada, sumber yang adikodrati?" (hal ini pun penting untuk dibahas).
Beberapa agama menyembah Tuhan yang mahaesa (monoteis), sementara beberapa agama meyakini & menyembah banyak tuhan (politeis). Bagaimana menyelaraskan keduanya?
Ada beberapa usaha konyol yang menyebutkan bahwa ajaran-ajaran politeis itu sebenarnya juga (secara implisit & tidak terlalu sering dibahas/dipikirkan) meyakini adanya Tuhan yang mahaesa, yang membawahkan "tuhan"-"tuhan" atau para dewata mereka; padahal kenyataannya, agama-agama politeis itu tidak membahas adanya Tuhan yang mahaesa karena memang konsep itu tidak pernah ada dalam ajaran agama mereka.
Untuk lebih memperumit masalah, saya akan tambahkan fakta adanya ajaran (yang kemudian berkembang menjadi agama) yang ateistik (tidak percaya adanya Tuhan/apa pun yang adikodrati). Betapa lebih tidak mungkinnya mencari celah kesamaan objek penyembahan, bukan?
Kesimpulan:
Arah maksud kedua itu tidak rasional: pernyataan "semua agama menyembah Tuhan yang sama" jelas bodoh!
3. Terhadap arah maksud ketiga (Semua agama nilai kebajikan & kebenaran yang sama):
Saya setuju bila dikatakan bahwa banyak agama yang mengajarkan aspek-aspek yang mirip dalam beberapa bidang moral & kebenaran. Mengutuk pembunuhan sesama manusia, melarang perzinahan, dan melarang mencuri, misalnya, adalah hal-hal umum yang diajarkan sebagian besar, kalau tidak mau/dapat dikatakan "semua", agama.
Tapi yang diisyaratkan oleh arah maksud ini adalah bahwa semua agama mengajarkan nilai-nilai yang seragam; artinya, semua agama berbicara tentang hal yang sama dalam bidang-bidang moral & kebenaran yang sama dan dalam semua aspeknya. Padahal tidak demikian!
Terdapat banyak bidang di mana agama yang satu berbicara tentang bidang itu sedangkan agama lainnya tidak. Contoh: soal reinkarnasi. Beberapa agama membicarakan siklus kehidupan makhluk, khususnya manusia: orang yang selama hidupnya menata hidupnya dengan baik sempurna, maka setelah mati ia akan masuk ke dalam nirwana (suatu hidup dalam keadaan tanpa nafsu, entah di mana); namun jika hidupnya tidak baik, atau baik secara tidak sempurna, hidupnya akan berulang, rohnya akan bereinkarnasi dalam bentuk manusia lain dengan taraf hidup lebih rendah, atau menjadi hewan atau tumbuhan, yang bentuk kehidupannya lebih rendah daripada manusia. Demikianlah siklus itu terus berjalan, begitu paham itu mengatakan. Tapi banyak agama tidak mempunyai paham ini sama sekali.
Agama-agama juga sering mengajarkan aspek-aspek yang sama sekali berbeda untuk satu bidang yang sama. Ambil satu contoh: doa. Ada agama yang menganjurkan berdoa menghadap patung, lukisan, foto, atau apa pun yang merupakan imaji dari objek penyembahannya; sedangkan agama lain justru melarangnya: cara-cara tersebut dianggap sebagai tindakan penyembahan berhala, menduakan Tuhan.
Bagaimana menjelaskan perbedaan tersebut? Belum lagi bila disebutkan bidang-bidang yang lain dan juga aspek-aspek lain dalam satu bidang tertentu, akan makin banyak kita temui perbedaan ajaran antara satu agama dengan lainnya.
Kesimpulan:
Makin jelas, arah maksud yang ketiga ini pun tidak masuk akal. Pernyataan "semua agama mengajarkan nilai kebajikan & kebenaran yang sama" itu bodoh!
4. Terhadap arah maksud keempat (Semua agama sama-sama benar):
Saya tidak akan berpanjang-lebar berargumentasi menentang pemahaman yang satu ini. Pandangan yang terakhir ini diambil entah karena sikap keras kepala dan kemasabodohan mereka yang memegang salah satu atau beberapa sekaligus ketiga arah maksud lainnya -yang meski sudah ditunjukkan kontradiksi arah-arah maksud itu, tetap bersikukuh-, entah pula karena kemalasan berpikir & merenungkan soal-soal seperti ini.
Yang jelas, dari semua arah maksud, yang keempat inilah yang paling bodoh!
Hal-hal yang patut diperhatikan:
1. Sikap toleransi antarumat beragama itu sangat penting. Hal itu melahirkan rasa menghormati yang tulus, dan pada gilirannya, juga menghasilkan kerukunan dalam hidup bermasyarakat. Namun justru karena sebegitu pentingnya toleransi, kita tidak boleh meremehkan pemahaman akan arti toleransi yang sebenarnya, juga kita tidak berhak menjual murah-murah toleransi hanya demi kenyamanan kita dalam arti: kita bersikap toleransi palsu tanpa memahami secara benar arti toleransi yang sejati hanya karena kita tidak ingin/malas/segan/takut mengonfirmasi agama kita sendiri & mengonfrontir keyakinan kita dengan agama lain, yang semua itu kita lakukan hanya supaya kita dihargai & tidak diganggu.
2. Lalu apa arti toleransi sebenarnya? Toleransi dapat didefinisikan sebagai sikap menghormati sesama, apapun pandangan yang mereka anut, demi kebaikan mereka sendiri. Dari definisi itu kita lihat, yang kita toleransi adalah orangnya, bukan paham yang dianutnya. Dan dari definisi itu juga kita lihat, toleransi itu harus didasari untuk mencari kebaikan untuk diri orang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Sehingga, bilamana ada paham-paham yang bertentangan dengan yang kita pegang, kita harus dengan berani menyatakan perbedaan tersebut, tentu dengan sikap hormat & lemah lembut (lihat definisi toleransi). Bilamana ada paham yang jelas kita tahu salah, sedangkan kita tahu (bukan sekadar yakin) bahwa paham kita benar, kita juga harus berani menyatakannya kepada orang yang menganut paham yang salah tersebut; karena jika tidak, maka itu sama saja dengan membiarkan orang lain meluncur di jalan yang licin yang berakhir di jurang tak berdasar, padahal kita tahu kenyataan tentang jalan mencelakakan itu sekaligus tahu jalan mana yang menuju keselamatan.
3. Apakah bisa kita sedemikian gamblang namun tetap meraih kedamaian & kerukunan? Tentu saja! Hanya kedamaian semu yang bisa dihasilkan dari sikap tutup mulut padahal mengetahui kebenaran. Kedamaian & kerukunan yang benar justru harus diawali oleh sikap saling terbuka; berani mengatakan yang benar, dan berbesar hati untuk berpikir kritis kalau-kalau saja pandangan yang kita anut itu salah dan untuk menerima masukan orang yang berbeda agama, adalah dua syarat yang bagai dua sisi uang logam demi tercapainya kerukunan antarumat beragama: salah satu saja ditinggalkan, maka kita harus menanggung resiko mengalami kerukunan palsu (yang kelihatannya damai di luar, tapi sebenarnya di dalam hati membenci), atau mengalami konflik terbuka (akibat keengganan kita memegang teguh kebenaran & menghormati orang).
4. Mungkin ada keberatan yang ditujukan kepada saya: bagaimana saya bisa mengatakan hal-hal tentang menghormati orang, sedangkan dalam tulisan ini saya mengata-ngatai "bodoh" terhadap berbagai arah maksud dari pertanyaan "apakah semua agama sama?"?
Pertama, sebagaimana yang saya tulis di awal, saya tidak mengatai-ngatai orang. Yang saya bilang bodoh itu -seperti dapat dilihat dari berulangkalinya saya tulis di atas- ialah pandangan/arah maksudnya, bukan orangnya.
Kedua, dengan menyatakan demikian, saya membuktikan konsistensi ucapan saya sendiri: saya tidak segan-segan menyatakan apa yang benar dan apa yang salah.
5. Mengatakan "semua agama (dalam salah satu atau beberapa arah maksudnya) itu sama" itulah yang justru melecehkan agama! Tidak mungkin agama A sama dengan agama B. Jika memang keduanya sama (apalagi jika memang semua agama sama), seperti yang saya telah singgung di atas, itu sama saja dengan mengatakan "tidak ada agama". Katakan kepada siapa pun yang memeluk agama apa pun: "agamamu sama dengan agamaku", maka itu berarti kita mengatakan kepadanya: "agamamu itu bukan agama, sama seperti agamaku juga sebenarnya bukan agama". Dan itulah pelecehan terhadap agama.
Pengakuan akan keunikan masing-masing agama harus mendahului sikap toleransi. Tanpa itu, takkan mungkin kita dapat hidup rukun satu sama lain. Dan tanpa jaminan kerukunan yang lahir dari hati tiap orang di antara kita, tidak mungkin pula kita mampu menggapai kebenaran yang sejati.
Tahap
Satu demi satu terjalin
Merangkai memori
Terjerat kenestapaan dosa-dosa
Diri menggapai-gapai hidup
Nan tak bergeming
Dilumat lekat-lekat
Sang ego
Bila segala yang berada
Tiada lagi ada mengada
Aku takkan kembali bersauh
Tiap-tiap jenjang adalah kesaksamaan
Yang menuntut peduli
Pada ingkarku
Seirama dengan memar di hati
Kaki batinku tertatih
Di atas bara didikan-Mu
Ya Bapa
Relakah aku menanggung-Mu?
Semua kejadian Kauurai
Tak tersisa kelabu
Terbersit di kenanganku lagi
Karena cahaya-Mu menyapu sampai lapuk
Setiap titik debu
Dari hinaku
Tingkat per tingkat kudaki
Turun lagi
Meluncur jauh!
Namun Kauangkat langkahku kembali
Pulihkan debaran gugupku
Sebab mengira telah kehilangan
Kasih-Mu yang teranugerah
Dalam kesengajaan setia-Mu
Ya Bapa
Anak ini terus membandel
Tapi kumau relakan terus
Rohku
Untuk Kaugembleng
Demi Anak Agung-Mu
Penyelamat kami
Selamatkanlah aku lagi
Supaya aku kembali pada fungsiku
Menyelamatkan saudara-saudara
Yang juga tertatih dalam tahap-Mu
Demi Anak Kudus-Mu
Pengudus kami
Biarlah aku selalu penuh
Dengan Roh Suci-Mu
Ya Bapa
Untuk memantulkan
Silau-Mu
Ke tengah dunia gelapku
Ya Bapa
Tahap ini kian berat
Kautahu
Ya Bapa
Tidak ada luka yang tak Kaubuat
Namun juga tak ada bilur
Yang Kaubiarkan
Terbalur berbabak-belur
Di sekujur riwayatku
Semua itu hanyalah sayang-Mu
Sebab Engkau hanya ingin
Nama-Mu pantas kusemat
Biarkan aku menderita
Agar aku bersih dari dosa
Terus naik dalam tahap
Menuju-Mu
Biarkan aku bersukacita
Karena Kausudi pakai manusia hina ini
Jadi pecut murka-Mu
Dan saputangan pembalut luka-Mu
Untuk semua saudara
Juga semua orang yang kusua
Merangkai memori
Terjerat kenestapaan dosa-dosa
Diri menggapai-gapai hidup
Nan tak bergeming
Dilumat lekat-lekat
Sang ego
Bila segala yang berada
Tiada lagi ada mengada
Aku takkan kembali bersauh
Tiap-tiap jenjang adalah kesaksamaan
Yang menuntut peduli
Pada ingkarku
Seirama dengan memar di hati
Kaki batinku tertatih
Di atas bara didikan-Mu
Ya Bapa
Relakah aku menanggung-Mu?
Semua kejadian Kauurai
Tak tersisa kelabu
Terbersit di kenanganku lagi
Karena cahaya-Mu menyapu sampai lapuk
Setiap titik debu
Dari hinaku
Tingkat per tingkat kudaki
Turun lagi
Meluncur jauh!
Namun Kauangkat langkahku kembali
Pulihkan debaran gugupku
Sebab mengira telah kehilangan
Kasih-Mu yang teranugerah
Dalam kesengajaan setia-Mu
Ya Bapa
Anak ini terus membandel
Tapi kumau relakan terus
Rohku
Untuk Kaugembleng
Demi Anak Agung-Mu
Penyelamat kami
Selamatkanlah aku lagi
Supaya aku kembali pada fungsiku
Menyelamatkan saudara-saudara
Yang juga tertatih dalam tahap-Mu
Demi Anak Kudus-Mu
Pengudus kami
Biarlah aku selalu penuh
Dengan Roh Suci-Mu
Ya Bapa
Untuk memantulkan
Silau-Mu
Ke tengah dunia gelapku
Ya Bapa
Tahap ini kian berat
Kautahu
Ya Bapa
Tidak ada luka yang tak Kaubuat
Namun juga tak ada bilur
Yang Kaubiarkan
Terbalur berbabak-belur
Di sekujur riwayatku
Semua itu hanyalah sayang-Mu
Sebab Engkau hanya ingin
Nama-Mu pantas kusemat
Biarkan aku menderita
Agar aku bersih dari dosa
Terus naik dalam tahap
Menuju-Mu
Biarkan aku bersukacita
Karena Kausudi pakai manusia hina ini
Jadi pecut murka-Mu
Dan saputangan pembalut luka-Mu
Untuk semua saudara
Juga semua orang yang kusua
Bergelantung dalam Kekosongan
Gamang menyeringai
Memenggal kalimat teriakku sudah ia
Puas menyelubungi ketakutan ini
Manakala tersedu akal kehilangan arah
Leherku terlilit kebiasaan membinasakan
Sekujur hidup hanyalah mimpi yang tak ingin kuimpi
Sampai kapan hendak kubiarkan kelumit kutatan ini?
Aku sudah terjerat dalam lepasku
Bebas yang telah terjual oleh tangan malas
Menghunjam kaki ke bumi
Serta kepala terpatri di atas pembaringan
Kini
Aku berteriak
Aku menjerit
Aku melolong
Rindu tangan kuat merenggutku
Memperbudak niat dan lakuku
Untuk menjadi seperti yang dibentuknya
Sampai kalbu ini tak lagi meronta
Tetap saja aku terbiar
Dalam kekosongan yang menarik rohku
Tinggi
Antara sorga dan dunia
Oh, kapankah?
Kapankah aku beroleh kembali
Kekuatan yang tak alami
Untuk kembali dalam riuh gempita rukunnya
Makhluk-makhluk sorgawi?
Karena diamnya aku ini
Sungguh mematikanku pelan-pelan
Hingga aku mati selagi mendiami raga duniawiku
Aku sendiri
Aku sendiri yang mencipta segala derita
Yang kini kukecap jeratannya
Dalam kekosongan
Yang kian sesak kurasa
Memenggal kalimat teriakku sudah ia
Puas menyelubungi ketakutan ini
Manakala tersedu akal kehilangan arah
Leherku terlilit kebiasaan membinasakan
Sekujur hidup hanyalah mimpi yang tak ingin kuimpi
Sampai kapan hendak kubiarkan kelumit kutatan ini?
Aku sudah terjerat dalam lepasku
Bebas yang telah terjual oleh tangan malas
Menghunjam kaki ke bumi
Serta kepala terpatri di atas pembaringan
Kini
Aku berteriak
Aku menjerit
Aku melolong
Rindu tangan kuat merenggutku
Memperbudak niat dan lakuku
Untuk menjadi seperti yang dibentuknya
Sampai kalbu ini tak lagi meronta
Tetap saja aku terbiar
Dalam kekosongan yang menarik rohku
Tinggi
Antara sorga dan dunia
Oh, kapankah?
Kapankah aku beroleh kembali
Kekuatan yang tak alami
Untuk kembali dalam riuh gempita rukunnya
Makhluk-makhluk sorgawi?
Karena diamnya aku ini
Sungguh mematikanku pelan-pelan
Hingga aku mati selagi mendiami raga duniawiku
Aku sendiri
Aku sendiri yang mencipta segala derita
Yang kini kukecap jeratannya
Dalam kekosongan
Yang kian sesak kurasa
Cermin
Menatapmu
Seakan aku terkoyak
Kesadaran berseliweran
Mengguncang kokohku
Rindu dan tenggelam
Dalam genggam tegurmu
Pelupukku tak sanggup merengkuh lagi
Tercabik hati olehmu
Imajiku terhempas
Burai bersama percaya diriku
Karena tegurmu aku berkelebat dalam gamang
Tanpa pegangan bagi keangkuhan
Dosa kaupaparkan
Tampak jelas di beningku
Tak kusangkali kebenaranmu
Kauceritakan barang sejenak
Riwayat semua celaku
Seluruh hidup meluruh dalam sesak
Namun juga kaupancarkan nasehat
Pertobatan teranjur dari tuturmu
Kusambut bagai musafir
Yang haus mereguk ampunan
Oh cermin
Benarkah sungguh-sungguh beritamu?
Tetapkan dalam sanubariku
Tekad menyambut undangan Sang Penyelamat
Dan di dalam diri-Nya
'Kan kudapati diriku
Nan kini mengutuh kembali
Tanpa sombong dosa timbul kembali
Sekarang aku mampu menatapmu dengan lega
Tidak seperti sediakala
Manakala kecammu mendidihkan sampai menguap
Rasa amanku dalam kubang dosa
Beritamu kali ini menghibur belaka
Bahwasanya aku diterima kembali
Dalam hadirat Mahatinggi
Berkat pantulan lembutmu
Seakan aku terkoyak
Kesadaran berseliweran
Mengguncang kokohku
Rindu dan tenggelam
Dalam genggam tegurmu
Pelupukku tak sanggup merengkuh lagi
Tercabik hati olehmu
Imajiku terhempas
Burai bersama percaya diriku
Karena tegurmu aku berkelebat dalam gamang
Tanpa pegangan bagi keangkuhan
Dosa kaupaparkan
Tampak jelas di beningku
Tak kusangkali kebenaranmu
Kauceritakan barang sejenak
Riwayat semua celaku
Seluruh hidup meluruh dalam sesak
Namun juga kaupancarkan nasehat
Pertobatan teranjur dari tuturmu
Kusambut bagai musafir
Yang haus mereguk ampunan
Oh cermin
Benarkah sungguh-sungguh beritamu?
Tetapkan dalam sanubariku
Tekad menyambut undangan Sang Penyelamat
Dan di dalam diri-Nya
'Kan kudapati diriku
Nan kini mengutuh kembali
Tanpa sombong dosa timbul kembali
Sekarang aku mampu menatapmu dengan lega
Tidak seperti sediakala
Manakala kecammu mendidihkan sampai menguap
Rasa amanku dalam kubang dosa
Beritamu kali ini menghibur belaka
Bahwasanya aku diterima kembali
Dalam hadirat Mahatinggi
Berkat pantulan lembutmu
Sakit Menyulutkan Tabah
Serasa api ini tak henti meledekku.........
Koyaknya daging memburu kelemahanku
Hangus oleh tenggelamnya asa
Tanpa daya memandang rasa lega menjauh
Aku sudah berkubangkan perih
Seanteroku lumat dicerca pedih beria
Sepertinya akhirku telah mengada.........
Hiburlah aku, luka!
Genggamlah tulangku
Tapi jangan doaku!
Karena belum terbit jua sabarku
Sambaran ini kurasa justru menafikan rintih
Kusibak awan tebal nan bernanah
Tanpa hiraukan sekarat kutembakkan rasa tabah
Melangit dia, membumbung, meraja
Dan akhirnya mengubur lepuhan itu
Canda mulai bergolak.........
Rekamlah kini deritaku
Biar sudah memerah namun pantang kuladeni
Kendatipun darah ini merajah
Menjauh terus aku dari keinginan terkeluh
Sampai datang sendiri sembuhku
Walau harus kunanti
Hingga tabahku membara abadi
Demi jangan melayu semua insan
Koyaknya daging memburu kelemahanku
Hangus oleh tenggelamnya asa
Tanpa daya memandang rasa lega menjauh
Aku sudah berkubangkan perih
Seanteroku lumat dicerca pedih beria
Sepertinya akhirku telah mengada.........
Hiburlah aku, luka!
Genggamlah tulangku
Tapi jangan doaku!
Karena belum terbit jua sabarku
Sambaran ini kurasa justru menafikan rintih
Kusibak awan tebal nan bernanah
Tanpa hiraukan sekarat kutembakkan rasa tabah
Melangit dia, membumbung, meraja
Dan akhirnya mengubur lepuhan itu
Canda mulai bergolak.........
Rekamlah kini deritaku
Biar sudah memerah namun pantang kuladeni
Kendatipun darah ini merajah
Menjauh terus aku dari keinginan terkeluh
Sampai datang sendiri sembuhku
Walau harus kunanti
Hingga tabahku membara abadi
Demi jangan melayu semua insan
Akan Kusapa Maut
Akan kusapa maut
Bila dia datang dengan sayap berbinarnya;
Akan kuhamburkan senyum
Ke arah gemintang
Nan 'kan lembut
Menyambangi sekaratku.
Jika tiada akhir itu menjelang,
Niscaya itu karena Junjunganku telah kunjung;
Namun jika kau, maut, menjemputku
Sejengkal sebelum langkah-Nya merapat,
Hanya iman yang 'kan menuntun
Rohku berpulang.
Tak ada lagi gentar,
Tak kupunya lagi takut,
Padamu, wahai sakaratul!
Tempatmu itu sekarang di bak sampah semesta,
Terlempar dari bingkai mengerikanmu.........
Tuanku telah melumatkanmu sampai memburai,
Ya bekas kerajaan gelap!
Darah-Nya mencabik-cabik kekuasaanmu
Yang pernah menghantui semua insan
Dengan rantaimu menggerincing timbulkan ngilu.
Hanya tinggal mimpi,
Itulah engkau, hai kematian;
Karena itu,
Kau sekarang tak lebih daripada utusan pengantar
Bagiku kembali ke kediaman sejatiku
Di pelukan Baginda tercinta.
Bila dia datang dengan sayap berbinarnya;
Akan kuhamburkan senyum
Ke arah gemintang
Nan 'kan lembut
Menyambangi sekaratku.
Jika tiada akhir itu menjelang,
Niscaya itu karena Junjunganku telah kunjung;
Namun jika kau, maut, menjemputku
Sejengkal sebelum langkah-Nya merapat,
Hanya iman yang 'kan menuntun
Rohku berpulang.
Tak ada lagi gentar,
Tak kupunya lagi takut,
Padamu, wahai sakaratul!
Tempatmu itu sekarang di bak sampah semesta,
Terlempar dari bingkai mengerikanmu.........
Tuanku telah melumatkanmu sampai memburai,
Ya bekas kerajaan gelap!
Darah-Nya mencabik-cabik kekuasaanmu
Yang pernah menghantui semua insan
Dengan rantaimu menggerincing timbulkan ngilu.
Hanya tinggal mimpi,
Itulah engkau, hai kematian;
Karena itu,
Kau sekarang tak lebih daripada utusan pengantar
Bagiku kembali ke kediaman sejatiku
Di pelukan Baginda tercinta.
Ratap dan Harap untuk Negeri
Mengapa kau tak kunjung sadar?
Tuaian atas semua dosa pemimpin
Juga rakyat
Kini sudah bernas benar!
Mau sampai berapa kali kau digoncang
Atau dilanda nestapa
Hingga terkapar?
Kau,
Yang memelihara dalam ribaanmu
Segala tamak dan dengki?
Lihatlah, Indonesia,
Pandanglah!
Tidakkah rintih-jerit anak-anakmu
Menginsafkan sukmamu?
Tak tergugahkah kesombonganmu
Untuk meluruh
Demi barang sekejap saja
Tawa sukacita isi rumahmu?
Ranah Minang terkoyak sampai lantah
Menyusul Pasundan nan masih gemetar
Terguncang
Karena kedahsyatan bumi yang tergetar
Memorandakan mereka.
Masih hendak menunggu area lainmu
Tercurah bak darah mereka?
Namun tidak 'kan henti kulimpahkan harap padamu
Demi perubahan batin mendalam
Dalam kedalaman sanubarimu;
Oh, Nusantara.........
Pohonkanlah ampun,
Pekikkanlah sesal,
Tekadkanlah pertobatan,
Terimalah penebusan
Semua kepada dan dari Pencipta
Dan Juruselamatmu!
Tidakkah kau iri pada tetangga-tetanggamu
Yang kian gencar mengejekmu,
Memperolok nista hidupmu
Serta manusia-manusiamu?
Masih mau terus kaubiarkan
Mereka menertawakan sembari menjarahimu?
Aku,
Mereka,
Yang bernaung dalam pembaringanmu
Tak rela kita terus didera semua!
Bangkitlah bersamaku, wahai negeri!
Bukan kepongahan beserta ketololan
Seperti selama ini,
Tapi harkat berikut karakter utuh;
Bangkitkanlah itu!
Segera kita hapus bersama
Air mata;
Cepat kita enyahkan
Celaka duka masa lalu
Dengan semua noda dan dosa kita!
Tuaian atas semua dosa pemimpin
Juga rakyat
Kini sudah bernas benar!
Mau sampai berapa kali kau digoncang
Atau dilanda nestapa
Hingga terkapar?
Kau,
Yang memelihara dalam ribaanmu
Segala tamak dan dengki?
Lihatlah, Indonesia,
Pandanglah!
Tidakkah rintih-jerit anak-anakmu
Menginsafkan sukmamu?
Tak tergugahkah kesombonganmu
Untuk meluruh
Demi barang sekejap saja
Tawa sukacita isi rumahmu?
Ranah Minang terkoyak sampai lantah
Menyusul Pasundan nan masih gemetar
Terguncang
Karena kedahsyatan bumi yang tergetar
Memorandakan mereka.
Masih hendak menunggu area lainmu
Tercurah bak darah mereka?
Namun tidak 'kan henti kulimpahkan harap padamu
Demi perubahan batin mendalam
Dalam kedalaman sanubarimu;
Oh, Nusantara.........
Pohonkanlah ampun,
Pekikkanlah sesal,
Tekadkanlah pertobatan,
Terimalah penebusan
Semua kepada dan dari Pencipta
Dan Juruselamatmu!
Tidakkah kau iri pada tetangga-tetanggamu
Yang kian gencar mengejekmu,
Memperolok nista hidupmu
Serta manusia-manusiamu?
Masih mau terus kaubiarkan
Mereka menertawakan sembari menjarahimu?
Aku,
Mereka,
Yang bernaung dalam pembaringanmu
Tak rela kita terus didera semua!
Bangkitlah bersamaku, wahai negeri!
Bukan kepongahan beserta ketololan
Seperti selama ini,
Tapi harkat berikut karakter utuh;
Bangkitkanlah itu!
Segera kita hapus bersama
Air mata;
Cepat kita enyahkan
Celaka duka masa lalu
Dengan semua noda dan dosa kita!
Lara
Senyap ini merundung.........
Diri terkatung dalam mendung
Mengharap pertolongan
Mencuatkan pekik tanpa asa
Kuberkubang dalam lagu
Sayapku mengeriapi gunung sampai puncaknya memerah
Merekat erat
Bunyi-bunyian nan menyilaukan.........
Berontaklah, jiwa!
Semburatkan cipta!
Berkutatlah!
Namun jangan sampai mati!
Itu sayup ada benderang.........
Aku sanggup lari lagi dari kelahiran ini
Menyesap kelegaan
Biar beribu kandang kumasuki
Tak satu kurengkuh
Dalam hati yang bergulat dalam-dalam
Terhadap segala mendera
Lara
Penolongku menebusku lagi.........
Diri terkatung dalam mendung
Mengharap pertolongan
Mencuatkan pekik tanpa asa
Kuberkubang dalam lagu
Sayapku mengeriapi gunung sampai puncaknya memerah
Merekat erat
Bunyi-bunyian nan menyilaukan.........
Berontaklah, jiwa!
Semburatkan cipta!
Berkutatlah!
Namun jangan sampai mati!
Itu sayup ada benderang.........
Aku sanggup lari lagi dari kelahiran ini
Menyesap kelegaan
Biar beribu kandang kumasuki
Tak satu kurengkuh
Dalam hati yang bergulat dalam-dalam
Terhadap segala mendera
Lara
Penolongku menebusku lagi.........
Surat Rindu untuk Papa
Papa tersayang,
Apa kabar Papa di sana? Saya yakin, Papa tetap berjaya, Papa tidak akan mungkin tergoyahkan, karena Papa punya kekuasaan & kekuatan yang tiada tara, yang tak satupun sanggup menyamai. Kalau saya, sebagaimana Papa tahu, sedang gundah.
Berbagai kebodohan saya lakukan selama ini; dan sekarang saya menuai akibatnya. Segala waktu & momen berharga saya sia-siakan. Hidup ini saya penuhi dengan kekosongan semata. Malah, saya tetap berkanjang dalam kenajisan, padahal saya sudah berjanji berkali-kali untuk menuruti nasehat Papa, tidak mau mengecewakan Papa; tapi, Papa sendiri tahu, betapa saya setiap kali segera saja melupakan janji-janji itu dan kembali membuat Papa bersedih, marah, murka; sehingga, yah, beginilah keadaan saya: terpuruk dalam penyesalan dan kesesakan.
Saya tahu, saya jarang menghubungi Papa. Setiap kali saya menghubungi Papa itu pasti hanya karena saya dalam kesulitan, seperti sekarang ini. Sebenarnya saya malu menyurati Papa lagi. Anak durhaka saya ini. Anak tidak tahu diri. Rasanya saya sudah tidak pantas lagi disebut anak Papa.
Papa sudah sedemikian baik mengadopsi saya, memberi status paling terhormat sebagai anak Papa, melenyapkan kehinaan keadaan saya yang dulu sudah tanpa pengharapan karena menjadi yatim-piatu yang malang; ditambah lagi Papa sudah membebaskan saya dari perbudakan para penjahat yang dulu sempat bertahun-tahun menguasai seluruh hidup & keberadaan saya.
Papa tunjukkan kejeniusan Papa, Papa demonstrasikan kemurahan & cinta kasih Papa, malah Papa tidak segan-segan mengorbankan perasaan Papa sendiri, karena saat itu, demi untuk membebaskanku dari jerat tanpa ampun kaum penjahat itu, Papa mengutus Abang, anak kandung Papa sendiri satu-satunya.
Sebagai penguasa negeri, Papa menghendaki lenyapnya semua yang jahat dari negeri ini. Dan karena aku ketika itu termasuk dalam komplotan musuh negeri, musuh Papa, meski itu di luar keinginanku sendiri, maka otomatis aku pun terhitung sebagai musuh Papa. Tapi entah bagaimana, Papa yang membenci kejahatan, justru menyayangi saya! Papa tidak ingin melenyapkan saya. Bahkan, Papa ingin saya menjadi anak Papa.
Saya tidak mengerti waktu itu, dan sampai sekarang pun masih tidak mengerti, apa yang membuat Papa sayang pada saya. Saya sudah kadung jahat, Papa, akibat dari lahir saya sudah dalam penguasaan sang bandit. Tapi Papa tetap berkeraskepala, menginginkan saya. Papa tidak bisa mengorbankan integritas Papa sebagai hakim & pembuat hukum negeri. Karena itu, Papa tidak mungkin melepas para kriminal. Jadi, seharusnya saya mati di tangan Papa, demi menegakkan kebenaran & keadilan.
Tapi, di situlah saya terkagum-kagum pada ide brilian Papa, tapi sekaligus terharu. Bagaimana tidak? Untuk mengatasi dilema itu, Papa mengorbankan Abang! Dalam pengadilan, Abang mengakui semua kejahatan saya, sedangkan kesempurnaan moral dan kesetiaan Abang diperhitungkan sebagai milik saya. Konsekuensinya, Abang-lah yang harus dihukum mati, membayar utang keadilan Papa!
Sebegitu cintanya Papa pada saya. Dan betapa luar biasa terkejut saya, kala mendengar bahwa apa yang Papa lakukan terhadap saya itu Papa lakukan juga pada jutaan penduduk negeri yang lain, karena ternyata, seluruh negeri sudah dikuasai oleh para penjahat.
Oh, Papa, Papa!!! Mengapa Papa mau melakukan itu? Bukan karena aku meragukan cinta kasih Papa saya bertanya, melainkan karena saya tidak pernah berhenti terheran-heran. Sebaliknya, rasa syukur & terimakasih saya tidak akan pernah berhenti untuk Papa dan untuk Abang, anak tersayang Papa.
Dan saya lebih bersyukur lagi, karena ternyata Abang hidup lagi!
Ya, Papa dan Abang-ku yang tak pernah berhenti membuat kejutan, kalian tak pernah berhenti melakukan keajaiban, membuat kami-kami ini, yang telah kalian angkat menjadi anggota keluarga, terkagum-kagum!
Tapi, Papa, justru karena itu saya sekarang diliputi rasa bersalah. Status saya terhormat, di mata hukum saya tidak bercacat berkat pengorbanan Abang yang sudah jadi tumbal. Semua yang Papa punya Papa limpahkan semua sebagai milik saya juga, bahkan diri Papa & Abang pun sudah Papa serahkan. Kapanpun saya butuh Papa & Abang, kalian selalu siaga. Semua fasilitas Papa anugerahkan pada saya. Tapi, setelah semua itu, saya malah balik kembali pada perbuatan-perbuatan yang Papa & Abang benci. Saya kembali berbuat seolah-olah saya masih menjadi anggota komplotan pemberontak itu.
Hati & tangan saya sudah jadi milik kalian, dan Papa amanatkan kembali pada saya supaya saya gunakan untuk melayani Papa & Abang, serta untuk menjadi manfaat buat saudara-saudara yang lain maupun untuk berbelas kasihan pada orang-orang yang masih berada dalam belenggu kaum penjahat. Namun semua saya kotori dengan hal-hal yang menentang kalian, yang kalian sangat benci, seperti percabulan, kemalasan, kesombongan, perzinahan, keegoisan.
Papa juga selalu rindu bercengkerama dengan saya. Tapi saya selalu mengabaikan Papa. Padahal Papa & Abang sudah mewanti-wanti, hanya dengan sebanyak mungkin bercengkerama dengan kalianlah saya mendapat kemampuan menampik semua kejahatan.
Papa, saya menyesal. Masih bisakah saya Papa ampuni? Masih bolehkah saya menghadap dan berbicara pada Papa? Masih layakkah saya meminta kemurahan Papa?
Tapi ke mana lagi saya bisa pergi? Hanya Papa & Abang yang saya punya! Ayah kandung saya sudah lama kembali ke istana Papa; ibu & saudara-saudara kandung saya tak mampu menghibur dan menghapus kesalahan yang bertumpuk ini. Cuma Papa & Abang yang bisa.
Papa, saya tidak akan pernah lupa kata-kata Papa: "Nak, tiap kali kau butuh Papa & Abang, panggil saja. Kami akan segera mendapatkanmu, memelukmu dalam dekapan kami. Dan tiap kali kau berbuat salah, kami akan menghajarmu sampai kau jera. Tapi ingatlah, itu untuk kebaikanmu sendiri, supaya kau belajar hidup selayaknya seorang bangsawan terhormat, penuh jiwa luhur nan kesatria, seperti abang sulungmu, anak kandungku ini. Dan setiap kali kamu kami hajar, ingatlah juga, kami tetap sayang padamu. Kamu tetap anak Papa, adik abangmu. Kau tetap keluarga kami. Jangan lari ya, Sayangku! Jangan pernah tinggalkan kami, karena kami juga takkan pernah meninggalkan & membuangmu. Hanya saja, jangan pernah meremehkan kasih kami!"
Karena itulah sekarang saya menyurati Papa, karena saya percaya kata-kata Papa & Abang.
Inilah diri saya, Papa, Abang. Saya menyerah dalam didikan kalian, sebab saya mengerti, Papa & Abang ingin saya sempurna, sama seperti kesempurnaan kesucian kalian.
Ngomong-ngomong, Papa, kapan saya bisa selamanya bersama Papa? Di sini saya sudah tidak betah. Tapi kalaupun Papa masih menghendaki saya tetap di sini, saya patuh. Saya yakin, Papa tetap mengawasi, menjagai, dan menyertai langkah saya. Tolong, Papa, Abang, saya tidak ingin mengecewakan kalian lagi, saya mau melakukan apa yang kalian perintahkan, karena untuk itulah makna diri saya, dan untuk itulah kalian berkorban.
Sekian dulu surat Ananda, Papa.
Saya akan menghubungi Papa & Abang lagi sesering mungkin.
Terimakasih, Papa, untuk semua kebaikan Papa.
Hormat dan takzim saya untuk Papa
Dalam nama Abang, anak Papa yang terkasih
Samuel Edward
Apa kabar Papa di sana? Saya yakin, Papa tetap berjaya, Papa tidak akan mungkin tergoyahkan, karena Papa punya kekuasaan & kekuatan yang tiada tara, yang tak satupun sanggup menyamai. Kalau saya, sebagaimana Papa tahu, sedang gundah.
Berbagai kebodohan saya lakukan selama ini; dan sekarang saya menuai akibatnya. Segala waktu & momen berharga saya sia-siakan. Hidup ini saya penuhi dengan kekosongan semata. Malah, saya tetap berkanjang dalam kenajisan, padahal saya sudah berjanji berkali-kali untuk menuruti nasehat Papa, tidak mau mengecewakan Papa; tapi, Papa sendiri tahu, betapa saya setiap kali segera saja melupakan janji-janji itu dan kembali membuat Papa bersedih, marah, murka; sehingga, yah, beginilah keadaan saya: terpuruk dalam penyesalan dan kesesakan.
Saya tahu, saya jarang menghubungi Papa. Setiap kali saya menghubungi Papa itu pasti hanya karena saya dalam kesulitan, seperti sekarang ini. Sebenarnya saya malu menyurati Papa lagi. Anak durhaka saya ini. Anak tidak tahu diri. Rasanya saya sudah tidak pantas lagi disebut anak Papa.
Papa sudah sedemikian baik mengadopsi saya, memberi status paling terhormat sebagai anak Papa, melenyapkan kehinaan keadaan saya yang dulu sudah tanpa pengharapan karena menjadi yatim-piatu yang malang; ditambah lagi Papa sudah membebaskan saya dari perbudakan para penjahat yang dulu sempat bertahun-tahun menguasai seluruh hidup & keberadaan saya.
Papa tunjukkan kejeniusan Papa, Papa demonstrasikan kemurahan & cinta kasih Papa, malah Papa tidak segan-segan mengorbankan perasaan Papa sendiri, karena saat itu, demi untuk membebaskanku dari jerat tanpa ampun kaum penjahat itu, Papa mengutus Abang, anak kandung Papa sendiri satu-satunya.
Sebagai penguasa negeri, Papa menghendaki lenyapnya semua yang jahat dari negeri ini. Dan karena aku ketika itu termasuk dalam komplotan musuh negeri, musuh Papa, meski itu di luar keinginanku sendiri, maka otomatis aku pun terhitung sebagai musuh Papa. Tapi entah bagaimana, Papa yang membenci kejahatan, justru menyayangi saya! Papa tidak ingin melenyapkan saya. Bahkan, Papa ingin saya menjadi anak Papa.
Saya tidak mengerti waktu itu, dan sampai sekarang pun masih tidak mengerti, apa yang membuat Papa sayang pada saya. Saya sudah kadung jahat, Papa, akibat dari lahir saya sudah dalam penguasaan sang bandit. Tapi Papa tetap berkeraskepala, menginginkan saya. Papa tidak bisa mengorbankan integritas Papa sebagai hakim & pembuat hukum negeri. Karena itu, Papa tidak mungkin melepas para kriminal. Jadi, seharusnya saya mati di tangan Papa, demi menegakkan kebenaran & keadilan.
Tapi, di situlah saya terkagum-kagum pada ide brilian Papa, tapi sekaligus terharu. Bagaimana tidak? Untuk mengatasi dilema itu, Papa mengorbankan Abang! Dalam pengadilan, Abang mengakui semua kejahatan saya, sedangkan kesempurnaan moral dan kesetiaan Abang diperhitungkan sebagai milik saya. Konsekuensinya, Abang-lah yang harus dihukum mati, membayar utang keadilan Papa!
Sebegitu cintanya Papa pada saya. Dan betapa luar biasa terkejut saya, kala mendengar bahwa apa yang Papa lakukan terhadap saya itu Papa lakukan juga pada jutaan penduduk negeri yang lain, karena ternyata, seluruh negeri sudah dikuasai oleh para penjahat.
Oh, Papa, Papa!!! Mengapa Papa mau melakukan itu? Bukan karena aku meragukan cinta kasih Papa saya bertanya, melainkan karena saya tidak pernah berhenti terheran-heran. Sebaliknya, rasa syukur & terimakasih saya tidak akan pernah berhenti untuk Papa dan untuk Abang, anak tersayang Papa.
Dan saya lebih bersyukur lagi, karena ternyata Abang hidup lagi!
Ya, Papa dan Abang-ku yang tak pernah berhenti membuat kejutan, kalian tak pernah berhenti melakukan keajaiban, membuat kami-kami ini, yang telah kalian angkat menjadi anggota keluarga, terkagum-kagum!
Tapi, Papa, justru karena itu saya sekarang diliputi rasa bersalah. Status saya terhormat, di mata hukum saya tidak bercacat berkat pengorbanan Abang yang sudah jadi tumbal. Semua yang Papa punya Papa limpahkan semua sebagai milik saya juga, bahkan diri Papa & Abang pun sudah Papa serahkan. Kapanpun saya butuh Papa & Abang, kalian selalu siaga. Semua fasilitas Papa anugerahkan pada saya. Tapi, setelah semua itu, saya malah balik kembali pada perbuatan-perbuatan yang Papa & Abang benci. Saya kembali berbuat seolah-olah saya masih menjadi anggota komplotan pemberontak itu.
Hati & tangan saya sudah jadi milik kalian, dan Papa amanatkan kembali pada saya supaya saya gunakan untuk melayani Papa & Abang, serta untuk menjadi manfaat buat saudara-saudara yang lain maupun untuk berbelas kasihan pada orang-orang yang masih berada dalam belenggu kaum penjahat. Namun semua saya kotori dengan hal-hal yang menentang kalian, yang kalian sangat benci, seperti percabulan, kemalasan, kesombongan, perzinahan, keegoisan.
Papa juga selalu rindu bercengkerama dengan saya. Tapi saya selalu mengabaikan Papa. Padahal Papa & Abang sudah mewanti-wanti, hanya dengan sebanyak mungkin bercengkerama dengan kalianlah saya mendapat kemampuan menampik semua kejahatan.
Papa, saya menyesal. Masih bisakah saya Papa ampuni? Masih bolehkah saya menghadap dan berbicara pada Papa? Masih layakkah saya meminta kemurahan Papa?
Tapi ke mana lagi saya bisa pergi? Hanya Papa & Abang yang saya punya! Ayah kandung saya sudah lama kembali ke istana Papa; ibu & saudara-saudara kandung saya tak mampu menghibur dan menghapus kesalahan yang bertumpuk ini. Cuma Papa & Abang yang bisa.
Papa, saya tidak akan pernah lupa kata-kata Papa: "Nak, tiap kali kau butuh Papa & Abang, panggil saja. Kami akan segera mendapatkanmu, memelukmu dalam dekapan kami. Dan tiap kali kau berbuat salah, kami akan menghajarmu sampai kau jera. Tapi ingatlah, itu untuk kebaikanmu sendiri, supaya kau belajar hidup selayaknya seorang bangsawan terhormat, penuh jiwa luhur nan kesatria, seperti abang sulungmu, anak kandungku ini. Dan setiap kali kamu kami hajar, ingatlah juga, kami tetap sayang padamu. Kamu tetap anak Papa, adik abangmu. Kau tetap keluarga kami. Jangan lari ya, Sayangku! Jangan pernah tinggalkan kami, karena kami juga takkan pernah meninggalkan & membuangmu. Hanya saja, jangan pernah meremehkan kasih kami!"
Karena itulah sekarang saya menyurati Papa, karena saya percaya kata-kata Papa & Abang.
Inilah diri saya, Papa, Abang. Saya menyerah dalam didikan kalian, sebab saya mengerti, Papa & Abang ingin saya sempurna, sama seperti kesempurnaan kesucian kalian.
Ngomong-ngomong, Papa, kapan saya bisa selamanya bersama Papa? Di sini saya sudah tidak betah. Tapi kalaupun Papa masih menghendaki saya tetap di sini, saya patuh. Saya yakin, Papa tetap mengawasi, menjagai, dan menyertai langkah saya. Tolong, Papa, Abang, saya tidak ingin mengecewakan kalian lagi, saya mau melakukan apa yang kalian perintahkan, karena untuk itulah makna diri saya, dan untuk itulah kalian berkorban.
Sekian dulu surat Ananda, Papa.
Saya akan menghubungi Papa & Abang lagi sesering mungkin.
Terimakasih, Papa, untuk semua kebaikan Papa.
Hormat dan takzim saya untuk Papa
Dalam nama Abang, anak Papa yang terkasih
Samuel Edward
Kala Gelap Belaka Menyelimuti.........
Mataku tak mampu menjangkau
Hatiku remuk oleh hampa rasa
Tiada buai, tiada bujuk mampu menembus
Semakin menguak luka ini
Bisa kian meracun
Tawa lebih dalam tenggelam
Ingin menangis karena didera keputusasaan
Namun rupanya kosong pun melanda kantongnya
Menggapai sudah tanpa daya bergeming
Keadaanku menjepit dari semua arah
Dosa-dosa kini berbuah
Aku tertindih dalam sejuta reruntuhan
Tanpa harapan akan pertolongan.........
Tapi aku tak mau terus mendesah!
Punahkan asa mungkin hanya kebodohan
Jalan keluar bisa saja sudah melambai minta digapai
Yang pasti, tangan Sang Mahakuat memang tak terlihat
Malah tak kurasa sama sekali adanya
Namun bukan tak berarti tiada
Imanku enggan menyerah
Dia selalu melerai keributan batin
Meredam segala riuh menggundah
Dengan keyakinan pada tangan itu yang seakan alpa
Tapi sesungguhnya senantiasa siaga
Menanggap keluh dan resah
Kendati situasi sedemikian parah
Meski tidak ada lagi sisa alasan untuk berharap
Sekalipun gelap menggulitai hati
Menyesaki dada
Menyelimuti segala yang ada di antero pandang.........
Hatiku remuk oleh hampa rasa
Tiada buai, tiada bujuk mampu menembus
Semakin menguak luka ini
Bisa kian meracun
Tawa lebih dalam tenggelam
Ingin menangis karena didera keputusasaan
Namun rupanya kosong pun melanda kantongnya
Menggapai sudah tanpa daya bergeming
Keadaanku menjepit dari semua arah
Dosa-dosa kini berbuah
Aku tertindih dalam sejuta reruntuhan
Tanpa harapan akan pertolongan.........
Tapi aku tak mau terus mendesah!
Punahkan asa mungkin hanya kebodohan
Jalan keluar bisa saja sudah melambai minta digapai
Yang pasti, tangan Sang Mahakuat memang tak terlihat
Malah tak kurasa sama sekali adanya
Namun bukan tak berarti tiada
Imanku enggan menyerah
Dia selalu melerai keributan batin
Meredam segala riuh menggundah
Dengan keyakinan pada tangan itu yang seakan alpa
Tapi sesungguhnya senantiasa siaga
Menanggap keluh dan resah
Kendati situasi sedemikian parah
Meski tidak ada lagi sisa alasan untuk berharap
Sekalipun gelap menggulitai hati
Menyesaki dada
Menyelimuti segala yang ada di antero pandang.........
Akan Kujemput Ceria Bila Dia Mulai Berlalu
Mengapa semua tanya kuserahkan pada kehampaan?
Aku yang tersuruk tak mau lagi terpuruk!
Hijaunya luka kutanya:
Kapankah engkau berhenti berdendang?
Nanah itu sontak merekahkan rengutan,
Tak senang rianya menyiksaku terhadang.
Tapi aku tak menyerah dalam pasrah:
Kutarik semua rengkuhan pedih sampai menjerit,
Jerit yang berakhir dalam ketakpedihan.
Gemintang dalam ujung minggu
Menceritakan nostalgi yang tak kuingin dekap;
Sejelas mentari kemarin pagi mengejekku,
Begitu mereka juga coba meremas duka-sesalku.
Namun sudah kuputuskan:
Takkan kembali aku pada hidup nun jauh dari segala yang benar!
Tetapi kuakui segan:
Malangku tetap menetap, mengendap kalap dalam ratap,
Dalam nasib yang oleng,
Terhadap esok nan balau bagi pandang.
Tapi aku tidak ingin menggurah pasrah!
Sudah cukup!
Tiada arti hari lalu terus kupelihara.
Saatku telah tiba untuk mendirikan kembali laguku,
Lagu yang menghidupi hari-hari depanku
Dalam aroma kepatuhan pada pemilikku.
Sang tuan tak ingin kukembali pada kesia-siaan,
Pun tidak pada ketelanjuran.
Untuk itu aku mereguk kekuatannya
Untuk mengayuh kembali hasratku
Yang terkoyak empasan kenyataan;
Dan sedih 'kan kutepis,
Sesal kusiksa hingga ia menyesal;
Dan keceriaan 'kan kupanggil.
Jika dia tak menyahut,
Pasti kuseret dalam jemputku merengkuh
Agar dia tak lagi berlalu.
Aku yang tersuruk tak mau lagi terpuruk!
Hijaunya luka kutanya:
Kapankah engkau berhenti berdendang?
Nanah itu sontak merekahkan rengutan,
Tak senang rianya menyiksaku terhadang.
Tapi aku tak menyerah dalam pasrah:
Kutarik semua rengkuhan pedih sampai menjerit,
Jerit yang berakhir dalam ketakpedihan.
Gemintang dalam ujung minggu
Menceritakan nostalgi yang tak kuingin dekap;
Sejelas mentari kemarin pagi mengejekku,
Begitu mereka juga coba meremas duka-sesalku.
Namun sudah kuputuskan:
Takkan kembali aku pada hidup nun jauh dari segala yang benar!
Tetapi kuakui segan:
Malangku tetap menetap, mengendap kalap dalam ratap,
Dalam nasib yang oleng,
Terhadap esok nan balau bagi pandang.
Tapi aku tidak ingin menggurah pasrah!
Sudah cukup!
Tiada arti hari lalu terus kupelihara.
Saatku telah tiba untuk mendirikan kembali laguku,
Lagu yang menghidupi hari-hari depanku
Dalam aroma kepatuhan pada pemilikku.
Sang tuan tak ingin kukembali pada kesia-siaan,
Pun tidak pada ketelanjuran.
Untuk itu aku mereguk kekuatannya
Untuk mengayuh kembali hasratku
Yang terkoyak empasan kenyataan;
Dan sedih 'kan kutepis,
Sesal kusiksa hingga ia menyesal;
Dan keceriaan 'kan kupanggil.
Jika dia tak menyahut,
Pasti kuseret dalam jemputku merengkuh
Agar dia tak lagi berlalu.
Aku Cinta Batik, Aku Cinta Indonesia
Apapun keadaannya, fakta tidak bisa diingkari, batik adalah aset budaya Indonesia. Tanggal 29 Oktober 2009 lalu, UNESCO mencanangkan tanggal tersebut sebagai Hari Batik, sekaligus untuk merilis pengakuan terhadap batik sebagai warisan budaya Indonesia. Namun, ternyata pengakuan itu bersayap, karena diembel-embeli syarat: bilamana Indonesia tidak konsisten melestarikan batik, maka pengakuan itu akan dicabut kembali. Pertanyaan yang patut diajukan: apa hak UNESCO berkomentar begitu? Siapa yang memberinya wewenang untuk menjadi penentu sesuatu aset budaya itu milik siapa? Suatu aset budaya suatu bangsa tidak mungkin dapat dipindahtangankan kepada bangsa lain, sebab ia secara kekal melekat oleh nilai historis dan sosio-kultural-antropologis pada bangsa tersebut. Bisa demikian karena hal itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari ketetapan tatanan penciptaan oleh Tuhan.
Saya tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hal tersebut. Saya serahkan kepada para sosiolog, antropolog, pakar budaya, politisi, dan pengambil kebijakan untuk dikaji lebih lanjut. Hanya saja, sebagaimana dalam semua hal lain, ada juga pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian itu. Kenapa kita tidak melestarikan aset kita sendiri, sampai-sampai bangsa lain berniat merebutnya? Ini bukan cuma berlaku untuk batik. Masih banyak yang lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, seperti wayang, angklung, lagu-lagu daerah, tari-tarian tradisional, literatur-literatur etnik, pakaian-pakaian adat lainnya; belum lagi aset-aset non-kultural (sesuatu yang, tidak seperti aset budaya, memungkinkan untuk beralih kepemilikan) seperti minyak, gas, pertambangan, laut, pulau, tanah, sampai pasir. Apakah kita tidak mencintainya? Mengapa kita lebih menyenangi segala sesuatu yang berbau asing/luar negeri, mulai dari pemakaian istilah, penamaan produk atau perusahaan, pemilihan musik, gaya hidup, mode, sampai gaya bicara & cara berimajinasi? Dan kenapa pula kita tidak menjaga kekayaan alam kita dari perampasan?
Memang, tidak ada salahnya mengadaptasi, mengakulturasi, mengakomodasi, dan mengonsumsi hal-hal asing dari luar, asal itu benar & baik sesuai kaidah-kaidah moral universal. Itulah salah satu manfaat globalisasi, yakni agar umat manusia di seluruh dunia dapat belajar dari satu sama lain demi mencapai taraf optimal kehidupan yang dimaksud semula oleh Sang Pencipta. Dan benar, tidak bisa dipungkiri, sebagai bangsa, kita banyak kelemahan. Banyak segi tertentu, juga dalam budaya kita dan produknya, yang negatif, destruktif, dan tidak benar. Namun, di samping itu, banyak juga hal yang sendirinya sudah jadi milik kita -yang mana padanya jatidiri kita sebagai bangsa bergantung-, yang bernilai konstruktif, edukatif, baik & benar. Jangan sampai itu sampai -sengaja maupun tidak- terpinggirkan, apalagi terlupakan.
Jadi, di mana letak permasalahannya? Seperti sudah saya singgung di atas, kita tidak akan mau pusing-pusing memikirkan -apalagi repot-repot melestarikan- sesuatu yang kita sendiri tidak cintai. Dan, jelas, tidak mungkin kita mencintai sesuatu kalau kita tidak bangga, atau malah malu, terhadapnya. Pertanyaannya: apakah kita tidak bangga (atau malu) terhadap aset kekayaan kita sendiri itu, ataukah justru kita tidak bangga (atau malu) menjadi orang Indonesia? Kalau ya, mengapa? Dan ini membawa kita kepada inti masalah. Semua itu bermula dari hati dan pikiran kita sendiri. Paradigma kita sudah telanjur berkata bahwa kita adalah "bangsa budak", "warga kelas rendahan", "manusia bermental tempe", dan segudang pola-pikir berkonotasi buruk lainnya tentang diri sendiri; akibatnya, citra diri yang rendah ini berpengaruh terhadap seluruh cara pandang dan penilaian kita, bahkan juga sampai cara kita bertindak, etos kerja kita, cara kita memperlakukan orang lain dan diri sendiri, serta cara kita membentuk karakter diri & bangsa; sehingga malah, disadari atau tidak, dari sinilah juga budaya korupsi, feodalisme, kolusi, nepotisme, despotisme, anarkisme, dan kekerasan tumbuh sampai berurat-akar dalam diri kita. Inilah yang harus kita ubah. Tentu, harus dengan tekad yang sangat kuat, mengingat sudah begitu mendarahdagingnya paradigma tersebut. Sayangnya, tekad dan upaya kita sendiri, bagaimanapun kuatnya, tidak memadai. Kita harus bergantung pada Tuhan, mengandalkan kekuatan & kuasa-Nya. Indonesia harus kembali kepada Tuhan yang benar, yaitu Allah yang menyatakan diri-Nya dalam diri manusia yang bernama Yesus dari Nazaret, yang disebut Kristus, Allah Putra yang menjadi manusia. Saya tidak akan membahas hal terakhir ini lebih jauh; itu saya cadangkan untuk tulisan saya yang lain.
Sebagai penutup, saya ingin kembali kepada batik. Buat saya pribadi, terus terang, saya sendiri sudah lama tidak mempunyai/memakai pakaian batik. Bukan dengan alasan tidak suka, atau karena meng-inferior-kan, namun karena alasan praktis. Pertama, seperti halnya dengan banyak orang muda lain, saya tidak memakai batik karena motif-motif yang diproduksi di pasaran kurang cocok untuk orang muda, sehingga kalau saya memaksakan, maka saya akan terlihat sangat tua. Kedua, juga seperti halnya dengan banyak orang muda lain, bagi saya, pakaian batik identik dengan segala yang formil, baik dari segi motif maupun dari segi potongannya. Saya sadar, untuk kedua alasan tersebut, saya sudah tidak dapat bertahan, sebab sekarang ini sudah banyak perancang yang merancang batik dengan motif dan model yang disesuaikan untuk kaum muda serta juga cocok sebagai pakaian kasual. Tetapi itulah yang menambah kuat alasan saya yang ketiga: batik itu mahal, sehingga kurang terjangkau saku kalangan menengah ke bawah. Dan alasan yang keempat, yang paling penting, bahan kain batik itu panas dan tidak menyerap keringat. (Itu pula yang membuat saya tidak habis pikir, kenapa juga batik yang dirancang di Indonesia yang panas -dalam hal ini, wilayah Jawa Tengah & Yogyakarta yang secara iklim sangat panas- dibuat di atas bahan yang juga panas? Bukankah harusnya kita memproduksi sandang yang nyaman untuk keadaan alam tropis kita?) Dan sekaligus ini saran dari saya kepada kita semua pada umumnya, dan khususnya untuk para perancang pakaian, terutama perancang batik, supaya mencari bahan lain yang benar-benar pas untuk kenyamanan di Indonesia tetapi juga cocok untuk ditulisi/dicetaki/dicelupi bahan pewarna batik.
Saya tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hal tersebut. Saya serahkan kepada para sosiolog, antropolog, pakar budaya, politisi, dan pengambil kebijakan untuk dikaji lebih lanjut. Hanya saja, sebagaimana dalam semua hal lain, ada juga pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian itu. Kenapa kita tidak melestarikan aset kita sendiri, sampai-sampai bangsa lain berniat merebutnya? Ini bukan cuma berlaku untuk batik. Masih banyak yang lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, seperti wayang, angklung, lagu-lagu daerah, tari-tarian tradisional, literatur-literatur etnik, pakaian-pakaian adat lainnya; belum lagi aset-aset non-kultural (sesuatu yang, tidak seperti aset budaya, memungkinkan untuk beralih kepemilikan) seperti minyak, gas, pertambangan, laut, pulau, tanah, sampai pasir. Apakah kita tidak mencintainya? Mengapa kita lebih menyenangi segala sesuatu yang berbau asing/luar negeri, mulai dari pemakaian istilah, penamaan produk atau perusahaan, pemilihan musik, gaya hidup, mode, sampai gaya bicara & cara berimajinasi? Dan kenapa pula kita tidak menjaga kekayaan alam kita dari perampasan?
Memang, tidak ada salahnya mengadaptasi, mengakulturasi, mengakomodasi, dan mengonsumsi hal-hal asing dari luar, asal itu benar & baik sesuai kaidah-kaidah moral universal. Itulah salah satu manfaat globalisasi, yakni agar umat manusia di seluruh dunia dapat belajar dari satu sama lain demi mencapai taraf optimal kehidupan yang dimaksud semula oleh Sang Pencipta. Dan benar, tidak bisa dipungkiri, sebagai bangsa, kita banyak kelemahan. Banyak segi tertentu, juga dalam budaya kita dan produknya, yang negatif, destruktif, dan tidak benar. Namun, di samping itu, banyak juga hal yang sendirinya sudah jadi milik kita -yang mana padanya jatidiri kita sebagai bangsa bergantung-, yang bernilai konstruktif, edukatif, baik & benar. Jangan sampai itu sampai -sengaja maupun tidak- terpinggirkan, apalagi terlupakan.
Jadi, di mana letak permasalahannya? Seperti sudah saya singgung di atas, kita tidak akan mau pusing-pusing memikirkan -apalagi repot-repot melestarikan- sesuatu yang kita sendiri tidak cintai. Dan, jelas, tidak mungkin kita mencintai sesuatu kalau kita tidak bangga, atau malah malu, terhadapnya. Pertanyaannya: apakah kita tidak bangga (atau malu) terhadap aset kekayaan kita sendiri itu, ataukah justru kita tidak bangga (atau malu) menjadi orang Indonesia? Kalau ya, mengapa? Dan ini membawa kita kepada inti masalah. Semua itu bermula dari hati dan pikiran kita sendiri. Paradigma kita sudah telanjur berkata bahwa kita adalah "bangsa budak", "warga kelas rendahan", "manusia bermental tempe", dan segudang pola-pikir berkonotasi buruk lainnya tentang diri sendiri; akibatnya, citra diri yang rendah ini berpengaruh terhadap seluruh cara pandang dan penilaian kita, bahkan juga sampai cara kita bertindak, etos kerja kita, cara kita memperlakukan orang lain dan diri sendiri, serta cara kita membentuk karakter diri & bangsa; sehingga malah, disadari atau tidak, dari sinilah juga budaya korupsi, feodalisme, kolusi, nepotisme, despotisme, anarkisme, dan kekerasan tumbuh sampai berurat-akar dalam diri kita. Inilah yang harus kita ubah. Tentu, harus dengan tekad yang sangat kuat, mengingat sudah begitu mendarahdagingnya paradigma tersebut. Sayangnya, tekad dan upaya kita sendiri, bagaimanapun kuatnya, tidak memadai. Kita harus bergantung pada Tuhan, mengandalkan kekuatan & kuasa-Nya. Indonesia harus kembali kepada Tuhan yang benar, yaitu Allah yang menyatakan diri-Nya dalam diri manusia yang bernama Yesus dari Nazaret, yang disebut Kristus, Allah Putra yang menjadi manusia. Saya tidak akan membahas hal terakhir ini lebih jauh; itu saya cadangkan untuk tulisan saya yang lain.
Sebagai penutup, saya ingin kembali kepada batik. Buat saya pribadi, terus terang, saya sendiri sudah lama tidak mempunyai/memakai pakaian batik. Bukan dengan alasan tidak suka, atau karena meng-inferior-kan, namun karena alasan praktis. Pertama, seperti halnya dengan banyak orang muda lain, saya tidak memakai batik karena motif-motif yang diproduksi di pasaran kurang cocok untuk orang muda, sehingga kalau saya memaksakan, maka saya akan terlihat sangat tua. Kedua, juga seperti halnya dengan banyak orang muda lain, bagi saya, pakaian batik identik dengan segala yang formil, baik dari segi motif maupun dari segi potongannya. Saya sadar, untuk kedua alasan tersebut, saya sudah tidak dapat bertahan, sebab sekarang ini sudah banyak perancang yang merancang batik dengan motif dan model yang disesuaikan untuk kaum muda serta juga cocok sebagai pakaian kasual. Tetapi itulah yang menambah kuat alasan saya yang ketiga: batik itu mahal, sehingga kurang terjangkau saku kalangan menengah ke bawah. Dan alasan yang keempat, yang paling penting, bahan kain batik itu panas dan tidak menyerap keringat. (Itu pula yang membuat saya tidak habis pikir, kenapa juga batik yang dirancang di Indonesia yang panas -dalam hal ini, wilayah Jawa Tengah & Yogyakarta yang secara iklim sangat panas- dibuat di atas bahan yang juga panas? Bukankah harusnya kita memproduksi sandang yang nyaman untuk keadaan alam tropis kita?) Dan sekaligus ini saran dari saya kepada kita semua pada umumnya, dan khususnya untuk para perancang pakaian, terutama perancang batik, supaya mencari bahan lain yang benar-benar pas untuk kenyamanan di Indonesia tetapi juga cocok untuk ditulisi/dicetaki/dicelupi bahan pewarna batik.
Seawan yang Tergantung
Dingin masih membekas di lukaku....
Kutercenung,
Menggapai semua bayang kembali
Dalam gemuruh badai.
Apakah hidup ini sekadar perjalanan kosong?
Bila rasa kembali tak berada,
Takkan rela kujumput seusia asa
Untuk kuumpankan pada maya merana....
Dingin masih membekas di hatiku....
Kutermenung,
Tertinggal di belakang semua terbuka
Nan sudah lumat di ambang kembara.
Sudahkah usai kepiawaian?
Sering kudengar ratap diri
Sesali berlalunya waktu
Sampai hilang nafasku....
Dingin masih membekas di mataku....
Kuterkatung,
Tergantung bak awan malas di ujung Bandung
Menertawakan keenggananku.
Siapakah pahlawanku?
Tiada sesungguhnya harap 'kan kukulai
Tanpa derita kuseret sampai menderita
Seperti lakunya padaku dulu....
Dingin masih membekas di matiku....
Ku tak bingung,
Karena kini awanku melesat padamu,
Buat pastiku mendunia lagi.
Kutercenung,
Menggapai semua bayang kembali
Dalam gemuruh badai.
Apakah hidup ini sekadar perjalanan kosong?
Bila rasa kembali tak berada,
Takkan rela kujumput seusia asa
Untuk kuumpankan pada maya merana....
Dingin masih membekas di hatiku....
Kutermenung,
Tertinggal di belakang semua terbuka
Nan sudah lumat di ambang kembara.
Sudahkah usai kepiawaian?
Sering kudengar ratap diri
Sesali berlalunya waktu
Sampai hilang nafasku....
Dingin masih membekas di mataku....
Kuterkatung,
Tergantung bak awan malas di ujung Bandung
Menertawakan keenggananku.
Siapakah pahlawanku?
Tiada sesungguhnya harap 'kan kukulai
Tanpa derita kuseret sampai menderita
Seperti lakunya padaku dulu....
Dingin masih membekas di matiku....
Ku tak bingung,
Karena kini awanku melesat padamu,
Buat pastiku mendunia lagi.
Minggu, 10 Oktober 2010
BISNIS RITEL MAKANAN: TULANG PUNGGUNG POTENSIAL PEREKONOMIAN MAKRO DAN MIKRO DI INDONESIA
Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa, termasuk kekayaan bahan pangan. Ditambah lagi, suku, etnis, ras, dan sub-etnis bangsa kita ini begitu beragam, membentuk budaya, kebiasaan, dan selera yang juga amat variatif. Kombinasi dua inventaris itu saja sudah cukup untuk melahirkan kelimpah-ruahan citarasa kuliner. Semua daerah berbagi beberapa ragam bahan makanan dan bumbu yang sama. Tapi masing-masing daerah pun memiliki berbagai bahan dan bumbu yang unik. Alhasil, ada banyak jenis masakan yang hampir mirip di seluruh wilayah Indonesia, namun lebih banyak lagi yang khas bagi tiap daerah. Belum lagi, bila kita mencoba dengan teliti, masakan-masakan yang dikenal di semua daerah itu ternyata tidak benar-benar mirip. Ini dikarenakan tiap suku, etnis, dan ras memiliki selera yang berbeda-beda. Nasi goreng, contohnya, dikenal di seluruh pelosok tanah air. Tapi bandingkan saja nasi goreng di tanah Pasundan dengan nasi goreng di ranah Minang. Pasti rasanya tidak akan sama. Perbedaan falsafah, budaya, adat, dan kebiasaan ternyata mutlak berpengaruh terhadap pemilihan serta penyiapan bahan dan bumbu, cara mengolah, hingga penyajian makanan. Untuk lebih memperjelas lagi betapa tak terhingganya kekayaan kuliner bangsa kita, satu kelompok masyarakat, ambil contoh: kampung, dengan kampung lain, yang masih berada dalam wilayah yang sama, dari suku atau etnis yang sama, yang masih memegang adat, kepercayaan, dan budaya yang sama, ternyata dapat memiliki cara penyikapan terhadap makanan yang berbeda! Lebih jauh lagi, dalam kampung yang sama, pada suku dan etnis yang sama, untuk satu jenis masakan yang sama pula, ternyata cara memasak dan penyajian pada satu keluarga sangat mungkin berbeda dengan keluarga lain! Ini bukan mengada-ada. Mudah sekali kita lakukan percobaan. Pilihlah satu tetangga yang satu suku dengan Anda. Bersepakatlah untuk pada hari yang sama memasak sayur asem. Lalu, saling mencobalah sayur asem Anda itu dengan punya mereka. Dan Anda akan tahu apa yang dimaksud. Jadi, betapa sesungguhnya kuliner itu merupakan potensi perekonomian yang sangat besar bagi bangsa kita! Negeri kita bukan hanya surga bagi para penikmat kuliner; negeri kita juga adalah surga bagi pengusaha kuliner.
Akan tetapi, sayangnya, kenyataan tidak sejalan dengan ekspektasi dan perhitungan di atas kertas. Memang, bisnis ritel makanan amat menjanjikan. Tapi, untuk dapat dikatakan optimal, masih terlampau jauh. Banyak sekali faktornya. Dari yang bersifat non-teknis, sampai yang sangat teknis; yang bersifat pribadi, hingga yang kolektif-komunal; yang bersifat praktis, hingga yang birokratis; yang bersifat situasional, sampai yang operasional.
Kita akan mengupas faktor-faktor itu satu per satu terlebih dahulu. Setelah itu, baru kita akan coba cari pemecahannya.
Pertama-tama, faktor-faktor kendala tersebut dapat kita masukkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas faktor-faktor non-teknis, pribadi, praktis, dan situasional. Sedangkan kelompok kedua berisi sisanya: yang teknis, kolektif-komunal, birokratis, dan operasional. Penggolongan dalam dua kelompok itu disebabkan faktor-faktor yang dimasukkan dalam satu kelompok itu saling bertumpang-tindih dan mirip satu dengan yang lain, sehingga sukar sekali dibedakan, mana yang non-teknis, mana yang pribadi, mana yang praktis, dan mana yang situasional dalam kelompok yang satu, serta mana yang teknis, mana yang kolektif-komunal, mana yang birokratis, dan mana yang operasional di kelompok lain.
Kita mulai dari kelompok pertama. Sudah begitu pelak, bangsa kita memiliki etos kerja yang buruk. Kita juga memiliki sedikit saja porsi jiwa bersaing. Masyarakat kita kurang berdaya juang tinggi. Sungguh kombinasi yang tidak ekonomis, tidak kondusif untuk bisnis! Ini diperparah dengan tidak adanya visi dan motivasi yang jelas; kalau pun ada, komitmen yang kuat dan ketekunan yang teguh untuk mewujudkannya tidak dimiliki. Kita juga masih menderita kurang disiplin yang kronis, kurang menghargai waktu dan kesempatan, rasa inferioritas yang tidak pada tempatnya, serta kurang inovatif. Cuaca buruk sedikit saja sudah cukup membuat banyak orang malas pergi bekerja. Berdagang, dan usaha apapun, hampir tidak mungkin dari awal sudah langsung lancar, besar, dan sukses. Tapi banyak pedagang yang baru mencoba berdagang beberapa hari, namun tidak laku, sudah menyerah duluan; tidak ada usaha menemukan cara-cara baru, tidak ada tekad untuk terus mencoba dan mencoba lagi. Sering kita dengar, banyak orang menempuh usaha yang justru tidak semestinya dilakukan, yakni mencari jalan pintas untuk meraih sukses, baik yang berbau takhyul maupun yang secara brutal dan vulgar.
Kemudian, pada faktor yang kedua. Kenaikan harga-harga bahan pokok sangat signifikan menyulitkan para pelaku dunia usaha, istimewanya yang bergerak di bidang usaha boga. Di satu sisi, jika harga jual kepada konsumen tidak dinaikkan, keuntungan berkurang banyak, bahkan bisa-bisa malah merugi. Di sisi lain, jika dinaikkan, konsumen akan lari. Prosedur memperoleh perizinan masih jauh berbeda antara teori dengan praktek di lapangan. Berbagai pungutan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sertifikasi halal MUI diharuskan. Namun, prosedur yang diberlakukan LPPOM-MUI terkesan masih terlalu panjang dan berbelit, serta memakan biaya yang tidak sedikit, antara 200 ribu hingga 2 juta rupiah. Kendati Wakil Presiden Boediono, dalam acara pembukaan Indonesia International Halal Business & Food Expo di JCC 23 Juli 2010 yang lalu, meminta semua pihak terkait agar tidak mempersulit proses perolehan sertifikat halal tersebut, dan Ketua MUI, Amidhan, berkomitmen untuk tidak mempersulit dan bahkan untuk menggratiskannya bagi para pelaku UKM, dalam kenyataannya, semua itu nyaris tidak terwujud. Belum lagi banyak peraturan daerah yang dirasa menutup ruang gerak para pedagang makanan eceran. Pedagang kecil sungguh tidak mempunyai kekuatan, dan salah satu sebabnya adalah tidak adanya daya negosiasi akibat tidak adanya asosiasi yang betul-betul representatif.
Sekarang, kita akan pikirkan jalan keluarnya. Langkah pertama yang mendesak adalah perubahan paradigma dan perilaku diri kita sendiri. Tidak ada gunanya menutup-nutupi, dan tidak berguna juga saling menyalahkan antara berbagai pihak. Kita harus cukup berjiwa besar mengakui kesalahan dan kelemahan. Dari situ, kita dapat, dan semestinya, mengambil langkah dari awal kembali. Kita perlu mereorganisasi diri dan pekerjaan kita. Sebagai pengusaha ritel makanan, kita perlu memiliki motivasi dan visi yang jelas terlebih dahulu, apa tujuan kita menempuh usaha tersebut, apa sasaran kita. Adalah kurang sekali jika kita memilih menjadi pengusaha makanan hanya dengan alasan untuk sekadar bertahan hidup. Baik sekali memiliki visi yang sejauh mungkin. Jika kita membuka usaha di bidang kue-kue kering, berangan-anganlah menjadi pengusaha kue kering yang memiliki toko yang besar, yang menjual kue-kue yang unik dan enak, yang tidak dijual di tempat lain, sehingga banyak dicari orang. Miliki mental seorang pengusaha besar. Tanamkan dalam diri kita bahwa kita sama dengan orang lain, tidak lebih rendah. Itulah motivasi yang besar. Dari visi yang tinggi dan motivasi yang besar, kita kemudian bergerak selangkah demi selangkah. Tentukan target jangka pendek, per hari, per minggu, per bulan, dan per tahun, berapa omzet yang hendak dicapai. Lalu atur strategi yang benar dan baik untuk mencapainya. Pikirkan langkah-langkah dengan matang. Tidak perlu tergesa, tapi juga jangan menunda-nunda. Setelah keputusan kita bulat, konkretkan. Setelah berjalan beberapa lama, lakukan evaluasi, apa yang belum secara konsekuen kita jalankan, apa yang sudah kita jalankan tapi belum berhasil, dan apa yang sudah berhasil. Jangan sekali-kali menyerah. Kerugian dan kesalahan itu biasa, namanya juga belajar dan merintis. Yang penting, bagaimana menyikapi dan memperbaikinya, serta selanjutnya berani berinovasi. Ambil langkah dan tindakan yang belum pernah atau jarang terpikirkan orang lain. Kita tidak perlu selalu mengikuti pemikiran umum. Kita harus menjadi diri sendiri. Jika pada umumnya orang di sekitar lingkungan kita menjual gado-gado seharga 5 ribu rupiah, mungkin kita perlu menjualnya seharga 4.900 atau 4.800 rupiah. Kita harus mau bersusah-payah sedikit mengumpulkan receh untuk kembalian, karena biasanya, orang menjual dengan harga bulat untuk memudahkan. Kita tidak usah takut bersaing. Persaingan harus dipandang sebagai tantangan untuk meningkatkan mutu produk dan berinovasi. Tidak ada ruginya meningkatkan terus mutu produk dan pelayanan. Sudah saatnya kita berhenti berpikir bahwa susah-payah kita meningkatkan mutu itu hanya membuat orang lain keenakan. Memang, apa salahnya menyenangkan orang? Bukankah pada akhirnya kita sendiri juga yang akan untung?
Langkah selanjutnya, kita perlu membina relasi dengan para pelaku usaha yang sama dengan kita, khususnya yang dekat-dekat. Dengan kata lain, rangkullah pesaing. Bila para pesaing saling merangkul, bukan kompetisi yang dikorbankan, melainkan konfrontasi. Kita tidak akan, dan tidak semestinya, menghilangkan kompetisi. Kooperasi yang dilakukan hanya bertujuan mengurangi friksi. Dalam kompetisi dimungkinkan kooperasi, yang tulus dan jujur. Setelah itu, alangkah lebih baik jika kita juga membina kerja sama dengan pelaku usaha yang bergerak di bidang makanan yang berbeda dalam area yang sama. Kerja sama itu sangat menguntungkan semua pihak. Orang yang membuka rumah makan mi, bila bekerja sama dengan pedagang minuman dingin di dekatnya, akan memberi kemudahan bagi konsumen, sehingga orang akan tertarik. Selain itu, kerja sama antar-pengusaha ritel makanan akan membangun “bargaining power” yang kuat. Tantangan niscaya lebih mudah dihadapi bila bersama-sama daripada harus dihadapi sendiri-sendiri.
Pada pihak lain, upaya yang sudah dilakukan pihak berwenang sudah cukup baik. Dan, ditinjau dari satu segi, regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah itu adalah demi ketertiban umum, agar semua pihak tenang. Sertifikat halal MUI bertujuan baik, supaya masyarakat konsumen merasa aman mengonsumsi. Jadi, sebenarnya, kebijakan-kebijakan itu adalah upaya mulia melindungi semua pihak. Hanya saja, yang perlu selalu diperhatikan para pemangku wewenang adalah praktek yang dilakukan di lapangan. Sudah bukan rahasia lagi, korupsi dan kolusi sudah mendarah-daging dalam bangsa kita. Selain tiap orang membenahi diri masing-masing untuk mempunyai mental yang benar, pemerintah dan berbagai pihak berwenang lain pun bertanggung jawab melakukan kontrol dan pengaturan.
Sudah ada banyak upaya pemerintah dalam mendongkrak perekonomian mikro dan makro dari sektor kuliner ritel. Sponsor Kementerian Perdagangan terhadap pengusaha kopi, teh, dan produk makanan lain yang terkait dalam mengikuti pameran “Coffee and Tea Show” di Toronto, Kanada, 26-27 September 2010 yang lalu, adalah bukti dukungan yang sangat baik. Dalam pameran tersebut, animo dan antusiasme pengunjung begitu besar terhadap produk-produk boga kita. Itu menjadi ajang promosi yang besar sekali manfaatnya. Prakarsa MUI, sebagaimana sudah disinggung di atas, untuk mempermudah prosedur, bahkan menggratiskan bagi para pelaku UKM, perolehan sertifikat halal patut dihargai. Koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Hukum dan HAM, yang ditekadkan dalam Gelar Teknologi Tepat Guna yang diadakan di Yogyakarta, 22 September 2010 kemarin, untuk membuka Klinik Konsultasi Hak Kekayaan Intelektual dalam rangka memudahkan masyarakat umum dan para pengusaha, termasuk pengusaha ritel makanan, memperoleh informasi dan penyadaran tentang pentingnya mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual mereka, serta juga untuk memudahkan masyarakat dalam mendaftarkannya, merupakan upaya terpuji.
Langkah lebih maju harus diambil, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak pengusaha makanan. Sebagai usulan, saya berpendapat, alangkah lebih baik lagi bilamana pemerintah dan para pihak berwenang lain lebih menghargai kemauan pengusaha untuk berusaha dan bersikap kooperatif. Penghargaan itu dapat direalisasikan, antara lain, dengan cara ikut mempromosikan komoditi makanan ritel. MUI dapat menggencarkan pemberitaan melalui berbagai media secara luas dan intensif, pengusaha-pengusaha makanan ritel mana saja yang sudah mendapatkan sertifikat halal; tidak sekadar mempublikasikannya secara pasif dalam situs resmi dan arsip MUI saja, di mana hanya sedikit saja pihak mengakses. Demikian juga Kemendagri dan Kemenhukam bagi para pengusaha yang telah terdaftar hak patennya. Pemerintah daerah dan Direktorat Pajak juga dapat mempromosikan pengusaha-pengusaha ritel makanan yang taat membayar retribusi dan pajak, sehingga berjasa dalam meningkatkan PAD. Promosi-promosi tersebut jelas akan menaikkan pamor dan citra pengusaha makanan ritel di mata masyarakat. Dan bila itu dilakukan, otomatis para pengusaha akan semakin bersemangat pula bertindak kooperatif dalam menaati peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, pihak berwenang perlu mengkaji ulang regulasi-regulasi yang masih memberatkan dan mengandung prosedur-prosedur yang rumit. Penyederhanaan sistem pengaturan itu juga harus dilakukan secara total dan radikal. Maksudnya, rancangan, mekanisme, dan pelaksanaannya harus dibuat sedemikian rupa sehingga peraturan tersebut dapat ditelurkan tidak dalam waktu yang lama, prosedurnya lebih dapat langsung dipenuhi oleh para pengusaha ritel makanan, dan dilakukan pengawasan secara lebih ketat dan sistematis; dan semua itu harus lebih terpadu merangkum dan merangkul semua aspek dan pihak. Sebagai contoh, pengusaha kecil memang seyogyanya ditata agar tidak berjualan di sembarang tempat. Namun aspek moral juga harus dipertimbangkan. Kesempatan mereka mencari nafkah tidak seharusnya ditutup hanya dengan alasan menjaga ketertiban. Untuk itu, langkah yang sebaiknya diambil adalah mengumpulkan semua pedagang kecil makanan eceran dan kaki lima, memberikan penyuluhan dan pelatihan yang memadai secara intensif sesuai produk mereka masing-masing, kemudian, pada saat yang bersamaan, menyediakan sebuah lahan yang cukup bagi mereka untuk berjualan, lengkap dengan segala fasilitas yang kelancaran dan ketersediaannya terjamin, seperti air bersih, listrik, penerangan, meja-kursi, perabotan penunjang seperti gerobak atau lainnya, semua secara gratis. Seperti sebuah pujasera, hanya tanpa uang sewa, dan dalam skala besar. Sebagai kompensasi, pemerintah dapat menetapkan peran sebagai pemegang saham. Pemerintah perlu bernegosiasi dengan para pengusaha eceran itu dalam menentukan peran dan wewenangnya (pemerintah) untuk ikut mengelola manajemen keuangan. Sebagai pihak yang berwenang, pemerintah dapat, tanpa mengorbankan mekanisme pasar bebas, mematok harga khusus terhadap bahan-bahan yang diperlukan bagi komoditi yang dijual. Kalau perlu, pemerintah juga punya segala kemampuan untuk mengadakan pasar khusus bagi pengusaha-pengusaha ritel makanan, bahkan bisa juga memberi hak kepada para pengusaha ritel makanan untuk membeli bahan-bahan dari tangan pertama —petani, peternak, importir, dan sebagainya— secara eceran namun tetap dengan harga yang lazimnya diperuntukkan bagi pedagang yang membeli dalam jumlah besar. Tentu, pihak pertama itu tidak perlu menjadi korban. Ada kompensasi-kompensasi tertentu yang bisa mereka raih. Dan itu dapat berupa keringanan cukai dan pajak lainnya. Dalam peran sebagai pemegang saham itu, pemerintah juga dapat berhak memperoleh bagian dari keuntungan. Besaran andil dan prosentase keuntungan dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha. Berapa lama peran itu berlangsung, itu juga perlu disepakati kedua pihak: apakah untuk seterusnya pemerintah berlaku sebagai pemegang saham, ataukah sampai jangka waktu tertentu, atau sampai kembalinya modal pemerintah. Dengan berperan langsung begitu, bila ada pengusaha yang usahanya kendur, pemerintah akan mengetahui dan berhak mendesaknya untuk memacu kembali semangat dan daya kompetisinya. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai pembimbing dan pengayom akan sangat terbukti. Perlu juga disepakati sanksi dan konsekuensi bagi kedua pihak. Dan seharusnya, kesepakatan-kesepakatan tersebut diikat secara hukum. Di situlah keradikalan sistem pengaturan itu menjadi nyata: pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab sampai ke urat nadi operasional. Adapun untuk tempat yang disediakan pemerintah itu, memang ada baiknya pihak pedagang eceran dimintai pendapat mengenai pemilihan lokasi yang tepat; hanya, keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah. Di sinilah tepatnya pertimbangan yang total-menyeluruh itu terimplikasi. Pemerintah dituntut arif menentukan lokasi yang benar-benar bernilai ekonomis tinggi namun tidak merusak ketertiban dan keindahan, malah kalau bisa menambahnya. Jika semuanya tepat dan terencana dengan benar, tempat penjualan makanan terpadu itu akan menjadi daya tarik yang luar biasa sebagai objek wisata kuliner. Dan itu akan menguntungkan baik pengusaha makanan maupun pemerintah.
Dari pihak pengusaha, langkah yang dapat diwujudkan adalah meningkatkan kualitas produk dan pelayanan secara kontinu, melakukan peremajaan dan penyegaran yang inovatif secara simultan, serta menggencarkan promosi secara lebih kreatif. Satu hal yang patut selalu dicamkan, orientasi pengusaha ritel makanan adalah kepuasan konsumen. Pengusaha, bagaimanapun, adalah konsumen juga dalam kesempatan lain. Seyogyanya, pengusaha mampu menempatkan diri di tempat konsumennya. Kepuasan konsumen merupakan sarana promosi gratis, karena sudah terbukti, promosi “mulut ke mulut” yang dilakukan konsumen sangat ampuh mengangkat sebuah produk atau usaha makanan menjadi andalan. Keramahtamahan dan pelayanan yang memuaskan tetap jadi ujung tombak promosi juga. Terkait akan hal itu, ada dua hal yang perlu dihindari: diskriminasi harga dan pelayanan, dan memilih menurunkan kualitas dan kuantitas ketimbang menaikkan harga. Semua orang ingin dihargai dan tidak suka dibeda-bedakan dalam perlakuan. Mengenakan harga yang lebih mahal pada si A daripada pada si B dan lebih baik dalam melayani B daripada A akan menyebabkan A lari dari kita bilamana ia tahu. Konsumen juga tidak suka jika produk yang biasa mereka konsumsi berkurang jumlah dan mutunya. Mereka juga lebih rela merogoh kocek lebih dalam daripada merasa perut dan selera mereka terisi kurang dalam. Perlu disinggung juga satu hal yang cukup penting. PPN yang dibebankan kepada pengusaha selama ini dialihkan kepada konsumen. Dan hal itu memang wajar. Pajak sangat penting sebagai sumber keuangan daerah maupun negara, jadi tidak boleh dihapuskan. Dan pihak konsumen, sebagai pemakai terakhir, juga wajib mengemban tanggung jawab itu. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, ada baiknya pengusaha secara arif memperhalus pengenaannya terhadap konsumen. Kebohongan tetap tidak diperkenankan. Pengusaha tidak usah menggembar-gembor bahwa produk yang dijualnya itu bebas pajak. Namun tidak perlu juga secara mencolok menambahkan PPN dalam pembayaran. PPN dapat dimasukkan sebagai sesuatu yang sudah termasuk dalam harga barang. Tidak merasa ditipu dan juga tidak merasa dibebani itu akan memberikan satu kepuasan bagi konsumen.
Belakangan, media internet dengan situs jejaring sosialnya sudah marak menjadi ajang promosi. Acara-acara kuliner di televisi, berita-berita dan artikel-artikel di media cetak tentang kuliner juga. Itu dapat ditingkatkan. Satu aksi yang dapat ditambahkan dari semua usaha pemasaran itu adalah apa yang saya namakan “bermain frisbee”. Anda tahu, frisbee adalah benda berbentuk cakram berdiameter kira-kira 20 cm, biasa terbuat dari plastik, yang dijadikan mainan bersama anjing, dilemparkan agar anjing tersebut mengejarnya, lalu ia kembalikan kepada kita untuk dilemparkan lagi agar ia kembali dapat menangkapnya, begitu seterusnya. Promosi a la “bermain frisbee” itu menggunakan prinsip yang sama. Tentu saja, saya tidak menyamakan konsumen dengan anjing. Dalam melaksanakan promosi frisbee ini, dibutuhkan kerja sama antara dua atau lebih penjual. Karena inilah yang dilakukan: contohnya, saya adalah penjual gorengan. Saat pembeli datang, saya akan melemparkan pertanyaan atau percakapan umpan kepadanya agar dia akhirnya mengutarakan keinginannya membeli suatu produk makanan yang saya sendiri tidak jual, misalnya cemilan lain seperti kue basah. Saat dia menyatakan hal itu, saya akan mempromosikan kue basah yang Anda jual, sedemikian rupa sampai pembeli itu tertarik dan akhirnya pergi juga membeli kue basah di toko Anda. Dan Anda pun akan melakukan hal serupa dengan tujuan mempromosikan cookies yang dijual di toko si C. Sebaliknya, jika ada orang yang membeli cookies, si C akan mempromosikan kue basah Anda, dan Anda akan mempromosikan gorengan saya. Demikian seterusnya. Satu saja yang perlu jadi modal dalam menjalankan promosi ini: keikhlasan atau ketulusan. Memang ada resikonya. Jika penjual lain itu tidak mempromosikan toko dan produk makanan kita juga, bagaimana? Tidak mengapa. Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun dia, manusia selalu amat menyukai dan terkesan akan kebaikan. Itulah mengapa ketulusan diperlukan, sebab orang juga bisa menilai apakah kebaikan itu kita lakukan dengan tulus atau tidak. Dan kebaikan yang kita sudah lakukan dengan tulus kepada si pembeli dan si penjual yang tidak membalas budi itu akan berbalik menjadi kebaikan kita sendiri. Konsumen yang terkesan itu akan percaya dan senang sering-sering berbelanja pada kita. Dan pasti, dia juga akan bercerita kepada keluarga, teman, dan tetangganya.
Akan tetapi, sayangnya, kenyataan tidak sejalan dengan ekspektasi dan perhitungan di atas kertas. Memang, bisnis ritel makanan amat menjanjikan. Tapi, untuk dapat dikatakan optimal, masih terlampau jauh. Banyak sekali faktornya. Dari yang bersifat non-teknis, sampai yang sangat teknis; yang bersifat pribadi, hingga yang kolektif-komunal; yang bersifat praktis, hingga yang birokratis; yang bersifat situasional, sampai yang operasional.
Kita akan mengupas faktor-faktor itu satu per satu terlebih dahulu. Setelah itu, baru kita akan coba cari pemecahannya.
Pertama-tama, faktor-faktor kendala tersebut dapat kita masukkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas faktor-faktor non-teknis, pribadi, praktis, dan situasional. Sedangkan kelompok kedua berisi sisanya: yang teknis, kolektif-komunal, birokratis, dan operasional. Penggolongan dalam dua kelompok itu disebabkan faktor-faktor yang dimasukkan dalam satu kelompok itu saling bertumpang-tindih dan mirip satu dengan yang lain, sehingga sukar sekali dibedakan, mana yang non-teknis, mana yang pribadi, mana yang praktis, dan mana yang situasional dalam kelompok yang satu, serta mana yang teknis, mana yang kolektif-komunal, mana yang birokratis, dan mana yang operasional di kelompok lain.
Kita mulai dari kelompok pertama. Sudah begitu pelak, bangsa kita memiliki etos kerja yang buruk. Kita juga memiliki sedikit saja porsi jiwa bersaing. Masyarakat kita kurang berdaya juang tinggi. Sungguh kombinasi yang tidak ekonomis, tidak kondusif untuk bisnis! Ini diperparah dengan tidak adanya visi dan motivasi yang jelas; kalau pun ada, komitmen yang kuat dan ketekunan yang teguh untuk mewujudkannya tidak dimiliki. Kita juga masih menderita kurang disiplin yang kronis, kurang menghargai waktu dan kesempatan, rasa inferioritas yang tidak pada tempatnya, serta kurang inovatif. Cuaca buruk sedikit saja sudah cukup membuat banyak orang malas pergi bekerja. Berdagang, dan usaha apapun, hampir tidak mungkin dari awal sudah langsung lancar, besar, dan sukses. Tapi banyak pedagang yang baru mencoba berdagang beberapa hari, namun tidak laku, sudah menyerah duluan; tidak ada usaha menemukan cara-cara baru, tidak ada tekad untuk terus mencoba dan mencoba lagi. Sering kita dengar, banyak orang menempuh usaha yang justru tidak semestinya dilakukan, yakni mencari jalan pintas untuk meraih sukses, baik yang berbau takhyul maupun yang secara brutal dan vulgar.
Kemudian, pada faktor yang kedua. Kenaikan harga-harga bahan pokok sangat signifikan menyulitkan para pelaku dunia usaha, istimewanya yang bergerak di bidang usaha boga. Di satu sisi, jika harga jual kepada konsumen tidak dinaikkan, keuntungan berkurang banyak, bahkan bisa-bisa malah merugi. Di sisi lain, jika dinaikkan, konsumen akan lari. Prosedur memperoleh perizinan masih jauh berbeda antara teori dengan praktek di lapangan. Berbagai pungutan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sertifikasi halal MUI diharuskan. Namun, prosedur yang diberlakukan LPPOM-MUI terkesan masih terlalu panjang dan berbelit, serta memakan biaya yang tidak sedikit, antara 200 ribu hingga 2 juta rupiah. Kendati Wakil Presiden Boediono, dalam acara pembukaan Indonesia International Halal Business & Food Expo di JCC 23 Juli 2010 yang lalu, meminta semua pihak terkait agar tidak mempersulit proses perolehan sertifikat halal tersebut, dan Ketua MUI, Amidhan, berkomitmen untuk tidak mempersulit dan bahkan untuk menggratiskannya bagi para pelaku UKM, dalam kenyataannya, semua itu nyaris tidak terwujud. Belum lagi banyak peraturan daerah yang dirasa menutup ruang gerak para pedagang makanan eceran. Pedagang kecil sungguh tidak mempunyai kekuatan, dan salah satu sebabnya adalah tidak adanya daya negosiasi akibat tidak adanya asosiasi yang betul-betul representatif.
Sekarang, kita akan pikirkan jalan keluarnya. Langkah pertama yang mendesak adalah perubahan paradigma dan perilaku diri kita sendiri. Tidak ada gunanya menutup-nutupi, dan tidak berguna juga saling menyalahkan antara berbagai pihak. Kita harus cukup berjiwa besar mengakui kesalahan dan kelemahan. Dari situ, kita dapat, dan semestinya, mengambil langkah dari awal kembali. Kita perlu mereorganisasi diri dan pekerjaan kita. Sebagai pengusaha ritel makanan, kita perlu memiliki motivasi dan visi yang jelas terlebih dahulu, apa tujuan kita menempuh usaha tersebut, apa sasaran kita. Adalah kurang sekali jika kita memilih menjadi pengusaha makanan hanya dengan alasan untuk sekadar bertahan hidup. Baik sekali memiliki visi yang sejauh mungkin. Jika kita membuka usaha di bidang kue-kue kering, berangan-anganlah menjadi pengusaha kue kering yang memiliki toko yang besar, yang menjual kue-kue yang unik dan enak, yang tidak dijual di tempat lain, sehingga banyak dicari orang. Miliki mental seorang pengusaha besar. Tanamkan dalam diri kita bahwa kita sama dengan orang lain, tidak lebih rendah. Itulah motivasi yang besar. Dari visi yang tinggi dan motivasi yang besar, kita kemudian bergerak selangkah demi selangkah. Tentukan target jangka pendek, per hari, per minggu, per bulan, dan per tahun, berapa omzet yang hendak dicapai. Lalu atur strategi yang benar dan baik untuk mencapainya. Pikirkan langkah-langkah dengan matang. Tidak perlu tergesa, tapi juga jangan menunda-nunda. Setelah keputusan kita bulat, konkretkan. Setelah berjalan beberapa lama, lakukan evaluasi, apa yang belum secara konsekuen kita jalankan, apa yang sudah kita jalankan tapi belum berhasil, dan apa yang sudah berhasil. Jangan sekali-kali menyerah. Kerugian dan kesalahan itu biasa, namanya juga belajar dan merintis. Yang penting, bagaimana menyikapi dan memperbaikinya, serta selanjutnya berani berinovasi. Ambil langkah dan tindakan yang belum pernah atau jarang terpikirkan orang lain. Kita tidak perlu selalu mengikuti pemikiran umum. Kita harus menjadi diri sendiri. Jika pada umumnya orang di sekitar lingkungan kita menjual gado-gado seharga 5 ribu rupiah, mungkin kita perlu menjualnya seharga 4.900 atau 4.800 rupiah. Kita harus mau bersusah-payah sedikit mengumpulkan receh untuk kembalian, karena biasanya, orang menjual dengan harga bulat untuk memudahkan. Kita tidak usah takut bersaing. Persaingan harus dipandang sebagai tantangan untuk meningkatkan mutu produk dan berinovasi. Tidak ada ruginya meningkatkan terus mutu produk dan pelayanan. Sudah saatnya kita berhenti berpikir bahwa susah-payah kita meningkatkan mutu itu hanya membuat orang lain keenakan. Memang, apa salahnya menyenangkan orang? Bukankah pada akhirnya kita sendiri juga yang akan untung?
Langkah selanjutnya, kita perlu membina relasi dengan para pelaku usaha yang sama dengan kita, khususnya yang dekat-dekat. Dengan kata lain, rangkullah pesaing. Bila para pesaing saling merangkul, bukan kompetisi yang dikorbankan, melainkan konfrontasi. Kita tidak akan, dan tidak semestinya, menghilangkan kompetisi. Kooperasi yang dilakukan hanya bertujuan mengurangi friksi. Dalam kompetisi dimungkinkan kooperasi, yang tulus dan jujur. Setelah itu, alangkah lebih baik jika kita juga membina kerja sama dengan pelaku usaha yang bergerak di bidang makanan yang berbeda dalam area yang sama. Kerja sama itu sangat menguntungkan semua pihak. Orang yang membuka rumah makan mi, bila bekerja sama dengan pedagang minuman dingin di dekatnya, akan memberi kemudahan bagi konsumen, sehingga orang akan tertarik. Selain itu, kerja sama antar-pengusaha ritel makanan akan membangun “bargaining power” yang kuat. Tantangan niscaya lebih mudah dihadapi bila bersama-sama daripada harus dihadapi sendiri-sendiri.
Pada pihak lain, upaya yang sudah dilakukan pihak berwenang sudah cukup baik. Dan, ditinjau dari satu segi, regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah itu adalah demi ketertiban umum, agar semua pihak tenang. Sertifikat halal MUI bertujuan baik, supaya masyarakat konsumen merasa aman mengonsumsi. Jadi, sebenarnya, kebijakan-kebijakan itu adalah upaya mulia melindungi semua pihak. Hanya saja, yang perlu selalu diperhatikan para pemangku wewenang adalah praktek yang dilakukan di lapangan. Sudah bukan rahasia lagi, korupsi dan kolusi sudah mendarah-daging dalam bangsa kita. Selain tiap orang membenahi diri masing-masing untuk mempunyai mental yang benar, pemerintah dan berbagai pihak berwenang lain pun bertanggung jawab melakukan kontrol dan pengaturan.
Sudah ada banyak upaya pemerintah dalam mendongkrak perekonomian mikro dan makro dari sektor kuliner ritel. Sponsor Kementerian Perdagangan terhadap pengusaha kopi, teh, dan produk makanan lain yang terkait dalam mengikuti pameran “Coffee and Tea Show” di Toronto, Kanada, 26-27 September 2010 yang lalu, adalah bukti dukungan yang sangat baik. Dalam pameran tersebut, animo dan antusiasme pengunjung begitu besar terhadap produk-produk boga kita. Itu menjadi ajang promosi yang besar sekali manfaatnya. Prakarsa MUI, sebagaimana sudah disinggung di atas, untuk mempermudah prosedur, bahkan menggratiskan bagi para pelaku UKM, perolehan sertifikat halal patut dihargai. Koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Hukum dan HAM, yang ditekadkan dalam Gelar Teknologi Tepat Guna yang diadakan di Yogyakarta, 22 September 2010 kemarin, untuk membuka Klinik Konsultasi Hak Kekayaan Intelektual dalam rangka memudahkan masyarakat umum dan para pengusaha, termasuk pengusaha ritel makanan, memperoleh informasi dan penyadaran tentang pentingnya mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual mereka, serta juga untuk memudahkan masyarakat dalam mendaftarkannya, merupakan upaya terpuji.
Langkah lebih maju harus diambil, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak pengusaha makanan. Sebagai usulan, saya berpendapat, alangkah lebih baik lagi bilamana pemerintah dan para pihak berwenang lain lebih menghargai kemauan pengusaha untuk berusaha dan bersikap kooperatif. Penghargaan itu dapat direalisasikan, antara lain, dengan cara ikut mempromosikan komoditi makanan ritel. MUI dapat menggencarkan pemberitaan melalui berbagai media secara luas dan intensif, pengusaha-pengusaha makanan ritel mana saja yang sudah mendapatkan sertifikat halal; tidak sekadar mempublikasikannya secara pasif dalam situs resmi dan arsip MUI saja, di mana hanya sedikit saja pihak mengakses. Demikian juga Kemendagri dan Kemenhukam bagi para pengusaha yang telah terdaftar hak patennya. Pemerintah daerah dan Direktorat Pajak juga dapat mempromosikan pengusaha-pengusaha ritel makanan yang taat membayar retribusi dan pajak, sehingga berjasa dalam meningkatkan PAD. Promosi-promosi tersebut jelas akan menaikkan pamor dan citra pengusaha makanan ritel di mata masyarakat. Dan bila itu dilakukan, otomatis para pengusaha akan semakin bersemangat pula bertindak kooperatif dalam menaati peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, pihak berwenang perlu mengkaji ulang regulasi-regulasi yang masih memberatkan dan mengandung prosedur-prosedur yang rumit. Penyederhanaan sistem pengaturan itu juga harus dilakukan secara total dan radikal. Maksudnya, rancangan, mekanisme, dan pelaksanaannya harus dibuat sedemikian rupa sehingga peraturan tersebut dapat ditelurkan tidak dalam waktu yang lama, prosedurnya lebih dapat langsung dipenuhi oleh para pengusaha ritel makanan, dan dilakukan pengawasan secara lebih ketat dan sistematis; dan semua itu harus lebih terpadu merangkum dan merangkul semua aspek dan pihak. Sebagai contoh, pengusaha kecil memang seyogyanya ditata agar tidak berjualan di sembarang tempat. Namun aspek moral juga harus dipertimbangkan. Kesempatan mereka mencari nafkah tidak seharusnya ditutup hanya dengan alasan menjaga ketertiban. Untuk itu, langkah yang sebaiknya diambil adalah mengumpulkan semua pedagang kecil makanan eceran dan kaki lima, memberikan penyuluhan dan pelatihan yang memadai secara intensif sesuai produk mereka masing-masing, kemudian, pada saat yang bersamaan, menyediakan sebuah lahan yang cukup bagi mereka untuk berjualan, lengkap dengan segala fasilitas yang kelancaran dan ketersediaannya terjamin, seperti air bersih, listrik, penerangan, meja-kursi, perabotan penunjang seperti gerobak atau lainnya, semua secara gratis. Seperti sebuah pujasera, hanya tanpa uang sewa, dan dalam skala besar. Sebagai kompensasi, pemerintah dapat menetapkan peran sebagai pemegang saham. Pemerintah perlu bernegosiasi dengan para pengusaha eceran itu dalam menentukan peran dan wewenangnya (pemerintah) untuk ikut mengelola manajemen keuangan. Sebagai pihak yang berwenang, pemerintah dapat, tanpa mengorbankan mekanisme pasar bebas, mematok harga khusus terhadap bahan-bahan yang diperlukan bagi komoditi yang dijual. Kalau perlu, pemerintah juga punya segala kemampuan untuk mengadakan pasar khusus bagi pengusaha-pengusaha ritel makanan, bahkan bisa juga memberi hak kepada para pengusaha ritel makanan untuk membeli bahan-bahan dari tangan pertama —petani, peternak, importir, dan sebagainya— secara eceran namun tetap dengan harga yang lazimnya diperuntukkan bagi pedagang yang membeli dalam jumlah besar. Tentu, pihak pertama itu tidak perlu menjadi korban. Ada kompensasi-kompensasi tertentu yang bisa mereka raih. Dan itu dapat berupa keringanan cukai dan pajak lainnya. Dalam peran sebagai pemegang saham itu, pemerintah juga dapat berhak memperoleh bagian dari keuntungan. Besaran andil dan prosentase keuntungan dapat dirundingkan dengan pihak pengusaha. Berapa lama peran itu berlangsung, itu juga perlu disepakati kedua pihak: apakah untuk seterusnya pemerintah berlaku sebagai pemegang saham, ataukah sampai jangka waktu tertentu, atau sampai kembalinya modal pemerintah. Dengan berperan langsung begitu, bila ada pengusaha yang usahanya kendur, pemerintah akan mengetahui dan berhak mendesaknya untuk memacu kembali semangat dan daya kompetisinya. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai pembimbing dan pengayom akan sangat terbukti. Perlu juga disepakati sanksi dan konsekuensi bagi kedua pihak. Dan seharusnya, kesepakatan-kesepakatan tersebut diikat secara hukum. Di situlah keradikalan sistem pengaturan itu menjadi nyata: pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab sampai ke urat nadi operasional. Adapun untuk tempat yang disediakan pemerintah itu, memang ada baiknya pihak pedagang eceran dimintai pendapat mengenai pemilihan lokasi yang tepat; hanya, keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah. Di sinilah tepatnya pertimbangan yang total-menyeluruh itu terimplikasi. Pemerintah dituntut arif menentukan lokasi yang benar-benar bernilai ekonomis tinggi namun tidak merusak ketertiban dan keindahan, malah kalau bisa menambahnya. Jika semuanya tepat dan terencana dengan benar, tempat penjualan makanan terpadu itu akan menjadi daya tarik yang luar biasa sebagai objek wisata kuliner. Dan itu akan menguntungkan baik pengusaha makanan maupun pemerintah.
Dari pihak pengusaha, langkah yang dapat diwujudkan adalah meningkatkan kualitas produk dan pelayanan secara kontinu, melakukan peremajaan dan penyegaran yang inovatif secara simultan, serta menggencarkan promosi secara lebih kreatif. Satu hal yang patut selalu dicamkan, orientasi pengusaha ritel makanan adalah kepuasan konsumen. Pengusaha, bagaimanapun, adalah konsumen juga dalam kesempatan lain. Seyogyanya, pengusaha mampu menempatkan diri di tempat konsumennya. Kepuasan konsumen merupakan sarana promosi gratis, karena sudah terbukti, promosi “mulut ke mulut” yang dilakukan konsumen sangat ampuh mengangkat sebuah produk atau usaha makanan menjadi andalan. Keramahtamahan dan pelayanan yang memuaskan tetap jadi ujung tombak promosi juga. Terkait akan hal itu, ada dua hal yang perlu dihindari: diskriminasi harga dan pelayanan, dan memilih menurunkan kualitas dan kuantitas ketimbang menaikkan harga. Semua orang ingin dihargai dan tidak suka dibeda-bedakan dalam perlakuan. Mengenakan harga yang lebih mahal pada si A daripada pada si B dan lebih baik dalam melayani B daripada A akan menyebabkan A lari dari kita bilamana ia tahu. Konsumen juga tidak suka jika produk yang biasa mereka konsumsi berkurang jumlah dan mutunya. Mereka juga lebih rela merogoh kocek lebih dalam daripada merasa perut dan selera mereka terisi kurang dalam. Perlu disinggung juga satu hal yang cukup penting. PPN yang dibebankan kepada pengusaha selama ini dialihkan kepada konsumen. Dan hal itu memang wajar. Pajak sangat penting sebagai sumber keuangan daerah maupun negara, jadi tidak boleh dihapuskan. Dan pihak konsumen, sebagai pemakai terakhir, juga wajib mengemban tanggung jawab itu. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, ada baiknya pengusaha secara arif memperhalus pengenaannya terhadap konsumen. Kebohongan tetap tidak diperkenankan. Pengusaha tidak usah menggembar-gembor bahwa produk yang dijualnya itu bebas pajak. Namun tidak perlu juga secara mencolok menambahkan PPN dalam pembayaran. PPN dapat dimasukkan sebagai sesuatu yang sudah termasuk dalam harga barang. Tidak merasa ditipu dan juga tidak merasa dibebani itu akan memberikan satu kepuasan bagi konsumen.
Belakangan, media internet dengan situs jejaring sosialnya sudah marak menjadi ajang promosi. Acara-acara kuliner di televisi, berita-berita dan artikel-artikel di media cetak tentang kuliner juga. Itu dapat ditingkatkan. Satu aksi yang dapat ditambahkan dari semua usaha pemasaran itu adalah apa yang saya namakan “bermain frisbee”. Anda tahu, frisbee adalah benda berbentuk cakram berdiameter kira-kira 20 cm, biasa terbuat dari plastik, yang dijadikan mainan bersama anjing, dilemparkan agar anjing tersebut mengejarnya, lalu ia kembalikan kepada kita untuk dilemparkan lagi agar ia kembali dapat menangkapnya, begitu seterusnya. Promosi a la “bermain frisbee” itu menggunakan prinsip yang sama. Tentu saja, saya tidak menyamakan konsumen dengan anjing. Dalam melaksanakan promosi frisbee ini, dibutuhkan kerja sama antara dua atau lebih penjual. Karena inilah yang dilakukan: contohnya, saya adalah penjual gorengan. Saat pembeli datang, saya akan melemparkan pertanyaan atau percakapan umpan kepadanya agar dia akhirnya mengutarakan keinginannya membeli suatu produk makanan yang saya sendiri tidak jual, misalnya cemilan lain seperti kue basah. Saat dia menyatakan hal itu, saya akan mempromosikan kue basah yang Anda jual, sedemikian rupa sampai pembeli itu tertarik dan akhirnya pergi juga membeli kue basah di toko Anda. Dan Anda pun akan melakukan hal serupa dengan tujuan mempromosikan cookies yang dijual di toko si C. Sebaliknya, jika ada orang yang membeli cookies, si C akan mempromosikan kue basah Anda, dan Anda akan mempromosikan gorengan saya. Demikian seterusnya. Satu saja yang perlu jadi modal dalam menjalankan promosi ini: keikhlasan atau ketulusan. Memang ada resikonya. Jika penjual lain itu tidak mempromosikan toko dan produk makanan kita juga, bagaimana? Tidak mengapa. Di mana pun, kapan pun, dan siapa pun dia, manusia selalu amat menyukai dan terkesan akan kebaikan. Itulah mengapa ketulusan diperlukan, sebab orang juga bisa menilai apakah kebaikan itu kita lakukan dengan tulus atau tidak. Dan kebaikan yang kita sudah lakukan dengan tulus kepada si pembeli dan si penjual yang tidak membalas budi itu akan berbalik menjadi kebaikan kita sendiri. Konsumen yang terkesan itu akan percaya dan senang sering-sering berbelanja pada kita. Dan pasti, dia juga akan bercerita kepada keluarga, teman, dan tetangganya.
Jumat, 08 Oktober 2010
RUMAH BERFLEKSIBILITAS TINGGI TERHADAP GEMPA
Belum jerakah kita, orang Indonesia, menjadi korban gempa? Sudah begitu banyak nyawa melayang, tubuh yang terluka dan cedera, serta harta milik yang rusak dan hilang begitu saja akibat gempa. Sebagai fenomena alam, gempa mustahil kita cegah. Bahkan untuk mendeteksi kedatangannya saja kemampuan kita masih amat terbatas.
Tapi apakah kita akan diam berpasrah saja? Tidak adakah yang dapat kita lakukan demi mengamankan diri, orang-orang terkasih, dan harta kita? Tidak! Kita tidak boleh diam dan berpasrah! Dan selalu ada yang dapat kita kerjakan supaya kita tidak lagi menjadi “tumbal” dari gempa!
Bayangkan, jika kita berada di suatu tanah lapang kosong, tanpa ada bangunan apa pun di sekitar kita, dan pada saat itu terjadi gempa hebat, kira-kira adakah bahaya langsung yang menimpa kita? Mungkin dan bisa saja, jika tiba-tiba bumi terbelah di bawah kita dan kemudian kita jatuh di dalamnya. Tapi apakah gempa yang seperti itu sering-sering terjadi? Tidak. Jarang sekali gempa sedahsyat itu, yang mengakibatkan tanah merekah lebar, terjadi.
Sekarang, lihat keadaan faktual dan aktual kita saat ini, terutama bila kita tinggal di daerah perkotaan dengan rimba betonnya. Dan bayangkan jika gempa terjadi di tempat kita ini. Bisa terbayangkah destruksi yang terjadi?
Konklusinya, bahaya timbul dari konstruksi yang ada di sekitar kita saat gempa terjadi. Gempa itu sendiri sebetulnya tidak mengancam secara langsung.
Indonesia cukup sering dilanda gempa. Tanah kita ini terletak tepat di atas persimpangan tiga lempeng besar dunia, dan lempeng-lempeng itu bergerak, saling menjauh, atau saling mendekat, bahkan bertabrakan. Pergerakan itulah yang mengakibatkan gempa dan tsunami (gempa di laut). Dengan hidup di daerah semacam itu, kita harus arif dalam menghadapinya. Di atas kita sudah melihat, ancaman yang riil datang dari konstruksi yang rusak dan hancur oleh gempa. Sehingga, langkah riil dan logis bagi kita adalah memiliki bangunan dan konstruksi yang tidak mudah rusak dan hancur akibat gempa, yang tahan gempa.
Bagaimana bangunan yang tahan gempa itu? Itu adalah bangunan yang cukup fleksibel/lentur menghadapi guncangan hebat. Saat kita berada di dalam rumah/bangunan yang lentur terhadap guncangan, kita akan lebih terlindung daripada jika kita berada di dalam rumah/bangunan yang rigid, sebab rigiditas dirinya menyebabkan sang rumah/bangunan membangun gaya reaksi yang melawan gaya getaran dari gempa. Tapi itu sia-sia, karena gaya reaksi itu justru akan berakumulasi dengan gaya guncang gempa, lalu mematahkan materi itu sendiri. Berbeda dengan bahan yang fleksibel. Bahan yang fleksibel akan bereaksi dengan gaya yang mengikuti arah vektor gaya guncangan, sehingga meredam impact yang mematahkan.
Beton, batu bata, semen, batu kali, genteng dan pelbagai materi lain yang keras merupakan bahan yang rigid/kaku. Kita sudah banyak melihat kehancuran bangunan-bangunan yang terbuat dari materi-materi tersebut akibat gempa. Dan kehancuran itu parah sekali. Semakin rigid materinya, semakin besar kerusakan bangunan/rumah tersebut.
Sekarang apa yang merupakan bahan fleksibel? Kayu, tripleks, multipleks, asbes, dan fiber adalah contoh-contohnya. Bahan-bahan itu cukup mampu meredam gaya guncang gempa. Memang, bahan-bahan tersebut bisa juga rusak, patah, dan hancur oleh guncangan gempa. Tapi, paling tidak, tingkat kerusakannya tidak separah bahan-bahan rigid. Dan juga, bahan-bahan fleksibel itu jauh lebih ringan, sehingga bila berjatuhan, akibat yang ditimbulkan pada apa pun yang ada di bawahnya yang ditimpanya tidak sebesar yang disebabkan materi-materi rigid.
Muncul keluhan, bahan-bahan fleksibel itu cenderung cepat aus, tidak nyaman karena panas, jadi pada akhirnya tidak ekonomis. Sebagai jawaban, itu semua tergantung pada pemilihan bahan dan pada upaya perekayasaan terhadap bahan-bahan itu sendiri. Asbes memang menyerap panas matahari secara cukup besar, sehingga udara di bawah naungannya akan menjadi panas. Bila itu yang terjadi, di daerah-daerah bersuhu tinggi, atap berbahan fiber dan bahan lain yang tidak menyerap panas matahari terlalu banyak, seperti “onduline”, dapat digunakan. Untuk daerah dengan kelembaban udara tinggi, sebaiknya kayu kamper dan meranti (borneo) tidak digunakan karena lebih cepat berjamur. Gunakan saja kayu yang lebih tahan jamur dan yang kadar kandungan airnya jauh lebih rendah, seperti jati dan mahoni. Memang lebih mahal. Tapi bila dibandingkan dengan manfaatnya bagi keselamatan diri, tentu itu tidak sebanding. Jika kita tetap ingin menggunakan kayu yang lebih murah, kita bisa memilih kayu-kayu yang sudah diproses melalui pemanasan dalam oven kayu untuk menghilangkan kandungan airnya. Untuk itu, kita harus pandai-pandai memilah kayu mana yang diproduksi oleh pabrik-pabrik pengolahan yang cukup mumpuni dan terpercaya. Dan bila ada pula keberatan yang mengatakan bahwa bahan-bahan seperti kayu, tripleks, dan multipleks mudah terbakar, maka menggantinya dengan beton, batu bata, dan batako bukanlah solusi. Hal itu lebih terletak dalam cara hidup kita sendiri. Jika kita cukup berhati-hati menggunakan benda-benda pembakar, seperti kompor dan korek api, serta memasang instalasi listrik dengan benar, kebakaran akan dapat kita kurangi kemungkinannya.
Tapi apakah kita akan diam berpasrah saja? Tidak adakah yang dapat kita lakukan demi mengamankan diri, orang-orang terkasih, dan harta kita? Tidak! Kita tidak boleh diam dan berpasrah! Dan selalu ada yang dapat kita kerjakan supaya kita tidak lagi menjadi “tumbal” dari gempa!
Bayangkan, jika kita berada di suatu tanah lapang kosong, tanpa ada bangunan apa pun di sekitar kita, dan pada saat itu terjadi gempa hebat, kira-kira adakah bahaya langsung yang menimpa kita? Mungkin dan bisa saja, jika tiba-tiba bumi terbelah di bawah kita dan kemudian kita jatuh di dalamnya. Tapi apakah gempa yang seperti itu sering-sering terjadi? Tidak. Jarang sekali gempa sedahsyat itu, yang mengakibatkan tanah merekah lebar, terjadi.
Sekarang, lihat keadaan faktual dan aktual kita saat ini, terutama bila kita tinggal di daerah perkotaan dengan rimba betonnya. Dan bayangkan jika gempa terjadi di tempat kita ini. Bisa terbayangkah destruksi yang terjadi?
Konklusinya, bahaya timbul dari konstruksi yang ada di sekitar kita saat gempa terjadi. Gempa itu sendiri sebetulnya tidak mengancam secara langsung.
Indonesia cukup sering dilanda gempa. Tanah kita ini terletak tepat di atas persimpangan tiga lempeng besar dunia, dan lempeng-lempeng itu bergerak, saling menjauh, atau saling mendekat, bahkan bertabrakan. Pergerakan itulah yang mengakibatkan gempa dan tsunami (gempa di laut). Dengan hidup di daerah semacam itu, kita harus arif dalam menghadapinya. Di atas kita sudah melihat, ancaman yang riil datang dari konstruksi yang rusak dan hancur oleh gempa. Sehingga, langkah riil dan logis bagi kita adalah memiliki bangunan dan konstruksi yang tidak mudah rusak dan hancur akibat gempa, yang tahan gempa.
Bagaimana bangunan yang tahan gempa itu? Itu adalah bangunan yang cukup fleksibel/lentur menghadapi guncangan hebat. Saat kita berada di dalam rumah/bangunan yang lentur terhadap guncangan, kita akan lebih terlindung daripada jika kita berada di dalam rumah/bangunan yang rigid, sebab rigiditas dirinya menyebabkan sang rumah/bangunan membangun gaya reaksi yang melawan gaya getaran dari gempa. Tapi itu sia-sia, karena gaya reaksi itu justru akan berakumulasi dengan gaya guncang gempa, lalu mematahkan materi itu sendiri. Berbeda dengan bahan yang fleksibel. Bahan yang fleksibel akan bereaksi dengan gaya yang mengikuti arah vektor gaya guncangan, sehingga meredam impact yang mematahkan.
Beton, batu bata, semen, batu kali, genteng dan pelbagai materi lain yang keras merupakan bahan yang rigid/kaku. Kita sudah banyak melihat kehancuran bangunan-bangunan yang terbuat dari materi-materi tersebut akibat gempa. Dan kehancuran itu parah sekali. Semakin rigid materinya, semakin besar kerusakan bangunan/rumah tersebut.
Sekarang apa yang merupakan bahan fleksibel? Kayu, tripleks, multipleks, asbes, dan fiber adalah contoh-contohnya. Bahan-bahan itu cukup mampu meredam gaya guncang gempa. Memang, bahan-bahan tersebut bisa juga rusak, patah, dan hancur oleh guncangan gempa. Tapi, paling tidak, tingkat kerusakannya tidak separah bahan-bahan rigid. Dan juga, bahan-bahan fleksibel itu jauh lebih ringan, sehingga bila berjatuhan, akibat yang ditimbulkan pada apa pun yang ada di bawahnya yang ditimpanya tidak sebesar yang disebabkan materi-materi rigid.
Muncul keluhan, bahan-bahan fleksibel itu cenderung cepat aus, tidak nyaman karena panas, jadi pada akhirnya tidak ekonomis. Sebagai jawaban, itu semua tergantung pada pemilihan bahan dan pada upaya perekayasaan terhadap bahan-bahan itu sendiri. Asbes memang menyerap panas matahari secara cukup besar, sehingga udara di bawah naungannya akan menjadi panas. Bila itu yang terjadi, di daerah-daerah bersuhu tinggi, atap berbahan fiber dan bahan lain yang tidak menyerap panas matahari terlalu banyak, seperti “onduline”, dapat digunakan. Untuk daerah dengan kelembaban udara tinggi, sebaiknya kayu kamper dan meranti (borneo) tidak digunakan karena lebih cepat berjamur. Gunakan saja kayu yang lebih tahan jamur dan yang kadar kandungan airnya jauh lebih rendah, seperti jati dan mahoni. Memang lebih mahal. Tapi bila dibandingkan dengan manfaatnya bagi keselamatan diri, tentu itu tidak sebanding. Jika kita tetap ingin menggunakan kayu yang lebih murah, kita bisa memilih kayu-kayu yang sudah diproses melalui pemanasan dalam oven kayu untuk menghilangkan kandungan airnya. Untuk itu, kita harus pandai-pandai memilah kayu mana yang diproduksi oleh pabrik-pabrik pengolahan yang cukup mumpuni dan terpercaya. Dan bila ada pula keberatan yang mengatakan bahwa bahan-bahan seperti kayu, tripleks, dan multipleks mudah terbakar, maka menggantinya dengan beton, batu bata, dan batako bukanlah solusi. Hal itu lebih terletak dalam cara hidup kita sendiri. Jika kita cukup berhati-hati menggunakan benda-benda pembakar, seperti kompor dan korek api, serta memasang instalasi listrik dengan benar, kebakaran akan dapat kita kurangi kemungkinannya.
MENGANTISIPASI GEMPA DENGAN RUMAH “SELARAS ALAM”
Gempa bumi merupakan salah satu fenomena alam yang “mengerikan” dan “mengancam” bagi umat manusia. Tidak terkecuali bagi kita di Indonesia. Banyak kerugian yang diakibatkannya. Berbagai infrastruktur hancur, sarana dan prasarana rusak. Bukan hanya secara materi, kerugian yang menimpa diri manusia pun banyak terjadi, dan justru itu yang memprihatinkan. Korban jiwa berjatuhan. Tak sedikit orang yang terluka secara fisik, ringan sampai berat. Sehingga, dengan demikian, kondisi psikis para korban juga ikut terganggu. Trauma mental, duka akibat kehilangan orang-orang yang dikasihi, citra diri yang memburuk karena mengalami disfungsi akibat cacat fisik yang dialami, depresi, cemas, dan rasa kehilangan yang pahit atas harta-benda dan jiwa-jiwa para kekasih: semua itu sungguh merupakan kerugian yang lebih tak ternilai daripada kehilangan atau kerusakan materi.
Untuk itu, mengingat masih minimnya kemampuan manusia mengantisipasi datangnya gempa, dan karena mustahil kita dapat mencegah terjadinya, kita harus melakukan antisipasi atas apa yang dapat kita lakukan, yang masih berada dalam jangkauan kemampuan kita. Paling tidak, kita wajib meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkannya. Terutama karena kita tinggal di negara yang rawan gempa, sebab bumi nusantara terletak pada pertemuan tiga lempeng besar bumi, yang rawan pergeseran dan tumbukan satu sama lain.
Sebenarnya, kerugian yang kita alami dari gempa jarang sekali timbul akibat dampak primer, artinya yang disebabkan langsung dari gempa itu sendiri. Salah satu contoh dampak primer gempa adalah merekah atau terbelahnya tanah yang disebabkan pergeseran kulit bumi secara vertikal maupun horisontal sehingga kerak bumi bergerak naik/turun atau membelah. Tapi itu jarang-jarang terjadi. Yang justru jauh lebih sering menimbulkan bahaya dan kerusakan adalah dampak sekundernya. Suatu konstruksi, seperti rumah, gedung perkantoran, jalan, dan jembatan, yang tidak dirancang untuk dapat menyesuaikan diri dengan guncangan, akan mudah rusak dan hancur saat gempa yang cukup kuat terjadi. Kerusakan dan kehancuran konstruksi itu membahayakan segala sesuatu yang ada di bawah naungan, di atasnya, dan di sekitarnya. Itulah dampak sekunder gempa. Bagaimana jika gempa terjadi pada waktu-waktu di mana kita sedang dalam keadaan tidak siap sama sekali untuk lari, misalnya pada waktu tengah malam saat kita sedang tidur? Apa yang dapat kita lakukan untuk mengantisipasi resikonya? Yang paling rasionil dan praktis untuk itu adalah tinggal dalam rumah yang memiliki ketahanan menghadapi guncangan gempa.
Semakin besar tingkat kekerasan materi yang menyusun sebuah bangunan, semakin tinggi kemungkinannya untuk rusak saat gempa terjadi, dan semakin besar pula tingkat kehancuran dan kerusakan yang diakibatkannya pada segala sesuatu di bawah dan di sekitarnya. Bangunan beton jauh lebih berbahaya daripada bangunan kayu. Rumah beratap genteng jauh lebih beresiko daripada rumah beratap rumbia. Bila gempa menyerang, pecahan batu bata, batako, semen, dan genteng yang berat dan keras akan menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar pada semua yang ditimpanya ketimbang kayu, tripleks, atau rumbia.
Karena itu, mengapa kita tidak mulai memikirkan hal tersebut untuk keselamatan jiwa dan harta kita sendiri? Mengapa harus berkorban hanya demi gengsi? Selain berbahaya pada saat gempa, materi-materi keras itu pun pasti jauh lebih mahal. Hal-hal tersebut patut dipertimbangkan bagi kita yang hendak membangun rumah, serta baik juga bagi kita yang sudah memiliki rumah untuk mengubah konstruksinya. Lagipula, keindahan dan kenyamanan sesuatu tidak selalu identik dengan mahal/tidaknya atau bergaya/tidaknya sesuatu itu. Rumah kayu bisa menjadi rumah yang cantik. Rumah beratap rumbia dapat juga menjadi rumah yang nyaman. Semua tergantung dari penataan dan kemauan kita memaksimalkan selera seni dan jiwa estetika dalam merancangnya.
Mengapa kita tidak belajar dari hikmat budaya bangsa kita sendiri? Para leluhur kita agaknya lebih bijak dalam membangun. Mereka menyelaraskan segala aspek hidup mereka dengan alam, termasuk dalam mendirikan tempat tinggal. Identifikasi diri sebagai bagian dari alam inilah yang mendasari pemikiran mereka. Dengan kata lain, pada waktu membangun rumah, mereka melakukannya secara “ramah lingkungan”. Hasilnya, alam pun akan balik berlaku ramah pada mereka. Lihat saja rumah-rumah adat berbagai suku di Indonesia. Rumah-rumah joglo di tanah Jawa, rumah-rumah gadang dan panggung di Sumatera, rumah-rumah kari wari dan tongkonan di daerah-daerah Indonesia bagian timur semuanya memaksimalkan pemakaian bahan-bahan yang relatif lunak dan ringan. Kalau pun mereka menggunakan bahan dari bebatuan, itu sangat minim, paling-paling hanya untuk mengokohkan. Sepertinya, keputusan mereka untuk lebih memilih bahan-bahan itu dalam membangun rumah bukan disebabkan ketidakmampuan teknologi dan ekonomis. Terbukti, banyak bangunan zaman dulu yang terbuat dari batu. Candi-candi, contohnya. Jadi, meski mereka menguasai teknologi konstruksi yang canggih, toh untuk tempat tinggalnya sendiri mereka tetap memilih bahan-bahan yang “selaras alam”.
Sudah waktunya kita memasyarakatkan kepedulian terhadap keselamatan diri dan harta-benda kita pada bangsa ini. Bahkan, sesungguhnya, sudah agak terlambat. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena, di samping kepedulian pada diri sendiri, harta milik, dan orang-orang terkasih, bila kita mulai mengubah paradigma kita dalam membangun rumah dengan kembali berkiblat pada kebijaksanaan adat nenek-moyang kita, kita juga membangun kepedulian pada alam dan lingkungan. Manusia bertanggung jawab memelihara bumi ini terhadap Sang Pencipta dan Pemilik segalanya. Untuk itu, perlu lebih digencarkan promosi penyadaran masyarakat.
Pertama, yang perlu dimengerti adalah hakiki gempa, apa saja akibatnya dan dampaknya, serta di mana posisi kita, manusia, dalam alam yang menggejalakan gempa tersebut. Pembangunan kesadaran ini bisa dilakukan dengan pendidikan dan penyuluhan, baik di daerah-daerah yang rawan gempa maupun di daerah-daerah yang dianggap tidak rawan gempa, karena kita sulit mengetahui kapan dan di mana gempa akan terjadi. Sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi patut mengajarkannya pada para peserta didik, agar generasi muda secara dini “sadar gempa” dan “sadar lingkungan”. Dan bagi elemen masyarakat yang lebih dewasa, penyuluhan perlu lebih digencarkan melalui media-media massa yang ada, seperti radio, televisi, koran, majalah, internet; dapat melalui iklan layanan ataupun artikel/berita khusus. Ajang sosialisasi seperti arisan warga, rapat RT/RW, dan rembuk kampung/desa juga ampuh bila digunakan sebagai media penyuluhan dan pembukaan kesadaran-wawasan masyarakat. Kemudian, penyadaran akan hakiki dan dampak gempa itu harus ditindaklanjuti dengan penyuluhan dan pelatihan tentang langkah-langkah konkret apa yang seharusnya diambil sebagai respon yang perlu bilamana gempa terjadi; salah satunya yang paling urgen adalah pelatihan dalam membangun rumah yang indah dan nyaman namun aman terhadap gempa sebagaimana yang tertulis di atas. Dan hal itu perlu dilaksanakan secara intensif dan holistik. Pelatihan yang separuh-separuh dan asal-asalan tidak akan efektif menumbuhkan kesadaran masyarakat. Terakhir, yang sangat perlu dilakukan adalah percontohan. Perlu dipikirkan adanya proyek perumahan aman gempa. Sebuah kompleks perumahan yang tahan gempa, yang dikelola secara profesional agar menghasilkan bangunan rumah yang kokoh, kuat, tahan lama, dan tahan gempa, tapi yang juga estetis dan terkesan tidak murahan, akan merupakan promosi riil yang menarik. Dalam hal ini, dan juga dalam langkah-langkah penyadaran dan pelatihan sebelumnya, semua lapisan perlu terlibat dan melibatkan diri. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, para pemuka masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, maupun orang awam seyogyanya saling mendahului dalam mengambil prakarsa.
Untuk itu, mengingat masih minimnya kemampuan manusia mengantisipasi datangnya gempa, dan karena mustahil kita dapat mencegah terjadinya, kita harus melakukan antisipasi atas apa yang dapat kita lakukan, yang masih berada dalam jangkauan kemampuan kita. Paling tidak, kita wajib meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkannya. Terutama karena kita tinggal di negara yang rawan gempa, sebab bumi nusantara terletak pada pertemuan tiga lempeng besar bumi, yang rawan pergeseran dan tumbukan satu sama lain.
Sebenarnya, kerugian yang kita alami dari gempa jarang sekali timbul akibat dampak primer, artinya yang disebabkan langsung dari gempa itu sendiri. Salah satu contoh dampak primer gempa adalah merekah atau terbelahnya tanah yang disebabkan pergeseran kulit bumi secara vertikal maupun horisontal sehingga kerak bumi bergerak naik/turun atau membelah. Tapi itu jarang-jarang terjadi. Yang justru jauh lebih sering menimbulkan bahaya dan kerusakan adalah dampak sekundernya. Suatu konstruksi, seperti rumah, gedung perkantoran, jalan, dan jembatan, yang tidak dirancang untuk dapat menyesuaikan diri dengan guncangan, akan mudah rusak dan hancur saat gempa yang cukup kuat terjadi. Kerusakan dan kehancuran konstruksi itu membahayakan segala sesuatu yang ada di bawah naungan, di atasnya, dan di sekitarnya. Itulah dampak sekunder gempa. Bagaimana jika gempa terjadi pada waktu-waktu di mana kita sedang dalam keadaan tidak siap sama sekali untuk lari, misalnya pada waktu tengah malam saat kita sedang tidur? Apa yang dapat kita lakukan untuk mengantisipasi resikonya? Yang paling rasionil dan praktis untuk itu adalah tinggal dalam rumah yang memiliki ketahanan menghadapi guncangan gempa.
Semakin besar tingkat kekerasan materi yang menyusun sebuah bangunan, semakin tinggi kemungkinannya untuk rusak saat gempa terjadi, dan semakin besar pula tingkat kehancuran dan kerusakan yang diakibatkannya pada segala sesuatu di bawah dan di sekitarnya. Bangunan beton jauh lebih berbahaya daripada bangunan kayu. Rumah beratap genteng jauh lebih beresiko daripada rumah beratap rumbia. Bila gempa menyerang, pecahan batu bata, batako, semen, dan genteng yang berat dan keras akan menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar pada semua yang ditimpanya ketimbang kayu, tripleks, atau rumbia.
Karena itu, mengapa kita tidak mulai memikirkan hal tersebut untuk keselamatan jiwa dan harta kita sendiri? Mengapa harus berkorban hanya demi gengsi? Selain berbahaya pada saat gempa, materi-materi keras itu pun pasti jauh lebih mahal. Hal-hal tersebut patut dipertimbangkan bagi kita yang hendak membangun rumah, serta baik juga bagi kita yang sudah memiliki rumah untuk mengubah konstruksinya. Lagipula, keindahan dan kenyamanan sesuatu tidak selalu identik dengan mahal/tidaknya atau bergaya/tidaknya sesuatu itu. Rumah kayu bisa menjadi rumah yang cantik. Rumah beratap rumbia dapat juga menjadi rumah yang nyaman. Semua tergantung dari penataan dan kemauan kita memaksimalkan selera seni dan jiwa estetika dalam merancangnya.
Mengapa kita tidak belajar dari hikmat budaya bangsa kita sendiri? Para leluhur kita agaknya lebih bijak dalam membangun. Mereka menyelaraskan segala aspek hidup mereka dengan alam, termasuk dalam mendirikan tempat tinggal. Identifikasi diri sebagai bagian dari alam inilah yang mendasari pemikiran mereka. Dengan kata lain, pada waktu membangun rumah, mereka melakukannya secara “ramah lingkungan”. Hasilnya, alam pun akan balik berlaku ramah pada mereka. Lihat saja rumah-rumah adat berbagai suku di Indonesia. Rumah-rumah joglo di tanah Jawa, rumah-rumah gadang dan panggung di Sumatera, rumah-rumah kari wari dan tongkonan di daerah-daerah Indonesia bagian timur semuanya memaksimalkan pemakaian bahan-bahan yang relatif lunak dan ringan. Kalau pun mereka menggunakan bahan dari bebatuan, itu sangat minim, paling-paling hanya untuk mengokohkan. Sepertinya, keputusan mereka untuk lebih memilih bahan-bahan itu dalam membangun rumah bukan disebabkan ketidakmampuan teknologi dan ekonomis. Terbukti, banyak bangunan zaman dulu yang terbuat dari batu. Candi-candi, contohnya. Jadi, meski mereka menguasai teknologi konstruksi yang canggih, toh untuk tempat tinggalnya sendiri mereka tetap memilih bahan-bahan yang “selaras alam”.
Sudah waktunya kita memasyarakatkan kepedulian terhadap keselamatan diri dan harta-benda kita pada bangsa ini. Bahkan, sesungguhnya, sudah agak terlambat. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena, di samping kepedulian pada diri sendiri, harta milik, dan orang-orang terkasih, bila kita mulai mengubah paradigma kita dalam membangun rumah dengan kembali berkiblat pada kebijaksanaan adat nenek-moyang kita, kita juga membangun kepedulian pada alam dan lingkungan. Manusia bertanggung jawab memelihara bumi ini terhadap Sang Pencipta dan Pemilik segalanya. Untuk itu, perlu lebih digencarkan promosi penyadaran masyarakat.
Pertama, yang perlu dimengerti adalah hakiki gempa, apa saja akibatnya dan dampaknya, serta di mana posisi kita, manusia, dalam alam yang menggejalakan gempa tersebut. Pembangunan kesadaran ini bisa dilakukan dengan pendidikan dan penyuluhan, baik di daerah-daerah yang rawan gempa maupun di daerah-daerah yang dianggap tidak rawan gempa, karena kita sulit mengetahui kapan dan di mana gempa akan terjadi. Sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi patut mengajarkannya pada para peserta didik, agar generasi muda secara dini “sadar gempa” dan “sadar lingkungan”. Dan bagi elemen masyarakat yang lebih dewasa, penyuluhan perlu lebih digencarkan melalui media-media massa yang ada, seperti radio, televisi, koran, majalah, internet; dapat melalui iklan layanan ataupun artikel/berita khusus. Ajang sosialisasi seperti arisan warga, rapat RT/RW, dan rembuk kampung/desa juga ampuh bila digunakan sebagai media penyuluhan dan pembukaan kesadaran-wawasan masyarakat. Kemudian, penyadaran akan hakiki dan dampak gempa itu harus ditindaklanjuti dengan penyuluhan dan pelatihan tentang langkah-langkah konkret apa yang seharusnya diambil sebagai respon yang perlu bilamana gempa terjadi; salah satunya yang paling urgen adalah pelatihan dalam membangun rumah yang indah dan nyaman namun aman terhadap gempa sebagaimana yang tertulis di atas. Dan hal itu perlu dilaksanakan secara intensif dan holistik. Pelatihan yang separuh-separuh dan asal-asalan tidak akan efektif menumbuhkan kesadaran masyarakat. Terakhir, yang sangat perlu dilakukan adalah percontohan. Perlu dipikirkan adanya proyek perumahan aman gempa. Sebuah kompleks perumahan yang tahan gempa, yang dikelola secara profesional agar menghasilkan bangunan rumah yang kokoh, kuat, tahan lama, dan tahan gempa, tapi yang juga estetis dan terkesan tidak murahan, akan merupakan promosi riil yang menarik. Dalam hal ini, dan juga dalam langkah-langkah penyadaran dan pelatihan sebelumnya, semua lapisan perlu terlibat dan melibatkan diri. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, para pemuka masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, maupun orang awam seyogyanya saling mendahului dalam mengambil prakarsa.
Sabtu, 18 September 2010
Depok: Asing Namun Tak Asing
LombaBlogDepok, 17 Juli - 17 September 2010
Aku lahir dan dibesarkan di Jakarta. Namun, sejak kuliah hingga kini, aku tinggal di Bandung. Nama kota Depok tak asing bagiku. Sewaktu masih duduk di bangku SD, salah seorang guru di sekolahku mempunyai rumah di Depok. Kata teman-temanku, guru itu tinggal di daerah "Depok Satu". Sampai sekarang, aku masih tidak tahu, itu nama kompleks perumahan ataukah nama salah satu perkampungan, atau nama daerah lain seperti desa atau apa pun, di Depok, dan apakah benar ada perumahan atau perkampungan atau desa atau daerah dengan nama tersebut.
Dulu, bila jalan-jalan ke Bogor atau Puncak atau Sukabumi atau Cianjur atau Bandung dari Jakarta, pastilah aku memintasi wilayah Depok, karena memang kota ini terletak di jalur yang menghubungkan ibukota dengan kota-kota tersebut (dulu belum ada tol Cikampek, apalagi Cipularang; lagipula jalur Cikampek-Purwakarta untuk menuju Bandung belum bagus, dan orang-orang Jakarta tidak suka jalur itu, kata orang-orang yang membawaku).
Dari pelajaran geografi, pun dari koran, radio, televisi, majalah, maupun media-media massa lainnya, aku banyak mendengar soal Depok. Aku tahu, ketika aku masih bersekolah, Depok itu masih berstatus kota administratif. Aku juga tahu ketika Depok naik status menjadi kotamadya (atau "kota", kalau sekarang, meski aku tak terlalu mengerti apa beda keduanya, dan kenapa juga harus diganti-ganti segala istilahnya).
Meski begitu, tidak pernah satu kali pun aku berkunjung ke Depok! Singgah pun tidak! Apalagi untuk bermalam atau malah tinggal di sana. Dalam trip-trip wisata semasa aku masih lebih muda itu (karena aku sekarang pun masih muda!), seingatku, tak pernah keluarga dan rombonganku mampir dulu barang sekali saja di kota belimbing ini. Entah mengapa.
Dan sekarang, apa yang harus kutulis tentang Depok? Apa yang unik dari Depok bagiku? Ini: kota tersebut sangat tidak asing sekaligus sangat asing untukku! Satu-satunya kota di negeri ini yang begitu! Dan kalian tahu apa yang lebih lucu lagi? Aku bahkan tidak pernah melihat figur dan fitur kota ini! Ya! Aku juga tidak mengerti, mengapa setiap kali aku memintasi Depok, aku tak pernah menaruh sedikit saja perhatian untuk melihat-lihat di sepanjang perjalanan. Kalau Cibinong, aku ada memperhatikan. Begitu pula Mega Mendung, Ciawi, Cisarua, Ciloto, dan daerah-daerah lain yang berada di sepanjang jalan yang kulalui. Tapi, Depok? Wah, harus kuakui, aku bersalah sekali mengabaikan kota yang satu ini!
Jadi bertanya-tanya aku, mungkinkah sesuatu itu bisa demikian bagi kita, sangat asing sekaligus sangat akrab? Apakah hanya perasaanku saja, yang mengaku-ngaku akrab dengan Depok, padahal rasa itu sebenarnya menipu? Tapi, jika memang begitu adanya, mengapa rasa itu bisa ada?
Sebenarnya, sampai sekarang pun aku masih bingung. Tapi ada sesuatu yang bisa kudapatkan dari keanehan pengalaman perasaanku terhadap Depok ini. Tidakkah kita semua pernah begitu? Maksudku, kita, anak-anak bangsa ini, saling berbeda dalam religi, suku, etnis, budaya, bahkan kebiasaan. Tapi, kenapa hingga kini kita masih menyatu? Mengapa juga kita berani-berani mengklaim diri sebagai negara kesatuan, padahal jelas-jelas, banyak sekali orang dari Jakarta sepertiku, misalnya, yang belum pernah pergi ke Kalimantan, umpamanya? Bahkan banyak sekali juga orang yang seumur hidupnya tidak pernah keluar dari kotanya sendiri! Tidakkah menurut kalian itu lucu, terasing dari lingkungan, namun sekaligus menjadi bagian dari lingkungan itu juga?
Tentu, kita seyogyanya tidak mengucilkan diri dari hubungan dengan orang-orang dan lingkungan-lingkungan lain. Semestinyalah kita perkaya wawasan kita seluas mungkin. Namun, yang hendak kuimplikasikan adalah bahwa keakraban itu tidak mesti melulu diabsahkan oleh "ke-pernah-hadiran" atau kontak atau keaktualan secara fisik. Terlebih dalam zaman globalisasi dan informasi sekarang ini! Nah, itulah poinnya! Keakraban! Kepedulian! Demi kemanusiaan dan kemaslahatan bersama, entah kita pernah hadir atau tidak, entah kita pernah menyentuh atau tidak, dan entah kita pernah teraktual atau tidak, kita harus, wajib, membangun keakraban dengan dunia, tanah air, bangsa, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dan kita wajib pula membina kepedulian dengan semua itu. Terutama, kepada sesama manusia.
Itulah peran besar Depok bagiku. Salut, Depok! Terimakasih untuk pelajaran ini, yang kudapat darimu!
Aku lahir dan dibesarkan di Jakarta. Namun, sejak kuliah hingga kini, aku tinggal di Bandung. Nama kota Depok tak asing bagiku. Sewaktu masih duduk di bangku SD, salah seorang guru di sekolahku mempunyai rumah di Depok. Kata teman-temanku, guru itu tinggal di daerah "Depok Satu". Sampai sekarang, aku masih tidak tahu, itu nama kompleks perumahan ataukah nama salah satu perkampungan, atau nama daerah lain seperti desa atau apa pun, di Depok, dan apakah benar ada perumahan atau perkampungan atau desa atau daerah dengan nama tersebut.
Dulu, bila jalan-jalan ke Bogor atau Puncak atau Sukabumi atau Cianjur atau Bandung dari Jakarta, pastilah aku memintasi wilayah Depok, karena memang kota ini terletak di jalur yang menghubungkan ibukota dengan kota-kota tersebut (dulu belum ada tol Cikampek, apalagi Cipularang; lagipula jalur Cikampek-Purwakarta untuk menuju Bandung belum bagus, dan orang-orang Jakarta tidak suka jalur itu, kata orang-orang yang membawaku).
Dari pelajaran geografi, pun dari koran, radio, televisi, majalah, maupun media-media massa lainnya, aku banyak mendengar soal Depok. Aku tahu, ketika aku masih bersekolah, Depok itu masih berstatus kota administratif. Aku juga tahu ketika Depok naik status menjadi kotamadya (atau "kota", kalau sekarang, meski aku tak terlalu mengerti apa beda keduanya, dan kenapa juga harus diganti-ganti segala istilahnya).
Meski begitu, tidak pernah satu kali pun aku berkunjung ke Depok! Singgah pun tidak! Apalagi untuk bermalam atau malah tinggal di sana. Dalam trip-trip wisata semasa aku masih lebih muda itu (karena aku sekarang pun masih muda!), seingatku, tak pernah keluarga dan rombonganku mampir dulu barang sekali saja di kota belimbing ini. Entah mengapa.
Dan sekarang, apa yang harus kutulis tentang Depok? Apa yang unik dari Depok bagiku? Ini: kota tersebut sangat tidak asing sekaligus sangat asing untukku! Satu-satunya kota di negeri ini yang begitu! Dan kalian tahu apa yang lebih lucu lagi? Aku bahkan tidak pernah melihat figur dan fitur kota ini! Ya! Aku juga tidak mengerti, mengapa setiap kali aku memintasi Depok, aku tak pernah menaruh sedikit saja perhatian untuk melihat-lihat di sepanjang perjalanan. Kalau Cibinong, aku ada memperhatikan. Begitu pula Mega Mendung, Ciawi, Cisarua, Ciloto, dan daerah-daerah lain yang berada di sepanjang jalan yang kulalui. Tapi, Depok? Wah, harus kuakui, aku bersalah sekali mengabaikan kota yang satu ini!
Jadi bertanya-tanya aku, mungkinkah sesuatu itu bisa demikian bagi kita, sangat asing sekaligus sangat akrab? Apakah hanya perasaanku saja, yang mengaku-ngaku akrab dengan Depok, padahal rasa itu sebenarnya menipu? Tapi, jika memang begitu adanya, mengapa rasa itu bisa ada?
Sebenarnya, sampai sekarang pun aku masih bingung. Tapi ada sesuatu yang bisa kudapatkan dari keanehan pengalaman perasaanku terhadap Depok ini. Tidakkah kita semua pernah begitu? Maksudku, kita, anak-anak bangsa ini, saling berbeda dalam religi, suku, etnis, budaya, bahkan kebiasaan. Tapi, kenapa hingga kini kita masih menyatu? Mengapa juga kita berani-berani mengklaim diri sebagai negara kesatuan, padahal jelas-jelas, banyak sekali orang dari Jakarta sepertiku, misalnya, yang belum pernah pergi ke Kalimantan, umpamanya? Bahkan banyak sekali juga orang yang seumur hidupnya tidak pernah keluar dari kotanya sendiri! Tidakkah menurut kalian itu lucu, terasing dari lingkungan, namun sekaligus menjadi bagian dari lingkungan itu juga?
Tentu, kita seyogyanya tidak mengucilkan diri dari hubungan dengan orang-orang dan lingkungan-lingkungan lain. Semestinyalah kita perkaya wawasan kita seluas mungkin. Namun, yang hendak kuimplikasikan adalah bahwa keakraban itu tidak mesti melulu diabsahkan oleh "ke-pernah-hadiran" atau kontak atau keaktualan secara fisik. Terlebih dalam zaman globalisasi dan informasi sekarang ini! Nah, itulah poinnya! Keakraban! Kepedulian! Demi kemanusiaan dan kemaslahatan bersama, entah kita pernah hadir atau tidak, entah kita pernah menyentuh atau tidak, dan entah kita pernah teraktual atau tidak, kita harus, wajib, membangun keakraban dengan dunia, tanah air, bangsa, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dan kita wajib pula membina kepedulian dengan semua itu. Terutama, kepada sesama manusia.
Itulah peran besar Depok bagiku. Salut, Depok! Terimakasih untuk pelajaran ini, yang kudapat darimu!
Langganan:
Postingan (Atom)